Tidak suka perempuan, lalu untuk untuk apa dia membayarku mahal-mahal.
"Kamu tau, aku sama sekali tak terangsang melihatmu, sama sekali tak ada hasrat untuk menyentuhmu, aku akui kamu sangat cantik. Tapi, aku tak bisa melakukannya," jelasnya padaku."Papa, meminta asistennya untuk memesan seorang gadis untukku, dengan harapan aku bisa sembuh dari penyakitku," lanjutnya."Memangnya kamu sakit apa?" tanyaku kemudian. Tak memanggilnya dengan sebutan Tuan lagi."A ... aku gay," jawabnya."Gay, apa itu?" Pria muda itu menoleh kearahku."Kamu tak tau, gay?" tanyanya balik. Aku mengeleng."Aku menyukai sesama pria.""Hahh," seruku kaget. Aku tak habis pikir, pria suka pria, apa lagi ini."Su ... suka pria?" ulangku. Kenzi mengangguk.Dia mulai menceritakan, tentang jati dirinya. Anak kedua dari tiga bersaudara, dan dia anak lelaki satu-satunya. Keluarga pengusaha, aku tak paham dengan istilah yang dia gunakan. Karena salah pergaulan, berawal dari pengaruh sepupunya, yang sering mengajaknya ke komunitas penyuka sesama, akhirnya terbawa arus.Jujur aku yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama tak terlalu mengerti dengan apa yang dia ceritakan. Sewaktu sekolah, aku juga tergolong biasa saja. Kudengarkan dengan seksama walau aku tak memahaminya. Inti dari semua ceritanya, bisa kusimpulkan, dia tidak menyukai wanita."Kamu sendiri, kenapa sampai di sini?" tanyanya padaku.Aku mulai menceritakan kisahku, sebagai anak yang lahir tanpa mengenal siapa ayahku, dan ibuku yang tega meninggalkan diriku begitu saja. Semua kuceritakan dengan gamblang, tanpa air mata. Air mataku sudah lama habis, yang ada sekarang hanya keinginan lepas dari kemiskinan, bisa membalas budi pada Mama Ella dan memiliki barang -barang yang aku suka."Kamu tegar sekali," ucapnya mendengar ceritaku."Bukan tegar, aku sudah mati rasa," jawabku. Kesakitan yang teramat sakitlah, yang membuat jiwaku seakan mati, tak peduli apapun lagi."Benarkah kau sama sekali tak tertarik padaku," godaku padanya.Kembali kurapatkan tubuhku padanya. Kenzi sedikit condong kebelakang memberi jarak diantara tubuhku dengan tubuhnya. Entah aku merasa ini lucu sekali, tapi di satu sisi ada rasa peduli, merasa kasihan pada pemuda ini."Aku, juga ingin hidup normal. Tapi ini sulit sekali.""Apa kamu memiliki pacar pria juga?" Kenapa aku jadi begitu penasaran, hal ini mengundang banyak tanya dalam benakku."Baru dekat,""Sedekat apa?""Ya dekat, kenapa kepo sekali?"Aku memajukan bibirku, saat nada suaranya sedikit meninggi. Padahal banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya."Terus, sekarang kita ngapain?" tanyaku kemudian. Ah, melayang sudah impianku, kenapa dia yang dikirimkan padaku. Jangankan merengut kesucianku, memegangku saja dia tak berhasrat.Kenzi menoleh kearahku, sesaat netra kami saling menatap. Andai saja aku tak tau kenyataan tentangnya, mungkin akan ada debaran dan gejolak dalam dadaku, ditatap pria setampan dia.Aku membuang pandanganku, berdecak kesal. Sial ..."Kenapa?" tanyanya."Masih tanya kenapa?" sungutku."Iya, harusnya kamu senang, tak ada yang menjamah tubuhmu dengan hina, yang hanya ingin menyesap madumu saja.""Oh ya, tapi aku sebaliknya, aku tak senang. Mimpiku akan baju mahal, perhiasan, uang dan ponsel baru melayang sudah. Tak ada darah perawan, tak ada bayaran untukku, dipikir mereka aku tak becus melayanimu," ucapku kesal."Apakah begitu pentingnya uang bagimu, hingga rela kamu korbankan harga diri dan kesucianmu?"Mendengar kalimat itu, entah mengapa ada yang seperti menyayat hatiku, sakit."Tuan, Anda tak pernah merasahan hidup miskin bukan? tak pernah merasakan hari ini makan besok sampai lusa puasa. Pasti tak pernah, Anda dilahirkan di tengah keluarga kaya raya, sedangkan aku?"Aku tersenyum getir, kemudian tertawa, menertawakan ketidakberuntunganku dan segala kisah pahitku."Maaf, aku tak bermaksud membuatmu bersedih," ucapnya.Aku tertawa mendengarnya, tapi entah mengapa tiba-tiba ada bulir bening melucur di pipiku. Seumur hidupku, baru kali ini aku bicara dengan hati, dan menceritakan pada seseorang tentang sakit yang kurasakan.Tak pernah kusesali takdirku, aku percaya apapun yang aku dapatkan pasti memang sudah menjadi garis hidupku. Tapi aku tetaplah manusia biasa, dan hari ini baru kurasakan kesakitan yang selama ini kutahan.Selama ini aku tak punya teman, tak ada tempatku mencurahkan segala risau dalam hatiku. Aku sendiri, dan ditempa, dipaksa untuk menjadi tegar, menjadi kuat."Maafkan aku," ucapnya lagi, "Hai, apa yang kamu lakukan?""Kamu yang membuatku menangis, tangung jawab," ucapku sambil melanjutkan mengusap air mataku dengan kemejanya."Aku akan mengganti kerugianmu, tenang saja," ucapnya padaku.Senyumku langsung terbit seketika, tak sulit baginya yang seorang anak pengusaha untuk memberi ganti rugi padaku pastinya."Tapi, masalahnya, kalau aku tak berhasil menidurimu, aku dibuang dari keluargaku yang otomatis semua fasilitasku ditarik, dan aku menjadi gembel, lebih miskin dari dirimu."Senyumku langsung sirna seketika."Sekarang bantu aku memikirkan bagaimana caranya agar kita bisa memberikan bukti, kalau aku sudah menidurimu," ucapnya lagi."Kita coba lagi, siapa tau kamu sudah mulai tertarik padaku," ucapku padanya."Kalaupun aku tertarik padamu, aku tak akan tega melakukan hal itu."Ucapannya sebenarnya membuatku merasa malu, sebuah tamparan bagiku, yang menghinakan diriku sendiri. Sayangnya, itu hanya pikiran bersih yang hanya terkadang hadir. Selebihnya pikiranku diisi bagaiamana caranya agar aku tak hidup susah lagi."Aku ada ide," ucapku padanya.Aku bangun dari dudukku, dan mulai memutari kamar, sial tak ada satupun benda tajam yang bisa digunakan. Kubuka pintu kamar mandi, sama saja."Kamu cari apa?" tanyanya ikut berdiri, pemuda itu terlihat bingung."Sesuatu yang tajam, buat nyayat biar keluar darah," jelasku padanya."Yah, ketauanlah kalau lihat ada yang luka. Pasti papa meminta untuk mengecek semuanya," ucap Kenzi"Lalu?" tanyaku, Kenzi mengangkat pundaknya.Kami kembali duduk, bersisian di tepian ranjang, mencoba mencari kembali ide, bagaimana untuk mendapatkan darah tanpa terlihat luka. Aku menemukan ide kembali saat memainkan bibirku, kutoleh pria muda di sampingku dengan senyum menyeringai.Kenzi mengerutkan kening dan menyipitkan matanya melihat senyum anehku. Aku mulai merapat dan mendekatkan wajahku padanya, dia mencondongkan tubuhnya ke belakang. Kutangkup wajah itu dengan kedua tanganku, kutaut bibir itu."Auchh, gadis gila apa yang kamu lakukan?" Kenzi mendorongku, memegangi bibirnya."Cepetan," ucapku menunjuk
