Gara-gara kejadian tadi siang, Aidan tidak menyapa Jayden saat bertemu di bar. Jayden memilih menceritakan semuanya pada Arjoona, sahabat mereka. Arjoona sudah mengenal Aidan dari masa SMA, ia tahu benar apa yang terjadi.
"Ia dijebak oleh Malikha Swan untuk berjalan melewati sebuah lorong saat mau ke toko ice cream. Dia tidak pernah sampai ke toko itu malah diculik oleh Jason, kekasih Malikha dan dibawa ke sebuah pemakaman tua di dekat lorong tersebut," ujar Arjoona bercerita pada Jayden. Arjoona ikut menuangkan segelas Whiskey pada gelas Jayden. Jayden masih mendengar dengan seksama apa yang tengah diceritakan oleh Joona.
"Di sana dia dipukuli, diikat dan dibekap. Lalu dimasukkan ke dalam sebuah makam berbentuk ruangan." Jayden mengangguk lalu melirik pada Aidan yang tengah tertawa bersama Mars, James dan Shawn.
"Dia ditinggal di dalam makam itu sendirian, tanpa cahaya ataupun udara bebas. Aidan memiliki fobia pada kegelapan dan ruang sempit dulunya, dan karena itu dia hampir mati," sambung Arjoona sambil menghela napas lalu mengambil gelas Whiskey dan mulai meminum minumannya. Jayden masih diam mendengarkan tanpa bicara sepatah kata pun.
"Ketika aku menemukannya bersama Mars dan Caleb setelah dua hari, aku pikir dia sudah mati. Aku memompa jantungnya dan dia berhasil bernapas lagi. Aku benar-benar takut, perundungan itu hampir merengut nyawanya. Semua hanya karena iseng, kekonyolan anak sekolah yang membuat Aidan jadi kehilangan jati dirinya yang dulu," sambung Arjoona lagi.
"Sekarang aku mengerti, mengapa ia begitu menjaga penampilannya," sahut Jayden memberikan pendapatnya. Arjoona tersenyum dan menoleh pada Jayden lalu mengangguk setuju.
"Dia mungkin sudah sangat lelah diejek dan diolok dari kecil. Itu membuatnya selalu menerima hinaan untuk fisiknya yang menurut banyak orang bukan fisik yang ideal. Aku memakluminya ketika ia mengubah tubuhnya seperti sekarang, aku tahu dia lelah. Dia ingin dihargai." Jayden mengangguk lagi dan menepuk pundak Joona.
"Aku menyayanginya seperti adikku sendiri, Mars dan Bryan juga. Aku tidak ingin hatinya dipenuhi oleh perasaan dendam. Itu hanya akan merusaknya. Aku harap dia bisa memaafkan Malikha Swan." Arjoona menangguk sambil terus memandang Aidan yang masih sibuk bercanda.
"Gadis itu sepertinya, sudah menerima hukumannya," ujar Jayden ikut menatap Aidan yang masih tertawa lebar.
"Aku rasa semua orang akan mendapatkan karmanya. Aku harap ia tak meneruskan lagi dendamnya," lanjut Arjoona lagi. Arjoona menghela napas lebih panjang dan menuangkan lagi minuman di gelasnya.
"Aku akan minta maaf padanya, Joona. Tapi biarpun begitu, yang dilakukannya hari ini tetap salah. Itu tidak membedakan dia dengan mereka, dan bukan itu Aidan Caesar yang aku kenal," ujar Jayden sambil terus memandang teman-temannya. Arjoona tersenyum dan menepuk pundak Jayden sebelum mengadukan ujung gelas mereka bersama.
"Aku tahu ... aku selalu bisa mengandalkanmu untuk menjaga dia kan?" Jayden tersenyum sambil menyesap minumannya perlahan. Ia masih memandang Aidan yang bisa tertawa lepas dengan teman-teman dan para sahabat.
