Ibarat pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat ada saatnya jatuh juga. Pun manusia, sepandai-pandainya menyimpan bangkai lambat laun akan tercium juga. Hal itulah yang terjadi di rumah tangga Laniara. Arfan tak lebih dari lelaki murahan pada umumnya. Perbuatan yang tak berperikemanusiaan itupun
View MorePERCERAIAN YANG TERINDAH
Part 1"Lan ... Mas bisa jelasin apa yang terjadi di kamar hotel tadi." Mas Arfan memegang tanganku. Namun, kulepaskan dengan pelan. Kancing baju kemeja merah maroon tampak terpasang tidak sesuai pada mestinya."Tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi, Mas." Kutatap netranya yang memerah mungkin menyesal setelah aku memergokinya sedang 'bermain' di kamar hotel. Tak lupa kuukir senyum manis pada Mas Arfan - lelaki yang sudah lima tahun menikahiku, akan tetapi belum dikaruniai buah hati."Kamu serius, Lan? Kamu tidak marah sama Mas?" tanyanya penuh selidik, seolah tak yakin dengan jawabanku tadi. Dia memutar tubuhku hingga kini aku berhadapan dengan lelaki berambut hitam pekat nan ikal itu."Tidak, Mas," jawabku sigap tetap dengan mengukir senyum. Dan, kembali membersihkan meja makan lepas pakai tadi. "Mas, janji sama kamu, Lan. Mas akan berubah dan tidak akan berhubungan lagi dengan Angel. Maaf ya, Mas sudah khilaf. Mas sadar istri sebaik kamu tidak pantas Mas zolimi.""Apa yang perlu kamu sesali, Mas? Bukankah menyenangkan kegiatan di atas ranjang tadi? Kau begitu menikmatinya, bukan?" Aku bertolak ke dapur hendak mencuci piring bekas pakai makan malam bersama ibu mertua dan iparku yang sudah duluan masuk ke kamar masing-masing sehabis makan tadi."Ini ada apa sih ribut-ribut. Kamu juga Arfan, tidak perlu minta maaf pada istrimu yang tidak bisa memberikan keturunan itu. Baguslah kalau dia sudah tahu, jadi tidak ada yang perlu ditutupi lagi. Segeralah kamu menikahi, Angel!" ucap Mama. Aku mendengar dengar jelas apa yang dilontarkan dari mulut wanita yang melahirkan Mas Arfan tiga puluh lima tahun yang lalu."Ma!" sergah Mas Arfan."Apa? Memang begitu 'kan kenyataannya." Mama menyerang Mas Arfan balik."Mas Arfan, apaan sih teriak-teriak! Nggak malu apa kedengaran sama tetangga. Gara-gara perempuan yang nggak bisa memberikan Mas anak itu, Mas tega membentak mama," timbrung Ayudia -- adik Mas Arfan."Mama mu benar, Mas. Nikahi lah kekasihmu itu, agar hidupmu tidak dibalut dengan zina berkepanjangan. Sudah lah, tidak perlu berdebat lagi, lalukan apa yang diminta mama dan adikmu," ujarku sembari berlalu melewati Mas Arfan yang masih mematung di dekat meja makan. Dan menatap mama dan Ayudia bergantian yang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya.Sorot mata kedua perempuan yang sangat berarti bagi Mas Arfan memang sama sekali tak bersahabat menatapku, tentu ini bukan kali pertama."Nah gitu, dong. Jadi perempuan kudu tahu diri. Masa selama lima tahun keguguran mulu!" tambah Mama. Namun, aku enggan menanggapinya dan tetap melanjutkan langkah."Tidak, Lan. Aku tidak akan menikahi Angel. Aku hanya ingin memiliki satu istri, yaitu kamu." Dia mengikutiku dari belakang sewaktu masuk ke dalam kamar. Memegang pundakku, akan tetapi kutepis pelan."Jangan berbohong padaku, Mas. Aku tahu, dari lubuk hatimu terdalam pasti kamu juga ingin mempunyai keturunan. Dan ... benar apa yang dikatakan mama, tak perlu berharap banyak dariku, istri yang selalu keguguran.""Tapi ... Lan?"Aku menatapnya, "mandilah! Aku tidak ingin tidur dengan tubuhmu yang belum suci."