PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR
Penulis : David Khanz(Bagian 3)“Jadi bagaimana sekarang, Neng?” Tiba-tiba suara pertanyaan dari pihak Bu RT, membuyarkan lamunan Arumi tentang keluarganya di kampung.Sejenak perempuan itu terdiam dengan tatapan hampa. Lantas bertanya lirih pada sosok istri Pak RT tadi, “Bagaimana tentang apa, Bu?”Bu RT menoleh pada suaminya dan Hamizan. Dia bingung dengan sikap Arumi, apakah mesti mengulang kembali pembicaraan? Bahasan tentang obrolan bersama tadi, sebelumnya, atau bagaimana.Akhirnya Hamizan pun —terpaksa— mengambil alih dan angkat bicara untuk menjelaskan. “Eneng tidak ikut nyimak pembicaraan kita tadi ?” tanya lelaki tersebut dan langsung digelengi oleh Arumi. “Baiklah, jadi begini ….,” lanjut lelaki itu berkata, setelah mendengkus sebelumnya, “buat mencegah timbulnya fitnah, sebaiknya malam ini … Eneng ikut Pak RT dan Bu RT. Nginep di sana. Jangan di sini. Di rumah ini.”Arumi menunduk dan terdiam. Mendengar penjelasan yang dituturkan oleh kekasihnya tersebut.“Sekaligus juga … Eneng harus ngasih kabar ke orangtua Eneng di kampung. Bilang, kalau Eneng ada di sini. Bagaimana, Neng?” tanya Hamizan seraya menatap lekat wajah perempuan yang selama ini, kerap melakukan hubungan komunikasi jarak jauh.Arumi mengangkat kepala. Membalas tatapan sang kekasih dengan bias wajah ketakutan.“Tidak, Mas. Aku tidak ingin kembali ke kampung,” ucap Arumi getir. “Abah pasti akan memarahiku habis-habisan. Lagipula, aku juga tidak mau ….” Ucapan perempuan itu terhenti. Tidak berlanjut. Lantas kembali menunduk dalam-dalam disertai isak yang mulai menyeruak.Bayangan di dalam benak Arumi, seketika teringat pada rencana perjodohannya dengan Basil Basyiruddin. Sosok lelaki yang dia duga, tidak jauh berbeda dengan karakter Ustaz Muzakir —suami dari kakak kandungnya, Azizah— dan terlebih lagi, tidak pernah mencintai pria lain, terkecuali hanya kepada Hamizan seorang.Bi Inah mengusap-usap lengan sosok di sampingnya, bermaksud untuk menenangkan. Sebagai sesama perempuan, wanita tua itu pun turut merasakan kesedihan yang dialami oleh Arumi. Sebab, dia juga pernah muda terdahulu. Bedanya —mungkin— hanya pada faktor keelokan saja. Kekasih majikannya itu berparas cantik, sedangkan dia berwajah ‘burik’. Nahasnya, hal tersebut berlangsung hingga saat ini.‘Masih untung saya masih laku dan Mas Karta juga mau,’ ucap Bi Inah di dalam hati. ‘Entahlah, mungkinkah karena ini jodoh atau Mas Karta sendiri yang dulu ceroboh?’ Lantas diam-diam melirik pada sosok sang suami yang duduk di samping majikannya. ‘Tapi … seganteng-gantengnya Mas Karta dulu, suami saya itu … nyatanya sekarang sudah berubah menjadi aki-aki. Hi-hi-hi.’Di saat bersamaan, secara tidak sengaja, Mang Karta pun sama-sama melirik ke arah Bi Inah. ‘Hhmmm, istriku tercinta senyum-senyum terus sama saya. Apakah itu berarti sebagai sebuah pertanda, jika malam ini adalah waktunya acara kenaikan bapak-bapak? Sayang sekali tapinya, kami harus tidur di kamar berbeda.’‘Ih, Mas Karta membalas senyuman saya,’ membatin kembali hati Bi Inah. ‘Jangan-jangan … Mas Karta berpikir kalau kecantikan saya yang paripurna ini, tidak kalah jauh dengan Neng Arumi. Hi-hi-hi.’Setelah mendengar ucapan Arumi tadi, Hamizan mengalihkan pandangan pada Pak-Bu RT. Bingung harus berkata apa kini. Terkecuali menunggu hingga kondisi tangis Arumi terhenti nanti.