Dekorasi sederhana tak mengurangi suasana khidmat di hari nan sakral ini. Selepas bakda Jumat semua keluarga inti pihak kedua mempelai sudah berada di ruangan yang tak begitu besar di kampung halaman Laniara. Hari ini adalah hari dimana Sanjaya dan Laniara akan mengikat suci melalui ikral pernikahan.Sanjaya tampak tampan memakai stelan pengantin pria berwarna krem lengkap dengan pecinya tentu dengan warna senada, gurat wajahnya agak tegang apalagi sudah duduk di berhadapan dengan Pak Yahya yang hanya dibatasi sebuah meja berbentuk persegi dan juga telah siap untuk menjabat tangan sang calon mertua. Meja pun dilampisi dengan kain beludru putih tak lupa beberapa taburan bunga mawar putih turut menghiasi meja yang akan menjadi salah satu saksi bisu pernikahan mereka.Namun, ada yang janggal, di antara yang hadir tidak tampak papa serta adik dari Sanjaya. Hanya Mama dan beberapa kerabat inti saja yang turut hadir. Kemana mereka? Bukankah harusnya ada dalam acara yang paling bersejarah i
Malam ini terasa begitu panjang, mataku enggan terlelap, sedangkan Mas Sanjaya sangat pulas dalam pergantian malam pertama kami sebagai sepasang suami istri. Aku tahu dia lebih lelah dari segala hal. Sekalipun aku sedang kedatangan tamu bulanan, akan tetapi aku masih bisa memanjakan suami dengan cara lain, tentunya masih dalam syariat islam.Perjalanan hidup masa depan memang tidak ada yang tahu, sempat menghindar, bahkan tak berkomunikasi dengan Sanjaya sama sekali pasca sidang keduaku dengan Mas Arfan. Namun, atas takdir-Nya, aku dan Mas Sanjaya dipersatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pada akhirnya bukan tanpa alasan jika pada akhirnya aku dengan mantap membuka hati. Aku tak sengaja menemukan bahkan saking penasarannya aku membaca buku diary Mama. Ada satu halaman diary Mama yang membuat hatiku meleburkan rasa trauma yang masih membekas."Ya Allah, jika umurku tak panjang berikanlah jodoh yang baik serta bisa membahagiakan anakku dengan segala kekurangan yang ada pada dirinya. Bu
"Pa, kamu apa-apaan sih. Menantu sopan begitu ditanggapin kasar," hardik Rita pada suaminya-Santoso. Mereka berpapasan di ruang tengah kamar Santoso berada di dekat ruang keluarga masih di lantai satu."Menantu? Aku nggak merasa punya menantu, Mah. Kalau kamu, ya, terserah. Bagiku, calon menantuku cuma Kartika!" serangnya tak mau kalah, dia pun lagi menepis tangan istrinya yang ingin meraih tas kerja yang ada di dalam genggaman tangan sebelah kanannya. Dia begitu marah."Ya Allah, Pa. Sekarang takdir Sanjaya udah sama Laniara, kita sebagai orang tua tugasnya mendoakan agar rumah tangga mereka sakinah, mawaddah, dan warahmah.""Sudah lah, Ma. Papa males bahas soal itu," jawabnya sambil berlalu.Rita geleng-geleng kepala melihat sifat suaminya yang keras, mengurut dada untuk lebih bersabar menghadapi lelaki yang sudah dia temani selama tiga puluh lima tahun itu. Dia memang sudah kebal menghadapi sikap Santoso. Didikan orang tua yang keras membuat Santoso mempunyai watak yang keras juga
Rita bertolak ke kamarnya mengambil gawai pipih yang tergeletak manis di atas nakas. Dia meng-klik icon telepon, lalu memencet satu nama yang ada dalam panggilannya itu, Sanjaya.Mondar-mandir seperti setrikaan di sisi ranjang, entah kenapa tiba-tiba dia bertingkah seperti itu. Sepertinya mencurigakan sekali, apalagi setelah dia bertemu dengan Bobby. Apa rencana Rita sebenarnya.Panggilan pertama tidak di angkat Sanjaya, dia mencoba memanggil sekali lagi, dan akhirnya tersambung."Assalamu'alaikum, San. Kamu dimana? Kok lama ngangkat telepon Mama?""Wa'alaikumsalam, Ma. Ini lagi berenti di pinggir jalan gara-gara terasa getaran handphone. Ada apa nelpon, Ma? Laniara nggak apa-apa 'kan?" Nada suara Sanjaya terdengar panik."Hmm ... nanti aja pas kamu pulang Mama ceritain, San. Gini, ntar kalau udah selesai nyari kerjaannya cari rumah kontrakan ya, San! Cukup tiga kamar aja, nggak usah terlalu gede," pinta Rita dengan napas yang sedikit tersengal-sengal."Hah ... rumah kontrakan, Ma? Si