💔💔💔"Halo, Vi. Apa kabar? Tumben nelfon?" sapaku ketika telfon tersambung dengan Vita temanku di kantor lama sebelum memutuskan resign tiga tahun belakang. Aku yang tengah menyetrika pakaian terhenti seketika mendengar dering ponsel."Enggak, kamu dimana? Aku lagi di hotel Brisma, barusan lihat Mas Arfan, suami kamu berduaan dengan perempuan. Kamu segera ke sini ya! Aku takutnya salah ngasih info dan takut juga menyebar fitnah.""Apa? Kamu serius? Atau jangan-jangan salah orang, Vi? Atau mungkin rekan kerjanya Mas Arfan kali, Vi. Biasanya Mas Arfan memang biasa meeting di hotel, Vi," sahutku tak percaya."Duh, Lan. Mana ada rekan kerja kalau jalan rangkulan, pelukan gitu. Makanya kamu ke sini saja, udah dulu ya, aku cuma nyampein itu aja."Sambungan telepon dengan Vita terputus, aku masih mematung. Rasanya tidak percaya akan apa yang dikatakan Vita, tetapi ..."Ma, aku pergi dulu ya mau ke supermarket," pamitku pada mama mertua yang sedang menonton televisi di ruang tengah sendirian. Aku terpaksa berbohong, takutnya nanti malah mama menghubungi anaknya, dan bisa-bisa aku gagal membuktikan ucapan Vita."Halah ... bilang aja mau shopping. Kamu keenakan jadi istri, Lan. Udah nggak kerja, nggak bisa punya anak, bisanya cuma ngabisin uang Arfan saja. Jadi istri itu kudu tahu diri dikit.""Iya, Ma," jawabku pelan dan berlalu. Ini bukan kali pertama mama mertua berceloteh seperti itu, mungkin sudah ratusan bahkan ribuan kali. Terlebih sejak aku memutuskan untuk resign dari pekerjaanku sebagai sekretaris tiga tahun lalu karena ingin program punya anak.Kulaju mobil sedan hitam metalik dengan kecepatan sedang menuju hotel yang alamatnya sudah dikirim Vita via W******p padaku. Tadinya aku sempat tak ingin membuktikan omongan Vita tadi, namun demi menjawab semua kecurigaanku beberapa bulan ini. Tidak ada salahnya aku bergerak dan melihat sendiri apakah benar yang dikatakan Vita.Setelah memarkir mobil, sasaranku menemui receptionist terlebih dahulu. "Mbak, apakah di sini ada tamu yang bernama Bapak Arfan Broto?" tanyaku pada perempuan berbalut busana dongker itu."Sebentar, Bu. Saya cari dulu." Dia langsung memainkan keyboardnya."Ada, Bu. Memangnya ada perlu apa, Bu?""Saya boleh minta kunci serepnya? Dia suami saya, yang tengah bersama dengan perempuan lain di dalam kamar.""Tapi ... Bu. Saya tidak bisa menyerahkannya, ini privasi tamu, dan -,""Mbak mau hotel ini saya viralkan di sosial media karena menampung pasangan mesum?" potongku dengan nada mengancam.Dengan gemetar dia langsung menyerahkan kunci berbentuk ATM itu padaku. Mungkin takut.Memasuki lift menuju lantai lima dan berjalan di lorong-lorong kamar, suasana sepi mungkin karena aku datang di jam kerja. Aku mengatur napas dan beristighfar, meminta pada sang Pemilik agar dikuatkan jika memang hal terburuk yang aku lihat. Napasku mulai tak beraturan, tubuh semakin gemetar, jantung memompa darah sudah tak normal lagi.Menempelkan kartu dan menekan handle pelan, aku berusaha agar tidak menimbulkan bunyi. Kret!Rupanya pintu mengeluarkan bunyi ketika aku membukanya. Dan ... seketika netraku memanas menyaksikan mereka yang sedang 'bergelut' di atas ranjang. Aku berusaha agar air mata tak tumpah. Dua pasang mata itu terperangah, aktivitas yang mengasyikkan itu seketika terhenti, dan menatapku