“Bagaimana kira-kira sekarang, Pak?” tanya lelaki muda itu pada pasangan suami-istri dari pihak ke-RT-an tersebut.Pak RT menoleh pada istrinya, lalu bantu menjawab, “Duh, bagaimana, ya? Ikut bingung saya juga. Tapi … sebenarnya kalau secara pribadi, saya sih tidak merasa keberatan jika si Eneng bermalam di sini, Pak. Kami percaya kok, sama Pak Izan. Apalagi … di sini juga ada … Bu Inah dan Pak Karta.”Kedua sosok orang tua yang dimaksud baru saja itu pun, langsung tersentak dari aksi saling lempar senyuman mereka sejak tadi. Lantas berseru berbarengan, tanpa dikomandoi, “Iya, Pak RT! Siap!”Hamizan menipiskan bibir melihat perilaku kedua asisten rumahnya tersebut. ‘Apa-apaan sih, mereka?’Lanjut Pak RT berbicara setelah terjeda oleh kode dari istrinya di samping, berupa gerakan menyikut-nyikut perutnya, “Hanya saja … kalau menurut saya … eh, kami berdua selaku dari pihak aparat ke-RT-an di sini, segeralah memberitahukan hal ini pada pihak keluarga si Eneng, Pak Izan.”“O, iya tentu!” balas Hamizan sigap. “Justru saya juga ingin adanya pembuktian dari pihak Pak RT dan Bu RT buat menguatkan laporan dan sebagai saksi untuk keluarga Neng Arum di kampung nanti.”“Nanti? Bukankah seharusnya sekarang saja keluarga si Eneng dikabari, Pak?” tanya Bu RT ikut berbicara. Soalnya, dia menghendaki jika acara pertemuan tersebut lekas selesai, langsung pulang, dan melaksanakan ritual khusus sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan bersama sang suami. Maka dari itu —berulangkali—, sejak tadi dia menyikut perut Pak RT yang sudah ‘ngaburayut’ (buncit).Hamizan menjawab segera, “Iya, Bu. Maksud saya … menjaga-jaga, kalau misalnya … tapi naudzubillah ya, nanti … akan timbul permasalahan lain. Terutama dari pihak keluarga Neng Arum sendiri. Sebagai orangtua yang sudah punya anak sendiri, tentunya Ibu dan Bapak, pasti sudah bisa memahaminyalah.”Pak-Bu RT mengangguk-angguk paham kini.Tiba-tiba Arumi turut angkat bicara di sela-sela tangisnya, “Ya, sudah atuh. Hik-hik. Kalau memang Mas Izan tidak menghendaki aku di sini, lebih baik aku pulang saja lagi ke kampung malam ini juga.”Semua yang hadir di ruangan tersebut sontak terkejut mendengar ucapan lirih Arumi baru saja.“E-eh, j-jangan, Neennggg!” seru Hamizan hampir saja bangkit berdiri dan menahan gerak Arumi yang hendak meninggalkan acara pertemuan itu. “T-tunggu dulu! M-maksudku b-bukan seperti itu!” Lelaki tersebut, nyaris menyentuh dan menarik lengan kekasihnya. ‘Astaghfirullah, bukan mahram … belum halal … sabar, sabar.’Bi Inah turut membantu menahan lengan Arumi, sehingga membuat Hamizan sedikit merasa lega dan tidak lagi terkagok-kagok. Lantas ketiganya kembali duduk dengan tenang disertai desah kebimbangan.Di dalam hati, Mang Karta bergumam, ‘Dasarnya sifat perempuan, dimana-mana sama saja. Pura-pura mau pergi, padahal sejujurnya dia pengen ditahan-tahan, dirayu-rayu, dan diperhatikan. Mirip kelakuan si Nini-nini itu, tuh. Menyebalkan!’ Ekor mata tua sosok tersebut langsung tertuju pada Bi Inah.Akhirnya di pengujung pembicaraan pada pertemuan tersebut, disepakati bahwa pada malam itu juga, pihak keluarga Arumi harus segera diberi kabar oleh Hamizan.Hasilnya, tentu saja bisa diperkirakan oleh semuanya. KH. Bashori mengutuk keras atas tindakan yang dilakukan oleh anak perempuannya tersebut. Terlebih lagi menyalahkan Hamizan sebagai biang dari permasalahan itu sampai terjadi.