Aidan tahu jika teman-temannya mendelik padanya karena sikapnya pada mendiamkan Jayden, tapi ia sedang tak memiliki mood untuk memberi penjelasan. Setelah Bartender memberikan campuran minuman padanya sesuai pesanan, Aidan mulai minum. Ia hanya memandang kosong tanpa bicara dengan siapapun.
"Kamu bertengkar dengan Jayden?" tanya Mars yang kemudian duduk di sebelah Aidan. Aidan hanya menunduk dan tak mau menjawab.
"Huh ... Jayden itu perduli padamu. Kenapa kamu malah bertengkar dengannya?" tanya Mars lagi.
"Dia tidak mengerti Mars. Aku tidak bisa menjelaskannya," ujar Aidan sambil menghela napas berat.
"Soal apa?"
"Aku menemukan Malikha Swan." Alis Mars naik dan makin mendekat.
"Apa katamu!" Mars hingga memiringkan kepalanya ingin mendengar lebih jelas.
"Kamu mendengarku, aku menemukan Malikha Swan. Aku mengajak Jayden untuk melihat lokasi pembangunan hotel Pegasus yang selanjutnya dan dia marah karena aku menghina perempuan itu," ujar Aidan lagi menjelaskan dengan nada datar biasa.
Mars sampai mengangkat dagunya lalu kemudian mengangguk mengerti. Ia lalu menoleh sekilas ke belakang dan melihat Arjoona tengah berbicara serius berdua dengan Jayden.
"Aku pikir kamu bercanda sewaktu mengatakan kalau kamu sedang mencari Jason dan teman-temannya," sahut Mars menegakkan posisi duduknya dan kini saling menghadap Bar bersama Aidan.
"Aku tidak bercanda, Mars."
"Aku tahu yang mereka lakukan padamu adalah hal yang paling buruk. Aku tak akan melupakan saat kami bertiga mencarimu hampir dua hari. Aku pun semula tak bisa memaafkan semua itu." Mars berhenti bicara untuk mengambil napas sejenak. Aidan masih duduk di sampingnya mendengarkan sambil minum perlahan.
"Jika aku jadi kamu, aku rasa aku pun akan mencari dan membalas mereka semua," sambung Mars membuat Aidan menyengir kemenangan mendengar Mars yang sepakat dengannya.
"Tapi kejadian itu sudah hampir 12 tahun yang lalu. Itu sudah sangat lama terjadi. Apa membalas mereka akan mengubah masa lalumu? Kurasa tidak." Aidan kini membalikkan tubuhnya menghadap Mars. Mars pun melakukan hal yang sama.
"Mereka sudah menyebabkan luka yang begitu dalam padaku, Mars. Taukah kamu berapa lama aku bisa sembuh?" tanya Aidan dengan kening mengernyit. Mars mengangguk mengerti.
"Jika kamu membalas Jason aku tak masalah, tapi Malikha. Dia seorang wanita, Aidan. Sebaiknya berbelas kasihlah, jangan menyakiti perempuan," ujar Mars mencoba memberi nasehatnya.
"Kenapa memangnya?"
"Karmanya akan sangat buruk bagimu!" tunjuk Mars lalu berbalik lagi dan minum.
"Aidan, tak ada gunanya menyakiti wanita. Kamu hanya akan dihantui rasa bersalah dan itu takkan membuatmu tenang. Daripada membuat mereka membencimu lebih baik membuat mereka menyukaimu, mereka akan melakukan apapun untukmu," sambung Mars lagi santai sambil minum. Aidan tersenyum dan tak mau mengiyakan Mars
Tak cukup membuat Malikha kehilangan pekerjaan, kini Aidan mengancam kehidupan Malikha dengan membeli bangunan apartemen tempatnya tinggal. Malikha yang benar-benar kebingungan akhirnya terpaksa pergi dengan satu koper ditangannya mencari tempat tinggal lain.