yang berdiri di ambang pintu."Laniara ..." Mas Arfan dan Angel serentak menyebut namaku.Dia, Angel. Aku tahu betul siapa wanita yang tengah membersamai suamiku itu.Mereka kelimpungan saat tertangkap basah, kocar-kacir mengambil pakaian yang berserakan di lantai kamar."Tidak perlu kocar-kacir seperti itu, Mas. Lanjutkan saja aktivitas yang mengasyikkan bagimu itu!" Kutinggalkan mereka dengan pintu menganga."Lan ... tunggu! Mas bisa jelasin semuanya ..." sorak Mas Arfan yang masih terdengar olehku walaupun samar. Aku mempercepat jalanku, agar lelaki yang masih berstatus suami itu tidak bisa mengejarku.Tidak perlu dia melihat aku menangis bahkan rapuh akan sakit yang sudah dia goreskan barusan.PoV SantosoSelepas Subuh aku sudah bersiap, tentu saja ingin menyelidik perempuan itu. Aku yakin dia pasti akan berbuat hal yang tidak-tidak. Dan, akan kubuktikan pada Sanjaya bahwa dia bukan perempuan yang tepat menjadi istri serta menantu di rumah ini.Langit pekat mulai beranjak perlahan, kukemudikan mobil dengan laju kecepatan sedang. Semoga saja perempuan itu masih ada di wisma. Untung juga tadi ketika aku berpamitan sama Sanjaya dia tidak banyak bertanya dan semoga saja dia tidak menaruh curiga.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, akhirnya aku tiba di wisma tempat Laniara menginap. Kutepikan mobil beberapa sentimeter dari gerbang, kebetulan di tempat aku memarkir langsung tertuju pada pintu masuk utama wisma. Ini sangat membantuku untuk melihat siapa saja yang keluar masuk.Tepat pukul 07. 00 pagi, targetku keluar dari persembunyiannya. Pasti hari ini ada misi buruk yang akan dia lakukan, kalau tidak mengapa dua musti pergi dari rumah. Jikalau dia benar-benar men
Santoso menaruh kembali botol yang berisikan air minum di kursi tunggu ruang ICU. Selain membawa bekal makanan, Rita juga membawa dua botol minum berukuran sedang serta yang kecil. Sedang berisi air mineral dan yang kecil berisi kopi yang sudah mulai mendingin, tentunya untuk suaminya tercinta."Kenapa Papa jadi salah tingkah? Apa benar dugaan Mama?" tanya Rita penuh selidik.Derap langkah dr. Laila dan dr. Vincen semakin mendekati pintu ruang ICU. Bobby ditangani oleh dua orang dokter saraf, yang mana sebelumnya ditindak sama dr. Laila, tapi selama Bobby di ICU dr. Vincen pun turut turun tangan. Karena dr. Vincen memang bertugas di ruangan ICU serta beberapa ruangan lainnya.Fokus mereka menjadi buyar yang tadinya tertuju pada Santoso, kini beralih pada dua dokter yang semakin mendekati mereka."Nanti bakal Papa ceritain, itu dokter yang nanganin Bobby sudah datang," bisiknya."Itu 'kan dr. Laila, dokter yang pernah kamu maki-maki, Pa.""Sstttt ... iya," sahut Santoso kesal.Rita, San
Kembali ke PoV Laniara ya ..."Terus selama di sana kamu nginap di mana?" tanya Mama Rita sembari melepaskan pelukan perlahan."Tidak jauh dari pemukiman itu ada wisma, di situ aku menginap, Ma."Pakaian kamu bagaimana, Sayang? Bahkan pas pulang tadi kamu tidak membawa apapun dari rumah."Aku menatap kedua manik mata Mas Sanjaya, ada rasa bersalah saat aku memutuskan pergi tanpa minta persetujuannya terlebih dahulu."Mas ... sebenarnya aku ingin cerita sama kamu soal niat aku ini. Cuma ketika melihat Mama terbaring lemah tidak berdaya kuputuskan untuk ngelakuinnya sendiri tanpa melibatkan kamu. Dan ... kalau aku jujur, pasti kamu akan melarang aku, pasti kamu akan selalu bilang ini semua ujian. Lalu, aku akan larut dalam rasa bersalahku ketika mata ini menatap Mama yang lemah dan telinga ini akan mendengar soal Bobby yang belum ada perkembangannya. Dan, semua pakaian ku masih berada di wisma, Mas."Mata Mas Sanjaya makin berkaca-kaca."Aku akan semakin merasa bersalah tanpa melakukan
