Sepanjang perjalanan Gladis menangis. Ia merasa keputusannya sudah tepat. Sudah sangat tepat meski menyakitkan hatinya.
Bahkan untuk sejenak mengenal Asma saja ia merasa tak pantas. Asma. Anak kandungnya sendiri.
Beberapa saat sebelum elevator berdenting dan pintu terbuka. Gladis memantapkan keputusannya. Tangannya bergetar. Dadanya berdegup kencang.
Asma pantas mendapatkan yang lebih baik. Anak itu sudah mendapatkan banyak kesulitan bahkan sejak dalam kandungan. Gladis berulang kali ingin menggugurkan janin Asma. Tak lain karena sakit hati dikhianati. Tertekan karena keadaan keluarga. Juga merasa bersalah karena kelakuannya.
Saat bersitatap dengan Ghibran, Gladis mantap mengucapkan keputusannya.
Lalu.. Lihatlah dia sekarang. Menangis tersedu di dalam angkutan kota yang sedang berjalan. Tujuannya kali ini ke sebuah alamat yang diberikan rekan di penjara dulu.
Alamat Mbak Rini. Tamping -tahanan pendamping- yang selalu baik padanya. Beliau sudah bebas setahun yang lalu. Dan Gladis berjanji akan menemuinya saat ia telah bebas. Sekarang saatnya.
Mbak Rini tahu jelas bagaimana cerita Gladis. Ia pula yang membopong bayi merah itu untuk diserahkan pada petugas panti. Mbak Rini yang baik hati.
Sejak awal masuk di penjara, Mbak Rini yang menjadi pendamping di blok bui. Mbak Rini pula yang membantunya berubah perlahan. Memberinya sebuah buku yang membuatnya begitu tertampar. Pandangan tentang hidup. Memahami secara luas tentang kehidupan.
Bahwa semua ini berjalan pasti ada sebab akibatnya. Bahwa semua di dunia ini tiada yang kebetulan.
"Bukan kamu sendiri yang merasa tercela di sini. Bukan kamu yang merasa susah di sini. Kamu harus melihat bahwa di luar sana, mungkin saja di luar sana ada yang lebih merasa terpenjara dari pada kita." Begitu kata Mbak Rini suatu hari.
Hanya kadang-kadang kita semua lupa pelajaran penting itu. Sebab terlalu sering memandang ke atas. Mencari-cari kenikmatan hidup orang.
Dua jam perjalanan berganti angkutan kota tiga kali. Gladis sampai di alamat yang dituju.
Tidak yakin akan bertemu Mbak Rini. Jam-jam itu semua orang pasti sedang sibuk bekerja. Gladis membaca sekali lagi secarik kertas di genggamannya. Lalu melihat papan nomor di pagar. Benar. Alamatnya cocok.
Gladis melangkah melewati halaman. Mengetuk pintu yang tertutup. Tiga kali. Empat kali.
"Assalamu'alaikum.." Serunya agak kencang.
Tidak ada sahutan. Gladis menyerah. Berbalik badan meninggalkan rumah itu.
Lima langkah menjauh dari pintu. Suara yang sangat dikenali memanggil.
"Gladis... Itu kamu, kan?" Suara Mbak Rini memanggil.
Tak butuh waktu lama untuk menghambur. Berpelukan. Saling menangis.
"Aku menunggumu. Selalu. Aku tahu kemarin hari kebebasanmu. Maaf kalau tidak bisa menjemput." Ujar Mbak Rini.
"Aku kangen Mbak Rini..."
Beberapa saat menangis. Mereka telah berpindah tempat. Mbak Rini memiliki halaman tengah yang cukup unik. Halaman di tengah-tengah rumah. Rumah itu mirip sekali indekos. Berbentuk kotak dengan halaman tepat di tengah-tengah. Halaman ditanami bunga-bungaan dan tanaman yang mampu mengusir nyamuk.
Ah.. Sejak dulu Mbak Rini memang suka berkebun. Suka tanaman. Mbak Rini memang tamping bagian perkebunan saat Gladis pertama kali menghuni bui.
"Mbak Rini tinggal dengan siapa?" Tanya Gladis, melihat-lihat sekeliling. Paling tidak ada enam kamar tidur di rumah itu. Satu dapur terbuka yang berhadapan dengan ruang tamu tempat mereka bercengkerama sekarang.
