“Lizaa! Kamu ini masih mau tidur? Ayo bangun! Ini kan sekarang hari pertama kamu masuk sekolah. Bikin malu aja kalau telat! Udah sana!” Panggil seorang wanita paruh baya sambil menggoyang-goyangkan tubuh gadis yang tertidur di kasur.
“Haah? Apa?” Balas gadis itu pun dengan malas. Dia merasa kepalanya sedikit berat dan sedikit pusing.
“Kenapa Mama manggilnya aku pakai sebutan Liza?” Sanggahnya sambil menguap.
Gadis itu kebingungan dengan ucapannya sendiri. Menguap, pusing, kepala yang terasa berat. Ia cukup yakin kalau ia seharusnya sudah mati dan akhirnya bisa melihat malaikat bersayap cantik yang terbang dihadapannya.
Gadis yang dipanggil Liza itu perlahan membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Ia cukup yakin bahwa mau dilihat bagaimana pun ini jelas bukan kamarnya. Ia pun bertanya-tanya sebenarnya dia berada di mana.
“Lizaaa! Ayo keluar! Sarapan!” Sahut wanita itu tadi sekali lagi.
“Hah tunggu? Apa apa? Aku harus apa?” Ucap gadis itu kebingungan dalam hati.
Setelah berdiri dan berputar-putar, Liza-gadis itu memutuskan untuk mengikuti alurnya dulu. Ia yakin kalau hal yang terjadi sekarang ini tidak bisa segera ia cerna tepat setelah bangun tidur. Satu-satunya penjelasan masuk akal yang bisa ia simpulkan yaitu salah satu dari dua set ini adalah mimpi. Namun ia tidak tahu entah dirinya yang bunuh diri itu adalah mimpi, atau dirinya yang sekarang dan tadi dipanggil Liza ini adalah mimpi yang sebenarnya.
Liza keluar dari kamar dengan kepala yang celingak-celinguk seperti maling yang mengamati kondisi rumah target. Dia kemudian bertemu dengan dua orang yang sedang sarapan bersama. Sepertinya wanita itu adalah yang tadi membangunkannya, kemudian si pria yang berada di samping pasti adalah suaminya. Liza menarik kursi dengan canggung dan bergabung di meja makan.
“Permisi Om, Tante.” Gumamnya dengan nada yang sopan.
Liza kebingungan dengan ucapannya sendiri. Tapi dia berpikir mungkin ini bukan masalah yang harus dipikirkan, sebab dia juga tidak tahu harus memanggil mereka berdua dengan sebutan apa.
“Heh, Liza! Pagi-pagi begini kenapa bicaranya sudah ngelantur? Ayo cepat makannya, terus mandi, terus sekolah.” Tegur wanita itu dengan wajah serius. Liza merasa sedikit terindimidasi dengan suasani ini.
“Ah jangan gitu lah Bu! Paling hari pertama juga ndak ngapa-ngapain. Guru-gurunya juga pasti duduk nyantai di majelis.” Balas si suami menanggapi teguran istrinya itu dengan kesan membela Liza.
“Ya, Pak, tapi masa’ anak gadis apa apa lelet. Ini Liza udah SMA lho kok masih diingatkan dulu kalau mau ke sekolah aja.”
Liza memilih untuk makan dengan tergesa-gesa karena tidak mampu mengikuti pembicaraan ini. Dia khawatir kalau nanti ditanyai oleh pertanyaan yang membingungkan, pikirnya bisa gawat kalau dia menjawab pertayaan itu dengan aneh. Setelah selesai makan, Liza bergegas kembali ke kamar untuk memikirkan pelan-pelan apa yang sudah terjadi.
Kamar Liza cukup luas mengingat dia hanya tidur sendiri di sana, berukuran empat kali enam meter dengan dua lemari dan tempat tidur besar. Liza membuka isi lemari, memeriksa laci-laci, juga gantungan di dinding. Dia kemudian sadar kalau semua ini mirip dengan yang pernah dia lihat di majalah simpanan Mamanya edisi 2015 an. Baju-baju yang ia temukan di dalam lemari pun sepertinya pernah tren di sekitaran tahun itu. Liza juga menemukan sebuah dompet berisi karti keluarga dan foto-foto jadul.
“Eliza Anggraini”
”INI PERSIS KAYAK NAMANYA MAMA!” Teriaknya dalam hati.
“Eh tunggu! Gimana bisa? Bentar bentar? Aduh duh kepalaku pusing, mual, mules, muntaber. Toilet mana toilet?” Batinnya lagi.
Liza berlari ke luar kamar untuk buang air. Wanita yang tadi lagi-lagi menegurnya untuk tidak berlari di dalam rumah, juga jangan bercanda kalau tidak tahu di mana toilet rumah sendiri berada.
“Handuknya sudah di dalam. Sekalian mandi!” Teriak wanita itu lagi dari luar.
Liza pun patuh untuk mandi, setelah itu dia kembali ke kamar untuk berpakaian.
“Tadi wanita itu bilang kalau ini adalah hari pertama masuk sekolah, kalau tidak salah SMA. Putih abu mana putih abu?” Liza membongkar lemarinya dengan tergesa-gesa.
“Ah ini dia, ketemu!”
Dia segera mengenakan seragam dan pergi ke meja rias untuk melihat penampilannya sendiri. Dia pun menyadari kalau wajahnya yang sekarang terlihat sama persis dengan wajahnya dulu waktu SMA.
”Sepertinya aku juga tau gimana nanti jadinya kalau udah tua, tinggal ingat-ingat aja muka Mama kayak gimana.”
“Eh, ini tubuh Mama, kan?”
“Terus wanita tadi aku harus panggil apa? Ibuk? Nenek?” Tanyanya sendiri terus-menerus karena kebingungan.
“HEH LIZA! AYO CEPAT BERANGKAT! NANTI MACET!”
Liza terkejut mendengar teriakan Ibu-Nenek nya yang menggema. Dia segera bergegas memakai sepatu, meminta izin, lalu berlari mencari kereta cepat.
Ketika Liza berada di keramaian sekitar jalan raya, ia baru sadar kalau di masa ini sepertinya alat transportasi umum seperti kereta belum sebanyak di masa depan. Mamanya pernah bercerita kalau dia sering naik angkot, kendaraan kecil seperti bus kecil dengan warna yang mencolok.
Liza akhirnya naik ke salah satu angkot yang berhenti di bahu jalan, yang kemudian diberitahu seorang teman kalau itu disebut ngetem. Dia duduk di antara dua ibu-ibu yang kelihatannya akan pergi ke pasar.
Selama di dalam angkot, Liza masih terus saja bertanya kepada dirinya sendiri. Tentunya di dalam hati mengingat dia tidak ingin mati karena malu apabila curhatannya terdengar oleh banyak orang
“Setelah ini aku harus bagaimana? Apa aku harus terus menjalani kehidupan sebagai Mama? Atau apa aku lebih baik mengakhiri keanehan ini dengan kembali bunuh diri? Ini jelas bukan bagian dari kehidupan yang aku kenal. Aku tidak ingin merasakan sakit seperti yang pernah Mama rasanya dulu. Aku juga tidak ingin mengumpulkan dendam dan kegelisahan kepada keturunanku nanti mengenai drama kehidupan yang pahit. Aku tentu tidak ingin sampai jatuh cinta kepada lelaki brengsek itu.”
“Andai saja Ayah ada di sini.”
....
“Sebenarnya trik apa yang ia gunakan? Aku pernah baca soal ilmu pelet yang digunakan untuk menarik perhatian pasangan idaman di masa lalu. Kalau benar ia menggunakan pelet, aku akan menjotosnya sampai mampus, tidak akan kubiarkan dia sampai menggunakannya padaku.”
“Eh tunggu. Menggunakannya? Padaku?”
“Mungkin aku bisa saja terus hidup sebagai Mama. Aku bisa mencari ayah dan mencegah kematiannya. Aku juga bisa mencari bajingan itu dan balas dendam kepadanya. Setelah itu aku akan pikirkan cara untuk membiarkan Mama menikmati kehidupan bahagianya yang benar.”
“Mama terlalu polos, terlalu baik. Kebaikan itu merangkap jadi kelemahannya.”
“Dengan begini aku yakin kalau pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja.”
“Neng! Turun di mana?” tanya seorang supir angkot yang mengejutkan Liza dari lamunan panjangnya.
“Duh gawat! Gara-gara terlalu mikirin soal ke depannya harus apa, aku sampai lupa nanya Mama sekolah di mana.” Keluh Liza dalam hatinya lagi.“Eng, eh. Anu!”“Kiri, bang!” sahut seorang laki-laki dengan seragam putih abu yang sebelumnya duduk di depannya.“T-turun di sini juga, bang!” Ucapnya tergagap mengikutinya.Liza merasa malu dengan kelakuannya. Dia juga kebingungan dengan siapa laki-laki yang berada di berjalan di depannya. Laki-laki itu memakai seragam yang sama dengannya, tetapi dia tetap tidak yakin apakah mereka berdua sekolah di tempat yang sama.“Za! Dari tadi kenapa linglung nggak jelas sih? Abis kecopetan?” Tanya laki-laki itu memulai pembicaraan.“HAH APA IYA ENGGAK!” Balas Liza tergagap.“Hah apa?” Laki-laki itu kebingungan dengan jawaban Liza.Jangan coba bertanya soal Liza, dia sendiri jelas kebingungan dengan jawabannya sendi
Liza kehilangan akal sesaat karena Mamanya, bisa-bisanya jatuh cinta segampang itu.“Ah tapi, ya, tentu saja. Ini kan ‘Mama’?” Pikirnya kemudianPadahal sampai akhir hayat Liza pun harusnya dia sadar, karena masih melihat bagaimana Mamanya begitu mencintai Papa. Hati kecil Liza-Rani berharap agar Papanya ada di sini dan hadir untuk memeluknya. Liza berharap punya seseorang untuk berbagi cerita tentang permasalahan yang dia hadapi selama ini.Dulu sebelum Ayah meninggal, ia memanggil orang tuanya dengan sebutan Ayah dan Ibu. Tetapi setelah Ibu menikah lagi, suami barunya meminta Liza untuk memanggil mereka dengan sebutan Papa dan Mama. Gadis itu agak sedikit meragukan ingatannya sendiri, mengenai bagaimana dulu dia mau mau saja menuruti permintaan Papanya. Tetapi satu hal pasti, Papanya adalah pria yang brengsek.Bel pulang sekolah berbunyi, Liza pun memilih untuk pulang naik angkot seperti tadi pagi. Tetapi masalahnya saat pergi se
***Terlepas dari kejadian kemarin yang merupakan pengecualian khusus tidak rasional, Liza harusnya berangkat sekolah cukup awal hari ini. Karena sebenarnya dia itu bukanlah pribadi yang pemalas dan sering terlambat, Liza sendiri berpikir kalau dia harusnya bisa bangun lebih pagi dan membantu ibu-nenek memasak. Dia sudah bertahun-tahun menjadi wanita karir yang sekaligus merangkap jadi tulang punggung keluarga berusia dua puluh delapan tahun, kemudian mati dan berpindah tubuh menjadi Mama nya sendiri.Tetapi pagi ini Liza disibukkan untuk memilah-milah lajur mana yang harus aku ambil untuk menaklukan kehidupan Mama ini. Sebab siapa sangka kalau ternyata selama ini dia memiliki seorang kakak laki-laki-paman. Liza-Rani yang dulu hampir belum pernah datang ke rumah keluarga Mama atau Papa, tetapi cukup sering bermain ke rumah Ayah. Mungkin dulu beberapa kali pernah saat bayi, ketika Liza masih gadis kecil nan lugu, yang belum bisa mengingat banyak hal.Sebelum Mama
***“Kalian semua yang berada di sini memangnya sebegitu luang sampai tidak punya hal lain yang harus dikerjakan? Uwaah aku iri sekali, orang sibuk sepertiku benar-benar ingin sesekali merasakan kebebasan seperti kalian.”“Ck! Menyebalkan.”“Ini cewek mulutnya pedes juga, ya?”“Lo nggak usah kepedean, deh! Jijik tau!”Salah satu dari perempuan itu menarik rambut Liza, kemudian yang lainnya terlihat mengeluarkan sebuah gunting. Sepertinya mereka ingin menjahili Liza dengan menggunting beberapa helai-genggam rambutnya. Tetapi sebelum niat jahat mereka terlaksanakan, seseorang tiba-tiba muncul dan melompat sambil dikejar oleh dua orang perempuan— anggota mereka yang berjaga di depan pintu masuk gang sempit itu.“Za! Kenapa tiba-tiba duluan? Bukannya tadi kita udah janji mau makan dulu habis pulang sekolah tadi?” Tanyanya tiba-tiba.“Oh, iya! Kalian-kalian yang
***Langit yang mendung membuat cahaya matahari masuk menyelinap kecil-kecil dari balik awan. Pagi ini adalah salah satu pagi baru yang sedikit banyak menenangkan hati Liza, dia merasa sudah menyelesaikan permasalahan awalnya sebelum nanti dirinya-Mamanya mengalami hal yang tidak mengenakkan sebagai akibat dari pernikahannya dengan Randi-Papa. Liza memulai paginya dengan cukup awal hari ini, menyelesaikan cucian, membantu menyiapkan sarapan, juga berberes untuk dirinya sendiri.“Za, cuciannya taruh di ember aja!” Sahut Ibu-Neneknya mengingatkan. Tidak ada yang tahu kapan hujan akan turun, menjemurnya sekarang mungkin hanya akan menambah pekerjaan saja.“Iya, Bu!” Liza menuruti perkataan Ibunya, kemudian setelah sarapan dia segera mandi dan berpakaian.Sudah sekitar dua minggu sejak dia meminta putus dengan Randi. Bahkan untuk laki-laki bebal sepertinya, dihina dengan tiga paragraf berantai pasti sudah membuatnya kapok untuk mendeka
***Liza dan Anggi setuju untuk menginap di rumah Nabila karena besok juga merupakan hari libur. Liza meminta izin untuk menelepon rumahnya dan memberitahu soal ini, Ibunya yang mengangkat mengizinkannya untuk menginap. Kemudian di pagi hari, mereka bangun dan sarapan bersama. Liza masih sungkan memakai pakaian Nabila untuk dibawa berjalan ke rumah, tetapi dia juga tidak enak kalau mengembalikannya begitu saja.“Bajunya aku masukin tas, tapi nanti aku cuci, kok. Mungkin sore aku bakal mampir ke sini buat ngembaliinnya.” Ujar Liza.“Ya ampun nggak apa apa kali, Za. Anggi aja pakai sampai pulang, tuh.” Balas Nabila sambil menunjuk Anggi.“Hehehehe.” Anak yang ditunjuk itu hanya cengengesan dan memiringkan kepalanya. “Nggak apa apa kali, Za. Jangan malu beda dikit,” jelasnya pada Liza.“Nggak, deh.”Liza naik angkot bersama dengan Anggi setelah diantar Nabila ke jalan raya. Liza juga s
“Kak, jadi nggak nganterin aku nya ke rumahnya Nabila?”“Yaudah, ayok!”Liza naik ke motor diboncengi kakaknya untuk pergi ke rumah Nabila. Sepertinya entah di dunia ini atau dunia sebelumnya, Liza masih belum pernah sama sekali belajar membawa motor. Setelah melewati beberapa persimpangan, juga berhenti sekali karena Liza memaksa ingin mencoba bakso bakar yang asapnya memenuhi sepanjang trotoar, akhirnya mereka sampai di rumah Nabila. Liza turun dari motor dan memanggil Nabila dari luar pagar.“Nabilaaa! Ini aku Liza!”“Iyaaaa! Buka aja langsung pintu pagarnya.”Liza yang baru mendengar teriakan seseorang dari dalam rumah segera menoleh untuk memberitahu kakaknya kalau motornya lebih baik dimasukkan ke dalam saja. Tetapi tanpa sungkan ternyata kakaknya sudah lebih dulu membuka pagar dan mendorong motornya maju ke depan. Kemudian menutup pintu dan duduk di kursi depan dengan santainya. Liza yang melih
***“Dek, dek! Boleh banget nih dilihat-lihat dulu selebarannya! Nanti kami mau mampir ke kelas kalian, lho! Ditunggu, yaa!”Beberapa anak dari anggota inti berbagai klub terlihat sibuk mengelilingi lorong sekolah, mereka juga mengunjungi berbagai tempat di mana anak-anak baru berkumpul. Hari ini adalah hari pengenalan ekstra kurikuler, dengan kata lain hari berburu anggota baru.Sekolah tempat Liza dan teman-temannya belajar ini bisa dibilang adalah satu dari beberapa sekolah yang sangat diperhatikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Membuat urusan biaya dan jaminan pendidikannya begitu terkendali dan efisien.Permasalahan soal dana pemasukan klub bahkan tidak menjadi perkara yang memusingkan. Anggota-anggota yang tergabung tidak perlu susah-susah mengutip dan mendatai satu persatu siapa saja yang belum membayar iuran rutin. Sebab di sekolah ini, semua klub yang sudah terdaftar akan mendapatkan suntikan dana dari sekolah. Bisa saja disebut se