Share

Cucu menantu kesayangan

Tara melengkapi dandannya dengan lipstik dengan warna senada bibirnya, penampilannya sederhana tetapi tetap terlihat anggun dan elegan. Nyonya Atikah sudah lama memperhatikan Tara, gadis yang baik, sopan, mandiri dan yang terpenting firasat neneknya Neo itu mengatakan jika hanya Tara saja yang bisa menjadi pendamping hidup Neo cucunya.

“Cepat, Tara, meskipun kau memantrai cermin besar itu kau akan tetap terlihat seperti kurcaci!” seru Neo tak sabar lagi menunggu Tara berdandan.

“Aku sudah selesai, Tuan Penggerutu! Buka matamu lebar-lebar, mana ada kurcaci secantik dan semanis aku!” balas Tara sengit.

“Ingat, aku ingin kita tampak normal dan nenek menganggap kita menerima pernikahan ini dengan baik-baik saja,” ucap Neo serius, dia mencengkram siku kiri Tara dengan kuat membuat langkah Tara tertahan tiba-tiba.

“Astaga, Neo! Kau mau membuatku terjatuh lagi hah? Iya aku tahu, aku ingat pesan sponsormu itu, berhenti mengingatkanku!” sentak Tara sambil mengusap siku kirinya dan berjalan mendahului Neo.

“Bagus, aku hanya khawatir otakmu yang kecil itu tidak bisa menjaga sikap di depan nenekku dan—“ Belum sempat Neo menyelesaikan ucapannya Tara berbalik dan sengaja menabrakkan tubuhnya kepada Neo,

“Dan itu berlaku juga buatmu, Neo, aku tidak akan mengampunimu jika kau melakukan kesalahan yang membuat ayahku mempertanyakan pernikahan ini, dasar kunyuk bawel, aku sangka kau laki-laki pendiam tidak banyak bicara ternyata kau cerewet seperti emak-emak!” rutuk Tara dengan mata membulat. Tara mendengkus dan berbalik, kali ini langkahnya panjang-panjang agar Neo tidak dekat-dekat berjalan dengannya. Neo terdengar berdecak kesal mendapat perlawanan sengit dari Tara, tetapi mereka harus gencatan senjata sejenak di hadapan Nyonya Atikah.

“Apa maksudnya membuat dia jatuh lagi? Kapan aku pernah membuatnya jatuh?” gumam Neo heran.

“Oooh … Sayang, kemarilah!” seru Nyonya Atikah yang berdiri menyambut kedatangan Tara dan Neo, tangannya terkembang lebar agar Tara masuk ke dalam pelukannya. Perempuan muda itu melawan rasa canggungnya untuk diperlakukan seramah itu oleh Nyonya Atikah. Namun, Tara bisa membaca ketulusan wanita tua ketika dahinya mendapat kecupan hangat dari neneknya Neo. Hal serupa dilakukannya kepada Neo sehingga memang nyonya Atikah tidak membedakan perlakuannya antara dirinya dan Neo.

“Bagaimana tidur kalian semalam? Apa tidur kalian nyenyak?” tanya nyonya Atikah sambil mempersilakan keduanya duduk. Sejenak Tara dan Neo saling melirik.

“Tentu, Nyonya, semalam adalah tidur yang terbaik dalam hidup kami,” jawab Tara percaya diri, kakinya segera disenggol Neo dan gerakan mata Neo memberi kode agar Tara jangan berlebihan. Mendengar jawaban Tara, nyonya Atikah tertawa, dia tahu jika malam pertama bagi pengantin baru tidak akan membuat tidur mereka sepulas itu.

“Jangan memanggilku ‘Nyonya’, aku adalah nenekmu juga, kau sudah menikah dengan Neo jadi kau bukan orang lain, yaa terlebih pada kenyataannya kau memang masih kerabat kami juga,” ujar nyonya Atikah setelah tawanya mereda.

“Engh … Iya, Nek, maaf,” ucap Tara pelan.

“Aku sudah mempersiapkan tiket bulan madu untuk kalian, kalian bisa berangkat kapan saja yang kalian suka dalam minggu ini,” perintah nyonya Atikah sambil menyodorkan amplop putih ke hadapan Neo dan Tara.

