LOGIN'Bagaimana lagi agar ia bisa bersama dengan Asma kalau ibunya tak mengijinkan anaknya diadopsi?' Batin Ghibran.'
Ghibran meninggalkan Gladis dengan sebuah pilihan yang mungkin sulit bagi perempuan itu. Besok sore ia berjanji akan menjemput perempuan itu dan membawanya ke panti untuk bertemu Asma.
“Jangan sibuk kelayapan kemana-mana setiap hari. Kamu sudah sangat siap menikah Ghibran. Kakek tahu kamu bukan sibuk mengurusi perusahaan. Kemana kamu pergi hari ini?” Sergah sang kakek begitu Ghibran muncul di ambang pintu rumah.
Ghibran melewati sang kakek dan duduk di sebuah kursi tunggal. Meletakkan clutch lalu menyandarkan tubuhnya di salah satu pilar besar di ruang tamu itu.
“Sebentar lagi mungkin Kakek akan dapat cucu menantu sekaligus buyut.” Sahut Ghibran ringan.
Kakek sudah tua. Segala macam perkataan sudah pernah beliau dengar. Raut wajahnya biasa saja. Datar. Tetapi jelas di dalam hati, kakek begitu kecewa. Hubungannya dengan Ghibran memang sedikit merenggang sejak beliau memaksa cucunya itu untuk segera menikah.
Siksaan batin karena kesepian merongrong dan menggerogoti fisiknya. Semakin lemah. Dan semakin lama hidup, beliau semakin rindu dengan kekasih hatinya yang sudah lama mendahuluinya.
“Kakek sudah lelah menunggumu menikah. Jangan banyak omong kosong. Mungkin kakek bisa bertahan karena menunggumu mendapatkan pendamping.” Ucap kakek datar saja. Tanpa memandang Ghibran. Tangannya meraih kaca mata yang diletakkan di atas meja. Mengangkat tongkat lalu perlahan beranjak dari tempat duduknya.
Dan Ghibran benci jika kakeknya sudah mulai membicarakan kematian. Kakeknya sudah berusia hampir 90 tahun. Tapi masih terlihat segar dan bugar.
Lebih tepatnya, Ghibran benci ditinggalkan. Cukup kedua orang tuanya yang meninggal tanpa mampu mengucap kata perpisahan untuknya. Juga neneknya yang meninggal ketika tidur siang. Kakek jangan.
Tanpa Ghibran tahu, bahwa kakeknnya sudah lama merasakan kesepian. Ditinggal belahan jiwanya pergi, sama saja separuh nyawanya hilang. Dan Ghibran tidak tahu hal itu.
“Kakek akan sehat dan harus selalu sehat. Ghibran akan segera membawakan cucu mantu untuk kakek agar kakek senang.” Kata Ghibran dengan keyakinan 100%.Kakek berhenti. Menggeleng. 90 tahun terlalu lama baginya menjalani hidup. Terlalu banyak hal pahit yang harus beliau saksikan. Semakin lama kamu hidup, semakin lama pula menanggung beban kehidupan. Semakin banyak pula kesedihan yang dilihat.
“Salah. Kamu salah. Bukan agar kakek senang. Tapi kakek harus melihatmu stabil dalam hidup. Kakek bersyukur kamu bertemu dengan si kecil Asma. Kamu terlihat lebih hidup. Tapi hidupmu akan lebih lengkap dan bahagia kalau ada yang menemanimu menghabiskan hari tuamu.” Ujar sang kakek diakhir dengan kalimat yang lesu dan tak berdaya. “Lihatlah kakek!”
“Kakek akan berumur panjang. Kakek akan melihat aku memiliki anak-anak. Sudahlah! Aku mau mandi. Capek.” Tukas Ghibran lalu beranjak menuju kamarnya.
Ghibran adalah laki-laki pewaris tunggal dari PT Sinar Jaya Abadi. Perusahaan pengolahan kertas dan hasil hutan maju di kota itu, yang dirintis oleh kakeknya puluhan tahun yang lalu. Merekrut paling tidak 1500 karyawan.Ia menghuni sebuah rumah bergaya belanda hanya berdua dengan kakeknya.
