Judul : Perempuan Bermahar Lima Miliar Penulis : David Khanz Genre : Drama Religi Nama-nama tokoh : Arumi Nasha Lazeta, Hamizan Rabbani, Bellanca Aurora, Basil Basyiruddin, KH. Bashori, Umi Afifah, Azizah, Ustaz Muzakir, KH. Anam Al Fathoni. Kisah ini mengetengahkan tentang drama percintaan antara Arumi dan Hamizan. Keduanya jatuh cinta. Namun hubungan tersebut ditentang oleh KH. Bashori, karena Hamizan bukanlah berasal dari kalangan tokoh agama/alim ulama. Khawatir hubungan Arumi dan Hamizan berlanjut, KH. Bashori pun menjodohkan anak perempuan keduanya tersebut dengan salah satu anak dari teman lamanya bernama KH. Anam Al Fathoni, yakni Basil Basyiruddin. Rupanya perihal perjodohan tersebut, diam-diam, ditentang pula oleh kakak Arumi, yaitu Azizah. Sang Kakak mendukung adiknya untuk memilih Hamizan sebagai calon suami dari Azizah. Arumi nekat kabur dan menemui Hamizan di Jakarta, seorang diri. Tentu saja hal tersebut sangat mengejutkan kekasihnya tersebut. Maka untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, Hamizan pun mengantar kembali Arumi pada kedua orangtuanya, sekaligus melamar saat itu juga dengan mahar fantastis, yakni harta kekayaan lelaki tersebut bernilai hampir lima milyar rupiah. Walaupun Arumi dan Hamizan pun menikah, tapi KH. Bashori tidak memperkenankan mereka tinggal di lingkungan pondok pesantren. Keduanya kembali ke Jakarta, hidup dari awal dan mengontrak sebuah rumah. Arumi merasa bahagia dan sangat berbakti pada suaminya dengan penuh kecintaan. Bahkan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan pun, ikhlas dipersembahkan oleh perempuan tersebut. Di tengah kondisi hidup yang penuh kesederhanaan serta belum dikaruniai keturunan, pasangan Arumi dan Hamizan mendapat ujian lain. Seorang perempuan lain bernama Bellanca Aurora hadir menawarkan sejuta bantuan.
view morePEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIAR
Penulis : David Khanz(Bagian 1)Petang itu, Hamizan baru saja usai melaksanakan kewajiban ibadah salat Isya, tiba-tiba terdengar suara bel rumah berdentang. Lekas lelaki tersebut melipat sajadah dan bergegas keluar dari kamar.Namun baru saja membuka pintu, Bi Inah pembantu di rumah itu, sudah mendahului menuju ruang depan. “Biar saya yang bukain, Den,” ujar wanita tua berusia sekitar 60’an tahun tersebut seraya menahan gerak langkah Hamizan.“Oh, baiklah, Bi. Terima kasih, ya,” kata anak muda itu sembari melemparkan senyuman. “O, iya … Mang Karta di mana, Bi?” tanyanya lebih lanjut, tentang sosok lelaki yang merupakan suami dari Bu Inah tadi.“Ada di belakang, Den. Nanti saya panggilkan setelah saya ke depan,” jawab Bi Inah disertai jari jempol menunjuk ke arah ruangan depan tadi. Maksudnya terlebih dahulu akan memeriksa siapa orang yang bertamu sepetang itu ke rumah, kemudian membantu memanggilkan suaminya.“Ah, tidak usah, Bi,” timpal Hamizan dengan cepat. “Biar saya sendiri yang ke belakang. Bibi lihat saja dulu di depan, siapa yang datang itu. Oke?”Bi Inah mengangguk hormat, lantas menjawab, “Baik, Den.”Hamizan berbelok menuju arah belakang, ruangan dimana tempat biasa Mang Karta dan Bi Inah berada pada waktu-waktu tersebut. Dia pikir, mungkin yang membunyikan bel di depan itu adalah petugas kurir atau seseorang yang tidak terlalu penting untuk ditemui.