Dengan wajah sedih, Malikha dan beberapa keluarga harus melihat bangunan apartemen tempat mereka tinggal diratakan oleh tanah. Aidan Caesar keluar dari mobil dengan angkuhnya dan menemui para keluarga yang menunggu kompensasi. Aidan memberi pada semua orang kecuali Malikha.
"Jadi kamu yang menghancurkan bangunan itu?" tanya Malikha setelah ia mengetahui jika Aidan adalah pembeli apartemen tersebut.
"Ya," jawab Aidan singkat masih memandang Malikha dari ujung rambut ke ujung kaki. Ia tampak sedikit lusuh dan pucat. Apa dia sudah makan? tanya Aidan dalam hatinya.
"Untuk apa?"
"Bersenang-senang ... lebih tepatnya untuk mengusirmu pergi," ucap Aidan menggeraskan rahangnya saat ia melihat Malikha. Gadis yang sangat ia benci.
"Apa salahku? Kenapa kamu terus berbuat seperti ini padaku!" tanya Malikha masih dengan nada lembut dengan mata berkaca-kaca.
"Banyak, wanita sepertimu seharusnya mati saja. Benalu, sampah, murahan ..." PLAK- Aidan ditampar dengan cepat oleh Malikha. Dia memandang Aidan tanpa rasa takut dan napas tersengal.
"Aku tidak mengenalmu, Tuan. Dan aku tidak merugikan hidupmu, kenapa kamu malah berbuat seperti ini padaku. Sekarang aku tidak punya tempat tinggal, kamu benar-benar jahat!" balas Malikha setengah menangis. Aidan yang ditampar seperti itu lalu berjalan mendekat dan berdiri mengintimidasi Malikha dengan wajah menyeramkan. Malikha sempat mundur dua langkah karena takut.
"Kamu membuat kesalahan besar dengan menamparku, Nona Malikha Swan. Tamparanmu, aku akan membuatmu membayar dengan darah. Ingat itu! Dan aku tidak perduli meski kamu mati di jalanan!" teriak Aidan di akhir kalimatnya. Ia langsung pergi dengan rasa marah berjalan cepat ke mobilnya. Aidan membanting pintu mobil dengan kasar sambil masih terengah menahan emosinya.
"Kurang ajar. Dia berani menamparku. Dia pikir dirinya siapa! Dasar perempuan sialan!"
Aidan tak ingin keluar lagi kemana pun dan berharap bisa beristirahat usai kejadian di depan bangunan apartemen Malikha tadi sore. Sesungguhnya ia tidak bahagia. Niatnya adalah membuat Malikha terus mendapatkan kemalangan tapi rasa puas itu tak kunjung muncul.“Pasti ada yang aneh padaku─” bunyi bel apartemen membuat Aidan harus mengurungkan niat untuk masuk kamar dan tidur. Ia membuka sendiri pintu apartemennya dan menemukan senyuman Jayden yang terluka."Ada apa denganmu?" tanya Aidan menyahut separuh memekik saat melihat keadaan Jayden yang terluka. Tanpa menunggu Jayden menjawab, Aidan langsung menarik lengan Jayden dan membawanya ke dalam apartemen mewahnya."Biasa, perkelahian antar geng," jawab Jayden singkat dan masuk ke apartemen Aidan seolah mereka baik-baik saja. Keduanya padahal belum berbicara satu sama lain usai bertengkar karena Malikha Swan. Akan tetapi sikap Aidan pun sama saja seperti kejadian sebelumnya."Siapa yang sudah menyerangmu?" tanya Aidan dengan wajah kesal