Bobby masih terbaring lemas sembari bangun dari koma selama lebih kurang dua Minggu lamanya."Permisi, Mbak," sapa Santoso yang lebih dulu ingin masuk ke ruangan Bobby."Iya, Pak. Jangan lupa cuci tangan dan pakai baju ini dulu, ya!" ucap Sonia, perawat ruang ICU yang berjaga shift malam."Iya, Mbak. Bobby beneran baru sadar, Mbak?""Iya, Pak. Tak lama Bobby sadar, saya langsung menghibungi Bapak. Alhamdulillah banget ya, Pak. Bobby bisa sadar secepatnya ini. Bener-bener takdir Allah itu tak disangka-sangka. Soalnya saya sangat jarang menemukan pasien yang sadar secepat ini sadar dari koma, Pak.""Benarkah, Mbak?" tanya Santoso tidak percaya. Hal yang wajar jikalau Santoso tercengang seperti itu, mengingat belum ada keluarganya yang pernah koma."Iya, Pak. Selama saya mengabdi kurang lebih sepuluh tahun, ini sungguh keajaiban sang Pencipta. Apalagi Bobby mengalami luka cukup parah ditambah kondisi tubuhnya sudah lemah." Ya wajar saja, karena Bobby anak yang punya pergaulan bebas entah
"Gimana, Mama saya, Dok?" tanyaku pada seorang dokter yang berdiri di sisi tempat tidur Mama."Kita berbicara di ruangan saya saja, Pak," jawabnya. Membuat rongga dadaku semakin sempit."Baik, Dokter."Aku mengekori sang dokter menuju ruangannya. Papa? Dia tidak ikut. Aku pun juga tidak menawarinya untuk ikut dengan ku ataupun meminta Papa untuk tegap berada di dekat Mama."Jadi bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyaku ketika aku sudah dipersilakan duduk oleh dr. Laura di ruangannya yang tidak jauh dari ruangan IGD."Apa Mama, Bapak sedang lagi dalam masalah besar? Tampaknya beliau depresi berat.""Saya tidak tahu pasti, Dok. Tapi yang jelas, sekarang adik saya masih belum sadar pasca operasi kemarin."Dr. Laura mengangguk paham."Untuk sementara waktu, mamanya dirawat di sini dulu sampai benar-benar pulih. Karena obat penenang yang dia telan melebihi dosis dan itu juga yang menyebabkan pada akhirnya beliau pingsan.""Jadi, Mama minum obat penenang, Dok? Obat yang tadi itu, penenang
PoV SanjayaAku dan Laniara terbelalak melihat Mama tergeletak di lantai. Masih memakai pakaian semalam. Serentak aku dan istri berjalan setengah berlari menghampiri Mama. Kamar Mama cukup luas, berukuran tujuh kali tujuh meter. Ya, cukup besar dan lengkap."Ma ... bangun ... Bangun, Ma ...." Laniara mengguncang serta menepuk lembut pipi Mama sembari terus memanggil. Aku masih terperangah tak berdaya menatap dalam kedua wanita yang sudah melahirkanku itu yang masih terpejam. Mulutku terasa berat untuk berucap. Tanganku gemetar ketika memegang tubuh Mama yang tidak berdaya. Wajah Mama juga pucat pasi."Mas ... ini obat apa?" tanya Laniara sembari memperlihatkan beberapa butir obat yang dia punguti dari lantai.Aku tak menyahut, bibir ini begitu kelu."Denyut nadi Mama masih ada kok, Mas. Kamu jangan panik," ujar istriku menenangkan. Namun, sekalipun begitu tak ampuh bagiku saat ini.Terdengar Laniara kembali memanggil Mama, tapi Mama tak juga sadar. Jangan 'kan menyahut merespon dengan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments