Part 4
Berjuta tanya masih ada di benak Raya, ia kembali memutuskan berjalan-jalan kendati dalam keadaan bingung tak karuan, ketika melewati ladang jagung ia merasa seperti ada yang membuntuti, ia menoleh dan tidak melihat siapa pun di belakangnya. “Anehh, terasa sekali ada yang membuntuti aku, sepertinya aku jalan sudah terlalu jauh sebaiknya aku kembali saja ke rumah Mak Bayah, sepertinya sebentar lagi akan hujan,” gumam Raya lalu melangkah memutar kembali ke jalan menuju ke rumah dukun kampung tersebut. Saat melewati sungai kecil, Raya kembali melihat perempuan dengan gigi gingsul yang tadi menegurnya, Raya menunduk seraya tersenyum namun sambutan perempuan tadi cuek dan bahkan dengan santainya memalingkan wajahnya, Raya menghela napas panjang. “Sebaiknya kalau jalan-jalan di kampung jangan terlalu jauh, apa pun yang kamu dengar tidak baik juga langsung kamu percaya begitu saja,” sambut salah satu suami Mak Bayah, Suwito ke pada Raya. Raya mengerutkan alisnya. Suwito seperti tahu apa yang baru saja dialami oleh Raya, Raya menjawab dengan anggukan kepala, setelahnya ia masuk dan masih melihat begitu banyaknya antrean orang-orang yang ingin berobat. Raya masuk ke dalam kamar untuk mengambil handuk dan membersihkan tubuhnya. Saat melintasi kamar pengobatan Mak Bayah, langkahnya terhenti saat mendengar dengan jelas suara erangan dan desahan bersahut-sahutan. Awalnya ia tak peduli namun rasa penasarannya yang begitu besar membuatnya ingin menyingkap sedikit saja tirai yang menutupi pintu, tetapi baru saja tangannya mengambang di udara, suara bentakan membuatnya kaget. “Kamu … jangan sekali-kali mengintip atau mencoba melihat kamar pengobatan Mak Bayah, apa kamu mau diusir dari sini,” bentakan Rizal dan kilatan matanya yang memerah membuat nyali Raya menciut. Ia gegas berpura-pura tak mendengar dan menuju ke kamar mandi untuk menuntaskan niatnya membersihkan tubuh tadi. “Ingat, jangan pernah kamu lakukan lagi. Kalau masih mau menginap di sini melihat calon suamimu, kamu harus bisa ikuti aturan Mak Bayah, jangan sampai karena kelakuanmu itu membuat sakit calon suamimu semakin parah,” Raya meneguk saliva nya takut, ia sama sekali tak menjawab. Rizal terus saja mengekor di belakangnya, membuat Raya risih, apalagi saat Rizal terus menatapnya tajam. Raya segera masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya dengan cepat. Debaran jantungnya tak beraturan. “Semakin lama di sini, semakin takut aku, nggak sama dukun itu, nggak sama suami-suaminya, semoga saja Ryan cepat sembuh dan aku bisa pergi dari sini secepatnya,” gumam Raya sangat pelan lebih menyerupai bisikan, ia khawatir apa yang ia katakan akan terdengar oleh dukun kampung atau para suaminya. Dengan perasaan takut, Raya perlahan melepas satu persatu pakaiannya dan mulai menguyur tubuhnya, penasaran ia ingin mengintip dan memastikan Rizal tak lagi mengawasinya, ia mencoba mengintip dari celah angin-angin yang ada di pintu kamar mandi, ia bernapas lega karena sudah tidak ada lagi Rizal di sana. Akan tetapi semua hanya sebentar saja, selama Raya di kamar mandi ia merasakan ada yang selalu mengawasi gerak geriknya, ia merinding apalagi saat melihat air di keran yang sudah beberapa ia matikan, selalu saja hidup kembali. Ditambah suara erangan kesakitan yang datangnya entah dari mana membuat Raya semakin bergidik ngeri. Raya segera menyelesaikan mandinya dengan sangat cepat, ia kemudian berlari menuju ke kamarnya. Baru saja ia masuk ke dalam kamarnya, ia langsung histeris karena melihat bayangan Rizal ada di cermin lemari. “Arghhhhh,” Raya ingin berteriak namun suaranya tertahan. Raya mau berlari sekencang mungkin meninggalkan kamar namun langkahnya tertahan dan matanya terus menatap bayangan Rizal yang terasa nyata persis berada di depannya dan dengan mata melotot, tiba-tiba saja Rizal bergerak menuju dinding sebelah kanan dan mulai merayap di sana layaknya binatang melata, setelahnya ia bergerak turun masih dengan menggunakan kedua tangannya. Tingkah Rizal persis seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Napas Raya terengah-engah, keringat mulai