Share

Persahabatan

Aku sangat terkejut karena saat ini aku hanya melihat ruangan kamar nenek, tanpa ada Ara disana. Aku masih tidak percaya kalau Ara benar-benar sudah pergi, padahal baru saja kami mengobrol dengan santai.

"Aurora.....! Ara.....! Kamu masih disini kan? Jangan bercanda seperti ini, aku sangat tidak suka."

Aku berusaha mencari disetiap sudut rumah, tapi hasilnya tetap nihil. Sepertinya cerita tentang dia yang hilang secara tiba-tiba memang benar. Dan jika dia sudah kembali ke tempat asalnya, itu berarti aku harus menunggu satu minggu lagi untuk dapat kembali bertemu dengannya.

Padahal aku masih berharap dia akan menemaniku hingga malam, agar aku tidak sendirian saat ini. Keheningan membuatku kembali teringat tentang nenek, walaupun aku masih sedikit terhibur dengan pertemuanku dengan Ara tadi.

'Satu Minggu semoga dapat berlalu dengan cepat.'

Aku berkata dalam hati, berharap Ara dapat mendengar apa yang sedang aku pikirkan. Aku berjalan menuju kamar, untuk mengabadikan moment ini dalam sebuah tulisan. Mungkin tulisan kali ini bisa menjadi salah satu tulisan yang penting dan berharga, bagi diriku nantinya di masa depan.

***

Pagi ini aku memulai kembali kehidupanku seperti biasanya, bekerja sebagai CEO perusahaan penerbit yang sudah aku bangun dari delapan tahun lalu. Dulu disaat aku ragu untuk menggunakan warisan orang tuaku, nenek lah yang mendukung dan menyemangatiku untuk membuat perusahaan ini.

Karena rasa sukaku terhadap buku, aku ingin menyediakan wadah untuk sebuah buku dapat tercetak dan dinikmati semua orang. Walaupun dulu perusahaan ini hanya memiliki 1 ruangan memanjang, yang aku sekat-sekat untuk memisahkan ruangan. Kini perusahaanku sudah memiliki satu gedung besar dengan 4 lantai, di tambah 1 gedung lagi di belakang untuk produksi percetakan.

Aku membangunnya saat awal-awal kuliah, karena waktu itu aku masih sedikit awam dalam dunia penulisan, nenekku lah yang membantuku menganalisa sebuah cerita yang akan menjadi sebuah buku. Aku pun menyelesaikan kuliahku kurang dari 4 tahun, dan perusahaanku semakin berkembang sejak itu. Semua ini bisa terjadi berkat dukungan dari nenek, dan hasil dari peninggalan orang tuaku. Jika bukan berkat mereka, aku tidak akan bisa sesukses sekarang. Bahkan untuk membayangkannya saja, mungkin tidak akan pernah bisa aku lakukan.

Suara ketukan pintu, membuatku melepaskan perhatianku dari sebuah dokumen, dari salah satu penulis yang sedang aku analisa. Aku mempersilahkan masuk orang yang tadi telah mengetuk pintu, sambil membenarkan posisi dudukku agar terlihat lebih berwibawa. Walau bagaimanapun saat ini aku berada di kantor, dan sebagai pemimpin aku tetap harus menjaga sikap.

Setelah mendengar jawabanku, orang tadi langsung masuk ke ruangan. Orang kepercayaanku sekaligus sahabatku sendiri, yang masuk dari balik pintu. Bima Prasetya, nama sahabatku namu saat ini sedang menjalankan tugas sebagai asistenku. Dia pria cerdas yang sangat profesional, dan berdedikasi tinggi kepada perusahaan ini. Walaupun dia terlihat seperti orang desa, tapi aku sangat bahagia memiliki sahabat sekaligus sekretaris sepertinya.

Aku dan Bima sudah mulai bersahabat sejak SMA, dan persahabatan itu terus berjalan hingga sekarang. Kami kenal karena kesalah pahaman, yang berakhir dengan kami yang sering menyadari kecocokan untuk mengobrol maupun bercanda. Tapi saat ini dia sudah banyak berubah, sifatnya yang tegas kepada diri sendiri dan sikap tenangnya di hadapan orang lain, berbanding terbalik dengan sikapnya yang lembut dan manja kepada pacarnya Eliana Putri atau yang sering aku panggil Eli.

Aku pun kenal baik dengan pacarnya itu, bahkan kami sering kumpul bertiga. Sikap mereka berdua saling melengkapi menurutku, jadi mereka benar-benar terlihat sangat serasi. Kadang aku merasa iri jika kami sedang berkumpul, apalagi aku yang berstatus jomblo sejak dulu. Bukan karena tidak ada yang menyukaiku, tapi lebih karena belum ada wanita yang menarik perhatianku. Tapi sekarang perhatianku sepenuhnya diisi oleh Ara, aku benar-benar tersihir dengan kecantikannya.

"Maaf Pak, sebentar lagi akan ada meeting bersama penulis Naya yang dokumennya sudah saya siapkan sejak tadi pagi."

Aku kembali terfokus dengan ucapan yang di sampaikan Bima, ternyata sudah cukup lama sejak aku menganalisa dokumen ini.

"Baik, aku sudah menganalisanya. Tolong siapkan pertemuannya lima menit lagi."

"Baik, Pak."

Bima langsung meninggalkan ruangan kerjaku, dan langsung bergegas menjalankan perintahku tadi. Begitulah kami jika sedang jam kerja, karena kami sama-sama bersikap profesional ketika masih bekerja. Tapi setelah jam kerja habis, jangan harap sikap sopan seperti ini terlihat. Kami bahkan lebih terlihat seperti saudara daripada sahabat, bahkan dulu saat Bima belum memiliki pacar, orang-orang bahkan mengira kalau kami gay.

