Part 3
Keesokan paginya, Raya yang baru saja terbangun kaget karena mendengar suara orang memanggil-manggil namanya dari luar kamar. Raya yang masih mengantuk berusaha beringsut dari tilam kapuk yang lusuh itu. “Ada apa, Mas?” tanyanya saat sudah berhadapan dengan Rizal. “Pacarmu sudah bisa berdiri sendiri. Sebaiknya kamu lihat sana, Mak Bayah juga sudah menunggumu.” Raya tak bisa menahan lajunya air matanya mendengar apa yang disampaikan oleh Rizal. Dia segera mencuci wajahnya lalu menyusul ke depan melihat keadaan Ryan. Benar saja, begitu ia sampai di ruang tamu yang hanya beralaskan tikar, Raya duduk dan melihat sendiri Ryan sudah berdiri tanpa tongkat penyangga. Mak Bayah melatihnya untuk berjalan. “Kamu masih harus sering latihan, mungkin dalam seminggu kedepan dia benar-benar sembuh, semuanya butuh proses.” Terang Mak Bayah sembari terus memegang kedua tangan Ryan melatihnya berjalan di sekitar ruang tamu berukuran 4 kali 5 meter tersebut. “Ya Allah, terima kasih Mak Bayah. Untuk urusan latihan jalan nanti biar aku saja yang melatihnya. Aku benar-benar berterima kasih sekali.” Raya terus mengucap syukur dengan memegang lembut tangan Mak Bayah. “Bukan kamu yang melatihnya! Pacarmu ini akan berjalan jika dia di sini selama seminggu ini, hanya aku yang bisa memegangnya sampai dia benar-benar sembuh!” bentakan Mak Bayah membuat Raya terlonjak kaget. Mak Bayah memandang sinis dan tajam ke arah Raya. Raya melongo dan tak berkutik, pandangan Mak Bayah membuat hatinya menciut. Ryan terlihat berubah, lebih banyak diam. “Baiklah, aku akan ijin tidak masuk kerja dulu sampai Mas Ryan benar-benar sembuh.” Kata Raya akhirnya. “Apa kamu tidak mendengar? Pacarmu ini selama pengobatan tidak boleh tersentuh olehmu, hanya Mak saja yang boleh melakukannya. Kalau sampai tersentuh lagi dengan perempuan, maka pengobatan yang sudah dilakukan semalam sia-sia dan Mak tidak mau lagi mengulangnya dari awal. Selain itu, kalau kamu mau bekerja sebaiknya fokus saja bekerja dan biarkan pacarmu ini menjadi tanggung jawab Mak sampai sembuh,” ucap Mak Bayah. “Tapi … aku bisa kok ijin dari kantor untuk tidak kerja selama seminggu. Melihatnya sekarang ini yang sudah bisa berjalan membuatku senang, aku tak sabaran melihatnya benar-benar sembuh, bisa kan aku tetap di sini?” tawar Raya. Mak Bayah menggelengkan kepalanya. “Terlalu banyak pantangan yang bisa saja dilanggar jika kalian masih tetap bersama, serahkan saja pengobatannya dengan Mak. Mak jamin dalam seminggu kamu bisa melihatnya berlari dan berjalan normal lagi.” Jelas Mak Bayah tak bisa ditawar lagi. Setelah hampir sepuluh menit melakukan latihan jalan, Ryan meminta istirahat dan kembali ke dalam ruangan berobat. Raya hanya bisa menatap pacarnya digandeng mesra oleh dukun kampung itu. “Sudahlah, Mbak sebaiknya Mba pulang saja. Kamu dengar sendiri apa yang dikatakan oleh Mak Bayah. Dia sendiri sudah menjamin akan menyembuhkannya, percaya saja biar prosesnya berjalan lancar.” Ungkap Rizal memperhatikan wanita cantik berkulit putih mulus di depannya ini. “Kamu harusnya bersyukur Mak Bayah mau mengobati pacarmu itu sampai sembuh, jarang sekali sampai Mak Bayah memberi jaminan, kamu tinggal pulang saja dulu dan kembali seminggu lagi,” tambah Suwito. “Aku sebenarnya bingung dengan pantangan yang katanya dilanggar itu seperti apa?” tanya Raya. “Saat pengobatan yang dilakukan Mak Bayah, memang setiap pasien laki-laki tidak boleh dulu menyentuh perempuan, begitu juga sebaliknya dan diminta untuk tidak memakan makanan yang pedas, meski lomboknya (cabai) hanya sebiji itu tidak boleh termasuk makan yang ada jeruk asamnya, semua itu pantangan yang tidak boleh dilanggar,” jawab Rizal. “Betul itu, kalau dilanggar maka pengobatannya tidak ada artinya lagi malah takutnya keadaannya semakin parah, makanya apa saja yang disuruh Mak Bayah turuti saja demi kesembuhan pacarmu itu.” Ucap Suwito. Raya menghela napas panjang. “Aku tidak masalah, hanya saja aku betul-betul ingin di sini melihat dan mendampingi calon suamiku saat pengobatannya, tolonglah meski aku tak bisa menyentuhnya, setidaknya biarkan aku tetap di sini biarpun hanya melihatnya dari jauh,” harap Raya. Suwito dan Rizal saling berpandangan. Setelahnya mereka mengangguk mengiyakan. “Tapi … kamu juga wajib untuk tidak ke luar dari dalam kamar saat malam hari, meski mau ke kamar mandi. Apapun telinga dan mata jangan sekali pun mendengar dan melihat, bila kamu melanggar pantangan maka calon suamimu bisa lebih sakit lagi dari sebelum kamu membawa dia ke sini, mengerti, kan?” Ucap Suwito. Raya tak bisa berkutik selain mengangguk setuju saja. “Ya sudah, mumpung masih pagi. Aku boleh meminta ijin ke luar untuk berjalan-jalan sekitar kampung kan?” pinta Raya dan kedua suami Mak Bayah memberikan ijinnya. Raya lalu bersemangat mengambil sandal jepit di teras lalu mulai melangkah berjalan mengitari perkampungan, salah satu kampung yang sangat disukai oleh Raya adalah pemandangan dan udaranya masih sangat segar. Mata warga tertuju padanya saat ia melintas di sekitaran sungai di mana para ibu-ibu sedang mencuci pakaian, Raya tersenyum mencoba ber basa-basi. “Benar-benar masih alami cara hidup orang di sini,” gumam Raya. “Ya, beginilah kampung kami ini, Mbaknya dari kota?” Raya menoleh memperhatikan perempuan manis di hadapannya. Raya mengangguk. “Pasti lagi berobat dengan Mak Bayah ya?” Tanyanya lagi dengan senyum khas memperlihatkan gigi gingsul nya. “Calon suamiku yang berobat, sudah setahun ini ia lumpuh da nada teman yang katanya pernah berobat di sini dan sembuh, makanya aku nekat membawanya ke sini dengan harapan calon suamiku bisa sembuh. Jadi Mak Bayah sajalah harapanku saat ini sebab bulan depan aku dan calonku ini akan menikah,” perempuan tadi tersenyum sinis. Raya melipat alisnya. “Sebaiknya segera kamu berobat dan cepat bawa calon suamimu itu pulang kembali ke kota, bila tidak mau calon suaminya nanti direbut dan diambil paksa darimu,” Raya semakin bingung dengan perempuan di depannya ini. Entah apa maksudnya. “Kenapa harus pergi cepat? Memangnya ada yang salah dengan kampung ini? Terus siapa yang kamu maksud akan mengambil paksa calon suamiku, ada jin atau ada orang jahat yang akan melakukannya ya?” perempuan tadi hanya menggelengkan kepala. “Nanti juga kamu akan tahu, sebaiknya sering-seringlah kamu awasi calon suamimu itu, aku hanya bisa berdoa yang terbaik untukmu dan bisa kembali ke kota dengan aman,” tukasnya kemudian berlalu begitu saja. Raya hanya bisa melongo memperhatikan perempuan kampung berwajah manis tadi, timbul tanya dalam hatinya, apa benar yang dikatakan perempuan bergigi gingsul tadi? Apakah Ryan terancam diambil paksa? Tapi oleh siapa? Kata-kata perempuan tadi terus terngiang di telinganya.Part 22“Ya ampun, Lus. Ibu pikir kamu akan menolak lagi lamarannya Dahlan, ya sudah kalau begitu besok pagi-pagi Ibu sama Bapakmu akan ke rumah Dahlan memberi tahu berita baik ini,” Ayu menghambur memeluk anaknya dengan penuh haru. Dedi bernapas lega. ***Sekira pukul Sembilan pagi, Ayu dan Dedi mendatangi rumah Aminah, Ibunya Dahlan untuk menyampaikan berita baik mengenai diterimanya lamaran anaknya beberapa minggu yang lalu, Ayu dan Dedi begitu tampak bahagia, saat melintasi rumah Mak Bayah terlihat sangat ramai dan suara orang menangis bersahut-sahutan, mereka berdua juga tidak tahu apa namun mereka tak peduli dan terus melanjutkan perjalanan mereka menuju ke rumah Aminah yang bakal menjadi besan mereka nantinya.Kedatangan mereka disambut oleh Aminah juga putranya, Dahlan. Dahlan yang mengetahui kujungan kedua orang tua tentu saja menjadi deg-degan, ia khawatir jika Lusi menolak pinangannya karena kemarin tidak ada tanda-tanda Lusi akan menyukainya, dia merasakan juga jika
Part 21Ke luar dari rumah Mak Bayah, Dahlan mengedarkan pandangan kea rah luar, ia takut ada yang memergokinya berkunjung ke rumah dukun kampung. Beruntung keadaan jalan sepi, Dahlan gegas berjalan dan kini menuju rumah Lusi. Ia sendiri masih bingung apa yang harus ia lakukan supaya Lusi mau meminum air yang sudah dimantera oleh Mak Bayah. Saat berjalan, mendadak ia punya ide untuk membawakan makanan ke rumah Lusi jadi nanti akan dihidangkan bersama dengan air yang ada di tangannya. Dahlan singgah ke warung membeli aneka jajanan dan dengan tersenyum senang ia berharap agar Lusi bisa meminum dan akan terus mengingat Dahlan di hatinya. “Ehh, Dahlan apa kabar?” sambut Ibunya Lusi, Ayu. Dahlan celingak celinguk mencari keberadaan Lusi, tapi sepertinya Lusi sedang tidak ada di rumah.“Kabarku baik, Bu. Oya Lusi mana, Bu? Aku ke sini mau ketemu sama dia, mau lebih dekat mengenal dia,” Ayu tersenyum.“Lusi ada di kamarnya, tadi baru saja pulang dari mencuci di sungai, biasalah kegiatannya
Part 20 “Sudah ada jawaban si Lusi kah, Mak?” tanya Dahlan mengenai lamarannya ke pada Lusi, mantan Rizal. Sebelumnya saat melamar, kedua orang tua Lusi meminta waktu selama tiga minggu, hanya saja sudah hampir tiga minggu lamanya, belum jua kunjung ada tanda-tanda lamarannya akan diterima, Dahlan sendiri sudah lama memendam perasaan ke pada gadis bergigi gingsul tersebut, hanya saja dulu keburu pacaran dengan Rizal.Kali ini Dahlan tidak mau kehilangan kesempatan mendapatkan Lusi, hanya Lusi yang terus menari-nari di pelupuk matanya, selalu hadir di dalam mimpi indahnya, Dahlan yang seharusnya menerima pekerjaan di luar kota pun terpaksa ia tolak karena berharap Lusi akan menerima lamarannya dulu, menikah barulah ia akan pergi jauh bersama Lusi dari kampung ini di mana ada Rizal, mantan Lusi yang bisa saja sewaktu-waktu akan mengambil Lusi lagi darinya, hal itulah yang harus dia cegah.“Sampai sekarang belum ada kabarnya, Nak? Coba saja kamu jalan-jalan ke rumahnya, tanyakan sama o