Ah, juga satu asisten rumah tangga yang membantu memenuhi kebutuhan kakek sehari-hari.
Meski seorang pengusaha besar, tetapi kehidupan mereka sangat sederhana. Orang awam tak akan tahu bahwa mereka adalah pemilik perusahaan kayu besar. Rumah kuno bergaya belanda dengan cat dominan krem. Pagar besi yang sebagian sudah karatan. Halaman depan luas terawat -beruntung asisten rumah tangga itu cekatan dan rajin-. Ada satu pohon kantil besar di depan rumah. Serta satu pohon mangga di belakang rumah.
Kedua orang tuanya meninggal ketika ia tengah menempuh studi di luar negeri. Meninggal karena kecelakaan tepat di jembatan di atas sebuah sungai. Jembatan terkenal di kota itu.
Ghibran tak pernah bertemu dengan jasad orang tuanya. Oleh karenanya ia tak pernah mengucap kata perpisahan. Ghibran sampai di dalam negeri ketika orang tuanya telah dikebumikan.
Bunyi derit pintu kamarnya itu jelas menunjukkan kekosongan di rumah itu. Sepi, sunyi, suram dan muram. Ghibran mendesah memasuki kamarnya. Ia lebih memilih aktivitas di luar rumah daripada pulang.
Seperti saat ini, keheningan yang mencekam ini membuat sesak. Kata-kata kakek sehari-hari semakin menambah sesak dan sunyi rumah itu.
Itu sebabnya pula ia menginginkan seorang Asma agar meramaikan suasana rumahnya. Juga sebagai hiburan untuk kakeknya. Pikiran Ghibran melayang kembali pada kalimatnya pada Gladis.
“Kalau begitu menikah dengan saya?”
Ghibran mengulang pertanyaannya sendiri. Lalu dengan cepat menepuk mulutnya sendiri. "Sejak kapan mulutku lancang sekali?"
Tiba-tiba jantung berdebar mengingat kalimat itu. Ghibran melangkah menuju ruang ganti. Tangannya satu per satu melepas kancing dengan gerakan lambat. Berbeda dengan pergerakan di otaknya yang berputar cepat.
"Bagaimana kalau dia menolak keduanya? Apa yang harus kukatakan pada kakek selanjutnya?" Gumamnya seorang diri.
"Aku lupa memperkenalkan diri. Sedang apa dia sekarang?"
"Memangnya apa urusanmu dengan apa yang dia lakukan sekarang?!"
"Apa dia sudah tidur? Aku lupa tidak meminta nomor hape-nya."
"Jangan ikut campur terlalu jauh, Ge! Kamu hanya perlu memastikan dia setuju untuk melepas Asma untukmu."
"Kira-kira apa dia setuju melepas Asma untukku? Atau dia setuju menikah denganku?"
"Serius? Kamu serius berharap dia mau menikah denganmu?"
"Sebenarnya aku tak benar-benar serius memberi tawaran menikah itu. Tapi, seandainya dia mau, apa aku sanggup hidup dengannya? Tanpa cinta?"
"Bukankah lebih penting kamu mendapatkan Asma? Kenapa membahas hidup setelah menikah?""Seandainya..."
"Ngaco! Cukup, Ge! Tidur!"
Tangan Ghibran menggapai-gapai menghapus perdebatan sengit antara otak dan hatinya itu.
Ghibran baru sadar. Bahwa ketertarikannya pada perempuan memudar seiring ia mengenal Asma dan melihat foto ibunya.
Tapi ia tidak sadar bahwa ketertarikannya itu merujuk ke arah lain yang disebut cinta.
Bukan. Seharusnya bukan.
Terlalu cepat memang menyimpulkan itu cinta.
Bisa jadi hanya simpati. Bisa jadi hanya halusinasi.
Bisa jadi juga hanya karena ia terlalu sering berinteraksi dengan Asma dan melihat foto itu.
Ghibran memaksa matanya dan raganya tertidur dengan angan-angan abu. Bahwa Ghibran ingin Gladis menerima lamarannya.
***Gladis pun memaksa matanya memejam. Rentetan kejadian satu harian penuh membuat dadanya sesak.
Perutnya yang terlanjur menahan lapar justru semakin membuat sesak. Ah, sudah berapa tahun ia tidak mencicipi sate pinggiran? Terakhir kali ia merasakan sate bersama pria pengkhianat itu. Dulu.. ia begitu mencintainya. Hingga buta. Pertama kali dimanusiakan. Pertama kali merasakan bebas. Pertama kali seperti cinta candu. Pertama kali pula dikhianati.
Gladis muda tidak sempat merasakan itu semua karena didikan orang tuanya yang terlalu prosesif dan kaku. Bahwa dunia luar berbahaya. Bahwa kamu harus dengan yang setara. Bahwa kamu harus makan makanan sehat dan bersih. Dan untuk itu orang tuanya tanpa sadar memperkenalkan bahwa sehat itu mahal dan restoran berbintang. Gladis muda bahkan tidak tahu apa itu jajanan sekolahan. Apa itu cilok. Apa itu cireng. Semua tidak higienis.
Apa itu ayunan taman. Apa itu perosotan taman. Apa itu jungkat-jungkit. Semuanya kotor. Semuanya berbahaya.
Gladis menepuk-nepuk dadanya dengan cukup keras sambil memejamkan matanya.
Gladis janji akan berubah sejak Laila mengunjunginya di penjara.
Laila... Istri dari laki-laki yang ia celakai. Justru dari dialah ia mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan hidup, menyayangi anaknya dan berubah menjadi pribadi yang baik. Satu orang yang mau menjenguknya dari sekian banyaknya orang yang justru menghujatnya.
Tiba-tiba ia rindu pada perempuan itu. Anak mereka pasti sudah seumuran Asma.
Kehidupan di penjara yang keras, perlahan mampu diubahnya. Bersama teman-teman satu sel dan juga tamping (tahanan pendamping) yang baik hati. Gladis sedikit demi sedikit kembali pada sifat aslinya yang sebenarnya ramah. Baik hati. Polos.
Malam di kasur empuk hotel, kilasan kehidupan menyerbu kepala. Membayang bagai film yang diputar.
"Pilihan apa yang harus aku pilih, Tuhan? Semuanya berat bagiku. Semuanya tak adil rasanya. Apa begini memang cobaan untuk orang yang mau berubah? Apa memang harus begini? Aku nggak sanggup.." Gladis menangis dalam pejam matanya. "Kasihan Asma kalau tau hidup mamanya begini... Kasihan Asma.." Rintihnya. Gladis tersentak karena telepon ekstensi di kamar itu berdering keras. Mengerjap. Sejak kapan dia tetridur?Bangun meraih gagang telepon. [Halo. Ada tamu yang mencari Ibu. Apa Ibu mau turun atau tamunya diijinkan naik ke kamar Ibu?] "Tamu? Malam-malam begini?" Gladis menjawab linglung. Tirai jendela kamar itu terlalu tebal sampai menghalangi masuknya sinar matahari. Kamar yang ditempati Gladis masih temaran lampu layaknya malam. [Maaf, Ibu, ini sudah jam 11 siang.] Gladis bengong. Rasanya baru saja ia memejam. Kenapa tiba-tiba sudah siang? Pukul berapa dia tertidur semalam? [Hallo..] "Iya? Oh, iya. Saya temui di bawah aja. Makasih, mbak. Tolong sampaikan pada beliau tunggu sebentar." [Baik. Saya akan sampaikan.] Gladis tak menanyakan siapa tamunya. Sudah jelas dan sudah pasti. Tidak ada satupun yang mengenalnya sejak keluar dari bui kecuali pengasuh panti dan laki-laki itu. Tidak ada pula yang tahu di mana dia menginap kecuali laki-laki itu. Dan tidak ada yang tahu bahwa ia tidur di sebuah hotel mewah itu kecuali lelaki itu. Semua juga berkat dirinya. "Aku masih bisa senyum hanya karena satu baju ini. Ternyata masih ada yang bisa aku syukuri. Makasih, Tuhan. Aku bisa ketemu Asma pakai baju bagus." Ucapnya di depan cermin.Malam itu Asma baru jatuh tertidur setelah tiga buku dibacakan. Beberapa kali masih menangis karena teringat kerinduannya dengan si donatur yang telah mengikat hatinya.Mbak Mira siaga di kamar itu menemani Gladis karena tangisan Asma sudah pasti memicu tangisan anak-anak lainnya.Gladis betul-betul terjaga. Momen ini tidak akan pernah terulang lagi mungkin. Momen dimana pertama kali tangan mungil Asma mendekap lengannya sebagai guling. Momen di mana Asma merangkul hangat dalam nyenyak tidurnya.Gladis tidak akan pernah lupa.Kalau saja menyerahkan Asma pada Ghibran sejak dulu, mana mungkin ia akan mendapatkan kesempatan terbaik ini.Kesempatan yang sesungguhnya sangat diinginkan sejak kelahiran Asma."Mama janji tidak akan meninggalkanmu lagi, Nak. Mama janji kita akan bersama. Mama sayang Asma." Lantas mencium tangan mungil Asma.Fajar merayap. Kokok ayam membangunkan semesta. Kehidupan perlahan kembali berjalan di panti itu. Ibu Yasmin yang terbangun lebih dulu. Gladis keluar kamar
Sisa hari itu Gladis sama sekali tidak bisa fokus dalam pekerjaannya. Raung tangisan anak-anak membuatnya terus-terusan melamun, hingga sering ditegur oleh Pak Yusuf, rekan kerjanya."Mbak Gladis lagi ada masalah?" Tegur Pak Yusuf."Ya? Oh, sedikit, Pak. Maaf.""Dari tadi melamun terus. Kalau memang masalahnya serius Mbak Gladis bisa ijin ke bapak. Pasti diijinin. Bapak baik orangnya." Kata Pak Yusuf."Saya baik-baik saja, Pak. Saya bisa menyelesaikan ini. Tinggal dikit lagi juga jam pulang." Kata Gladis. Juga, alasan sebenarnya adalah ia sedang mencari cara bagaimana menghadapi Asma nantinya.Bagaimana membujuk anak itu untuk mau ikut dengannya.Apakah dengan selai kacang? Bagaimana jika tidak mempan?Gladis melirik jam di tangannya. Tidak mungkin ia mengganggu Ghibran untuk urusan Asma. Dia adalah ibu kandungnya, Gladis harus bisa tanpa campur tangan Ghibran.Gladis merasa bisa.Maka, sepulang kerja ia langsung bergegas menuju panti. Sebelumnya memasuki toko bakery untuk mencari kue
"Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Gladis ragu. Mana mungkin ada yang baik-baik saja setelah kehilangan keluarga. Ta[i Gladis tak benar-benar mengerti tentang bagaimana kehilangan itu. Gladis pun tak tahu harus memberi penghiburan atau tidak. Sayangnya kalaupun harus, ia tidak tahu caranya."Apa saya terlihat baik-baik saja?" Ghibran berbalik tanya.Gladis menggeleng."Saya antar kamu. Ayo.." Ghibran berbalik menuju mobilnya. Gladis mengikuti di belakang laki-laki itu dengan pandangan tidak berpaling darinya.Di dalam mobil itu, Gladis melihat koper besar berwarna silver teronggok di jok belakang. Gladis terdiam, lalu menoleh ke arah Ghibran. Laki-laki itu bergeming menatap depan.Menyalakan starter saat Gladis menutup pintu."Apa kamu mau pergi?""Hmm." Jawab Ghibran."Kemana?""Palembang." Mengerling pada Gladis sekilas.Gladis menunduk kemudian. Diam tak melanjutkan rasa penasarannya. Beberapa saat kemudian dengan ragu-ragu ia berkata."Sejak kecil, saya selalu penasaran bagaimana ra
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Gladis bertanya. Jemarinya mengepal kencang.Ghibran bersandar di bahu gladis. Bukan hanya merebahkan jiwa. Ghibran benar-benar meletakkan seluruh kesedihannya lewat bahu wanita itu. Kedua lengan gladis menjadi pegangan bagi ghibran.Runtuh kemudian. Luruh seluruh beban.Ghibran menangis sejadi-jadinya di bahu yang kurus itu. Tangisannya terdengar memilukan. Kedua lengan Gladis yang dijadikannya pegangan digenggamnya begitu erat.Sementara Gladis hanya mengerjap. Berdiri kaku. Jemarinya mengepal. Kakinya sekuat tenaga berusaha menopang berat badannya sendiri dan ghibran.Gladis mengunci rapat mulutnya. Ikut menitikkan air mata atas kesedihan yang tak diketahui apa musababnya itu. Gladis tidak tahu apa yang sedang menimpa laki-laki yang selalu ceria ini.Maka gladis hanya diam. Membiarkan bahunya menjadi tempat peluruhan kesedihan itu.Ghibran menangis beberapa saat. Lalu segera sadar bahwa gladis mungkin keberatan dengan apa yang ia lakukan."Maaf." Kat
Gladis bersiap pagi-pagi buta. Berjalan menyusuri jalanan bahkan sebelum matahari terbit. Semua ia lakukan demi menghindari Ghibran. Laki-laki keras kepala itu pasti akan tetap menjemputnya meski ia sudah melarang.Entah takdir apa yang sedang dirancang untuknya. Namun, seperti yang sudah dikatakan, Gladis terlalu takut dengan semua kemudahan yang tiba-tiba ini. Ia takut semua kemudahan yang begitu cepat didapat ini akan membuatnya lebih jatuh lagi nantinya.Meski Mbak Rini sudah memperingatkan tentang misteri masa depan dan jangan terlalu dipikirkan. Tapi Gladis tetap kepikiran.Bayangan masa lalu terus mengintai. Gladis merasa dirinya belum berhak bahagia secepat itu. Gladis tidak ingin besar kepala.Pagi ini langit mendung. Pagi yang gelap itu lebih gelap dari biasanya. Tepat saat Gladis menaiki angkutan umum, hujan deras turun mengguyur.Dingin menyergap segera."Hujan kali ini rasanya berbeda sekali. Atau perasaanku aja." Gladis merasakan denyut aneh. Hujan kali ini terasa lebih
Gladis diam termangu. Apa kata laki-laki ini barusan?Gladis diam mencerna. Telinganya terasa berdenging entah kenapa. Menelan ludah sekali. Gladis tidak ingin besar kepala. Bisa jadi, laki-laki ini memang hanya ingin mengenalkannya pada anggota keluarga.Tidak ada maksud lain."Are you okay?" Ghibran menyenggol bahu Gladis yang tampak melamun."Bertemu kakekmu untuk apa?"Ghibran berdehem. "Saya hanya berusaha membuatmu yakin bahwa saya serius.""Atas?""Permintaan saya kemarin. Saya benar-benar serius memintamu menjadi istriku. Sekarang, bukan hanya tentang Asma. Saya ingin bersama kamu." Jawab Ghibran sangat tenang. Mengalir seperti air. Lembut tapi penuh keyakinan."Kamu aneh." Sahut Gladis, lantas terburu membuka pintu mobil."Tunggu Gladis.. Tunggu dulu. Please!" Laki-laki itu menahan lengan Gladis. Membawa Gladis kembali menutup pintu mobil."Sudah malam. Saya enggak enak sama tetangga." Tatapan galak diberikan. Ia sudah tidak bisa menolerir ini lagi. Tadi pagi, ia sudah ditegu