Tapi kami tidak pernah ambil pusing ataupun membuat sangkalan untuk itu, karena kami tidak pernah memperdulikan respon yang tidak masuk akal seperti itu. Selama kami merasa masih normal, tidak ada yang membuat kami harus marah. Dan setelah Bima berpacaran dengan Eli, tudingan itu langsung hilang dengan sendirinya.

Pertemuan kali ini berjalan cukup lancar, karena aku sangat menyukai hasil penulis Naya. Salah satu penulis yang aku dan nenek kagumi, karena cerita maupun alur yang dituangkan selalu berkesan untuk kami. Namun sekarang hanya aku yang bisa menganalisanya sendiri tanpa nenek, membuatku kembali merasakan perasaan rinduku yang sempat terobati karena kedatangan Ara.

"Baiklah, terimakasih untuk hasil hari ini. Saya sangat puas dengan hasil tulisan penulis Naya. Editor kami akan segera menyerahkan kontrak untuk proses pencetakan kali ini."

"Sama-sama, Pak. Saya juga berterima kasih atas kesempatannya kembali."

Penulis itu pun berpamitan, dan setelah itu aku langsung kembali ke ruangan. Aku kembali mempelajari dokumen-dokumen dari penulis lain, karena masih banyak permintaan buku yang harus dicetak. Walaupun aku memiliki banyak editor di perusahaan ini, tapi aku tetap mempelajari alur cerita dari catatan di setiap halaman yang sudah dibuat oleh para editor. Dan akulah nantinya yang memutuskan tetap menggunakan alur itu, atau harus ada revisi sebelum kontrak penerbitan.

Visi perusahaan ini tidak menerbitkan cerita yang tidak layak, tapi perusaan ini juga tidak pernah menolak penulis yang ingin menerbitkan bukunya. Jadi proses analisa dan revisi memakan waktu yang cukup banyak, tapi hasil yang kami dapatkan juga selalu memuaskan. Karena sudah banyak orang yang percaya, dengan kualitas yang perusahaan ini suguhkan.

Bahkan banyak penulis baru, yang mencoba peruntungannya lewat perusahaan kami. Tapi banyak yang pada akhirnya menyerah sendiri, karena tidak sanggup dengan permintaan revisi yang terlalu banyak. Setidaknya perusahaan sudah memberikan wadah bagi mereka, untuk lebih mempelajari sebuah karya tulis yang lebih baik. Bukankah pengalaman itu jauh lebih dibutuhkan, dibandingkan mempelajari sendiri secara otodidak.

Setelah jam kerja selesai, aku dan Bima langsung bergegas menuju rumahnya untuk membantu menyiapkan pesta kejutan kecil-kecilan, untuk merayakan ulang tahun Eli di atap rumahnya. Karena rencananya diulang tahun Eli ini, Bima juga berencana melamarnya setelah berpacaran selama 5 tahun.

Sebelumnya kami mampir di salah satu supermarket untuk membeli daging dan soda, juga membeli beberapa camilan untuk kami nanti. Kami juga mengambil pesanan kue dan juga cincin, yang sudah di pesan Bima jauh-jauh hari. Sebenarnya aku juga memberikan kejutan untuk Bima, karena sampai sekarang dia tidak tahu kalau aku menyewa orang untuk menghias atap rumahnya.

Karena Bima orang yang cukup simpel, dia tidak akan memikirkan untuk menghias ruangan. Aku juga menambahkan sedikit musik pengiring, yang tersambung dan bisa aku atur lewat ponselku. Biarlah ini menjadi hari terindah mereka, selama masih berstatus pacar. Aku juga ingin ikut andil dalam salah satu hari bahagia sahabatku ini, sebelum dia menjajaki kehidupan baru berumahtangga nantinya.

Selama di perjalanan aku sedikit menahan tawa, karena melihat tingkah Bima yang tidak seperti biasanya. Dia terlihat sangat gugup, bahkan sejak tadi dia seperti orang linglung. Dia berulang kali mengecek apa saja yang belum dia siapkan di dalam mobil, tapi dia selalu lupa dan aku yang harus mengingatkannya. Apakah semua pria yang akan melamar pacarnya menjadi seperti ini?

Kami menghabiskan banyak waktu, hanya untuk kembali mengingat apa saja yang kurang. Dan kami hampir saja melupakan buket bunga, yang sudah dipesan Bima satu minggu sebelumnya. Untunglah di menit-menit terakhir sebelum toko tutup, kami berhasil mendapatkan buket bunga itu.

Eli sangat menyukai warna merah, menurutku itu memang sangat cocok dengan kepribadian yang sangat berani. Bima juga memesan sebuket bunga mix mawar merah dan anggrek merah, itu juga bunga yang sangat disukai oleh Eli. Mungkin karena mereka sudah bersama begitu lama, Bima sangat berusaha untuk memberikan semua yang Eli sukai.

Aku berusaha menenangkan Bima di perjalanan, aku mengatakan kepadanya berkali-kali kalau semua akan berjalan lancar. Padahal sebenarnya aku sendiri pun ikut gugup, padahal aku hanya akan menjadi saksi dan menontonnya. Tapi aku tidak sabar untuk segera menyaksikannya.

Saat kami sampai dirumah Bima, kami pun langsung menurunkan semua barang dan membawanya masuk. Hingga saat kami akan sampai di atap, aku menubruk punggung Bima yang tiba-tiba berhenti di depanku. Aku mengikuti arah pandangnya, yang terlihat sangat kaget.

"Deffa!"

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status