“Engh … Bulan madu? Ta-tapi menginap di hotel ini sudah cukup buat kami, Nek, iya ‘kan, Tara?” Kembali Neo menyenggol kaki Tara agar perempuan itu mendukung ucapannya.

“Ouh … Iya … Iya, Nek, hotel ini juga sudah seperti suasana bulan madu untuk kami,” tukas Tara sambil melihat ke arah Neo.

“Nenek sudah persiapkan bulan madu ini sudah jauh-jauh hari, kalian juga harus lebih mengenal dari dekat, menghabiskan waktu lebih banyak agar hubungan kalian semakin mesra,” desak nyonya Atikah dengan halus.

Neo tahu permintaan neneknya tidak bisa ditolak sehingga dia mengambil amplop putih itu dengan ucapan terima kasih yang pelan.

“Belakangan ini kalian sangat sibuk bekerja, sudah saat kalian liburan, manfaatkan bulan madu kalian ini sebaik mungkin untuk mendekatkan hati kalian. Nenek yakin jika pernikahan ini akan membawa kebahagiaan untuk kita semua,” kata nyonya Atikah dengan lembut. Diraihnya tangan Neo dan Tara, ditumpuknya telapak tangan Neo di atas tangan Tara. Binar bahagia penuh harap terlihat jelas di sorot mata tua nyonya Atikah. Perempuan tua itu berharap jika Tara mampu menyembuhkan luka hati Neo atas segala luka yang diterimanya, baik itu luka lama atas kematian orangtuanya juga luka yang ditorehkan Merlyn.

“Baik, Nek, kami akan pergi sesuai keinginan Nenek, tetapi aku mau ziarah ke makam papa dan mama sebelum berangkat,” timpal Neo yang tidak ingin mengecewakan neneknya.

“Tentu, ajak juga istrimu, sore nanti kita akan ke sana  bersama-sama,” jawab nyonya Atikah dengan perasaan lega.

Tidak banyak yang diketahui Tara tentang mendiang paman Malik dan bibi Rosa, seingat Tara paman Malik adalah pengusaha sukses dan sering masuk berita di televisi serta majalah dan koran. Mereka hanya punya anak  seorang saja yaitu Neo Qavi Malik yang kata mamanya Tara, untuk mendapatkan Neo suami istri itu harus berjuang dulu hingga memakai jalan bayi tabung. Saat itu proses bayi tabung sangat mahal tetapi usaha mereka berhasil sehingga mereka memiliki Neo. Kini Neo berada tepat di depan Tara tengah berlutut di hadapan makam kedua orangtuanya. Neo hanya diam saja memandangi nisan ayah dan ibunya setelah meletakkan bunga anyelir kesukaan ibunya.

Nyonya Atikah sudah lebih dulu kembali ke mobilnya beserta asistennya pak Danu juga beberapa orang pengawal pribadi. Neneknya Neo memberi waktu lebih lama untuk cucunya itu berada di pusara kedua orangtuanya.

“Pa, Ma, maafkan Neo jika sampai detik ini Neo belum berhasil menemukan siapa yang telah mencelakai kalian, tapi Neo janji Pa, Ma, Neo akan menemukannya. Neo tidak akan berhenti sampai semuanya terungkap,” desis Neo dengan suara bergetar, semua ucapan Neo barusan terdengar oleh Tara. Perempuan itu menarik napas, duka dalam hati Neo masih terasa berat dan itu bisa dirasakan Tara.

“Neo, sudah senja, ayo kita pulang,” ajak Tara yang sudah merasa pegal berdiri, dia mengguncang perlahan bahu Neo agar lelaki itu tersadar jika hari sudah mulai gelap. Neo pun berdiri dan mengibas celananya lalu mengajak Tara meninggalkan area pemakaman. Keduanya sepakat untuk gencatan senjata selama berada di area pemakaman. Tara merasa tidak nyaman, sedari tadi dia merasa jika ada yang mengawasi mereka. Berkali-kali Tara menoleh ke sana kemari untuk memastikan perasaannya itu.

Bukan hanya Tara, tetapi Neo juga merasakan jika ada yang sedang memperhatikan mereka. Neo bersikap waspada tetapi tetap tenang di hadapan Tara. Baik Tara, nyonya Atikah dan siapapun juga tidak boleh ada yang tahu jika pekerjaan Neo yang sesungguhnya penuh resiko dan taruhan nyawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status