Home / Rumah Tangga / Perempuan Dari Bui / Bab 6 Bertemu Teman

Share

Bab 6 Bertemu Teman

Author: HIZA MJ
last update Last Updated: 2023-08-13 12:09:40

Sepanjang perjalanan Gladis menangis. Ia merasa keputusannya sudah tepat. Sudah sangat tepat meski menyakitkan hatinya.

Bahkan untuk sejenak mengenal Asma saja ia merasa tak pantas. Asma. Anak kandungnya sendiri.

Beberapa saat sebelum elevator berdenting dan pintu terbuka. Gladis memantapkan keputusannya. Tangannya bergetar. Dadanya berdegup kencang.

Asma pantas mendapatkan yang lebih baik. Anak itu sudah mendapatkan banyak kesulitan bahkan sejak dalam kandungan. Gladis berulang kali ingin menggugurkan janin Asma. Tak lain karena sakit hati dikhianati. Tertekan karena keadaan keluarga. Juga merasa bersalah karena kelakuannya.

Saat bersitatap dengan Ghibran, Gladis mantap mengucapkan keputusannya.

Lalu.. Lihatlah dia sekarang. Menangis tersedu di dalam angkutan kota yang sedang berjalan. Tujuannya kali ini ke sebuah alamat yang diberikan rekan di penjara dulu.

Alamat Mbak Rini. Tamping -tahanan pendamping- yang selalu baik padanya. Beliau sudah bebas setahun yang lalu. Dan Gladis berjanji akan menemuinya saat ia telah bebas. Sekarang saatnya.

Mbak Rini tahu jelas bagaimana cerita Gladis. Ia pula yang membopong bayi merah itu untuk diserahkan pada petugas panti. Mbak Rini yang baik hati.

Sejak awal masuk di penjara, Mbak Rini yang menjadi pendamping di blok bui. Mbak Rini pula yang membantunya berubah perlahan. Memberinya sebuah buku yang membuatnya begitu tertampar. Pandangan tentang hidup. Memahami secara luas tentang kehidupan.

Bahwa semua ini berjalan pasti ada sebab akibatnya. Bahwa semua di dunia ini tiada yang kebetulan.

"Bukan kamu sendiri yang merasa tercela di sini. Bukan kamu yang merasa susah di sini. Kamu harus melihat bahwa di luar sana, mungkin saja di luar sana ada yang lebih merasa terpenjara dari pada kita." Begitu kata Mbak Rini suatu hari.

Hanya kadang-kadang kita semua lupa pelajaran penting itu. Sebab terlalu sering memandang ke atas. Mencari-cari kenikmatan hidup orang.

Dua jam perjalanan berganti angkutan kota tiga kali. Gladis sampai di alamat yang dituju.

Tidak yakin akan bertemu Mbak Rini. Jam-jam itu semua orang pasti sedang sibuk bekerja. Gladis membaca sekali lagi secarik kertas di genggamannya. Lalu melihat papan nomor di pagar. Benar. Alamatnya cocok.

Gladis melangkah melewati halaman. Mengetuk pintu yang tertutup. Tiga kali. Empat kali.

"Assalamu'alaikum.." Serunya agak kencang.

Tidak ada sahutan. Gladis menyerah. Berbalik badan meninggalkan rumah itu.

Lima langkah menjauh dari pintu. Suara yang sangat dikenali memanggil.

"Gladis... Itu kamu, kan?" Suara Mbak Rini memanggil.

Tak butuh waktu lama untuk menghambur. Berpelukan. Saling menangis.

"Aku menunggumu. Selalu. Aku tahu kemarin hari kebebasanmu. Maaf kalau tidak bisa menjemput." Ujar Mbak Rini.

"Aku kangen Mbak Rini..."

Beberapa saat menangis. Mereka telah berpindah tempat. Mbak Rini memiliki halaman tengah yang cukup unik. Halaman di tengah-tengah rumah. Rumah itu mirip sekali indekos. Berbentuk kotak dengan halaman tepat di tengah-tengah. Halaman ditanami bunga-bungaan dan tanaman yang mampu mengusir nyamuk.

Ah.. Sejak dulu Mbak Rini memang suka berkebun. Suka tanaman. Mbak Rini memang tamping bagian perkebunan saat Gladis pertama kali menghuni bui.