“Ya, Allah … Neng Arum?” seru Bi Inah begitu membukakan pintu depan.Sesosok perempuan muda berusia 25 tahun, tampak berdiri mematung di beranda rumah. Terlihat kedinginan dalam keadaan basah kuyup dan kedua tangan menyilang lipat di depan dada.“B-bi ….,” sebut sosok yang dipanggil Arum tersebut menatap lekat pada Bi Inah. “M-mas Izan-nya a-ada, Bi?” imbuhnya bertanya dengan suara tergagap, kedinginan.Sejenak wanita tua itu malah terdiam kaku. Terpana, karena entakkan rasa kaget, melihat sosok yang sudah begitu dia kenal sebelumnya.“Ada, Neng, ada,” jawab Bi Inah lirih. “Ya, Allah … kenapa hujan-hujanan begini, Neng? Ayo, masuk,” ajak orang tua tersebut seraya hendak menggandeng lengan perempuan bernama Arum tadi, agar segera masuk ke dalam rumah.“Tidak usah, Bi. Biar saya menunggu di luar saja,” balas Arum menolak ajakan pembantu rumah Hamizan itu.Namun Bi Inah tetap bersikukuh memaksa. Apalagi melihat cuaca pada petang itu, masih turun rintik hujan semenjak sore tadi.“Jangan, Neng. Ayo, masuk sekarang juga,” paksa orang tua tersebut sambil menarik-narik tangan tamu istimewa itu. “Kasihan sekali Neng ini sampai … Yaa Allah, basah kuyup begini. Ayo, ke dalam.”Kali ini Arum terpaksa mengikuti ajakan Bi Inah. Melangkah memasuki rumah dengan langkah gontai dan tubuh menggigil kedinginan.“Sudah, Bi. Saya nunggu Mas Izan di sini saja.” Arum berhenti berjalan secara tiba-tiba. Berdiri tepat membelakangi pintu depan yang masih terbuka lebar.Bi Inah mendesah, lirih.“Jangan, Neng. Ayo, ganti dulu pakaiannya,” kata wanita tua tersebut miris memperhatikan kondisi Arum yang tidak henti-hentinya menggigil. “Pakai saja dulu baju-baju saya buat sementara. Yang ini ….” Bi Inah menunjuk sekujur tubuh perempuan muda di hadapannya tersebut. “ … biar saya cuci dan keringin sekarang juga. Ya, Neng, ya?”Arum menggeleng pelan. Menolak tawaran bantuan yang hendak diberikan oleh pembantu rumah Hamizan itu.“Ya, Allah … Neng,” desah kembali Bi Inah semakin merasa kasihan melihat kondisi Arum. Sekujur badan, termasuk balutan kain jilbab yang menutupi kepala, basah kuyup terkena guyuran hujan.Akhirnya, karena tidak kunjung mengikuti ajakan tadi, sosok wanita tua itu pun bermaksud mengambilkan seperangkat pakaian pengganti di kamar. Sekalian memanggilkan Hamizan yang mungkin saja saat itu sedang bersama Mang Karta, sang suami.“Neng Arum tunggu di sini sebentar, ya?” pamit Bi Inah mewanti-wanti. Lalu menutup daun pintu, agar embusan kencang angin dari luar, tidak masuk dan menerpa tubuh tamunya tersebut. “Duduk saja dulu. Saya panggilkan dulu Den Izan-nya.”Arum mengangguk, tapi masih juga bertahan untuk tetap berdiri di tempatnya tadi. Tidak memilih duduk-duduk, karena kondisi pakaiannya yang basah kuyup. Dia melihat-lihat sekeliling ruangan di sana, tampak begitu lega dan tertata rapi dengan berbagai perabotan indah serta mewah.Benar saja sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Bi Inah sebelumnya, Hamizan sedang duduk-duduk bersama Mang Karta di kamar. Kedua lelaki berbeda usia tersebut, serempak menoleh begitu dirinya muncul di ambang pintu kamar.“Den ….,” panggil Bi Inah dengan suara lirih.