Part 19 Nurhayati yang pingsan membuat Anisa juga Mbok Ijah menjadi panik, mereka mencoba membaringkan Nurhayati ke sofa, Anisa meminta Mbok Ijah membawakan minyak angin.“Bu … Bu Nur, bangunlah … bangun, Bu,” Anisa mencoba membangunkan Nurhayati sembari menggosokkan telapan tangannya, tak lama Nurhayati bangun dan begitu membuka mata ia kembali menangis.“Anakku, Raya. Aku tak mau terjadi sesuatu padanya, Bu. Kita harus kembali ke kampung itu, aku ingin menjemput Raya secara langsung, tolong Bu Anisa diam-diam dulu ya, aku maunya Papanya Raya tidak tahu akan hal ini, lagipula Beliau masih bertugas ke luar daerah,” lirih Nurhayati, Anisa hanya bisa mengangguk setuju. “Semoga saja anakku masih hidup,” harap Nurhayati.“Ya, Bu. Semoga saja, sebab saat menumpang di mobil, kata Raya dia ingin kembali ke kampung Mak Bayah itu karena ingin mengambil barangnya yang tertinggal di sana, semoga saja itu pertanda kalau Raya masih hidup dan memang dia masih ada di sana, kemarin mungkin saja kar
Part 18 Ibunya Ryan, Anisa segera membawa Ryan pergi dari kampung di mana Mak Bayah berada, sepanjang perjalanan Ryan terlihat gelisah, bahkan dia nekat ingin membuka pintu mobil. Sepertinya Ryan melakukannya tanpa sadar, yang ada di otaknya kini bagaimana ia kembali pada Mak Bayah, calon istrinya.“Apa yang kamu cari dari manusia tua seperti itu, otakmu memang sudah dicucinya supaya tidak mengenali calon istrimu, Raya. Bahkan kamu menolak perintah Ibu, biasanya kamu selalu menurut apa saja yang kami katakan, tapi tidak lagi sejak kamu diobati dukun kampung itu, sekarang ini Ibu harus mengurusmu dulu, nanti urusan Raya akan Ibu kasih tahu sama Papanya biar dijemput langsung,” Ryan nampak melotot tak senang ketika Ibunya menyebut nama Raya, baginya Raya adalah tukang selingkuh yang membuat hatinya hancur, beruntung ada Mak Bayah yang mau mengobati luka hatinya, selain itu Ryan selalu teringat pada kenangannya bersama Mak Bayah terutama saat memadu mesra di ranjang, Ryan merasakan sen
Part 17“Kalian itu yang sopan kalau mau masuk rumah orang, belum lagi aku mempersilahkan masuk, kalian sudah seenaknya main masuk tanpa permisi, atau mau aku teriak memanggil orang sekampung biar kalian digebuk warga di sini,” Langkah Ibunya Ryan tadi terhenti, ia tersenyum sinis kemudian dengan santainya menyingkap tirai pintu kamar yang ditempati oleh Ryan. Ia sempat terdiam melihat sekitar kamar, Mak Bayah merasa gugup sekali, khawatir jika calon suaminya akan ditemui di sana dan diambil paksa darinya mengingat ia sudah merencanakan akan menikah dengan laki-laki kota tersebut. “Tidak ada siapa-siapa di sini, baguslah berarti mungkin mereka ada di dalam,” Mak Bayah kaget tak menyangka jika Ryan yang semula masih tertidur pulas di dalam kamar justru tak ada, Mak Bayah ikut melihat mencari ke dalam kamar, memang tidak ada Ryan di sana. Mak bayah merasa lega dan kembali merasakan detak jantungnya tak beraturan saat Ibunya Ryan kembali melangkah cepat menuju dapur dan kamar yang lai