membasahi dahinya. Saat ada kesempatan, ia nekat ke luar kamar dalam keadaan masih menggunakan handuk di tubuhnya. “Tolong … tolong aku,” Raya terus berteriak meminta tolong, dan badannya luruh begitu saja di lantai saat sudah di luar kamar. Raya kaget sebab Rizal yang tadinya ia lihat ada di kamar, justru tengah sibuk dengan baskom di tangannya dan baru saja berlari menuju ke tempatnya dari arah luar. Jadi tadi itu siapa? “Kamu kenapa, Mbak? Mbak … kamu baik-baik aja, kan? Kamu kenapa?” berondong Rizal. Raya terus menggeleng-gelengkan kepalanya, ketakutan yang teramat sangat. “Ada apa ini?” Mak Bayah baru saja ke luar dari kamar pengobatan, wajahnya nampak datar saja melihat Raya yang kini tengah terisak-isak menangis ketakutan. Mak Bayah memberi isyarat dengan menggunakan matanya ke pada Rizal dan Suwito agar segera mengurus Raya. Raya yang sudah ketakutan melihat penampakan Rizal di kamar, menolak untuk dimasukkan kembali ke dalam kamarnya. “Bawakan saja pakaiannya ke kamar tamu yang ada di depan, mulai malam ini pindahkan saja dia tidur di sana, sudahlah tidak apa-apa, kamu yang tenang ya, sebentar Mak buatkan air penenang untuk kamu minum,” sebutnya, Raya hanya termangu, belum bisa melupakan apa yang baru saja terjadi padanya. Rizal dan Suwito bergerak memindahkan Raya ke kamar depan, sebelum masuk Raya memeriksa pemandangan kamar depan yang jauh lebih baik dari kamar yang ia tempati semalam, Raya juga belum berani menutup pintu kamarnya. “Biarkan saja pintu kamarnya terbuka, aku takut kalau pintunya ditutup,” Rizal menurut. Tak lama Mak Bayah memberi kode ke pada Rizal agar segera menghadapnya. “Berikan saja air ini ke pada perempuan kota itu, ia akan lebih tenang setelah meminum ini,” Mak Bayah menyerahkan segelas air yang sudah ia mantrai. Saat Rizal membawa air itu, tersungging senyum Mak Bayah bahkan senyumnya semakin melebar saat Rizal kembali dengan gelas yang sudah kosong di tangannya. “Airnya sudah diminum, Mak,” lapor Rizal. “Bagus, sekarang saatnya kalian berdua mencatat apa saja kebutuhan orang yang mau berobat, sekarang pergilah, aku masih harus mengobati Ryan sampai dia benar-benar sembuh,” lagi-lagi kedua suaminya menurut, bak kerbau di cucuk hidungnya.Part 22“Ya ampun, Lus. Ibu pikir kamu akan menolak lagi lamarannya Dahlan, ya sudah kalau begitu besok pagi-pagi Ibu sama Bapakmu akan ke rumah Dahlan memberi tahu berita baik ini,” Ayu menghambur memeluk anaknya dengan penuh haru. Dedi bernapas lega. ***Sekira pukul Sembilan pagi, Ayu dan Dedi mendatangi rumah Aminah, Ibunya Dahlan untuk menyampaikan berita baik mengenai diterimanya lamaran anaknya beberapa minggu yang lalu, Ayu dan Dedi begitu tampak bahagia, saat melintasi rumah Mak Bayah terlihat sangat ramai dan suara orang menangis bersahut-sahutan, mereka berdua juga tidak tahu apa namun mereka tak peduli dan terus melanjutkan perjalanan mereka menuju ke rumah Aminah yang bakal menjadi besan mereka nantinya.Kedatangan mereka disambut oleh Aminah juga putranya, Dahlan. Dahlan yang mengetahui kujungan kedua orang tua tentu saja menjadi deg-degan, ia khawatir jika Lusi menolak pinangannya karena kemarin tidak ada tanda-tanda Lusi akan menyukainya, dia merasakan juga jika
Part 21Ke luar dari rumah Mak Bayah, Dahlan mengedarkan pandangan kea rah luar, ia takut ada yang memergokinya berkunjung ke rumah dukun kampung. Beruntung keadaan jalan sepi, Dahlan gegas berjalan dan kini menuju rumah Lusi. Ia sendiri masih bingung apa yang harus ia lakukan supaya Lusi mau meminum air yang sudah dimantera oleh Mak Bayah. Saat berjalan, mendadak ia punya ide untuk membawakan makanan ke rumah Lusi jadi nanti akan dihidangkan bersama dengan air yang ada di tangannya. Dahlan singgah ke warung membeli aneka jajanan dan dengan tersenyum senang ia berharap agar Lusi bisa meminum dan akan terus mengingat Dahlan di hatinya. “Ehh, Dahlan apa kabar?” sambut Ibunya Lusi, Ayu. Dahlan celingak celinguk mencari keberadaan Lusi, tapi sepertinya Lusi sedang tidak ada di rumah.“Kabarku baik, Bu. Oya Lusi mana, Bu? Aku ke sini mau ketemu sama dia, mau lebih dekat mengenal dia,” Ayu tersenyum.“Lusi ada di kamarnya, tadi baru saja pulang dari mencuci di sungai, biasalah kegiatannya