“Siapa tadi tamunya, Bi?” tanya Hamizan disertai kening berkerut, saat melihat raut wajah sosok pembantunya itu tampak muram. Wanita tua tersebut tidak langsung menjawab. Tatap matanya, sejenak melirik pada sang suami, Mang Karta. Lantas beralih kembali pada Hamizan, sosok anak muda yang sudah bertahun-tahun bersama-sama, semenjak keluarga majikannya itu masih utuh, dulu.Bi Inah pun menjawab usai menelan seteguk ludah, “Di depan ada Neng Arum, Den.”Seketika, baik Hamizan maupun Mang Karta tersentak kaget.“Apa? Astaghfirullahal’adziim!” seru anak muda tersebut terkaget-kaget, lalu sontak bangkit dari duduk santainya di atas karpet, diikuti oleh Mang Karta dengan kelopak mata membulat besar. “Kenapa datang semalam ini? Sama siapa, Bi?” imbuhnya kembali Hamizan bertanya. Seketika dia membayangkan satu sosok lain, selain Arum sendiri. “Apa Arum datang sama—”Tukas Bi Inah singkat, tapi bersuara lirih dan perlahan, “Sendiri, Den.”Kembali anak muda tersebut mengucap istighfar. Maka tanpa bertanya-tanya kembali, cepat-cepat dia keluar dari dalam kamar, bergegas menuju ruangan depan hendak menemui sosok Arum.“Neng ….?” sebut Hamizan begitu tiba di ruangan, dimana Arum saat itu berada. Berdiri di belakang daun pintu dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Arum menoleh lunglai dengan sorot mata sayu beradu tatap bersama sosok lelaki tersebut. “Mas Izan ….,” balas Arum kemudian.“Astaghfirullahal’adziim. A-apa yang terjadi sama kamu, Neng?” tanya Hamizan bingung. Sesaat anak muda tersebut memperhatikan pakaian basah yang melekat di sekujur tubuh perempuan itu. Lalu memanggil-manggil Bi Inah.Tidak berapa lama, sosok yang dipanggil pun muncul sambil membawakan seperangkat pakaian di tangan. Diikuti oleh suaminya, Mang Karta.“Sudah saya siapin, Den,” kata Bi Inah dengan kedua tangan terangkat sebatas perut, memperlihatkan pakaian ganti miliknya, yang tadi sempat ditawarkan pada Arum. “Tadi sudah saya tawarin, tapi Neng Arum-nya menolak.”“Ya, Allah ….,” desah Hamizan lirih. “Cepat, ganti dulu pakaianmu ya, Neng. Nanti masuk angin.”Kali ini, Arum langsung mengiyakan. Tidak lagi bersikeras menolak, sebagaimana yang dilakukannya tadi terhadap Bi Inah.“Mang ….!” panggil Hamizan pada Mang Karta yang terlihat ikut membalik badan mengikuti Bi Inah dan Arum. “Mau ke mana?”Seketika, lelaki tua suaminya Bi Inah itu tersadar. Dia menepuk kening sendiri sambil terkekeh menyebalkan.“Astaghfirullah! Lupa saya, Den. He-he,” ungkapnya seraya kembali memutar arah langkah mendekati Hamizan. “Maaf, Den. Beneran, saya lupa.”Anak muda tersebut tersenyum miring, kecut. Lantas berkata, “Tolong, Mamang bilangin sama Bi Inah, siapin makan malam buat Arum ya, Mang.”Mang Karta menjawab, “Baik, Den. Saya laksana—”“Tapi jangan sekarang!” tukas Hamizan sembari menahan gerak langkah laki-laki tua tersebut yang dengan sigap, hendak bergegas menuju ruangan belakang. “Tunggu sampai Bi Inah, istri Mamang, beres mengurus Arum.”“O, iya. Tentu saja, Den. He-he,” balas Mang Karta mengekeh sendiri. Memperlihatkan barisan giginya yang berwarna kecoklatan dan sebagian sudah pada tanggal.“Satu lagi!” ujar Hamizan, lagi-lagi menarik siku Mang Karta yang bersiap-siap pergi. “Malam ini, Mamang tidur sendiri. Biar Bi Inah nemenin Arum di ruangan atas sana,” imbuh kembali anak muda tersebut seraya menunjuk loteng, lantai atas rumah itu yang terdapat beberapa ruangan lain, termasuk kamar tidur khusus tamu.Usai mendengar perintah dari Hamizan, Mang Karta pun lantas tersenyum-senyum menggoda.“Ciee … ciee … ciee ….,” ledek sosok suami Bi Inah itu. “Kenapa tidak diajak tidur bareng Aden Izan saja, Den? Apalagi hujan-hujan begini. Hi-hi. Pasti lebih—”“Astaghfirullah! Dosa, Mang! Belum halal!” seru Hamizan terkaget-kaget.“Eh, i-iya … astaghfirullahal’adziim! Maaf, Den. Saya khilaf ngomong,” ungkap Mang Karta langsung membekap mulut sendiri. “Haduh! Kenapa ini mulut tidak bisa dikondisikan, ya? Asal saja kalau bunyi!”Hamizan memegangi kening sambil menggeleng-geleng miris. “Allahuakbar ….,” desahnya kemudian usai melirik pada Mang Karta.BERSAMBUNGPEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (123) Episode : Akhir Dari Sebuah MisteriBeberapa hari setelah Arumi melahirkan, Hamizan kedatangan seorang tamu spesial. Dia tiba di sana menjelang siang, bersama dua orang lelaki berbadan tegap, untuk menemui menantu Abah Bashori tersebut sambil membawa sesosok bayi mungil di dalam dekapan. Sosok khusus itu tidak lain adalah Pak Waluyo, bapak kandung Bella Aurora."Pak?" ucap Hamizan kaget bercampur heran. Seolah-olah tidak percaya melihat ketibaan orang tua tersebut di Tasikmalaya. Yang lebih menarik perhatian adalah tentang bayi mungil itu. 'Anak Bella-kah dia?' tanyanya seketika menduga-duga. "Silakan masuk, Pak."Hamizan menyalami ketiganya dan mengajak Pak Waluyo serta kedua orang itu tadi masuk ke dalam rumah."Ada apa ini, Pak? Bagaimana bisa tahu kalo saya ada di sini?" tanya Hamizan masih merasa heran dan bingung dengan kedatangan Pak Waluyo. Lanjut bert
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (122)Episode : Arumi MelahirkanBelum habis memikirkan kejadian misteri penabrakan tadi, tiba-tiba Arumi meringis kesakitan. Perempuan cantik berkulit putih bersih itu menyeringai sembari pegangi perut."M-maasss ….," lenguh Arumi memanggil suaminya.Hamizan menoleh dari arah pandangan pada sosok kendaraannya yang ditabrak tadi."Sayang? A-ada apa, Sayang?" tanya lelaki itu gelagapan. Dia memperhatikan raut wajah Arumi dan elusan di perut buncitnya. "Yaa Allah … k-kamu mau melahirkan?"Arumi menggelengkan kepala dengan bibir tidak berhenti mendesis. "Gak tahu, Mas. Perutku mules banget ini. Aduuhh … aashhh!" jawab Arumi kian menghebat serangan rasa sakit yang mendera perut. Seketika raut wajah perempuan itu berubah memucat disertai keringat mengilap di wajah."Yaa Allah ….!" seru Hamizan mulai panik dan segera memanggil Muzakir. "Kang, s-
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (121)Episode : Arumi TerancamHamizan tidak pernah tahu, ada persoalan apa di antara Bella dan Pak Waluyo. Sementara orang tua itu sendiri belum mau terbuka padanya.Timbul pertanyaan baru, jika saja benar seorang Bella telah berubah, lantas mengapa hubungan dengan bapaknya sendiri justru terkesan tidak harmonis? Bukankah sebelum itu mereka berdua terlihat akur. Setidaknya itulah yang dinilai di mata Hamizan. Namun suami Arumi tersebut tidak ingin mencampuri urusan internal keluarga Pak Waluyo. Terpenting sekarang, sikap Bella sendiri memang tidak seperti beberapa bulan sebelumnya.Baru saja babak kedamaian itu dirasakan oleh keluarga Hamizan, suatu ketika dia menerima sebuah panggilan telepon."Pak Waluyo ….," gumam Hamizan begitu memperhatikan nomor kontak yang tertera di layar. "Assalaamu'alaikum, Pak," ucapnya usai menekan ikon berwarna hijau."Wa'alaik
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (120)Episode : Bella Berubah?Semenjak pembicaraan mereka di pagi hari tersebut, sikap Bella terhadap Hamizan sedikit berubah. Tidak lagi mendayu-dayu sebagaimana biasa, tapi lebih lembut dan santun dalam bertutur kata serta sikap."Maaf, selama ini sikap aku mungkin gak berkenan buatmu, Hamizan. Saya sadari itu dan pastinya justru akan membuatmu makin merasa gak suka sama aku,'kan?" ucap Bella dengan suara datar. "Aku minta maaf. Itu semata karena aku terlalu menuruti kata hati. Terkadang, aku gak ngontrol tentang itu."Hamizan memang merasakan hal demikian, walaupun tidak sepenuhnya perempuan tersebut berubah drastis. Namun setidaknya, kini dia bisa sedikit bernapas lega dan tidak lagi harus didera ketakutan akan perilaku Bella yang sering terlewat batas.'Apakah benar Bella telah berubah? Apa karena ucapanku tempo hari itu?' Benak Hamizan pun dilanda tanda tanya
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (119)Episode : Perlawanan HamizanSesuai perkiraan, ternyata memang benar adanya bahwa pada hari itu Azizah telah melahirkan seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki."Maaf, Zakir gak sempet ngasih kabar ke rumah, Umi," kata Muzakir saat ditanyai oleh Umi Afifah. Dia ikut sibuk menemani dan mengurus kelahiran istrinya saat Arumi menelepon. "Baru mau dihubungi, eh … ternyata Umi sudah datang," lanjutnya kembali berkata sambil menatap Hamizan dan Arumi yang turut datang bersama-sama."Iya, gak apa-apa, Nak. Terpenting … Alhamdulillah … akhirnya Azizah sudah melahirkan dengan selamat," timpal Umi Afifah seraya tersenyum bahagia melihat cucu ketiganya.Sementara Azizah sendiri masih tergolek lemas di atas ranjang di samping Muzakir suaminya.Hamizan langsung mendekat dan memperhatikan bayi mungil yang sedang terbari
PEREMPUAN BERMAHAR LIMA MILIARPenulis : David KhanzBagian (118)Episode : Kecurigaan Seorang IstriKini perasaan Hamizan sedikit agak lega setelah mencurahkan permasalahannya pada sang Mertua, Abah Bashori. Tidak lupa, dia juga menceritakan kepada orang tua tersebut bahwa khusus tentang kedua video yang dimaksud, belum akan diberitahukan kepada Arumi dengan alasan yang mendasari."Ya, Abah paham maksudmu, Nak. Tapi bukan berarti Abah mendukung usahamu itu," timpal Abah Bashori lebih lanjut. "Sebagai manusia, terkadang kita dituntut untuk gak terlalu jujur dalam bersikap. Abah ngerti kok, kamu ngelakuinnya karena satu sebab. Itu bagus. Hanya saja, suatu saat … kamu harus selalu terbuka pada keluargamu."Hamizan mengangguk pelan mendengarkan petuah mertuanya. "Satu hal lagi yang harus kamu tahu, Nak," imbuh kembali Abah Bashori, "Arumi itu … suka mencari-cari jalannya sendiri jika hendak mengetahui sesuatu. Dia anak pintar.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments