Gladis hanya ingin hidup bersama anaknya ketika ia terbebas dari penjara. Namun kenyataan pahit bahwa anaknya tak mengenalinya membuatnya sedih. Dan yang membuat terpukul lagi, bahwa ada orang lain yang dipanggil Papa oleh anaknya. Laki-laki itu memaksa mengadopsi Asma. Lalu laki-laki itu menawarkan perjanjian pernikahan sebagai pilihan lain selain adopsi. Bagaimana keputusan Gladis? Apakah Gladis akan memberikan ijin adopsi atau memilih menikah dengan laki-laki itu?
Lihat lebih banyak“Mama sangat merindukanmu, Nak.”
Pintu yang terbuat dari baja tebal itu berderit terbuka. Seorang perempuan melangkah keluar dari dalam bangunan berbenteng tinggi dan tebal. Dengan mengenakan baju lima tahun yang lalu saat ia masuk ke dalamnya. Ia sempat mengangguk hormat kepada dua petugas perempuan yang mengantarnya sebelum akhirnya ia benar-benar meninggalkan tenpat itu. Lalu pintu kembali berdebam tertutup. Perempuan itu kembali menoleh ke belakang. Tersenyum tipis. Lalu menoleh kembali, mendongak ke atas. Melihat langit biru dengan beberapa gumpalan awan putih. Perempuan itu menghirup udara sebanyak-banyaknya. Udara kebebasan yang sudah lima tahun dirindukannya. Lantas menunduk menatap sebuah foto yang sedari tadi dalam genggaman. Perempuan itu mendekap sejenak foto itu. Itu foto anak kecil. Anak yang menginjak usia lima tahun. Anak satu-satunya yang sejak lahir tak pernah bisa di dekapnya. Anak perempuan yang sejak lahir terpaksa ia titipkan di panti asuhan. “Asma anak Mama. Maafkan karena kamu harus memiliki Mama seperti Mama..” Air matanya tumpah. Menetes di atas foto anak perempuan yang mengenakan baju bekas. Perempuan itu melangkah menuju satu alamat yang sudah ditulis dibalik foto anaknya. Alamat panti asuhan dimana anaknya dititipkan. Wajahnya kuyu. Angin panas berembus menyapa dan menerpa kulit keringnya. Meski memiliki produk skincare dan alat kecantikan lengkap, wajahnya tetap dibiarkannya kuyu. Tak menolak sedikitpun takdir tanda-tanda penuaan. Semua skincare dan alat kecantikan yang pernah dikirimkan sang mama tak pernah dijamahnya. Ia hanya menggunakan sabun wajah untuk menyeka debu dan kotoran yang menempel. Seringkali rekannyalah yang menghabiskan semua produk itu. “Ke alamat ini, ya, Pak.” Pinta perempuan itu pada supir taksi. Sepanjang perjalanan ia mendekap foto anaknya dengan sayang. Harapannya tak muluk-muluk. Ia hanya berharap anaknya bisa mengenalinya. Seperti foto-foto yang selalu ia berikan pada petugas panti. Ia meminta agar menunjukkan foto itu pada anaknya. Agar anaknya mengenalinya. Satu jam perjalanan itu akhirnya ia sampai di depan gerbang panti. Ia turun dari taksi bersamaan dengan sebuah sedan mewah memasuki panti itu. Langkahnya menjadi gamang. Pantaskah ia menemui anaknya? Pantaskah ia menjadi seorang ibu? Ia hanya perempuan dari bui. Ya. Perempuan yang baru saja terbebas dari bui lantaran perbuatannya yang keji. Ia melakukan rencana pembunuhan pada laki-laki yang menolak perjodohan dengannya. Perjodohan konyol dari orang tua yang mengharuskan ia merayu si laki-laki. Beruntung kejadian naas itu tak sampai benar-benar mengambil nyawa si lelaki. Sehingga, ia beruntung mendapatkan hukuman yang lebih ringan. Lima tahun penjara. Laki-laki itu sudah berhasil hidup bahagia dengan istri pilihannya sendiri saat ini. Sementara ia harus merana karena dikhianati oleh laki-laki pilihannya yang katanya mencintainya. Nyatanya, laki-laki itu hanya menitipkan benih padanya, mengambil seluruh harta kemudian pergi entah kemana. “Bu Gladis?” Sapa seorang wanita yang melintas. Perempuan dari bui itu bernama Gladis. Gladis mengangguk. “Oh, hari ini rupanya. Maaf saya lupa. Harusnya saya menunggu dan menjemput Ibu.” Ujar wanita itu bersemangat. Gladis tersenyum simpul. “Tidak apa-apa, Bu.” “Ayo-ayo, masuk dulu. Asma pasti seneng ketemu ibunya. Sekarang Asma bisa tidur nyenyak bersama ibunya.” Lanjut wanita yang diketahui sebagai pengurus panti. Juga yang bertanggung jawab mengurusi anak dari Gladis secara khusus. Percakapan itu tercuri dengar oleh seseorang yang baru saja keluar dari SUV hitam. Gladis melangkah di belakang mengikuti langkah pengurus panti yang terburu itu. Entah sedang diburu apa, Gladis hampir kewalahan mengimbangi langkahnya. Tidak jauh di belakangnya, seorang pria yang mengenakan pakaian rapi berjalan mengikuti. Gladis menyadari. Mengernyit tetapi tak berani menoleh ke belakang. Ia merasa seperti diawasi. Mungkin pengunjung panti atau donatur. Atau malah seorang SPG yang ingin menawarkan suatu barang.Gladis mengibas pikirannya.
“Asma… Asma.. Asma dimana, ya? Coba lihat siapa yang datang..” Teriak wanita itu memanggil-manggil Asma.Tak lama kepala gadis kecil itu menyembul keluar dari balik pintu. Sedetik bersitatap dengan Gladis. Matanya melebar kemudian, tersenyum ceria.
Gladis tersenyum bersiap menyambut gadis kecil yang amat dirindukannya. Gadis kecil bermata bulat itu berlari ke arah sang pengasuh. Namun… “Papa…” Papa? Papa siapa? Gladis gemetar. Tungkainya terasa lunglai seketika. Apa jangan-jangan... Tapi ia merasa tak memberikan persetujuan adopsi pada siapapun. Ia tak mau menyerahkan Asma pada siapapun. Atau jangan-jangan.. Ayah kandungnya? Asma kecil berlarian melewatinya. Lehernya berat hendak menoleh. Gladis tergugu dalam diam. Matanya kering, namun hatinya berurai air mata. Bagai diiris sembilu detik itu juga.Terbata-bata Gladis menoleh kemana arah langkah Asma. Asma dengan kaki kecilnya berlari tersaruk-saruk melewati pengasuh itu. Terus berlari melewatinya.
Lalu tubuh kecil Asma terayun naik karena tangan kekar seorang pria. Mata Gladis membulat dan gemetar. Dadanya riuh berdentaman karena perasaan tak dikenali oleh anaknya seperti yang ia takutkan beberapa saat lalu.
Harusnya ia memang sudah mengantisipasi hal itu. Perkenalan lewat foto dengan seorang anak kecil harusnya tidak semudah itu. Gladis kesal namun ia tak bisa menyalahkan siapapun. Lalu, Papa? Kenapa Asma memanggil pria itu Papa? Itu jelas bukan ayah kandungnyna. Mereka akrab sekali... “Asma apa kabar?” Tanya pria itu. “Baik.” Jawab Asma ceria. “Asma..” Gladis mencoba memanggil Asma. Ia berdehem kecil untuk menyembunyikan bibirnya yang bergetar. Ibu Panti segera menyadari situasi. Ia benar-benar tak enak hati pada Gladis sekarang. Beliau mendekati laki-laki yang dipanggil "Papa" oleh Asma barusan. "Pak, Mamanya Asma sudah bebas per hari ini." Bisik si Ibu panti. Laki-laki itu hanya menanggapi dengan anggukan samar seraya melihat kembali sosok Gladis. “Asma.. Sini dulu, yuk. Ini Mama Asma. Mama yang ada di foto. Ingat?” Ibu pengurus panti menengahi dengan kembali ke sisi Gladis. Tangan Ibu pengurus panti terulur hendak mengambil Asma dari gendongan pria itu. Tapi Asma justru meronta dan menangis tersedu. “Nggak mau.. Nggak mau…” Teriak Asma. Pelukan itu semakin erat memenjara leher si pria. “Biar saya yang bujuk.” Kata laki-laki itu. Lalu melangkah menjauh meninggalkan ibu pengasuh panti dan Gladis yang matanya sudah hampir berlinang.Awan kelabu menggantung di atas sana. Menutup cahaya surya di siang menuju sore itu. Angin bertiup lembut mendera rambut Gladis.