“Dengar ya, Anak Muda!” ujar ayah Arumi tersebut, menggelegar melalui lobang sepiker ponsel, “malam ini juga, saya akan datang ke sana untuk membuat perhitungan! Tunggu dan jangan coba-coba melakukan apa pun terhadap anak saya!”“Abaahhh ….!” seru Arumi getir mendengar suara amarah KH. Bashori berbicara pada kekasihnya, Hamizan.“Diam kamu, Arumi!” sentak lelaki tua berjanggut panjang dan putih tersebut di seberang telepon. “Abah akan datang ke sana membawa polisi! Biar laki-laki pembuat masalah itu dihukum seberat-beratnya, karena telah membawa lari anak orang lain!”“Anak kita berdua, Abah! Arumi itu bukan anak orang lain!” Terdengar suara Umi Azizah turut menimpali di belakang sosok suaminya.“Maksud Abah juga begitu, Umi! Heuleuh … pipilueun saja ari kamu!” timpal KH. Bashori mengambek besar.(Haduh, ikut-ikutan —ngomong— saja kamu!)“Abaahhh!” teriak Arumi bersedih hati.‘Ya, Allah … mengapa jadi begini akhirnya?’ Bertanya Hamizan di dalam hati sambil mengusap dada, ketakutan. Begitu juga dengan Pak RT. Mengelus-elus diri, tapi di tempat lain. Tepatnya area di bawah perut.BERSAMBUNGPEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (123) Episode : Akhir Dari Sebuah MisteriBeberapa hari setelah Arumi melahirkan, Hamizan kedatangan seorang tamu spesial. Dia tiba di sana menjelang siang, bersama dua orang lelaki berbadan tegap, untuk menemui menantu Abah Bashori tersebut sambil membawa sesosok bayi mungil di dalam dekapan. Sosok khusus itu tidak lain adalah Pak Waluyo, bapak kandung Bella Aurora."Pak?" ucap Hamizan kaget bercampur heran. Seolah-olah tidak percaya melihat ketibaan orang tua tersebut di Tasikmalaya. Yang lebih menarik perhatian adalah tentang bayi mungil itu. 'Anak Bella-kah dia?' tanyanya seketika menduga-duga. "Silakan masuk, Pak."Hamizan menyalami ketiganya dan mengajak Pak Waluyo serta kedua orang itu tadi masuk ke dalam rumah."Ada apa ini, Pak? Bagaimana bisa tahu kalo saya ada di sini?" tanya Hamizan masih merasa heran dan bingung dengan kedatangan Pak Waluyo. Lanjut bert
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (122)Episode : Arumi MelahirkanBelum habis memikirkan kejadian misteri penabrakan tadi, tiba-tiba Arumi meringis kesakitan. Perempuan cantik berkulit putih bersih itu menyeringai sembari pegangi perut."M-maasss ….," lenguh Arumi memanggil suaminya.Hamizan menoleh dari arah pandangan pada sosok kendaraannya yang ditabrak tadi."Sayang? A-ada apa, Sayang?" tanya lelaki itu gelagapan. Dia memperhatikan raut wajah Arumi dan elusan di perut buncitnya. "Yaa Allah … k-kamu mau melahirkan?"Arumi menggelengkan kepala dengan bibir tidak berhenti mendesis. "Gak tahu, Mas. Perutku mules banget ini. Aduuhh … aashhh!" jawab Arumi kian menghebat serangan rasa sakit yang mendera perut. Seketika raut wajah perempuan itu berubah memucat disertai keringat mengilap di wajah."Yaa Allah ….!" seru Hamizan mulai panik dan segera memanggil Muzakir. "Kang, s-