Part 20 “Sudah ada jawaban si Lusi kah, Mak?” tanya Dahlan mengenai lamarannya ke pada Lusi, mantan Rizal. Sebelumnya saat melamar, kedua orang tua Lusi meminta waktu selama tiga minggu, hanya saja sudah hampir tiga minggu lamanya, belum jua kunjung ada tanda-tanda lamarannya akan diterima, Dahlan sendiri sudah lama memendam perasaan ke pada gadis bergigi gingsul tersebut, hanya saja dulu keburu pacaran dengan Rizal.Kali ini Dahlan tidak mau kehilangan kesempatan mendapatkan Lusi, hanya Lusi yang terus menari-nari di pelupuk matanya, selalu hadir di dalam mimpi indahnya, Dahlan yang seharusnya menerima pekerjaan di luar kota pun terpaksa ia tolak karena berharap Lusi akan menerima lamarannya dulu, menikah barulah ia akan pergi jauh bersama Lusi dari kampung ini di mana ada Rizal, mantan Lusi yang bisa saja sewaktu-waktu akan mengambil Lusi lagi darinya, hal itulah yang harus dia cegah.“Sampai sekarang belum ada kabarnya, Nak? Coba saja kamu jalan-jalan ke rumahnya, tanyakan sama o
Part 19 Nurhayati yang pingsan membuat Anisa juga Mbok Ijah menjadi panik, mereka mencoba membaringkan Nurhayati ke sofa, Anisa meminta Mbok Ijah membawakan minyak angin.“Bu … Bu Nur, bangunlah … bangun, Bu,” Anisa mencoba membangunkan Nurhayati sembari menggosokkan telapan tangannya, tak lama Nurhayati bangun dan begitu membuka mata ia kembali menangis.“Anakku, Raya. Aku tak mau terjadi sesuatu padanya, Bu. Kita harus kembali ke kampung itu, aku ingin menjemput Raya secara langsung, tolong Bu Anisa diam-diam dulu ya, aku maunya Papanya Raya tidak tahu akan hal ini, lagipula Beliau masih bertugas ke luar daerah,” lirih Nurhayati, Anisa hanya bisa mengangguk setuju. “Semoga saja anakku masih hidup,” harap Nurhayati.“Ya, Bu. Semoga saja, sebab saat menumpang di mobil, kata Raya dia ingin kembali ke kampung Mak Bayah itu karena ingin mengambil barangnya yang tertinggal di sana, semoga saja itu pertanda kalau Raya masih hidup dan memang dia masih ada di sana, kemarin mungkin saja kar
Part 18 Ibunya Ryan, Anisa segera membawa Ryan pergi dari kampung di mana Mak Bayah berada, sepanjang perjalanan Ryan terlihat gelisah, bahkan dia nekat ingin membuka pintu mobil. Sepertinya Ryan melakukannya tanpa sadar, yang ada di otaknya kini bagaimana ia kembali pada Mak Bayah, calon istrinya.“Apa yang kamu cari dari manusia tua seperti itu, otakmu memang sudah dicucinya supaya tidak mengenali calon istrimu, Raya. Bahkan kamu menolak perintah Ibu, biasanya kamu selalu menurut apa saja yang kami katakan, tapi tidak lagi sejak kamu diobati dukun kampung itu, sekarang ini Ibu harus mengurusmu dulu, nanti urusan Raya akan Ibu kasih tahu sama Papanya biar dijemput langsung,” Ryan nampak melotot tak senang ketika Ibunya menyebut nama Raya, baginya Raya adalah tukang selingkuh yang membuat hatinya hancur, beruntung ada Mak Bayah yang mau mengobati luka hatinya, selain itu Ryan selalu teringat pada kenangannya bersama Mak Bayah terutama saat memadu mesra di ranjang, Ryan merasakan sen
Part 17“Kalian itu yang sopan kalau mau masuk rumah orang, belum lagi aku mempersilahkan masuk, kalian sudah seenaknya main masuk tanpa permisi, atau mau aku teriak memanggil orang sekampung biar kalian digebuk warga di sini,” Langkah Ibunya Ryan tadi terhenti, ia tersenyum sinis kemudian dengan santainya menyingkap tirai pintu kamar yang ditempati oleh Ryan. Ia sempat terdiam melihat sekitar kamar, Mak Bayah merasa gugup sekali, khawatir jika calon suaminya akan ditemui di sana dan diambil paksa darinya mengingat ia sudah merencanakan akan menikah dengan laki-laki kota tersebut. “Tidak ada siapa-siapa di sini, baguslah berarti mungkin mereka ada di dalam,” Mak Bayah kaget tak menyangka jika Ryan yang semula masih tertidur pulas di dalam kamar justru tak ada, Mak Bayah ikut melihat mencari ke dalam kamar, memang tidak ada Ryan di sana. Mak bayah merasa lega dan kembali merasakan detak jantungnya tak beraturan saat Ibunya Ryan kembali melangkah cepat menuju dapur dan kamar yang lai