"Ini sewa, Dis.. Mbak bersama empat orang lainnya di sini. Kebetulan sekali semuanya masih kerja. Mereka juga sama seperti kita." Tetap dengan senyum khas Mbak Rini menjelaskan. "Kamu tinggal di mana? Sudah dapat tempat tinggal?"
Gladis menggeleng.
"Sudah bertemu Asma?"
Gladis mengangguk.
"Asma belum mau, ya?"
Gladis kembali mengangguk. Air mata kembali menetes. Deras kali ini.
"Sepertinya aku harus melepas Asma, Mbak.. Mbak selama ini tahu 'kan.. Ada orang yang selalu berusaha ingin mengadopsi Asma." Tutur Gladis susah payah.
Kali ini Mbak Rini yang mengangguk.
"Asma bahkan sudah memanggil orang itu dengan sebutan 'papa'."
"Keluarga? Sebuah keluarga maksudnya? Kamu sudah ketemu keluarga itu?"
Gladis menggeleng. Diam sejenak. Jemarinya terulur naik menghapus air mata.
"Ya ampun.. sebentar." Mbak Rini tiba-tiba berdiri. Gladis terkejut. "Mbak ambil siapin minum untuk kamu. Sebentar.. Atau kita ngobrol di dapur. Kamu bisa lanjut cerita. Mbak buatin minuman." Tawar Mbak Rini. Menggamit Gladis setelah wanita itu mengangguk lagi.
"Saya nggak tau sebenarnya sudah berkeluarga atau belum. Laki-laki itu terlihat sangat akrab dengan Asma, Mbak. Sangat akrab. Asma langsung berlari ke dalam pelukan laki-laki itu begitu melihatnya. Memanggilnya papa... Aku.. Aku yang melahirkan..." Tersedu lagi.
Mbak Rini memeluknya dari belakang. Menenangkan. Mengusap kepala Gladis bak ibu tengah menenangkan anaknya.
Usia Mbak Rini dengan Gladis terpaut sepuluh tahun. Mbak Rini melajang. Kepercayaannya pada laki-laki pupus sudah. Memilih hidup sendiri begitu keluar dari bui.
"Kamu mau tinggal di sini? Masih ada satu sisa kamar kosong."
"Aku nggak punya uang, Mbak.."
"Kamu bilang kamu punya simpanan perhiasan. Itu cukup untuk modal hidup, Dis. Perhiasanmu pasti mahal sekali." Mbak Rini meyakinkan. Dari semua teman selama di sel. Mbak Rini tahu benar seluk beluk kehidupan Gladis. Mbak Rini teman terdekatnya selama di sel.
"Aku kecopetan kemarin." Gladis menyingkap baju lengan panjangnya.
"Astaga.. Ini?"
"Jambret.. Uangku habis. Hanya tersisa hape ini." Jawab Gladis lesu.
Mbak Rini menghela napas dalam. Bingung.
"Kemarin. Laki-laki itu yang membantuku. Membayar biaya pengobatan, membelikan makan. Mencarikan tempat untuk tidur." Ujar Gladis menutup kembali baju lengan panjang menutupi luka sabetan.
"Laki-laki siapa? Yang dipanggil Asma sebagai papa?"
Gladis mengangguk.
"Lantas? Karena itu kamu merasa berhutang budi, lalu menyerahkan Asma untuk diadopsi? Kamu tega sama Asma, Dis?"
"Justru karena aku nggak tega kalau Asma harus hidup dengan ibu sepertiku, Mbak.. Asma pasti akan mendapat cemoohan. Celaan. Hinaan. Asma pasti kesulitan. Aku nggak mau melihat Asma kesulitan." Gladis tersengal. Menatap Mbak Rininya dengan tatapan keputus asaan.
Mulut Mbak Rini terkunci rapat kemudian.
"Laki-laki itu sepertinya sangat baik. Asma juga terlihat sangat sayang padanya. Itu akan lebih baik untuk Asma, Mbak.." Tangis Gladis semakin kencang. Menunduk menutup wajah dengan kedua telapak tangan. dadanya sesak sekali, Tuhan.
Dadanya bak tertikam seribu sembilu.
Tidak ada kata setelahnya. Mbak Rini membiarkan Gladis puas-puas meluapkan kesedihannya. Sesekali mengusap punggung. Mengambilkan tissu.
Mbak Rini tidak pernah tahu bagaimana rasanya sebagai seorang ibu. Tidak pernah. Tidak pernah sempat mencicipi apa itu cinta. Tidak pernah sekalipun mengerti apa itu bahagia dicintai.
Mbak Rini, terlanjur jijik kepada semua laki-laki.
Masa lalunya membuat ia tidak pernah mengerti mengapa wanita jatuh cinta sampai cinta buta pada laki-laki. Meski begitu, bukan berarti Mbak Rini tidak bisa berempati.
"Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di sini sementara. Mbak cuma ngurus kebun milik pak kades sini, Dis. Jadi Mbak tidak bisa membantu banyak." Ucap Mbak Rini setelah melihat Gladis sedikit lebih tenang.
"Makasih, Mbak. Aku mau coba jual hape ini dulu. Untuk pegangan. Ini hape baru beli kemarin. Belum diapa-apain.. Setelah itu, aku mau coba cari pekerjaan."
"Kamu pandai memahat. Kamu pasti bisa buka usaha kecil-kecilan dengan itu. Kamu punya bakat, Dis."
"Mbak juga bebrakat berkebun. Semoga suatu saat bisa punya lahan sendiri. Punya perkebunan sendiri."
"Kalau begitu udah terlalu tua umurku." Sahut Mbak Rini dengan gurauan. Karena itu Gladis tertawa. Karena itu pula Mbak Rini justru merasakan luka terdalam Gladis.
Tawa saat bersedih. Bukankah itu yang paling menyakitkan.
Pertemuan mereka habis. Gladis segera pergi ke toko handphone sebelum matahari terbenam. Setelahnya ia perlu mencari kamar sewaan untuk menginap. Rumah Mbak Rini terlalu jauh dengan panti. Untuk saat ini, Gladis masih ingin dekat-dekat dengan Asma meski hanya memandang. Ia pasti juga akan diperlukan untuk menandatangani sejumlah berkas adopsi Asma nantinya, bukan?
Dengan hati tersisa perih, Gladis melangkah memasuki sebuah gerai handphone lumayan besar. Gerai itu tempat ia kemarin membeli ponsel.
***
“Tahan dia. Terserah mau bagaimana caranya. Tahan dia untukku.” Tegas Ghibran. Ia berdiri dan menyambar kunci mobilnya. Berjalan cepat-cepat keluar ruangan terburu.
Ammar yang baru saja keluar dari ruang meeting berpapasan dengannya. Baru hendak membuka mulut tapi Ghibran mengabaikannya.
Ammar menghampiri Nurma yang duduk membereskan meja. “Bapak mau kemana?”
Nurma mengangkat bahunya masa bodoh. Toh, ini sudah hampir jam pulang kerja.
“Dari tadi kelihatan gelisah. Tingkahnya juga nggak biasa. Yang lebih aneh, Pak Ghibran minta saya carikan rumah kontrakan. Yang biasa. Kecil. Tidak mewah dan cukup untuk satu keluarga kecil. Memangnya Bapak mau menikah? Kapan? Sama siapa?” Cecar Nurma kemudian pada Ammar.
Ammar adalah asisten pribadi Ghibran.
Ammar mengernyit. “Kenapa harus rumah sewa? Dia bisa beli rumah manapun tanpa harus mempedulikan harga.”
Lagi-lagi Nurma mengangkat bahu. "Kamu nggak tahu dia pelitnya kaya apa? Pasti peduli sama harga meskipun mewah sekalipun. Tapi, kenapa sewa? Kenapa kecil? Untuk apa? Untuk siapa?"
"Itu pertanyaanmu tadi Nurma sayang. Aku juga belum jawab karena nggak tau mau jawab apa." Tukas Ammar meninggalkan Nurma. Nurma mencibir.
Ammar mengurungkan niatnya menghubungi Ghibran. Tak mungkin laki-laki itu akan jujur padanya. Dia pasti akan menjawab ‘penting’ atau ‘kamu nggak perlu tahu’. Ghibran akan cerita dengan sendirinya kalau memang perlu diceritakan dan meminta Ammar berpendapat.
Menikah?
Itu juga hal baru yang Ammar dengar. Ia tidak tahu jelas kenapa Ghibran menahan diri untuk mendekati perempuan selama ini. Ia tidak memiliki masa lalu apapun tentang wanita yang menyakiti hatinya.
Kecuali, ditinggalkan sang mama yang ia tahu sangat dekat dengan Ghibran. Mungkin itu sebabnya ia tak mendekati wanita manapun. Atau.. Entahlah, Ammar tak tahu dan tak mau menduga-duga. Meski asisten dan kenal belasan tahun, Ghibran sangat tertutup padanya.
Ghibran menginjak pedal gas cukup dalam. Mobil meninggalkan halaman kantor menyisakan bunyi decit yang keras. Ponselnya terus tersambung dengan seseorang yang ia suruh tadi.
“Masih di sana?”
[…]
“Ok. Tahan dia.”
“Jadi siapa yang akan tinggal di rumah itu?” Tanya Ammar menyambangi meja Nurma dan bersandar di sana.“Pak Ghibran membawa seorang perempuan. Penampilannya bahkan terbilang sembarangan, tanpa make up. Ya.. begitulah. Tapi cantik. Kalau melakukan perawatan aku yakin perempuan itu pasti cantik banget.” Ujar Nurma. Sama bersemangatnya seperti Ammar kalau soal menggunjing atasan.“Jadi dia siapanya Bapak?”Nurma mengangkat bahunya. “Saya sudah bilang, saya nggak tau. Setelah menyerahkan kunci itu aku langsung pergi. Tidak ada indikasi kalau mereka dekat. Kamu kan diajak belanja kemarin. Belanja apa? Banyak? Untuk perempuan itu juga?”“Banyak. Semua keperluan perempuan lengkap. Juga buat Asma. Atau jangan-jangan dia ibunya Asma? Pak Ghibran pernah bilang kalau Asma sebenarnya ada ibunya, kan?” Ammar semakin mencondongkan tubuhnya.“Selamat pagi..” Ghibran datang mengejutkan dua orang yang sedang menggunjingnya. Asisten dan sekretarisnya itu selalu datang lebih pagi untuk menyiapkan semua
Gladis membersihkan meja makan selepas sarapan itu sambil setengah melamun. Kehidupannya setelah bebas dari bui berubah terlalu signifikan. Gladis takut semuanya justru akan menghancurkannya lagi, entah secara perlahan atau menjatuhkannya dalam sekali tendangan ke jurang tak bersisa.Laki-laki yang bahkan tak diketahui namanya itu dua kali memintanya menikahi. Baru dua hari Gladis bebas dari bui. Dia bukan orang biasa. Dia bukan wanita biasa. Gladis mantan narapidana. Gladis pernah mencoba melukai seseorang sampai hampir merenggut nyawa.Gladis, tidak akan mudah diterima di lingkungan manapun. Dia penuh kesadaran bahwa dunianya setelah keluar dari penjara tidak akan mudah.Laki-laki itu akan banyak dicibir kalau orang tau status istrinya yang mantan narapidana. Laki-laki itu akan banyak dihujat karena Asma. Ah.. Tidak ada yang baik darinya. Tidak baik untuk semuanya. Apalagi kalau keluarganya tahu.Gladis hanya akan membawa efek buruk pada kehidupan Ghibran.Usia Gladis sudah menyentu
Seperti pagi-pagi biasanya. Ghibran bersiap sebelum matahari terbit. Lalu turun ke ruang makan untuk ‘sarapan’ bersama sang kakek. Dia sudah mempersiapkan jawaban yang paling ampuh dan pasti dipercayai kakeknya kalau-kalau beliau bertanya kembali kemana perginya ia sore menuju malam kemarin.Ghibran mengibaskan jas berwarna cokelat terangnya. Jas itu membuat warna kulitnya yang putih asia terlihat lebih bercahaya. Setelan pagi itu, masih seperti pagi-pagi yang lain. Tidak banyak perubahan. Hanya sedikit berubah di wajah berseri Ghibran.“Selamat pagi, Kek. Sepertinya pagi ini aku nggak bisa ikut sarapan. Ada hal penting yang harus Ghibran selesaikan. Enggak apa-apa, kan?” Ucapnya sebelum duduk di samping kiri kakeknya.“Apa kamu akan tetap tinggal kalau kakek bilang ‘jangan’? Basa-basimu itu basi. Kemana siang kemarin? Kakek dapat laporan lagi kalau kamu menghilang dari kantor siang kemarin?” Tegas Kakek.“Bukan siang, tapi sore, Kek. Ghibran pergi beli barang-barang keperluan Asma. S
“Empat tahun lebih saya mengenal Asma. Sejak Asma bayi. Waktu itu, hati saya begitu resah entah kenapa. Lalu saya berjalan-jalan di sekitar kantor. Saya menemukan sebuah panti kecil itu. Memaksakan diri masuk ke sana."Ah, bahkan adik-adik itu sudah kehilangan orang tuanya sejak kecil. Atau malah mereka tidak tahu siapa bapak ibunya. Saya masuk lebih ke dalam, lalu bertemu Ibu Yasmin. Penjaga panti. Beliau sedang menggendong bayi mungil. Mungkin usianya satu atau dua bulan waktu itu. Saya tahu kemudian bayi itu bernama Asma. Dari sekian bayi dan anak-anak di sana. Hanya Asma yang masih diketahui memiliki Ibu. Meskipun hanya ibunya. Tapi Asma sudah berbeda dengan anak-anak lain. Asma sudah berbeda dengan saya."Mata Gladis melebar. Tidak mengerti."Saya yatim piatu. Orang tua saya kecelakaan jauh sebelum saya bertemu Asma." Jawab Ghibran mengerti isyarat Gladis. Selesai menjawab, Ghibran terhenyak sejenak. Sumpah demi apapun, Ghibran tak pernah berbicara sepanjang itu pada seorang wani
Di depan kantor, Ghibran ternganga. Jalanan luar biasa macet. Mustahil akan sampai segera kalau menggunakan mobil. Mata Ghibran berkeliling. Biasanya beberapa ojek masih mangkal di dekat kantor.Matanya menangkap satu ojek online sedang mangkal kemudian."Bang.. Ke Zone Phone, ya.. Nanti saya bayar sesuai aplikasi. Saya tambahin, deh.""Naik, Bang.."Melesat. Berkelok. Menyalip. Menikung. 15 menit kemudian Ghibran turun dari ojek. "Saya turun di sini, Bang. Ini.." Ghibran mengulurkan sejumlah uang. Berlebih malah.Melihat kemacetan itu, ia tak tahan. Berlari mungkin akan lebih cepat. Ghibran mulai berlari. Begitu sampai di depan gerai, ia terhenyak.Aku seperti orang gila mengejar seseorang. Kenapa reaksiku seperti ini untuknya? Padahal aku hanya butuh Asma. Giliran diijinin kasih anaknya, aku ngerasa kaya diremehin. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya cepat. Mengulanginya sampai ritme jantungnya terasa normal. Mengangguk pada orang suruhan agar meninggalkannya. Lalu berjal
Sepanjang perjalanan Gladis menangis. Ia merasa keputusannya sudah tepat. Sudah sangat tepat meski menyakitkan hatinya.Bahkan untuk sejenak mengenal Asma saja ia merasa tak pantas. Asma. Anak kandungnya sendiri.Beberapa saat sebelum elevator berdenting dan pintu terbuka. Gladis memantapkan keputusannya. Tangannya bergetar. Dadanya berdegup kencang.Asma pantas mendapatkan yang lebih baik. Anak itu sudah mendapatkan banyak kesulitan bahkan sejak dalam kandungan. Gladis berulang kali ingin menggugurkan janin Asma. Tak lain karena sakit hati dikhianati. Tertekan karena keadaan keluarga. Juga merasa bersalah karena kelakuannya.Saat bersitatap dengan Ghibran, Gladis mantap mengucapkan keputusannya.Lalu.. Lihatlah dia sekarang. Menangis tersedu di dalam angkutan kota yang sedang berjalan. Tujuannya kali ini ke sebuah alamat yang diberikan rekan di penjara dulu.Alamat Mbak Rini. Tamping -tahanan pendamping- yang selalu baik padanya. Beliau sudah bebas setahun yang lalu. Dan Gladis berja