Home / Rumah Tangga / Perempuan Dari Bui / Bab 5 Bukan Jawaban Yang Diinginkan

Share

Bab 5 Bukan Jawaban Yang Diinginkan

Author: HIZA MJ
last update Last Updated: 2023-08-12 09:35:18

“Anda pasti belum sarapan? Saya dengar dari staff front desk kalau Anda baru bangun.” Melirik pada front desk lalu kembali menatap Gladis. Benar-benar menatap. Cukup dalam. Cukup intens.

Sejak 30 menit yang lalu Ghibrann hanya memandang pintu elevator dengan perasaan campur aduk. Menunggu Gladis keluar dari dalamnya. Saat pintu besi itu berdenting, jantungnya ikut berhenti sesaat. Lalu mendesah ringan saat yang keluar bukan perempuan yang ia harapkan. Begitu terus sampai ia jantungnya justru berdegup lebih kencang saat tahu bahwa Gladis-lah yang muncul dari pintu besi itu.

Gladis berdiri salah tingkah karena ditatap sangat intens.

“Saya sudah punya jawaban untuk Anda kalau itu yang membawa Anda kesini. Kita bisa bertemu di panti kalau hanya untuk bertemu Asma. Saya tahu jalannya.” Tegas Gladis.

Ghibran terdiam mengatupkan kedua bibirnya rapat. Dadanya berdesir dan nafasnya terasa berhenti sesaat mendengar Gladis sudah memiliki jawaban. Sejujurnya, ia belum siap mendengarnya sekarang.

“Kita pesan makan dulu. Saya kebetulan juga sudah lapar. Ini hampir jam makan siang.” Ghibran berdiri lalu tangannya satu masuk ke dalam kantong celana.

Ghibran merasa harus mengulur waktu. Ia benar-benar tidak siap dengan jawaban dari apa yang ia tawarkan sendiri. Di dalam hati kecilnya, dia begitu ingin mendengar Gladis menerima lamarannya. Bisa jadi dia sudah gila. Mungkin saja.

Entah sejak kapan pula ia berharap pada wanita itu.

“Pak!”

Ghibran tersentak. Berhenti melangkah. Memutar badan.

“Maaf. Saya tidak tahu harus memanggil Anda bagaimana. Saya banyak berterima kasih pada Anda. Hotel ini juga terlalu mewah untuk saya. Anda terlalu banyak mengeluarkan uang untuk seseorang seperti saya. Sungguh, jangan membuat saya banyak berhutang pada Anda. Saya—"

“Cukup! Tunggu..Tunggu Gladis!” Potong Ghibran. Ghibran memalingkan wajahnya dari bersitatap dengan Gladis sesaat. Ia benar-benar tak siap.

Tunggu.. Gladis? Barusan dirinya memanggil wanita itu langsung dengan namanya? Kamu gila Ge.

Ia menghela napasnya beberapa kali dengan kasar. Debaran di dadanya karena menunggu jawaban itu semakin keras berdentam. Membuat perutnya teraduk-aduk mual.

Gladis memicing. Mengangkat alis.

“Anda tahu nama saya?” Sahut Gladis. Gladis menggeleng. Penting tidak penting laki-laki itu tahu namanya. Toh nanti pada akhirnya ia juga akan tahu karena mengurus berkas-berkas adopsi itu.

“Saya akan memberikan persetujuan itu untuk Anda. Anda bisa mengadopsi Asma.” Lanjut Gladis dalam satu tarikan napas.

Tak mengindahkan larangan Ghibran. Matanya terpejam. Tangannya saling menggenggam erat.

Benar tebakanmu, Ge. Kamu kecewa? Kamu kecewa karena dia ternyata dengan rela hati menyerahkan Asma? Kamu berharap dia mau menikah denganmu?

Ghibran diam. Genderang bertalu di dadanya. Marah? Kecewa? Atau apalah perasaannya saat itu. Tidak satu katapun berhasil keluar dari mulutnya. Ia hanya berdiri memandang. Menatap Gladis.

“Asma akan memiliki kehidupan yang baik jika bersama Anda. Ia pasti bisa hidup tercukupi dan layak jika bersama Anda. Lagipula, Asma sudah sangat dekat dengan Anda sampai-sampai memanggil papa. Saya hanya orang asing bagi Asma. Saya tidak cukup baik untuk mendapat panggilan ‘mama’.”

Air mata Gladis menetes seiring berakhirnya kalimat itu.

