Share

Bagian (4) : Arumi Mengajak Hamizan Kawin Lari

PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR

Penulis : David Khanz

(Bagian 4)

Usai melakukan obrolan jarak jauh melalui ponsel, Arumi menangis pilu di dalam pelukan Bi Inah dan ikut ditenangkan pula oleh Bu RT. Sementara Hamizan serta Pak RT sendiri, sibuk berbicara secara empat mata di ruangan lain.

“Tidak perlu khawatir, Pak,” ujar Pak RT mencoba berbicara dengan nada santai. “Kalaupun benar keluarga si Eneng itu bakal datang bersama pihak kepolisian, dalam hal ini … Pak Izan sama sekali tidak bersalah. Pak Izan sudah melakukan hal yang benar dan saya … yang menjadi saksinya.”

Hamizan tersenyum tipis, lantas lanjut menimpali, “Saya tahu, Pak. Saya sama sekali tidak merasa takut. Paling-paling, nanti polisi hanya akan minta keterangan dari saya. Maka dari itu, sengaja saya undang Bapak serta Ibu RT ke rumah, salah satunya … yaaa, buat beginilah. Menjadi salah satu saksi yang bisa membantu saya nanti.”

Pak RT mengangguk-angguk sambil mempermainkan bibirnya menggunakan jari telunjuk. Sesekali lelaki berusia 40’an tahun tersebut mendecak.

“Ngomong-ngomong, Pak Izan punya air panas?” tanya Pak RT tiba-tiba.

“Ada, Pak. Kenapa? Pak RT mau kopi?” balik bertanya Hamizan seraya memperhatikan gerak-gerik sosok di dekatnya tersebut. Seperti tengah gelisah dan mendecak-decak beberapa kali.

“Iya. He-he-he,” jawab Pak RT diiringi kekehan penuh makna. “Mulut saya asem, Pak.”

“Astaghfirullah,” seru Hamizan baru tersadar. “Maafkan saya, Pak RT. Saya sampai lupa.”

“Aahhh, tidak apa-apa, Pak Izan,” balas Pak RT akhirnya merasa senang, karena keinginan yang sejak tadi dia pendam, kini terpenuhi oleh pihak tuan rumah.

Hamizan pamit sebentar, meninggalkan Pak RT di sana untuk beberapa saat. Dia bermaksud menemui Mang Karta yang sedang termangu di ruangan depan, memperhatikan sosok Arumi yang masih menangis di apit oleh Bi Inah dan Bu RT.

“Mang, tolong belikan rokok buat Pak RT,” pinta Hamizan seraya menyerahkan selembar uang pada Mang Karta. “Mamang tahu ‘kan, rokok yang biasa dibeli sama Pak RT?”

“Oh, tahu saya, Den,” jawab Mang Karta dengan sigap. “Berapa bungkus?”

“Satu saja,” ujar Hamizan bersiap-siap hendak balik lagi ke ruangan dimana Pak RT ditinggalkan tadi.

“Kok, satu, Den?” tanya Mang Karta setengah heran, tapi dengan raut wajah seperti tengah berharap besar.

Laki-laki muda tersebut langsung paham, makna yang tergambar pada muka asisten rumahnya tersebut.

“Ya, sudah. Sekalian juga buat Mamang,” kata Hamizan akhirnya dan langsung direspons semringah oleh Mang Karta.

“Nah, begitu maksud saya, Den. Hi-hi,” ucap lelaki tua itu mengikik sebentar, memperlihatkan barisan giginya yang berwarna kecoklatan.

Kemudian dia pun segera bergegas ke luar rumah. Sementara Hamizan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Di sana, lelaki muda itu berhenti sejenak dan duduk di dekat ketiga sosok perempuan tadi.

“Bi, tolong buatkan kopi untuk Pak RT di ruang tengah, ya,” pinta Hamizan sebelum berbicara pada Arumi, kekasihnya. Bi Inah pun langsung mengiyakan dan bergegas melaksanakan perintah.

Sejenak lelaki itu menelan ludah, lantas memperhatikan Arumi yang duduk di samping Bu RT.

“Neng ….,” sebut Hamizan.

Melihat situasi yang demikian, Bu RT berpikir untuk meninggalkan sepasang kekasih tersebut di sana. Mungkin saja ada hal yang hendak disampaikan oleh mereka berdua. “Uummhhh, maafin saya, Pak Izan. Sebaiknya, saya pamit dulu dari sini. Biar Pak Izan dan Eneng ini ngob—”

“Tetap di sini, Bu. Temani kami berdua,” pinta Hamizan menahan gerak Bu RT yang bersiap-siap angkat badan dari samping Arumi.

“Pak Izan silakan saja kalau mau bicara dengan Eneng ini. Kagok mungkin kalau saya ada di sini,” timpal Bu RT merasa risi sendiri berada di antara sepasang kekasih muda tersebut.

Hamizan tetap menahan dan meminta pada Bu RT untuk berada di sana. “Kami berdua ini belum halal, Bu. Jika ada dua jenis manusia berdua di tempat yang sama, maka pihak ketiganya adalah setan. Kami tidak ingin timbul fitnah dan mencegah sesuatu yang tidak diharapkan.”

Mendadak raut wajah Bu RT berubah kecut. Wanita itu melirik pada Hamizan dan Arumi secara bergantian beberapa kali. “Pihak ketiga yang Pak Izan maksudkan itu … berarti saya, dong?” ucapnya kemudian, merasa tersinggung diri.

Sontak Hamizan terkejut. Sampai-sampai Arumi sendiri yang sedang asyik terisak pilu, sejenak menghentikan tangis dan balik melirik pada Bu RT.

“Subhanallah …, maksud saya bukan seperti itu, Bu,” timpal Hamizan buru-buru menjelaskan dan hampir saja tergelitik untuk tertawa. “Pihak ketiganya itu bukan Ibu. Tapi … yaaa, setan yang tidak terlihat itu. He-he.”

“Tidak apa-apa, Bu. Tetaplah di sini bersama kami,” ucap Arumi diselingi suara isak sendu.

Bu RT pun menghela napas panjang dan mengembuskannya melalui mulut. Tanpa disadari, empasan anginnya justru terarah ke wajah Arumi. Seketika itu pula, kekasih Hamizan tersebut, menahan napas untuk beberapa saat.

“Ya, sudah. Bicaralah, Pak-Neng,” ujar Bu RT setelah merasa lega bebannya, berada di antara kedua muda-mudi itu. ‘Mendadak, berasa jadi kambing congek saya. Inget zaman dulu. Nganter teman ketemuan sama pacarnya, eh … jadiannya malah sama saya. Ya, itu dia … yang sekarang jadi Pak RT. Hi-hi.’

Hamizan dan Arumi pun berbicara dan Bu RT cukup mendengarkan, tanpa menyela atau melakukan interupsi.

“Jadi begitu, Neng. Begitu nanti Abah Eneng datang, turuti saja apa pun yang diperintah oleh beliau,” ungkap Hamizan di pengujung penuturan. “Soal aku, Eneng jangan terlalu berpikir macam-macam. Insyaa Allah, aku akan baik-baik saja, kok. Semuanya, pasti akan bisa lalui dengan baik.”

“Tapinya, Mas … aku tidak mau dijodohkan dengan laki-laki itu,” rengek Arumi masih tetap dengan topik awal. Padahal Hamizan sudah memintanya untuk tenang, sembari mencari jalan keluar. “Aku hanya mencintai Mas Izan. Bukan Kang Basil atau siapa pun adanya laki-laki manapun juga, Mas. Abah tetap memaksa dan aku sudah tidak tahan. Makanya … aku lari dari rumah, ke sini, menemui Mas Izan, untuk memastikan hubungan kita selama ini. Begitu, Mas.”

Hamizan mengangguk-angguk. “Iya, aku paham itu, Neng. Tapi apa pun alasannya, tetap tidak baik pergi tanpa pamit pada orangtua, Neng. Apalagi … Eneng ini perempuan. Mana sendiri pula ke sininya. Sebagai orangtua, Abah dan Umi Eneng pasti mengkhawatirkan itu, Neng. Apalagi sekarang, Eneng ada di rumahku.”

“Mas Izan keberatan aku ke sini?” tanya Arumi menduga-duga.

Seperti biasa, pikiran perempuan memanglah senantiasa demikian. Mengambil sebuah kesimpulan dalam waktu singkat, tanpa melalui proses penyaringan maupun pemikiran yang matang. Berbanding terbalik dengan cara berpikir pihak laki-laki yang selalu terkesan lama. Namun sebenarnya di balik waktu tersebut, terdapat proses yang cukup rumit dan berbelit-belit. Terutama pada perkara sebab-akibat yang akan dituai setelah sebuah keputusan diambil.

“Aku tidak merasa seperti itu, Neng,” jawab Hamizan pelan. “Orang tua manapun pasti akan berbuat seperti Abah Eneng tadi. Aku memahaminya benar, karena aku juga laki-laki, Neng. Khawatir …, takut terjadi apa-apa sama anaknya Abah. Ya, Eneng ini contohnya.”

Di dalam hati, Bu RT mengomentari, ‘Iyalah, Neng. Ayam saja yang belum balik kandang di sore hari, sering dicariin. Masak anak sendiri diabur, tidak dipedulikan. Takutnya kenapa-kenapa. Apalagi anak perempuan, lajang pula. Sebagai orangtua, pasti khawatir banget. Takut … sore pergi, pulang-pulang pagi sudah tidak lagi suci. Duh, zaman sekarang itu ‘kan, memang harus serba diawasi.’

Lanjut Hamizan berkata, “Selama ini, bukan berarti aku tidak punya niat untuk meresmikan hubungan kita ini, Neng. Tapi Eneng tahu sendiri ‘kan, bagaimana sikap Abah padaku?”

“Apa nikah lari saja ya, Mas? Mungkin itu jalan satu-satunya biar dapat restu dari Abah,” kata Arumi tiba-tiba.

“Astaghfirullah ….” Berbarengan Hamizan dan Bu RT mengucap kalimat istighfar.

Laki-laki itu mengusap wajah beberapa kali. “Tidak, Neng. Itu tidak baik,” katanya menasihati. “Menikah itu adalah salah satu jalan menuju ridhanya Allah. Sesuatu yang baik, harus pula diawali dengan sesuatu yang baik. Karena Allah itu Maha Baik dan hanya menyukai yang baik-baik saja.”

Arumi cemberut dan mendecak sekali. Tergambar jelas di wajah perempuan tersebut, bias kegundahan yang dirasa selama ini. Mungkin terkait rencana perjodohannya dengan Basil atau bisa pula menganggap Hamizan lambat dalam menentukan langkah pasti.

Itulah sebabnya, seorang perempuan itu butuh kepastian, bukan sekadar harapan. Sementara bagi laki-laki, enggan dengan mudah berucap janji, jika memang masih mengukur diri belum bisa memenuhi. Di titik inilah konflik perselisihan itu kerap terjadi di antara dua insani. Jika keteguhan hati belum kuat berakar, seringkali suatu hubungan pun berakhir dengan bubar.

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status