"Mas ..." aku mendekati Mas Sanjaya, lalu memeluknya dengan sangat erat. Air mataku luruh sejadi-jadinya, mengusap punggungku perlahan seraya menenangkan. Dia tak salah, benar dia tak salah. Aku yang keliru menilai suamiku sendiri. Dibenakku tadi terbayang akan masa lalu yang pernah mengecap pahit sekian tahun.Meskipun kutahu, Mas Sanjaya berbohong demi maksud lain, tapi aku bisa menerima atas kebohongannya itu. Berharap ini untuk pertama dan terakhir kalinya dia berbohong."Maafkan aku, Mas. Sudah suudzon terlalu jauh padamu, kupikir nasibku sekarang akan sama kembali dengan masa lalu," lirihku disela tangisan yang masih menjadi-jadi.Dia melepaskan pelukanku perlahan dan menyeka bulir bening yang masih berlomba jatuh di pipiku meski tak seluruh tadi. Kulihat matanya juga merah dan basah. Aku pun melakukan hal yang sama, menyeka air mata yang menggenang di bola matanya."Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sayang. Kamu tidak salah, aku yang seharusnya jujur sedari awal. Namun apa dayaku
Santoso tertunduk tak berdaya dengan tangan yang menopang kepalanya, dia duduk di kursi sisi kanan ruang tunggu kamar operasi. Pun Kartika dia duduk sembari memainkan gadgetnya, duduk di kursi ruang tunggu sisi kiri, sesekali tampak merintih kesakitan memegang kepalanya yang diperban. Ada gurat kecemasan di wajahnya dan juga ada beberapa titik luka memar, seperti di sudut bibir sebelah kiri, dan di bagian mata sebelah kanan sejajar dengan letak perban yang menempel di keningnya.Rita berjalan setengah berlari mendekat ke arah Santoso, matanya sembab, pun Laniara mengikuti dengan cepat langkah sang mertua yang baru keluar dari lift. Tidak ada yang lain, selain mereka berempat."Pa ... gimana Bobby?" tanya Rita panik dengan dada baik turun, dia tersengal-sengal memecahkan suasana ruang tunggu yang sunyi sepi. Santoso yang tadi tertunduk spontan berdiri, tapi matanya begitu nyalang menatap sang istri."Kamu kemana aja, lama banget!" bisiknya dengan gigi yang ikut bertaut, mungkin dia mer
PoV SantosoDadaku berdesir kencang ketika melihat seorang dokter perempuan keluar dari ruang operasi. Parasnya yang ayu tak mampu membuat jantungku berdetak stabil, malah semakin berdetak tak karuan. Bibirnya yang tipis tak mengulas senyum sedikitpun, tak ada isyarat kelegaan yang terlihat bahwa operasi yang dia tangani kali ini berjalan dengan baik dan sesuai tujuan yang sempurna untuk pasien. Tak pernah seumur hidup aku merasakan kekacauan hati seperti ini.Tapi beberapa detik kemudian, mata kami beradu pandang dia berusaha mengulas senyum berat padaku, aku bisa membaca dengan baik bahasa tubuhnya. Mungkin dokter ini berpikir ulasan senyum yang dia suguhkan mampu menepis kejanggalan yang ada. Tidak! Malah aku semakin yakin, pasti ada yang tidak beres terjadi pada Bobby. Awas saja kalau informasi yang dia berikan adalah kabar buruk bagiku!Aku, Rita, Sanjaya dan dia. Iya, dia. Dia orang asing yang masuk ke rumahku. Belum ada kata sudi dariku, mengakui sosoknya sebagai menantu di mat
Kejadian selepas Santoso membentak Laniara ....Sanjaya hanya melihat Santoso dan Rita dari sudut matanya ketika masuk ke dalam lift. Gurat amarah yang membuncah masih bersarang, tak kuasa dia lepaskan mengingat sosok itu adalah lelaki yang sudah berjasa di hidupnya selama ini sekalipun sikap Santoso sungguh merobek separuh hatinya.Sanjaya memeluk Laniara, sembari berbisik, "sabar ya, Sayang." Dengan penuh cinta berulang kali dia mengecup puncak kepala sang istri. Sedangkan Laniara masih gugup tapi tak ada air mata yang menggenangi bola mata indahnya itu.Laniara melepaskan pelukan Sanjaya perlahan. Dia menatap dalam manik mata suaminya itu."Harusnya kamu tidak membentak Papa, Mas. Aku tidak mau kamu berkata kasar hanya karena ingin membelaku." Dengan lirih Laniara berucap."Tapi papaku udah keterlaluan membentak kamu, aku mana sanggup melihat kamu dibentak seperti itu." Sanjaya memegang kedua pipi sang istri matanya tampak berkaca-kaca."Iya, Mas. Mungkin Papa tak bermaksud membent