***

Banyak sekali yang ingin Ghibran ceritakan pada Gladis tentang Asma. Tentang bagaimana anak kecil itu tumbuh, tentang apa kesukaan Asma, tentang bagaimana awal perkenalan mereka, tentang…

Tentang bagaimana Ghibran menceritakan sosok Gladis pada anak kecil itu.

Ghibran memiliki banyak hal untuk dibincangkan. Tapi siang itu, sosok perempuan yang ia puji dalam hati karena kecantikannya, memberikan jawaban pilihan yang mengejutkan.

Hati kecilnya tak terima. Atau haruskah sejak awal ia tak boleh memberikan pilihan itu? Haruskah sejak awal ia paksa saja Gladis menerima tawaran menikah itu?

Angan abu-abunya semalam pudar tergerus angin kencang.

Gladis melenggang pergi meninggalkan Ghibran yang masih mematung di tempat yang sama.

Kenapa hatinya sakit sekali mendengar Gladis akan melepas Asma begitu saja? Harusnya dia senang, kan? Matanya menatap punggung Gladis yang berjalan menjauh. Kedua tangan perempuan itu membawa tentengan plastik yang sama dengan yang semalam.

Perempuan itu memakai baju baru. Aroma baju baru bahkan masih tersisa di hidung Ghibran. Tunik panjang maroon lengan panjang dipadu celana panjang cream serta hijab motif bunga kecil warna senada. Penampilannya sangat segar. Tapi siapa yang akan menyangka bahwa hatinya sedang lara.

Ghibran larut dalam keterkejutan. Lebih tepatnya pupus pada ekpektasi yang ia lambungkan sendiri. Saat ia sudah sadar, Gladis telah menghilang dari hadapannya.

“Apa yang akan dikatakannya pada Asma? Asma tidak boleh mendengar apapun darinya. Gladis sedang labil. Pikirannya pasti kalut karena tawaran bodoh dariku.” Ghibran berlari menuju mobilnya.

Ia harus segera mencegah Gladis mengatakan yang tidak-tidak soal adopsi itu.

Ghibran merogoh ponselnya dan menghubungi ibu pengasuh panti.

“Hallo.. Iya, Bu, kalau nanti Mamanya Asma ingin bertemu Asma tolong dicegah dulu. Bagaimanapun caranya. Tunggu saya datang. Atau kalau dia memaksa menandatangani formulir adopsi tolong dicegah.” Ucap Ghibran memburu.

[….]

“Pokoknya dicegah saja. Tunggu saya datang.” Sahut Ghibran singkat.

Ia melajukan mobilnya cepat-cepat menuju panti. Padahal janjinya ia akan datang sore.

Ghibran gelisah memikirkan apa yang akan diucapkan Gladis pada Asma. Ghibran sampai pada pemikiran barunya. Kalaupun Asma sudah berada dalam genggamannya dan berhasil ia adopsi, bisa jadi Asma bahagia. Tapi Ghibran tak merasa demikian. Tiiba-tiba saja ia gusar.

Mobil Ghibran berdecit dan menyisakan kepulan debu di halaman panti itu. Ia berjalan terburu namun memasang wajah sesantai dan seramah mungkin seperti biasanya.

“Apa Gladis sudah disini?” Tanyanya begitu berhadapan dengan Ibu pengasuh panti. Bu Yasmin namanya.

“Tidak ada, Pak. Bu Gladis belum sampai di sini.” Jawab Bu Yasmin.

“Belum? Lalu kemana perginya?” Sebenarnya pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Ghibran masih tak melihat Bu Yasmin. Ia sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya lalu mengirimnya pada seseorang.

“Apa Bapak bersama Bu Gladis? Gimana bisa ketemu? Memangnya ada apa, Pak? Bapak terlihat gelisah.” Tanya Ibu Yasmin. Penjaga panti.

Ghibran memandang Bu Yasmin dengan helaan napas kasar yang membuat Bu Yasmin mendelik.

“Gladis bilang akan memberikan persetujuan untuk adopsi Asma. Saya belum bilang mengiyakan, Bu. Tapi dia sudah pergi. Saya kira dia datang kemari.” Kata Ghibran celingukan melihat kesana kemari.

“Kalau begitu, Bapak harusnya senang, kan? Ini yang Bapak inginkan dari dulu. Asma pasti juga senang bisa tinggal bersama papanya.. Tapi, Bu Gladis…” Tatapan Bu Yasmin menyendu. Bu Yasmin-lah yang paling tahu bagaimana perjuangan Gladis melahirkan Asma.

Di dalam bui dengan fasilitas yang sangat minim dibantu beberapa bidan. Asma mengalami lilit leher yang membuat proses kontraksi dan kelahiran itu berlangsung hampir 3 hari.