"Diamlah jangan bawel," ucapku. Dia merentangkan tangannya, kuberikan sebuah tanda merah di dadanya. Kembali kancing kutautkan setelahnya, senyum tipis menghias bibirku.Kami berdiri berhadapan, kenapa ada rasa sedih saat akan melepasnya. Rasa apa ini, aku sendiri tak memahaminya. Kupaksanan senyumku, walau ada yang perih dalam hatiku. Tapi kenapa ada sakit menyapa dada ini."Jaga diri ya," ucapnya. Kedua tanganya menyentuh bahuku, aku mengangguk pelan. Apa yang harus kujaga, aku menertawakan diriku sendiri."Jaga rahasia kita," ucapnya lagi. Kembali aku hanya sangup mengangguk."Apakah kita akan bertemu kembali suatu hari nanti?" tanyaku padanya."Entahlah, terima kasih untuk malam yang begitu mengesankankan, kita tim yang hebat." Pria itu tersenyum lebar."Terima kasih sudah mendengar kisahku," ucapku lagi.Pria itu mengangguk, mengusap rambutku pelan, berbalik badan berjalan kepintu."Selamat tinggal, terima kasih untuk semuanya," ucapnya menoleh kearahku, sesaat kemudian membuka p
Zanna, bersiaplah sayang. Bersahabatlah dengan takdirmu nikmati surga duniamu. Dengan begitu kau tak akan terluka, menikmati semua dengan ikhlas, tanpa rasa terpaksa.Pandanganku lepas keluar jendela mobil, jalanan sore ini nampak padat, mobil yang Pak Rahman kemudikan beberapa kali melambat dan berhenti. Ingin rasanya waktu berhenti juga dan aku tak harus kembali ke tempat itu lagi. Ah, kenapa rasa itu hadir lagi, rasa enggan. Zanna, apa yang kau risaukan sayang? Kehormatan? Sejak kapan orang miskin punya kehormatan. Siapa dirimu harus memikirkan kehormatan, yang perlu kau pikirkan bagaimana hari ini bisa makan, keluargamu punya tempat tinggal.Aku tersenyum getir bahkan diriku sendiri saja seolah telah hilang harapan. Sedikitpun tak kudapati sebuah sinar, yang bisa memberi petunjuk jalan agar lepas dari semua hal ini. Bahkan mimpi indah pun enggan menyapaku. Aku tak memiliki mimpi apapun sekarang.Kemarin anak terbuang ini masih bermimpi tentang banyak uang dan hidup senang. Tapi,
Yang pasti dia akan puas karena mendapatkan keperawananku, tapi apa ada jaminan dia tak mengatakan hal ini pada Mami Erna. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.Aku berjalan mondar mandir dalam kamar kecil itu, mencari ide untuk mengatasi masalah ini. Pandanganku tertuju pada pembalut di dalam kantong plastik yang tergantung di balik pintu. Kuambil dua buah dan memasukkan kedalam tas. Aku mengaku saja baru dapat haid setelah berhubungan dengan pria itu. Pasti darahnya sama saja bukan.Sepasang pakaian dalam juga aku masukkan dalam tas, bergegas aku keluar kamar dan kembali ke ruang Mami Erna sebelum dia memarahiku karena lama menunggu.Pria itu membukakan pintu, saat aku mengetuknya."Kak, langsung aku bawa, ya. Besok aku kembalikan," ucap pria itu menoleh ke dalam ruangan."Iya, sudah sana. Sehari saja, tak kau kembalikan Kakak suruh Jenny kesana," balas Mami Erni dari dalam ruangan.Pria itu tertawa terkekeh.Tangannya langsung menarikku, setelah menutup pintu ruang kerja Ma
"Kamu suka?" Bisiknya disela tautannya. Nafasnya mulai memburu, senyum terulas saat menyadari aku telah ikut tengelam dalam permainan kotor ini. Berlahan aku mulai membalasnya, bekal teori yang telah aku dapatkan mulai aku praktekkan. "Wauw, mulai nakal rupanya," ucapnya. Senyum tipis kuulas. Aku sudah pasrah, apa yang terjadi, terjadilah. Untuk apa bertahan, jelas-jelas aku sudah hina dan hitam.Suara dan getaran panggilan di ponselnya mengalihkan fokus kami. Terlihat kesal saat panggilan itu tak berhenti juga."Sial," umpatnya, kemudian mengangkat panggilan tersebut."Iya, honey," jawabnya dengan memaksa agar terdengar manis."Di depan?" Suaranya terdengar kanget."I ... iya aku bukain. Sebentar aku kebelet, sabar ya." ucap pria itu. Menutup pangilan dan membanting ponselnya di atas ranjang. Dia kemudian melihat kearahku. Wajahnya terlihat memerah. Dia merapikan baju dan rambutnya. Akupun juga merapikan pakaianku."Kamu sembunyi dulu, di kamar depan," perintahnya. Aku menyahut tas
"Maaf, aku sedang haid," ucapku setelah mendorongnya pelan. Mata pria itu menyipit seolah memastikan apa yang baru saja didengarnya."Maksudmu?""Aku datang bulan, sekarang," jawabku memberi penjelasan."Kau sedang tidak berbohong?" Pria itu sedikit memiringkan kepalanya, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang aku katakan."Untuk apa aku berbohong, lihat sendiri saja kalau tak percaya," balasku lagi kemudian.Kening kami masih beradu, desah nafas hangatnya masih terasa olehku. Aku akui, dia memiliki paras dan tubuh yang sempurna sebagai laki-laki. Pantas saja, para wanita menginginkannya. Sangat mabusiawi aku sebagai seorang perempuan juga merasakan ketertarikan seperti yang lainnya."Aku lapar, ayo pulang," ucapku lagi. Dia masih tetap memeluk tubuhku."Kau berhutang padaku." "Bukan salahku," jawabku membela diri."Aku tak peduli, ingat kamu berhutang padaku untuk satu malam," ucapnya lagiBibirnya kembali menautku, aku hanya membiarkan tak menolak tak juga membalasnya."Aku g
Dia sengaja tak menyapaku, pura-pura tak mengenalku. Kenapa ada perih dalam hatiku. Apa juga alasanku, untuk sakit hati. Ah rasa ini kenapa menyesakkan hati, ada apa ini?Aku menatap wajahku di cermin yang terpasang di dalam toilet, semua wanita pasti ingin terlahir dengan kecantikan alami, aku memilikinya. Namun, kecantikan ini pula yang akhirnya membawaku ke lembah hitam, dunia pelacu*an. Haruskah aku syukuri, atau sebaliknya aku sesali anugerah kecantikan dan tubuh indah ini. Ah, tak ada gunanya mendebat takdir, bersahabat dengannya akan lebih baik untukku. Aku mengambil bedak dari tasku, menyapukan tipis ke wajahku, lipstik berwarna lembut kuoleskan di bibir. Menyisir rambut dengan tanganku dan merapikan pakaianku.Langkahku terhenti di depan toilet, pria muda itu berdiri di sana. Senyumnya terulas saat melihatku, dia tak melupakanku. Aku mengigit bibirku, ada rasa lega dan bahagia menyeruak, tapi kenapa dadaku sesak. Sepertinya hati ini terharu, melihat pria muda itu tersenyum,
Aku berjalan pelan menuju kamarku, entah mengapa kamarku terpisah sendiri. Anak asuh Mami Erna yang lain ada di sebelah kanan bangunan. Mereka juga bisa bertegur sapa dengan yang lain. Di samping kamarku hanya ada dua kamar, yang di tempati penjaga dan pembantu di sini.Siang itu aku kembali membersihkan diri, kemudian merebahkan badanku di atas ranjang. Bayangan Kenzi tadi siang berdiam dalam benakku. Ah, ada sesuatu yang aku lupakan tapi apa. Sejenak aku mencari apa, oh ... nomor telepon Kenzi, aku melupakannya.Kenzi sudah menyimpan nomor teleponku, akankah dia menelponku. Kenapa aku berharap sekali, pria itu menghubungiku. Tak tau diri sekali diriku ini, siapalah aku ini berharap dia menghubungiku. Ingin tidur, kantuk sepertinya engan menyapapku. Aku pergi saja ke dapur biasanya Mba Mimi dan Mba Marni sedang masak untuk makan malam. Benar saja kedua orang itu tengah sibuk di dapur."Zanna, ngapain main di dapur?" tanya Mba Marni padaku."Mau bantulah Mba, kayak biasanya," jawabku