"Mbak Rini tinggal dengan siapa?" Tanya Gladis, melihat-lihat sekeliling. Paling tidak ada enam kamar tidur di rumah itu. Satu dapur terbuka yang berhadapan dengan ruang tamu tempat mereka bercengkerama sekarang. 

"Ini sewa, Dis.. Mbak bersama empat orang lainnya di sini. Kebetulan sekali semuanya masih kerja. Mereka juga sama seperti kita." Tetap dengan senyum khas Mbak Rini menjelaskan. "Kamu tinggal di mana? Sudah dapat tempat tinggal?"

Gladis menggeleng.

"Sudah bertemu Asma?"

Gladis mengangguk.

"Asma belum mau, ya?"

Gladis kembali mengangguk. Air mata kembali menetes. Deras kali ini.

"Sepertinya aku harus melepas Asma, Mbak.. Mbak selama ini tahu 'kan.. Ada orang yang selalu berusaha ingin mengadopsi Asma." Tutur Gladis susah payah.

Kali ini Mbak Rini yang mengangguk.

"Asma bahkan sudah memanggil orang itu dengan sebutan 'papa'."

"Keluarga? Sebuah keluarga maksudnya? Kamu sudah ketemu keluarga itu?"

Gladis menggeleng. Diam sejenak. Jemarinya terulur naik menghapus air mata.

"Ya ampun.. sebentar." Mbak Rini tiba-tiba berdiri. Gladis terkejut. "Mbak ambil siapin minum untuk kamu. Sebentar.. Atau kita ngobrol di dapur. Kamu bisa lanjut cerita. Mbak buatin minuman." Tawar Mbak Rini. Menggamit Gladis setelah wanita itu mengangguk lagi.

"Saya nggak tau sebenarnya sudah berkeluarga atau belum. Laki-laki itu terlihat sangat akrab dengan Asma, Mbak. Sangat akrab. Asma langsung berlari ke dalam pelukan laki-laki itu begitu melihatnya. Memanggilnya papa... Aku.. Aku yang melahirkan..." Tersedu lagi.

Mbak Rini memeluknya dari belakang. Menenangkan. Mengusap kepala Gladis bak ibu tengah menenangkan anaknya.

Usia Mbak Rini dengan Gladis terpaut sepuluh tahun. Mbak Rini melajang. Kepercayaannya pada laki-laki pupus sudah. Memilih hidup sendiri begitu keluar dari bui.

"Kamu mau tinggal di sini? Masih ada satu sisa kamar kosong."

"Aku nggak punya uang, Mbak.."

"Kamu bilang kamu punya simpanan perhiasan. Itu cukup untuk modal hidup, Dis. Perhiasanmu pasti mahal sekali." Mbak Rini meyakinkan. Dari semua teman selama di sel. Mbak Rini tahu benar seluk beluk kehidupan Gladis. Mbak Rini teman terdekatnya selama di sel.

"Aku kecopetan kemarin." Gladis menyingkap baju lengan panjangnya.

"Astaga.. Ini?"

"Jambret.. Uangku habis. Hanya tersisa hape ini." Jawab Gladis lesu.

Mbak Rini menghela napas dalam. Bingung.

"Kemarin. Laki-laki itu yang membantuku. Membayar biaya pengobatan, membelikan makan. Mencarikan tempat untuk tidur." Ujar Gladis menutup kembali baju lengan panjang menutupi luka sabetan.

"Laki-laki siapa? Yang dipanggil Asma sebagai papa?"

Gladis mengangguk.

"Lantas? Karena itu kamu merasa berhutang budi, lalu menyerahkan Asma untuk diadopsi? Kamu tega sama Asma, Dis?"

"Justru karena aku nggak tega kalau Asma harus hidup dengan ibu sepertiku, Mbak.. Asma pasti akan mendapat cemoohan. Celaan. Hinaan. Asma pasti kesulitan. Aku nggak mau melihat Asma kesulitan." Gladis tersengal. Menatap Mbak Rininya dengan tatapan keputus asaan.

Mulut Mbak Rini terkunci rapat kemudian.

"Laki-laki itu sepertinya sangat baik. Asma juga terlihat sangat sayang padanya. Itu akan lebih baik untuk Asma, Mbak.." Tangis Gladis semakin kencang. Menunduk menutup wajah dengan kedua telapak tangan. dadanya sesak sekali, Tuhan.

Dadanya bak tertikam seribu sembilu.