Lalu, begitu anak itu lahir harus terpaksa langsung berpisah dengan ibunya. Asma minum asi perah dari sang ibu. Setiap satu minggu sekali Bu Yasmin akan ke lapas mengambil asi tersebut.

Tapi asi itu tak banyak. Asi itu hanya keluar sampai Asma berusia 4 bulan. Gladis terlalu tertekan dan stress karena berpisah dengan sang anak serta menjalani hukumannya di dalam penjara hingga membuat ASI-nya macet.

Panti yang saat itu kesulitan mendapatkan donatur pun merasa kesulitan memenuhi sufor untuk Asma. Lalu tepat saat itulah, entah malaikat darimana yang dikirim Tuhan, Ghibran datang bertandang lalu berjanji akan menjadi donatur tetap untuk panti itu.

Ghibran terhenyak karena Bu Yasmin benar. Harusnya ia senang. Tapi..

“Gladis tidak sepenuhnya benar-benar bisa melepas Asma. Nggak akan pernah. Empat tahun lebih menunggu momen agar bisa berkumpul dengan sang anak. Rasanya mustahil kalau dia melepas begitu saja Asma. Makanya saya harus bicara lagi dengannya.” Ujar Ghibran menggebu-gebu. Menengok sana-sini, kentara gelisah menyelimuti.

Ibu pengasuh panti itu mengangguk-angguk. Tapi masih tak mengerti dengan sikap Ghibran yang berubah tiba-tiba. Dari dulu Ghibran selalu memintanya untuk membuju Gladis agar menyerahkan persetujuan adopsi itu.

“Kalau Bu Gladis datang kemari, saya akan hubungi Bapak secepatnya. Semoga ini bisa membantu.” Ucap Bu Yasmin menenangkan.

“Apa ada yang bisa saya katakan pada Bu Gladis kalau beliau kemari nanti? Soal adopsi..”

“Jangan, Bu. Cukup ajak dia mengobrol santai. Berbicara soal Asma. Jangan menyinggung soal adopsi itu. Biar saya yang bicarakan sendiri padanya. Tolong, ya, Bu. Saya pamit sekarang.” Kata Ghibran.

“Nggak ketemu Asma dulu?” Cegah Bu Yasmin.

“Besok saja.”

Ghibran membuka kembali aplikasi pesan di ponselnya. Belum ada jawaban. “Kemana perginya?”

Ghibran duduk menghadap laptop di singgasana ruangannya. Seharusnya pekerjaannya banyak hari itu. Perusahaan sedang berencana membuka lahan baru untuk expantion scope.

“Jadwal hari ini sudah saya undur besok, Pak. Meski saya harus menghadapi komplain dari pemilik lahan sebelumnya karena kita menunda secara mendadak.” Nurma; sang sekretaris berujar.

“Terima kasih. Kamu boleh kembali. Oh, Dimana Ammar?”

“Ammar sedang di ruang meeting menemui seorang tamu dari Palembang. Bapak lupa?” Jawab Nurma. Sedikit mengernyit karena tingkah bosnya yang tak biasa.

Ghibran menarik napas dalam dan menegakkan duduknya. Hari ini Ghibran sangat kacau. Tidak biasanya ia begini. Memikirkan soal jawaban Gladis membuat seluruh pikirannya hanya terpusat pada perempuan itu.

Lalu jawaban yang seharusnya dengan senang hati diterimanya malah menyisakan pening di kepalanya.

“Saya mengerti.”

“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?” Tanya Nurma sebelum ia benar-benar keluar.

“Kamu tinggal dimana?” Tanya Ghibran menatap datar sekretarisnya.

“Saya?”

“Iya, kamu.” Tegas Ghibran.

“Saya tinggal di daerah Marga Mulya. Ada apa, ya, Pak?”

“Bisa bantu saya cari rumah yang disewakan? Daerah dekat-dekat sana. Atau yang lain.” Pinta Ghibran.

“Bi-bisa. Untuk siapa?” Nurma semakin heran. Mau ge-er tapi tak mungkin untuk dirinya, kan. Nurma kenal betul bagaimana Ghibran. Ketat soal keuangan. Ia malah kasihan pada calon istrinya nanti. Pasti menderita karena memiliki suami pelit seperti bosnya itu.

“Untuk saya, Nurma. Hari ini kamu cerewet sekali.” Sahut Ghibran tajam.

“Maaf, Pak. Saya akan carikan.” Sahutnya cepat. 'Ngatain aku cerewet tapi dianya nggak sadar diri.' Omel Nurma dalam hati.