Hari ini, Mars King sedang mengendarai mobilnya menuju Estrela sendirian utnuk mengikuti sebuah konsorsium meeting yang melibatkan King Enterprise. Caleb sudah kembali ke LA sementara untuk mengurus King Enterprise di kantor pusatnya. Sedangkan Mars sedang di New York untuk mengurus beberapa proyek bersama Arjoona, Aidan dan Jayden yang tergabung dalam satu asosiasi pengusaha yang sama.Sebenarnya ia sudah sedikit terlambat karena Vanylla sedikit uring-uringan di rumah. Istrinya itu masih berusaha untuk segera hamil dan Mars mulai stress karena Vanylla yang terus memaksakan dirinya. Sambil menghela napas dan sesekali membunyikan klakson karena mobil di depannya tak bergerak, Mars tak sengaja menoleh ke samping kanan. Musim gugur akan berganti musim dingin sekarang. Beberapa gelandangan terlihat membakar beberapa barang di dalam drum untuk menghangatkan diri.Di sanalah Mars melihat Malikha Swan yang terlihat cukup lusuh dan sedang menghangatkan diri."Apa yang d
Malikha masih tertegun tak mengerti saat melihat Aidan memberikan sejumlah uang untuknya. Ia sampai mengernyitkan kening dan tak bicara namun juga tak bergerak. "Ambilah." Mars mengatakan sesuatu dan sedikit mengejutkan Malikha. Tapi Malikha kemudian menggeleng dan tak mau menerima. "Untuk apa? Aku tidak berhak atas kompensasi apapun. Apartemen itu bukan milikku." Malikha masih bersikeras tak mau mengambil. Itu membuat Aidan kesal lalu tangannya menarik sebelah tangan Malikha dan meletakkan uang itu di telapak tangannya. "Sewalah tempat dan belilah beberapa makanan untukmu. Di luar dingin, kamu bisa mati kedinginan nanti," ujar Aidan dengan nada simpati yang datar. Matanya terus memperhatikan Malikha dan ketika ia tak tahan ia cenderung membuang pandangannya ke arah lain. Mars sedikit menyengir dan memperhatikan sahabatnya itu mengatasi perasaannya sendiri. Malikha masih menggeleng dan hendak mengembalikan uang itu. "Ambil saja. Sebagai permintaan maa
"Lalu ... apa yang sedang kamu lakukan sekarang?" tanya Aidan ingin berbasa basi."Bicara denganmu." Malikha menjawab lalu menyengir sinis. Aidan menatapnya dengan ujung mata dan hembusan napas kesal."Kamu mengolokku ya!" sahut Aidan dengan ketus."Tidak. Bukannya kamu yang tanya aku sedang apa," balas Malikha dengan polosnya. Aidan sedikit memicingkan matanya lalu menoleh ke arah ranjang Malikha yang kecil."Bagaimana kamu bisa tidur di ranjang sekecil itu?" Aidan berdiri dari tempat duduknya lalu pindah ke tempat duduk Malikha. Aidan sedikit menggenjot dan tempat tidur langsung berbunyi. Malikha yang tak menyangka Aidan duduk di sana lantas sedikit memekik untuk melarang. Aidan tertegun saat ia pikir ia sudah merusak ranjang itu."Apa ranjang ini patah?" tanya Aidan dengan wajah kaget. Malikha meringis lalu menarik lengan Aidan agar berdiri saja."Ini ranjang bekas, tidak boleh digenjot atau aku harus memperbaikinya lagi," keluh Malikha separuh merengek pada Aidan sudah berdiri. Ai
Aidan tak ingin membuang waktunya untuk membuat Malikha menyukainya. Mungkin terlalu terburu-buru mengingat beberapa hari yang lalu ia sudah membuat Malikha kehilangan segalanya. Aidan masih berdiri di depan Malikha sambil menggenggam kedua tangannya dengan nafas beku dan senyuman hangat. "Aku pikir kamu terlalu terburu-buru, Tuan Orlando," ujar Malikha dengan nada lembut dan terus memandang Aidan. Aidan tersenyum lagi dan mengangguk. "Kamu tidak percaya padaku kan?" Malikha tak menjawab ia malah menundukkan pandangannya. 'Aku sudah membuat dia kehilangan semuanya, tentu saja ia takkan percaya padaku begitu saja. Apa yang aku pikirkan?' ujar batin Aidan masih terus memandang Malikha. "Aku mengerti jika kamu membutuhkan waktu untuk berpikir. Aku tidak keberatan. Tapi ... aku ingin kamu memberikan aku kesempatan untuk bisa dekat denganmu dan mengenalmu lebih jauh, bagaimana?" tanya Aidan masih belum menyerah. Malikha memang masih memandang curiga pada A
Aidan sudah pulang dari mengantar Malikha dan masih memakai jas mahalnya saat ia mengambil sebotol Whiskey lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas. Aidan membawa gelasnya lalu mulai minum sambil berdiri di depan salah satu jendela yang memisahkannya dengan pemandangan indah di Brooklyn. Tak lama kemudian, Glenn Matthews baru masuk beberapa saat kemudian setelah ia dipanggil oleh Aidan."Tuan memanggilku?" tanya Glenn begitu ia berhenti. Aidan kemudian berbalik dan mengangguk dengan ekspresi datar seperti biasa."Aku butuh bantuanmu. Belikan aku beberapa furniture baru serta penghangat ruangan." Glenn mengernyitkan keningnya pada permintaan Aidan tapi kemudian mengangguk."Jika aku boleh tau, untuk apa semua itu?""Apartemen Malikha. Aku rasa untuk saat ini aku tak bisa membuatnya pindah ke tempat yang lebih luas tapi aku bisa mengubah ruang mungilnya menjadi lebih layak dan bagus," jawab Aidan lalu duduk di sofanya setelah meletakkan gelas minuman. Glenn mengangguk mengerti.“Kenapa
"Kenapa kamu tidak memakai sarung tangan. Di luar cuaca semakin dingin." tanya Aidan dengan nada lembut."Aku hanya punya satu sarung tangan yang kamu berikan. Tapi itu sarung tangan bermerek mahal jadi aku tidak berani memakainya. Jika para pekerja lain melihat maka mereka akan berpikir jika aku memiliki banyak uang," jawab Malikha memberi alasannya. Aidan tersenyum sambil mendengus lalu mengangguk mengerti."Aku tidak akan memberikan barang-barang murah pada gadis yang aku sukai. Aku harap kamu mengerti," balas Aidan sedikit menyombongkan dirinya dan membuat Malikha kembali tertegun. Tapi Malikha tak mendengar seperti itu.‘Apa dia baru saja mengatakan jika dia menyukaiku?’ pikir Malikha dalam hatinya.Aidan tak lagi melepaskan tangan Malikha setelh mencoba membuatnya hangat. Malikha pun tak menarik tangannya kembali yang terus diusap oleh Aidan agar hangat. Mereka saling berpegangan tangan sampai mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah restoran berbintang empat Michelin di Manhat
Aidan sedang tersenyum mendengar reaksi Malikha dari balik telepon. Ia sudah bisa membayangkan seperti apa Malikha akan semakin berbunga-bunga dan luluh padanya. “Apa kamu menyukai kejutannya?” tanya Aidan begitu suara Malikha terdengar tercekat seakan ia ingin menangis. Malikha tak menjawab, ia sepertinya begitu syok. Aidan masih dengan ekspresi bahagianya karena berhasil membuat Malikha tercekat dan terdengar begitu bahagia. Seandainya saja Aidan bisa melakukannya 12 tahun lebih awal daripada hari ini, ia pasti akan jadi remaja paling bahagia saat ini. Tapi Aidan yang penuh dendam, nyatanya tetap menikmati rona di pipinya sendiri, saat gadis yang disukainya ternyata begitu menyukai kejutan yang ia berikan. Sementara di seberang sana, Malikha masih tertegun sambil mengigit bibir bawahnya. Ia harus menyaksikan sendiri seperti apa Aidan memberikan perhatiannya. Rasanya jantungnya sudah mau copot saat mendengar suara Aidan di sebuah ponsel. Sambil melihat ke se