Tidak ada kata setelahnya. Mbak Rini membiarkan Gladis puas-puas meluapkan kesedihannya. Sesekali mengusap punggung. Mengambilkan tissu.

Mbak Rini tidak pernah tahu bagaimana rasanya sebagai seorang ibu. Tidak pernah. Tidak pernah sempat mencicipi apa itu cinta. Tidak pernah sekalipun mengerti apa itu bahagia dicintai.

Mbak Rini, terlanjur jijik kepada semua laki-laki.

Masa lalunya membuat ia tidak pernah mengerti mengapa wanita jatuh cinta sampai cinta buta pada laki-laki. Meski begitu, bukan berarti Mbak Rini tidak bisa berempati.

"Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal di sini sementara. Mbak cuma ngurus kebun milik pak kades sini, Dis. Jadi Mbak tidak bisa membantu banyak." Ucap Mbak Rini setelah melihat Gladis sedikit lebih tenang.

"Makasih, Mbak. Aku mau coba jual hape ini dulu. Untuk pegangan. Ini hape baru beli kemarin. Belum diapa-apain.. Setelah itu, aku mau coba cari pekerjaan."

"Kamu pandai memahat. Kamu pasti bisa buka usaha kecil-kecilan dengan itu. Kamu punya bakat, Dis."

"Mbak juga bebrakat berkebun. Semoga suatu saat bisa punya lahan sendiri. Punya perkebunan sendiri."

"Kalau begitu udah terlalu tua umurku." Sahut Mbak Rini dengan gurauan. Karena itu Gladis tertawa. Karena itu pula Mbak Rini justru merasakan luka terdalam Gladis.

Tawa saat bersedih. Bukankah itu yang paling menyakitkan.

Pertemuan mereka habis. Gladis segera pergi ke toko handphone sebelum matahari terbenam. Setelahnya ia perlu mencari kamar sewaan untuk menginap. Rumah Mbak Rini terlalu jauh dengan panti. Untuk saat ini, Gladis masih ingin dekat-dekat dengan Asma meski hanya memandang. Ia pasti juga akan diperlukan untuk menandatangani sejumlah berkas adopsi Asma nantinya, bukan?

Dengan hati tersisa perih, Gladis melangkah memasuki sebuah gerai handphone lumayan besar. Gerai itu tempat ia kemarin membeli ponsel.

***

“Tahan dia. Terserah mau bagaimana caranya. Tahan dia untukku.” Tegas Ghibran. Ia berdiri dan menyambar kunci mobilnya. Berjalan cepat-cepat keluar ruangan terburu.

Ammar yang baru saja keluar dari ruang meeting berpapasan dengannya. Baru hendak membuka mulut tapi Ghibran mengabaikannya.

Ammar menghampiri Nurma yang duduk membereskan meja. “Bapak mau kemana?”

Nurma mengangkat bahunya masa bodoh. Toh, ini sudah hampir jam pulang kerja. 

“Dari tadi kelihatan gelisah. Tingkahnya juga nggak biasa. Yang lebih aneh, Pak Ghibran minta saya carikan rumah kontrakan. Yang biasa. Kecil. Tidak mewah dan cukup untuk satu keluarga kecil. Memangnya Bapak mau menikah? Kapan? Sama siapa?” Cecar Nurma kemudian pada Ammar.

Ammar adalah asisten pribadi Ghibran.

Ammar mengernyit. “Kenapa harus rumah sewa? Dia bisa beli rumah manapun tanpa harus mempedulikan harga.”

Lagi-lagi Nurma mengangkat bahu. "Kamu nggak tahu dia pelitnya kaya apa? Pasti peduli sama harga meskipun mewah sekalipun. Tapi, kenapa sewa? Kenapa kecil? Untuk apa? Untuk siapa?"

"Itu pertanyaanmu tadi Nurma sayang. Aku juga belum jawab karena nggak tau mau jawab apa." Tukas Ammar meninggalkan Nurma. Nurma mencibir.

Ammar mengurungkan niatnya menghubungi Ghibran. Tak mungkin laki-laki itu akan jujur padanya. Dia pasti akan menjawab ‘penting’ atau ‘kamu nggak perlu tahu’. Ghibran akan cerita dengan sendirinya kalau memang perlu diceritakan dan meminta Ammar berpendapat.

Menikah?

Itu juga hal baru yang Ammar dengar. Ia tidak tahu jelas kenapa Ghibran menahan diri untuk mendekati perempuan selama ini. Ia tidak memiliki masa lalu apapun tentang wanita yang menyakiti hatinya.

Kecuali, ditinggalkan sang mama yang ia tahu sangat dekat dengan Ghibran. Mungkin itu sebabnya ia tak mendekati wanita manapun. Atau.. Entahlah, Ammar tak tahu dan tak mau menduga-duga. Meski asisten dan kenal belasan tahun, Ghibran sangat tertutup padanya.

Ghibran menginjak pedal gas cukup dalam. Mobil meninggalkan halaman kantor menyisakan bunyi decit yang keras. Ponselnya terus tersambung dengan seseorang yang ia suruh tadi.

“Masih di sana?”

[…]

“Ok. Tahan dia.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Dari Bui   Bab 27 Seperti Bapak Anak

    Malam itu Asma baru jatuh tertidur setelah tiga buku dibacakan. Beberapa kali masih menangis karena teringat kerinduannya dengan si donatur yang telah mengikat hatinya.Mbak Mira siaga di kamar itu menemani Gladis karena tangisan Asma sudah pasti memicu tangisan anak-anak lainnya.Gladis betul-betul terjaga. Momen ini tidak akan pernah terulang lagi mungkin. Momen dimana pertama kali tangan mungil Asma mendekap lengannya sebagai guling. Momen di mana Asma merangkul hangat dalam nyenyak tidurnya.Gladis tidak akan pernah lupa.Kalau saja menyerahkan Asma pada Ghibran sejak dulu, mana mungkin ia akan mendapatkan kesempatan terbaik ini.Kesempatan yang sesungguhnya sangat diinginkan sejak kelahiran Asma."Mama janji tidak akan meninggalkanmu lagi, Nak. Mama janji kita akan bersama. Mama sayang Asma." Lantas mencium tangan mungil Asma.Fajar merayap. Kokok ayam membangunkan semesta. Kehidupan perlahan kembali berjalan di panti itu. Ibu Yasmin yang terbangun lebih dulu. Gladis keluar kamar

  • Perempuan Dari Bui   Bab 26 Membujuk Asma

    Sisa hari itu Gladis sama sekali tidak bisa fokus dalam pekerjaannya. Raung tangisan anak-anak membuatnya terus-terusan melamun, hingga sering ditegur oleh Pak Yusuf, rekan kerjanya."Mbak Gladis lagi ada masalah?" Tegur Pak Yusuf."Ya? Oh, sedikit, Pak. Maaf.""Dari tadi melamun terus. Kalau memang masalahnya serius Mbak Gladis bisa ijin ke bapak. Pasti diijinin. Bapak baik orangnya." Kata Pak Yusuf."Saya baik-baik saja, Pak. Saya bisa menyelesaikan ini. Tinggal dikit lagi juga jam pulang." Kata Gladis. Juga, alasan sebenarnya adalah ia sedang mencari cara bagaimana menghadapi Asma nantinya.Bagaimana membujuk anak itu untuk mau ikut dengannya.Apakah dengan selai kacang? Bagaimana jika tidak mempan?Gladis melirik jam di tangannya. Tidak mungkin ia mengganggu Ghibran untuk urusan Asma. Dia adalah ibu kandungnya, Gladis harus bisa tanpa campur tangan Ghibran.Gladis merasa bisa.Maka, sepulang kerja ia langsung bergegas menuju panti. Sebelumnya memasuki toko bakery untuk mencari kue

  • Perempuan Dari Bui   Bab 25 Cara Memikat

    "Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Gladis ragu. Mana mungkin ada yang baik-baik saja setelah kehilangan keluarga. Ta[i Gladis tak benar-benar mengerti tentang bagaimana kehilangan itu. Gladis pun tak tahu harus memberi penghiburan atau tidak. Sayangnya kalaupun harus, ia tidak tahu caranya."Apa saya terlihat baik-baik saja?" Ghibran berbalik tanya.Gladis menggeleng."Saya antar kamu. Ayo.." Ghibran berbalik menuju mobilnya. Gladis mengikuti di belakang laki-laki itu dengan pandangan tidak berpaling darinya.Di dalam mobil itu, Gladis melihat koper besar berwarna silver teronggok di jok belakang. Gladis terdiam, lalu menoleh ke arah Ghibran. Laki-laki itu bergeming menatap depan.Menyalakan starter saat Gladis menutup pintu."Apa kamu mau pergi?""Hmm." Jawab Ghibran."Kemana?""Palembang." Mengerling pada Gladis sekilas.Gladis menunduk kemudian. Diam tak melanjutkan rasa penasarannya. Beberapa saat kemudian dengan ragu-ragu ia berkata."Sejak kecil, saya selalu penasaran bagaimana ra

  • Perempuan Dari Bui   Bab 24 Turut Berduka Cita

    "Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Gladis bertanya. Jemarinya mengepal kencang.Ghibran bersandar di bahu gladis. Bukan hanya merebahkan jiwa. Ghibran benar-benar meletakkan seluruh kesedihannya lewat bahu wanita itu. Kedua lengan gladis menjadi pegangan bagi ghibran.Runtuh kemudian. Luruh seluruh beban.Ghibran menangis sejadi-jadinya di bahu yang kurus itu. Tangisannya terdengar memilukan. Kedua lengan Gladis yang dijadikannya pegangan digenggamnya begitu erat.Sementara Gladis hanya mengerjap. Berdiri kaku. Jemarinya mengepal. Kakinya sekuat tenaga berusaha menopang berat badannya sendiri dan ghibran.Gladis mengunci rapat mulutnya. Ikut menitikkan air mata atas kesedihan yang tak diketahui apa musababnya itu. Gladis tidak tahu apa yang sedang menimpa laki-laki yang selalu ceria ini.Maka gladis hanya diam. Membiarkan bahunya menjadi tempat peluruhan kesedihan itu.Ghibran menangis beberapa saat. Lalu segera sadar bahwa gladis mungkin keberatan dengan apa yang ia lakukan."Maaf." Kat

  • Perempuan Dari Bui   Bab 23 Kejutan Pagi

    Gladis bersiap pagi-pagi buta. Berjalan menyusuri jalanan bahkan sebelum matahari terbit. Semua ia lakukan demi menghindari Ghibran. Laki-laki keras kepala itu pasti akan tetap menjemputnya meski ia sudah melarang.Entah takdir apa yang sedang dirancang untuknya. Namun, seperti yang sudah dikatakan, Gladis terlalu takut dengan semua kemudahan yang tiba-tiba ini. Ia takut semua kemudahan yang begitu cepat didapat ini akan membuatnya lebih jatuh lagi nantinya.Meski Mbak Rini sudah memperingatkan tentang misteri masa depan dan jangan terlalu dipikirkan. Tapi Gladis tetap kepikiran.Bayangan masa lalu terus mengintai. Gladis merasa dirinya belum berhak bahagia secepat itu. Gladis tidak ingin besar kepala.Pagi ini langit mendung. Pagi yang gelap itu lebih gelap dari biasanya. Tepat saat Gladis menaiki angkutan umum, hujan deras turun mengguyur.Dingin menyergap segera."Hujan kali ini rasanya berbeda sekali. Atau perasaanku aja." Gladis merasakan denyut aneh. Hujan kali ini terasa lebih

  • Perempuan Dari Bui   Bab 22 Berputar Terlalu Cepat

    Gladis diam termangu. Apa kata laki-laki ini barusan?Gladis diam mencerna. Telinganya terasa berdenging entah kenapa. Menelan ludah sekali. Gladis tidak ingin besar kepala. Bisa jadi, laki-laki ini memang hanya ingin mengenalkannya pada anggota keluarga.Tidak ada maksud lain."Are you okay?" Ghibran menyenggol bahu Gladis yang tampak melamun."Bertemu kakekmu untuk apa?"Ghibran berdehem. "Saya hanya berusaha membuatmu yakin bahwa saya serius.""Atas?""Permintaan saya kemarin. Saya benar-benar serius memintamu menjadi istriku. Sekarang, bukan hanya tentang Asma. Saya ingin bersama kamu." Jawab Ghibran sangat tenang. Mengalir seperti air. Lembut tapi penuh keyakinan."Kamu aneh." Sahut Gladis, lantas terburu membuka pintu mobil."Tunggu Gladis.. Tunggu dulu. Please!" Laki-laki itu menahan lengan Gladis. Membawa Gladis kembali menutup pintu mobil."Sudah malam. Saya enggak enak sama tetangga." Tatapan galak diberikan. Ia sudah tidak bisa menolerir ini lagi. Tadi pagi, ia sudah ditegu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status