“Maafkan saya, Bu. Sepertinya Asma belum mengenal kalau bertemu langsung. Asma pasti terkejut karena mengira ibu orang asing. Karena dia tak pernah melihat ibu. Meski setiap hari saya menunjukkan foto ibu padanya, tapi ia tetap anak kecil. Belum sepenuhnya mengerti.” Ucap Ibu pengurus panti menenangkan Gladis. Gladis mengangguk. Air matanya tak henti menetes. Harusnya dia sudah bisa menerka. Gladis lupa mempersiapkan perasaan ini. Gladis lupa akan skenario penolakan itu. Kerinduannya pada si buah hati membahana menutupi akal logika.Anak empat tahun dipaksa mengenali seseorang hanya dari foto? Rasanya mustahil.
“Sebaiknya perlahan. Ibu bisa setiap hari kemari dan mencoba bermain dengannya.” Lanjut sang pengurus itu lagi.
Gladis meninggalkan panti itu dengan perasaan sesak. Hal yang lebih sakit mana lagi selain tidak dikenali anak sendiri? Gladis menangis tersedu di luar pagar panti. Kedua tangannya menutup wajahnya. Terisak memilukan. Nyiur angin semakin menderu kencang. Awan semakin kelabu dan Gladis belum beranjak dari pagar.Kendaraan berlalu lalang. Menjelang sore, jalanan semakin padat oleh kendaraan. Waktu pulang kerja. Gladis mendongak langit. Ia lupa mensyukuri sesuatu.
Gladis menyusuri jalanan. Mencari sebuah toko emas. Ia berharap ia memiliki banyak waktu untuk membujuk sang anak agar mau mengenalinya dan hidup bersama.
Dan untuk itu, Gladis harus memiliki modal bertahan hidup. Satu-satunya harta yang tersisa darinya adalah satu set perhiasan yang tersimpan rapi oleh pihak lapas. Lalu diserahkan padanya kembali ketika ia bebas. Perhiasan itu menjadi satu-satunya aset yang tersisa dari semua harta dan aset yang ia miliki setelah dibawa kabur oleh lelaki yang ia cintai. Mendesah. Ia menghancurkan hidupnya sendiri.Setidaknya, ada satu hal yang membuat ia berpaling dari penyesalan mencintai itu. Kesalahan itu membuat ia memiliki Asma sekarang. Meski kesalahan tetap kesalahan. Gladis hanya berharap perbuatannya termaafkan oleh-Nya.
Gladis sampai di toko perhiasan di sebuah mall. Entah bisa atau tidak menjual perhiasan tanpa surat-suratnya. Gladis akan menerima berapapun yang akan diberikan toko itu.
Ia membeli satu set perhiasan itu 10 tahun lalu dikisaran harga 100 juta. Dan sekarang, jika mengikuti inflasi, harga penjualan perhiasan itu bisa tembus di angka 500 juta atau mungkin bisa 800 juta. Sayangnya, surat-surat perhiasan itu ikut terbawa oleh manusia laknat yang membawa kabur seluruh harta yang ia miliki. "Surat-suratnya ada, Bu?" Gladis menggeleng. "Maaf, Bu. Kami tidak bisa membelinya tanpa surat-surat yang jelas.." "Tapi saya beli di sini kok, Mbak.. Saya beli perhiasan ini di sini 10 tahun yang lalu. Coba dilihat dulu.." Gladis menyodorkan perhiasannya lebih dekat. "Maaf, Bu. Tidak bisa." Gladis melangkah gontai keluar dari Mall. Harus kemana lagi dirinya? Ia harus segera mendapatkan uang untuk bertahan hidup. Setidaknya untuk menyewa sebuah kos kecil. Saat itu ia melihat sebuat toko emas di sebuah ruko. Toko emas pinggiran. Tidak yakin. Namun kakinya tetap melangkah. Hanya itu harta yang dipunya. Hanya itu yang bisa digunakan untuk bertahan hidup.Selama di penjara, Gladis sedikit mampu mengumpulkan uang. Dari pekerja sosial maupun lomba kecil-kecilan bersama sesama narapidana. Uang itu hanya cukup untuk membayar taksi tadi siang.
Sebuah toko emas kecil-kecilan rupanya sanggup menerima perhiasan Gladis. Jumlahnya jauh dibanding harga asli. Tak mengapa. Perhiasan itu laku pun ia sudah sangat bersyukur. Gladis mengantongi uang sekarang. 75 juta. Lumayan, bukan?
Senyum Gladis merekah. Ia berjalan percaya diri keluar dari toko itu setelah sebelumnya membeli handphone dan beberapa potong baju untuk dirinya dan anaknya. Gladis hampir takjub. Dulu, berbelanja sebanyak itu adalah hal biasa dan lumrah. Tapi sekarang, ia benar-benar memperhatikan setiap sen uangnya yang kelaur. Sisa uang yang dipegangnya masih sekitar 60an juta. Gladis membawa cash uang itu kemana-mana karena ia belum memiliki rekening tabungan lagi. Ah, seharusnya yang pertama ia lakukan adalah membuat rekening itu. Lalu membuat kartu debit. Jadi ia tak perlu repot menenteng uang cash sebanyak itu kemana-mana. Tapi, mana ada bank yang masih buka di sore hari begini. Meski begitu, ia tetap melangkah. Bank konvensional ratusan meter jaraknya menurut penuturan sang penjaga toko perhiasan tadi. Langkahnya terburu. Mendekap erat kantong berisi uang puluhan juta itu. Tak memperhatikan orang yang mengikutinya sejak tadi. Saat hampir tiba di bank, “Arrrgh..” Gladis berteriak kencang. “Heii!!!” “Rampok!!” Teriak Gladis sekencang-kencangnya. Tas berisi uang cash itu raib. Kaki Gladis melemah seiring kerumunan orang berhamburan. Beberapa orang mengejar. Beberapa orang mengerumuninya. Gladis kembali terisak. Keluarganya hancur. Hamil diluar nikah dan laki-lakinya enggan bertanggung jawab serta melarikan diri dengan semua aset yang ia miliki. Masuk bui karena kebodohannya sendiri. Berpisah dari anak kandungnya. Dan sekarang, anaknya tak mengenalinya dan harta satu-satunya untuk bertahan hidup dirampok. Gladis teruduk lemas sore menjelang malam itu.Gladis membersihkan meja makan selepas sarapan itu sambil setengah melamun. Kehidupannya setelah bebas dari bui berubah terlalu signifikan. Gladis takut semuanya justru akan menghancurkannya lagi, entah secara perlahan atau menjatuhkannya dalam sekali tendangan ke jurang tak bersisa.Laki-laki yang bahkan tak diketahui namanya itu dua kali memintanya menikahi. Baru dua hari Gladis bebas dari bui. Dia bukan orang biasa. Dia bukan wanita biasa. Gladis mantan narapidana. Gladis pernah mencoba melukai seseorang sampai hampir merenggut nyawa.Gladis, tidak akan mudah diterima di lingkungan manapun. Dia penuh kesadaran bahwa dunianya setelah keluar dari penjara tidak akan mudah.Laki-laki itu akan banyak dicibir kalau orang tau status istrinya yang mantan narapidana. Laki-laki itu akan banyak dihujat karena Asma. Ah.. Tidak ada yang baik darinya. Tidak baik untuk semuanya. Apalagi kalau keluarganya tahu.Gladis hanya akan membawa efek buruk pada kehidupan Ghibran.Usia Gladis sudah menyentu
Seperti pagi-pagi biasanya. Ghibran bersiap sebelum matahari terbit. Lalu turun ke ruang makan untuk ‘sarapan’ bersama sang kakek. Dia sudah mempersiapkan jawaban yang paling ampuh dan pasti dipercayai kakeknya kalau-kalau beliau bertanya kembali kemana perginya ia sore menuju malam kemarin.Ghibran mengibaskan jas berwarna cokelat terangnya. Jas itu membuat warna kulitnya yang putih asia terlihat lebih bercahaya. Setelan pagi itu, masih seperti pagi-pagi yang lain. Tidak banyak perubahan. Hanya sedikit berubah di wajah berseri Ghibran.“Selamat pagi, Kek. Sepertinya pagi ini aku nggak bisa ikut sarapan. Ada hal penting yang harus Ghibran selesaikan. Enggak apa-apa, kan?” Ucapnya sebelum duduk di samping kiri kakeknya.“Apa kamu akan tetap tinggal kalau kakek bilang ‘jangan’? Basa-basimu itu basi. Kemana siang kemarin? Kakek dapat laporan lagi kalau kamu menghilang dari kantor siang kemarin?” Tegas Kakek.“Bukan siang, tapi sore, Kek. Ghibran pergi beli barang-barang keperluan Asma. S
“Empat tahun lebih saya mengenal Asma. Sejak Asma bayi. Waktu itu, hati saya begitu resah entah kenapa. Lalu saya berjalan-jalan di sekitar kantor. Saya menemukan sebuah panti kecil itu. Memaksakan diri masuk ke sana."Ah, bahkan adik-adik itu sudah kehilangan orang tuanya sejak kecil. Atau malah mereka tidak tahu siapa bapak ibunya. Saya masuk lebih ke dalam, lalu bertemu Ibu Yasmin. Penjaga panti. Beliau sedang menggendong bayi mungil. Mungkin usianya satu atau dua bulan waktu itu. Saya tahu kemudian bayi itu bernama Asma. Dari sekian bayi dan anak-anak di sana. Hanya Asma yang masih diketahui memiliki Ibu. Meskipun hanya ibunya. Tapi Asma sudah berbeda dengan anak-anak lain. Asma sudah berbeda dengan saya."Mata Gladis melebar. Tidak mengerti."Saya yatim piatu. Orang tua saya kecelakaan jauh sebelum saya bertemu Asma." Jawab Ghibran mengerti isyarat Gladis. Selesai menjawab, Ghibran terhenyak sejenak. Sumpah demi apapun, Ghibran tak pernah berbicara sepanjang itu pada seorang wani
Di depan kantor, Ghibran ternganga. Jalanan luar biasa macet. Mustahil akan sampai segera kalau menggunakan mobil. Mata Ghibran berkeliling. Biasanya beberapa ojek masih mangkal di dekat kantor.Matanya menangkap satu ojek online sedang mangkal kemudian."Bang.. Ke Zone Phone, ya.. Nanti saya bayar sesuai aplikasi. Saya tambahin, deh.""Naik, Bang.."Melesat. Berkelok. Menyalip. Menikung. 15 menit kemudian Ghibran turun dari ojek. "Saya turun di sini, Bang. Ini.." Ghibran mengulurkan sejumlah uang. Berlebih malah.Melihat kemacetan itu, ia tak tahan. Berlari mungkin akan lebih cepat. Ghibran mulai berlari. Begitu sampai di depan gerai, ia terhenyak.Aku seperti orang gila mengejar seseorang. Kenapa reaksiku seperti ini untuknya? Padahal aku hanya butuh Asma. Giliran diijinin kasih anaknya, aku ngerasa kaya diremehin. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat. Mengulanginya sampai ritme jantungnya terasa normal. Mengangguk pada orang suruhan agar meninggalkannya. Lalu berjal
Sepanjang perjalanan Gladis menangis. Ia merasa keputusannya sudah tepat. Sudah sangat tepat meski menyakitkan hatinya.Bahkan untuk sejenak mengenal Asma saja ia merasa tak pantas. Asma. Anak kandungnya sendiri.Beberapa saat sebelum elevator berdenting dan pintu terbuka. Gladis memantapkan keputusannya. Tangannya bergetar. Dadanya berdegup kencang.Asma pantas mendapatkan yang lebih baik. Anak itu sudah mendapatkan banyak kesulitan bahkan sejak dalam kandungan. Gladis berulang kali ingin menggugurkan janin Asma. Tak lain karena sakit hati dikhianati. Tertekan karena keadaan keluarga. Juga merasa bersalah karena kelakuannya.Saat bersitatap dengan Ghibran, Gladis mantap mengucapkan keputusannya.Lalu.. Lihatlah dia sekarang. Menangis tersedu di dalam angkutan kota yang sedang berjalan. Tujuannya kali ini ke sebuah alamat yang diberikan rekan di penjara dulu.Alamat Mbak Rini. Tamping -tahanan pendamping- yang selalu baik padanya. Beliau sudah bebas setahun yang lalu. Dan Gladis berja
“Anda pasti belum sarapan? Saya dengar dari staff front desk kalau Anda baru bangun.” Melirik pada front desk lalu kembali menatap Gladis. Benar-benar menatap. Cukup dalam. Cukup intens.Sejak 30 menit yang lalu Ghibrann hanya memandang pintu elevator dengan perasaan campur aduk. Menunggu Gladis keluar dari dalamnya. Saat pintu besi itu berdenting, jantungnya ikut berhenti sesaat. Lalu mendesah ringan saat yang keluar bukan perempuan yang ia harapkan. Begitu terus sampai ia jantungnya justru berdegup lebih kencang saat tahu bahwa Gladis-lah yang muncul dari pintu besi itu.Gladis berdiri salah tingkah karena ditatap sangat intens.“Saya sudah punya jawaban untuk Anda kalau itu yang membawa Anda kesini. Kita bisa bertemu di panti kalau hanya untuk bertemu Asma. Saya tahu jalannya.” Tegas Gladis.Ghibran terdiam mengatupkan kedua bibirnya rapat. Dadanya berdesir dan nafasnya terasa berhenti sesaat mendengar Gladis sudah memiliki jawaban. Sejujurnya, ia belum siap mendengarnya sekarang.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen