Mungkin sekarang jam sepuluh pagi karena matahari sudah begitu meninggi. Meskipun teriknya terasa menyengat kulit kepala namun hembusan angin yang menggoyangkan gerombolan ilalang juga rambutku yang terurai sungguh sangat membantu menyejukan.
Aku terduduk sendirian di bawah pohon beringin yang rindang, di tepi bendungan desa yang sepi. Jika sore hari biasanya banyak para bapak-bapak yang sering memancing di sini, meskipun ikannya tak begitu banyak tapi mereka lebih suka menghabiskan waktunya di tempat ini sambil bersenda gurau. Ada kalanya juga dilanjuktan sambil bakar-bakar ikan hasil pancingan. Menghela nafas, kutengok layar handphone yang menyala menampilkan nama mas Suryo yang tengah memanggil. Aku tak mengangkatnya, masih ingin menenangkan diri. Toh aku sudah memberitahunya di mana keberadaanku sekarang. Seharusnya ia tak begitu khawatir. Karena pikiranku yang masih sangat kacau, aku tak jadi pergi ke kota. Pesan singkat sudah kukirimkan pada koh Ari bahwa aku tak bisa berangkat kerja dikarenakan tak enak badan. Ini pertama kalinya aku berbohong pada pria Cina itu, membuatku merasa sedikit bersalah namun aku tak bisa memaksakan diri untuk tetap bekerja sementara keadaanku sedang tak karu-karuan. Angin kembali berhembus sepoi-sepoi, mengajaku bangkit dan melangkah mendekati pembatas bendungan. Aku menunduk, memperhatikan bayangan wajahku yang tecermin di permukaan air yang jernih. Itu adalah sebuah wajah yang kusut. Kecerahan yang biasa terpancar hilang tersedot oleh kesedihan yang terpantul pada sepasang bola mata. Aku tak bisa menangis sekarang, rasanya tidak berhak. Meskipun aku ingin menjerit kencang sembari beruraian air mata, menumpahkan segala sesak yang selama ini menyiksa namun aku hanya bisa menahannya. Terus menahannya karena aku benar-benar tak berhak. Tangisan hanya untuk seorang korban, dan aku adalah tersangka. Sama sekali tak patut meminta belas kasih. Aku adalah penjahat yang tak boleh dikasihani. Aku adalah pendosa yang meyakiti kaumku sendiri. Aku tak termaafkan. Air mataku tak boleh jatuh sia sia. “Sufi!” Suara itu membuatku teralihkan dari bayangan wajah suram dari permukaan air. Kulihat sosok lelaki dengan kemeja batik tengah terburu-buru menghampiri. Rambutnya yang tebal nan halus bergoyang tertiup angin, terlihat begitu tampan seperti aktor drama. Aku benar-benar terkejut dengan kedatangan mas Suryo. Mungkin karena sibuk melamun, aku bahkan tidak mendengar suara khas motornya yang kulihat sudah terparkir sembarang di dekat pohon. “Mas? Ngapain ke sini? Enggak ke kantor?” aku mendahuluinya yang sedikit ngos-ngosan dengan bertanya. Hari ini bukan hari libur, seharusnya mas Suryo ada di kelurahan, mengorganisir keperluan desa. “Aku khawatir…” ia menghela nafas beberapa kali untuk menetralkan isi paru yang kembang kempis.”Kamu enggak apa-apa?” aku mengangguk, membiarkannya meraih kedua telapak tanganku dan menggenggamnya lembut. Aku memang sudah menceritakan kejadian tadi pagi pada mas Suryo. Meskipun aku tak mau menambah beban pikirannya yang pasti sudah penuh dengan kegiatan desa, namun aku tak bisa menanggung kegelisahan ini sendiri. Aku tak setangguh itu. “Koh Ari enggak marah kan aku enggak masuk kerja?” “Enggak. Dia maklum kok.” “ Syukurlah.” Saling bergandengan tangan, kami akhirnya berjalan mencari tempat duduk untuk berdiskusi. Tentu saja kejadian tadi pagi membuat kami terguncang. Hubungan kami memang sangat beresiko, dan bukannya kami tak sadar bahwa cepat atau lambat kami akan ketahuan, tapi bukan dengan cara seperti ini yang kami inginkan. Diancam kemudian diperas oleh orang dekat sama sekali tak pernah terpikirkan olehku. “Kita ceroboh,” aku mulai menyuarakan unek-unek yang seharian ini mengganjal. “Seharusnya kita jangan bertemu saat berada di lingkungan desa. Bagaimana mungkin ini terjadi? Dua kali dan kali ini bahkan lebih parah.” aku menutup wajah dengan sebelah tangan, begitu kalut. “Apa maunya?” “Dia meminta uang” “Akan aku berikan. Berapa banyak?” “Mas!” aku memandanggnya nanar. Menggelengkan kepala. “Aku enggak mau kamu dimanfaatkan. Lagipula setelah kamu memberikannya uang seperti yang ia mau, mbak Retno pasti akan memintanya lagi dan lagi. Dia enggak akan berhenti menghisap darahmu sampai habis seperti lintah!” ujarku menggebu-gebu. Aku mulai tahu watak asli mbak Retno yang sangat licik untuk memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan kelemahan seseorang. Dan hal itu membuatku selalu merasa was-was. “Kalo gitu ayo nikah saja,” Aku memandang wajah antusias itu dengan lemas. Di saat seperti ini mengapa ia masih bisa bercanda? “Mas, serius dong. Jangan main-main, enggak lucu tau.” “Aku serius, kok.” Rautnya memang sungguh-sungguh, namun aku masih tak mepercayainya membawa topik itu lagi dan dijadikannya solusi. Meskipun aku sangat ingin menjadi istrinya tapi aku masih memikirkan istri sahnya yang sampai saat ini tak mau bercerai. Aku pun tak tau apa alasan wanita modis itu bertahan dalam rumah tangga di mana penghuninya sama-sama tak merasa bahagia. “Ayo nikah saja, Fi. Aku ingin kamu jadi milikku seutuhnya.” Jangan fikir aku tak tergoda. Aku juga ingin memilikinya. Namun jika kami menikah saat ini, dirinya tentu bukanlah milikku seutuhnya. “Kamu ingin menjadikanku istri simpanan, Mas?” aku menatapnya sendu. Mas Suryo langsung panik mencari jawaban. “Enggak lah, Fi!” “Terus apa?” “Ya istri sah ku!” “Lalu istrimu yang sekarang mau di kemanakan?” Aku hampir menangis, aku sangat benci berdebat dengannya. Menelan ludah yang serasa tersangkut di tenggorokan aku kemudian melanjutkan ”Atau mungkin, malah aku yang akan kamu sembunyikan…Mas?” Aku terus menanti jawabannya sembari mempertahankan tatapan, sebelum mas Suryo malah bangkit dan mengacak rambutnya frustasi. Saat itu, airmataku meluncur bebas membasahi pipi. Aku terisak-isak perih sembari membekap mulut dengan telapak tangan. Tuhan, mengapa hubungan kami harus berjalan rumit seperti ini? *** Matahari berada tepat di atas kepala saat kami akhirnya sampai di sebuah pantai yang membutuhkan waktu perjalanan lebih dari dua jam dari desa Ijo royo. Mungkin karena bukan akhir pekan atau hari libur, suasana pantai saat ini cenderung lengang. Hanya beberapa wisatawan yang terlihat tengah bermain ombak dan kejar kejaran seperti anak kecil. Aku hanya tersenyum kecil memperhatikan pemandangan itu. Duduk sembari menyelonjorkan kaki di atas pasir, kurasakan angin bertiup cukup kencang. Menghempas rambutku seolah ingin menerbangkannya ke langit. Namun kemudian sebuah topi lebar terpasang begitu saja di kepala, melindungiku dari ganasnya terjangan angin juga terik matahari yang menyengat kulit. “Es kelapa?” mas Suryo menyodorkanku sebuah kelapa hijau yang kulihat memiliki dua sedotan. Aku terkikik dengan rautnya yang memalu karena ketahuan tengah modus. Kemudian mengikuti kemauannya untuk meminum cairan segar itu bersama-sama. Membuat wajah kami begitu dekat. Sambil terus menikmati minuman yang perlahan membasahi tenggorokan, kedua mata kami menyorot lekat. Menyelami keindahan retina masing masing dengan penuh puja. Seolah sekali lagi menemukan jawaban mengapa kami saling jatuh cinta. Aku tersenyum dengan wajah memerah, akhirnya kalah beradu tatap dengan lelaki tangguh itu dengan mengalihkan pandangan dan menunduk. Tak lama kemudian sang pria tergelak kencang begitu aku tebatuk hebat, tersedak. Rupanya karena berdebar hebat air kelapa yang kuminum malah salah saluran menjadi terhirup hidung. Memalukan sekali. “Jangan ketawa, Mas!” rengekku sembari menutupi wajah memerah seperti kepiting rebus dengan kedua tangan. Sial sekali hari ini, ya tuhan. “Kamu lucu banget sih, Fi." ia belum juga berhenti terawa. Kedua tangannya memanjang meraih tubuhku untuk dipeluk. Aku memukuli bahunya yang terus berguncang, kesal karena ia terlihat begitu senang mendapati kekasihnya melakukan hal yang memalukan. “Berhenti enggak? Aku cubit nih!” ancamku. Sembari menguraikan pelukan, mas suryo kemudian menangkup wajahku dengan kedua telapak tangannya yang besar dan hangat. Bibirnya mengulaskan senyuman. “Ya udah maaf, maaf. Jangan ngambek,” tapi aku tentu saja cemberut. namun hanya beberapa saat karena sedetik kemudian tubuhku terperanjat begitu kurasakan bibirnya menempel di mulutku. Dengan santainya mas Suryo melakukan itu padahal kami berada di tempat umum. Jantungku rasanya ingin melompat dari rongga dada. “Fi, malam ini nginep yuk?” ucapnya saat tautan kami terlepas. Ia memandangku dengan dalam, penuh permohonan. Aku mengerjap berulang kali mencoba mengais kesadaran. Nyawaku rasanya terbang entah kemana, apalagi mendengar ajakannya barusan membuatku semakin linglung. “Mau, ya?” Entah apa yang aku pikirkan saat itu, atau mungkin aku memang tak memiliki pikiran, karena setelahnya aku mengangguk.Sudah pukul sepuluh malam ketika aku tiba di depan sebuah rumah yang lampunya masih terang benderang. Dihalaman yang tak seberapa luas itu terparkir sebuah mobil hitam mengkilat. aku tak hafal dengan plat nomornya, tapi aku punya dugaan kuat siapa pemiliknya. Turun dari sepeda yang kucuri dari kediaman utama pratama, aku berdiri sejenak untuk mengamati keadaan. Sunyi, karena memang rumah ini cukup jauh dari tetangga lain. Aku menghela nafas. Sesungguhnya aku belum memiliki rencana apapun. Tapi aku sudah di sini. Naluriku berkata aku harus ke sini. Aku yakin aku akan mendapatkan sesuatu malam ini di sini. Memantapkan hati aku pun mengetuk pintu, cukup lama aku menunggu hingga pintu akhirnya terbuka menampilkan sosok mbak Retno yang terkaget kaget melijatku berdiri dihadapannya. "Sufi!" Aku tak peduli dengan ia yang seperti hampir kena seramgan jantung, segera saja aku mendorong tubuhnya untuk menyi gkir dari ambang pi tu dan masuk ke dalam rumahnya begitu saja. Aku memgedarkan
" Belum tidur, Yang?" Aku mengalihkan mataku dari pemandangan gelapnya malam dibalik jendela kaca ketika kudengar mas suryo memasuki kamar. Pria tampan itu kini terlihat lusuh. Kemeja yang ia kenakan dari siang masih ia pakai padajal sudah lecek dan kusut. Sinar wajahnya begitu lelah. Sepertinya obrolan panjang duamiku bersama ayah dan beberapa orang penting di kelurahan cukup alot dan banyak memguras energinya. Ia yang biasanya penuh dengan semangat pun kini hanya bisa terduduk diranjang dengan lesu. "Maaf ya, mas. Aku nggak bisa bantuin apa-apa." Aku mendekatinya dan duduk berhadaoan. "Aku cuma bisa bikin kekacauan." "Sst, sudah beraoa aku bilang sih sayang, ini semua bukan salah kamu." Ia berucap lembut sembari merengkuhku dalam oelukan. "Kamu jangan mikir yang macam-macam. Mas bakalan jagain kamu, nggak bakalan bikin kamu kenapa kenapa. Semuanya bakal mas beresin seceoatnya. " Aku mengangguk, makin merangsek dalam pelukannya yang hangat. "Aku percaya kamu, mas." "Kita bisa
Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi?Aku meremas jemariku dengan hati gekisah. Mas suryo masih bungkam namun dari raut wajahnya yang tegang aku tau bahwa semuanya tidak baik baik saja.Siapa yang menghubunginya tadu? Kabar apa yang diterimanya? Sebegitu buruk ya kah sampai suamiku terguncang seperti ini?"Mas?"Tak sanggup menahan diri lebih lama dalam keterdiaman, akuoun memecah kesunyian yang mencekam itu dengan memanggilnya pelan. "Sebenarnya ada apa?" Aku memegang oengannya lembut.Mas suryo menoleh. Dari raut wajahnya aku tau pikirannya kini tengah berkecamuk."Nanti, yang..." Ia balas menggenggam jemariku, menyalurkan kekuatan. " Nanti aku jelasin semuanya. Yang pentingbkita harus pergi ke tempat yang aman duku."Meskipun belum cukup puas karena beoum mendapatkan jawaban yang aku inginkan namun sekarang aku hanya bisa menurutinya. Aku harus menahan diri dan bersabar sebentar.Tak lama berkendara aku akhirnya tau kemana mas suryo membawaku. Itu adalah kediam utama kedua
hari ini aku bangun dengan tubuh super lemas. Bedanya, kemarin karena aku digemour habis habisan olehas suryo semalaman suntuk, sementara hari ini entah katena apa. Mungkin aku sedang tak enak badan, kena gejala fDualu, atau masuk angin, entahlah. Yang jelas, saat aku terbangun aku sudah tak memikiki energi. Mulutku terasa pahit, mual juga masih sering hilang timbul. Udaea pegunungan yang biasanya kurasakan segar malah kini membuat tububku memggigil bak orang pesakitan. Aneh sekali...aneh... "Makan duku ya? Dari kemarin kamu belum makan yang?" Mas suryo menyendokan sop hangat yang kutolak mentah-mentah. Aku caoek mencoba menelan apapun karena nantina akan kumuntahkan juga semuanya. Lebih baik tak makan saja sekalian walaupun jadinya oemas begimi. "Dikit aja, sayang. Kalo iamu kayak gini terus kaoan sembuhnya?" "Tapi aku mual," aku menatap mas suryo dengan mata berkaca akaca. Mas suryo menghela nafas oanjang, lelah juga mu gkin menghadapiku yang dalam mode keras kepala. "Atau ma
Aku mengerjap dan menghela nafas panjang begitu mendengar mas suryo terus terusan bergerak gelisah di belakang. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya untuk terlelap namun pria besar itu dari tadi belum juga mau tidur. Aku yang sudah sangat mengantuk karena seharian lelah jalan-jalan kesana kemari pada akhirnya jadi terganggu oleh tingkah polah suamikuyang entah sedang kesurupan apa sampai tak mau diam bagai cacing kepanasan. "Kenapa sih mas? " Aku yang jengah dengan sikap suamiku pun membalikan badan untuk berbaring menghadapnya. Mas Suryo terkejut. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merangsek mendekat. Entah mengapa setelah itu ia beberapa kali kedapatan menghela nafas panjang seolah sedang menenangkan diri. Suamiku ini kenapa sih? "Kenapa bangun? Udah tidur aja gih, " ujarnya singkat. Tangannya mengelus pipiku dengan lembut. Jakunnya naik turun seperti kesusahan menelan air liur. Sikapnya ini benar benar aneh. Apa mas Suryo tengah menyembunyikan sesuatu? "Gimana mau tidur
Tubuhku remuk. Semuanya terasa sakit sekali sampai rasanya aku tak mampu bergerak sedikitpun dari kasur. pergulatan kami semalam sungguh menguras energiku sampai tak bersisa. bahkan mungkin aku harus bersyukur dengan kenyataan tak sampai jatuh pingsan, walapun tentu saja terbaring lemah seperti ini pun sangat menyiksa. "Sarapan dulu, Yang." Aku menoleh penuh kemalasan ketika Mas Suryo memasuki kamar dengan membawa dua mangkuk bubur ayam dan teh hangat. Melihat lelaki itu yang sudah rapi menggunakan stelan kasual, segar bugar dan bahkan wajahnya begitu bercahaya membuatku mendengsus. Tiba tiba saja aku merasa jengkel sendiri. Kenapa suamiku bagai baru disuntik satu ton vitamin sementara keadaanku layaknya korban yang habis hanyut terkena banjir bandang begini sih. "Kenapa lagi? Kok malah cemberut?" Ia duduk di sampingku yang masih rebahan. Tangannya mengelusi wajah yang luar biasa lusuh. "Ya gara gara siapa badanku remuk kaya habis ditabrak gerobak!" Bukannya menyesal mas Su