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (121)Episode : Arumi TerancamHamizan tidak pernah tahu, ada persoalan apa di antara Bella dan Pak Waluyo. Sementara orang tua itu sendiri belum mau terbuka padanya.Timbul pertanyaan baru, jika saja benar seorang Bella telah berubah, lantas mengapa hubungan dengan bapaknya sendiri justru terkesan tidak harmonis? Bukankah sebelum itu mereka berdua terlihat akur. Setidaknya itulah yang dinilai di mata Hamizan. Namun suami Arumi tersebut tidak ingin mencampuri urusan internal keluarga Pak Waluyo. Terpenting sekarang, sikap Bella sendiri memang tidak seperti beberapa bulan sebelumnya.Baru saja babak kedamaian itu dirasakan oleh keluarga Hamizan, suatu ketika dia menerima sebuah panggilan telepon."Pak Waluyo ….," gumam Hamizan begitu memperhatikan nomor kontak yang tertera di layar. "Assalaamu'alaikum, Pak," ucapnya usai menekan ikon berwarna hijau."Wa'alaik
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (120)Episode : Bella Berubah?Semenjak pembicaraan mereka di pagi hari tersebut, sikap Bella terhadap Hamizan sedikit berubah. Tidak lagi mendayu-dayu sebagaimana biasa, tapi lebih lembut dan santun dalam bertutur kata serta sikap."Maaf, selama ini sikap aku mungkin gak berkenan buatmu, Hamizan. Saya sadari itu dan pastinya justru akan membuatmu makin merasa gak suka sama aku,'kan?" ucap Bella dengan suara datar. "Aku minta maaf. Itu semata karena aku terlalu menuruti kata hati. Terkadang, aku gak ngontrol tentang itu."Hamizan memang merasakan hal demikian, walaupun tidak sepenuhnya perempuan tersebut berubah drastis. Namun setidaknya, kini dia bisa sedikit bernapas lega dan tidak lagi harus didera ketakutan akan perilaku Bella yang sering terlewat batas.'Apakah benar Bella telah berubah? Apa karena ucapanku tempo hari itu?' Benak Hamizan pun dilanda tanda tanya
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (119)Episode : Perlawanan HamizanSesuai perkiraan, ternyata memang benar adanya bahwa pada hari itu Azizah telah melahirkan seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki."Maaf, Zakir gak sempet ngasih kabar ke rumah, Umi," kata Muzakir saat ditanyai oleh Umi Afifah. Dia ikut sibuk menemani dan mengurus kelahiran istrinya saat Arumi menelepon. "Baru mau dihubungi, eh … ternyata Umi sudah datang," lanjutnya kembali berkata sambil menatap Hamizan dan Arumi yang turut datang bersama-sama."Iya, gak apa-apa, Nak. Terpenting … Alhamdulillah … akhirnya Azizah sudah melahirkan dengan selamat," timpal Umi Afifah seraya tersenyum bahagia melihat cucu ketiganya.Sementara Azizah sendiri masih tergolek lemas di atas ranjang di samping Muzakir suaminya.Hamizan langsung mendekat dan memperhatikan bayi mungil yang sedang terbari
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (118)Episode : Kecurigaan Seorang IstriKini perasaan Hamizan sedikit agak lega setelah mencurahkan permasalahannya pada sang Mertua, Abah Bashori. Tidak lupa, dia juga menceritakan kepada orang tua tersebut bahwa khusus tentang kedua video yang dimaksud, belum akan diberitahukan kepada Arumi dengan alasan yang mendasari."Ya, Abah paham maksudmu, Nak. Tapi bukan berarti Abah mendukung usahamu itu," timpal Abah Bashori lebih lanjut. "Sebagai manusia, terkadang kita dituntut untuk gak terlalu jujur dalam bersikap. Abah ngerti kok, kamu ngelakuinnya karena satu sebab. Itu bagus. Hanya saja, suatu saat … kamu harus selalu terbuka pada keluargamu."Hamizan mengangguk pelan mendengarkan petuah mertuanya. "Satu hal lagi yang harus kamu tahu, Nak," imbuh kembali Abah Bashori, "Arumi itu … suka mencari-cari jalannya sendiri jika hendak mengetahui sesuatu. Dia anak pintar.
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (117)Episode : Lelah Dalam PasrahTampak jelas sekali jika diperhatikan, sudut kamera yang bergerak-gerak mengambil gambar, itu—pasti—dilakukan oleh pihak orang ketiga. Tidak mungkin Bella melakukannya sendiri, karena posisi dia saat itu sedang (maaf) menindih tubuh Hamizan. Bahkan dengan sengaja mengarahkan mata lensa tepat pada pertautan area aurat inti mereka berdua.Hamizan langsung merasa syok. Tubuhnya gemetar dan langsung menutup layar ponsel.'Tidak mungkin, Yaa Allah. Ini tidak mungkin!' jerit lelaki tersebut pilu. Napasnya sampai terengah-engah sesak. Menyayangkan serta menyesali jika di antara dia dan perempuan tersebut, benar-benar telah terjadi perzinaan farji.Jadi benarkah akibat terjadinya aksi persebadanan tersebut, Bella mengalami kehamilan? Pikir Hamizan.'Dia benar-benar mengandung anakku ….,' membatin kembali suami Arumi tersebut.
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (116)Episode : Teror Kedua"Kak Izah sudah harus tinggal di sini, Mas. Baru pembukaan tiga," kata Arumi begitu keluar dari ruang pemeriksaan, usai mengantar Azizah ke dalam. "Kita sendiri bagaimana sekarang? Apa ikut menunggu—""S-sebaiknya kita pulang saja sekarang, Dik," tukas Hamizan tampak gagap. Hal tersebut baru disadari oleh istrinya setelah posisi mereka berdua berhadap-hadapan.Sesaat Arumi mengamati raut wajah suaminya, di bawah terpaan cahaya lampu neon di ruang tunggu. Terlihat agak pucat dan tidak tenang berdiri menyandar di dinding."Kamu kenapa, Mas? Ada apa?" tanya perempuan itu ikut merasakan kekhawatiran atas sikap laki-laki yang teramat dia cintai tersebut. Sebentar Arumi menyapu pandangan ke sekeliling tempat. Tidak ada siapa pun terkecuali mereka berdua di sana. "Ada apa sih, Mas? Kamu melihat sesuatu?"Hamizan melirik, tapi hanya sesaa
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (115)Episode : Hubungan Hamizan dan Kiai Bashori MembaikSelama berada di tengah-tengah keluarga Pondok Pesantren Al Ardul Basyariyah, sesekali Hamizan suka ikut terjun membimbing para santri. Hal tersebut sering diperhatikan oleh sang Mertua Kiai Haji Bashori, secara tidak sengaja pada awalnya. Sampai kemudian menyengaja mengintip serta mengawasi kegiatan menantunya itu. Bahkan pernah beberapa kali, suami dari Arumi tersebut didaulat untuk menjadi imam pada saat shalat Maghrib.Kiai Haji Bashori yang pada saat itu baru saja tiba dari bepergian di luar, sesaat terhenyak mendengar lantunan indah suara milik Hamizan membacakan kalam Ilahi.‘Masyaa Allah … sepertinya aku kenal sekali suara imam itu. Hamizan-kah?’ tanyanya di dalam hati. Sejenak laki-laki tua tersebut menajamkan telinga di antara barisan jamaah shalat. ‘Ah, benar … itu memang Hamizan menantuku.’Lantas