“Rumah yang biasa. Biasa saja. Jangan terlalu mewah. Cukup untuk satu keluarga kecil.” Pinta Ghibran.

Nurma semakin mengernyit. Apa maksudnya? Keluarga kecil siapa? Kalau bosnya itu akan menikah bukannya seharusnya menempati rumah yang sudah ada. Menemani kakek. Atau sengaja ingin berpisah dari kakek karena keluarga baru?

Nurma mengendik tanpa diketahui Ghibran.

“Nurma. Kamu dengar saya?” Sergah Ghibran karena tak mendapat jawaban dari sekretarisnya.

“Hmm? Eh, iya, Pak. Ada lagi?”

“Tidak. Kamu boleh pergi.” Sahut Ghibran.

Hari ini juga ia harus bertemu Gladis. Tidak boleh ditunda terlalu lama.

Menjelang sore, ponselnya berdenting. Sebuah pesan foto dari seseorang yang ia suruh mencari Gladis. Dan foto itu adalah foto Gladis sedang menerima uang dari sebuah gerai ponsel.

Rahang Ghibran mengetat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Dari Bui   Bab 11 Menunjukkan Ketulusan

    “Jadi siapa yang akan tinggal di rumah itu?” Tanya Ammar menyambangi meja Nurma dan bersandar di sana.“Pak Ghibran membawa seorang perempuan. Penampilannya bahkan terbilang sembarangan, tanpa make up. Ya.. begitulah. Tapi cantik. Kalau melakukan perawatan aku yakin perempuan itu pasti cantik banget.” Ujar Nurma. Sama bersemangatnya seperti Ammar kalau soal menggunjing atasan.“Jadi dia siapanya Bapak?”Nurma mengangkat bahunya. “Saya sudah bilang, saya nggak tau. Setelah menyerahkan kunci itu aku langsung pergi. Tidak ada indikasi kalau mereka dekat. Kamu kan diajak belanja kemarin. Belanja apa? Banyak? Untuk perempuan itu juga?”“Banyak. Semua keperluan perempuan lengkap. Juga buat Asma. Atau jangan-jangan dia ibunya Asma? Pak Ghibran pernah bilang kalau Asma sebenarnya ada ibunya, kan?” Ammar semakin mencondongkan tubuhnya.“Selamat pagi..” Ghibran datang mengejutkan dua orang yang sedang menggunjingnya. Asisten dan sekretarisnya itu selalu datang lebih pagi untuk menyiapkan semua

  • Perempuan Dari Bui   Bab 10 Asma

    Gladis membersihkan meja makan selepas sarapan itu sambil setengah melamun. Kehidupannya setelah bebas dari bui berubah terlalu signifikan. Gladis takut semuanya justru akan menghancurkannya lagi, entah secara perlahan atau menjatuhkannya dalam sekali tendangan ke jurang tak bersisa.Laki-laki yang bahkan tak diketahui namanya itu dua kali memintanya menikahi. Baru dua hari Gladis bebas dari bui. Dia bukan orang biasa. Dia bukan wanita biasa. Gladis mantan narapidana. Gladis pernah mencoba melukai seseorang sampai hampir merenggut nyawa.Gladis, tidak akan mudah diterima di lingkungan manapun. Dia penuh kesadaran bahwa dunianya setelah keluar dari penjara tidak akan mudah.Laki-laki itu akan banyak dicibir kalau orang tau status istrinya yang mantan narapidana. Laki-laki itu akan banyak dihujat karena Asma. Ah.. Tidak ada yang baik darinya. Tidak baik untuk semuanya. Apalagi kalau keluarganya tahu.Gladis hanya akan membawa efek buruk pada kehidupan Ghibran.Usia Gladis sudah menyentu

  • Perempuan Dari Bui   Bab 9 Cerita Kedua

    Seperti pagi-pagi biasanya. Ghibran bersiap sebelum matahari terbit. Lalu turun ke ruang makan untuk ‘sarapan’ bersama sang kakek. Dia sudah mempersiapkan jawaban yang paling ampuh dan pasti dipercayai kakeknya kalau-kalau beliau bertanya kembali kemana perginya ia sore menuju malam kemarin.Ghibran mengibaskan jas berwarna cokelat terangnya. Jas itu membuat warna kulitnya yang putih asia terlihat lebih bercahaya. Setelan pagi itu, masih seperti pagi-pagi yang lain. Tidak banyak perubahan. Hanya sedikit berubah di wajah berseri Ghibran.“Selamat pagi, Kek. Sepertinya pagi ini aku nggak bisa ikut sarapan. Ada hal penting yang harus Ghibran selesaikan. Enggak apa-apa, kan?” Ucapnya sebelum duduk di samping kiri kakeknya.“Apa kamu akan tetap tinggal kalau kakek bilang ‘jangan’? Basa-basimu itu basi. Kemana siang kemarin? Kakek dapat laporan lagi kalau kamu menghilang dari kantor siang kemarin?” Tegas Kakek.“Bukan siang, tapi sore, Kek. Ghibran pergi beli barang-barang keperluan Asma. S

  • Perempuan Dari Bui   Bab 8 Sepertinya Jatuh Cinta

    “Empat tahun lebih saya mengenal Asma. Sejak Asma bayi. Waktu itu, hati saya begitu resah entah kenapa. Lalu saya berjalan-jalan di sekitar kantor. Saya menemukan sebuah panti kecil itu. Memaksakan diri masuk ke sana."Ah, bahkan adik-adik itu sudah kehilangan orang tuanya sejak kecil. Atau malah mereka tidak tahu siapa bapak ibunya. Saya masuk lebih ke dalam, lalu bertemu Ibu Yasmin. Penjaga panti. Beliau sedang menggendong bayi mungil. Mungkin usianya satu atau dua bulan waktu itu. Saya tahu kemudian bayi itu bernama Asma. Dari sekian bayi dan anak-anak di sana. Hanya Asma yang masih diketahui memiliki Ibu. Meskipun hanya ibunya. Tapi Asma sudah berbeda dengan anak-anak lain. Asma sudah berbeda dengan saya."Mata Gladis melebar. Tidak mengerti."Saya yatim piatu. Orang tua saya kecelakaan jauh sebelum saya bertemu Asma." Jawab Ghibran mengerti isyarat Gladis. Selesai menjawab, Ghibran terhenyak sejenak. Sumpah demi apapun, Ghibran tak pernah berbicara sepanjang itu pada seorang wani

  • Perempuan Dari Bui   Bab 7 Janji Bercerita

    Di depan kantor, Ghibran ternganga. Jalanan luar biasa macet. Mustahil akan sampai segera kalau menggunakan mobil. Mata Ghibran berkeliling. Biasanya beberapa ojek masih mangkal di dekat kantor.Matanya menangkap satu ojek online sedang mangkal kemudian."Bang.. Ke Zone Phone, ya.. Nanti saya bayar sesuai aplikasi. Saya tambahin, deh.""Naik, Bang.."Melesat. Berkelok. Menyalip. Menikung. 15 menit kemudian Ghibran turun dari ojek. "Saya turun di sini, Bang. Ini.." Ghibran mengulurkan sejumlah uang. Berlebih malah.Melihat kemacetan itu, ia tak tahan. Berlari mungkin akan lebih cepat. Ghibran mulai berlari. Begitu sampai di depan gerai, ia terhenyak.Aku seperti orang gila mengejar seseorang. Kenapa reaksiku seperti ini untuknya? Padahal aku hanya butuh Asma. Giliran diijinin kasih anaknya, aku ngerasa kaya diremehin. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat. Mengulanginya sampai ritme jantungnya terasa normal. Mengangguk pada orang suruhan agar meninggalkannya. Lalu berjal

  • Perempuan Dari Bui   Bab 6 Bertemu Teman

    Sepanjang perjalanan Gladis menangis. Ia merasa keputusannya sudah tepat. Sudah sangat tepat meski menyakitkan hatinya.Bahkan untuk sejenak mengenal Asma saja ia merasa tak pantas. Asma. Anak kandungnya sendiri.Beberapa saat sebelum elevator berdenting dan pintu terbuka. Gladis memantapkan keputusannya. Tangannya bergetar. Dadanya berdegup kencang.Asma pantas mendapatkan yang lebih baik. Anak itu sudah mendapatkan banyak kesulitan bahkan sejak dalam kandungan. Gladis berulang kali ingin menggugurkan janin Asma. Tak lain karena sakit hati dikhianati. Tertekan karena keadaan keluarga. Juga merasa bersalah karena kelakuannya.Saat bersitatap dengan Ghibran, Gladis mantap mengucapkan keputusannya.Lalu.. Lihatlah dia sekarang. Menangis tersedu di dalam angkutan kota yang sedang berjalan. Tujuannya kali ini ke sebuah alamat yang diberikan rekan di penjara dulu.Alamat Mbak Rini. Tamping -tahanan pendamping- yang selalu baik padanya. Beliau sudah bebas setahun yang lalu. Dan Gladis berja

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status