setelah dua bulan meninggalkan desa yang tengah heboh dengan gosip perselingkuhannya dengan mas Suryo,lurah tampan yang sayangnya memiliki istri mandul, Sufi menjadi karyawan sebuah toko di kota dan mengasingkan diri. Berharap bisa melupakan perasaannya, dosanya yang tak tertolong. Namun ternyata jarak tak mampu menghentikan takdir yang telah terencana. Rindu selalu membuat mereka bertemu, membayangi dengan syahdu meski dalam keremangan. Tak bisa lari, tak jua memiliki. Akankah mereka harus mengalah dan melepaskan atau Tuhan akhirnya memberi jalan pada dua insan agar berhenti merasa berdosa.
View MoreJam dua siang, tapi langitnya gelap seperti sudah pukul setengah enam. Hujan baru saja turun dengan deras, lebatnya bukan main, sampai membuat ibuku modar-mandir melongok keluar jendela, takut bakal ada pohon yang tumbang . Maklum saja, di sekeliling gubuk kami memang ditumbuhi pohon alba yang menjulang. Mereka Jammeliuk ditiup angin yang lumayan berhembus kencang. Daun-daun kuning pada rontok, menambah pekerjaan menyapu untuk esok pagi.
Aku mengintip kedalam ruang tidur adikku yang remang. Ia tengah berbaring dalam gumpalan seprai yang ia jadikan selimut, meringkuk layaknya kepompong yang lucu. Kami sedang bertengkar, entah apa salahku tapi ia sudah mendiamkan ku selama dua hari. Jadi aku tidak bisa mendekat untuk berbaring bersamanya, atau sekedar membenarkan selimutnya yang berantakan. Dia benar-benar bisa sangat aktif ketika sedang tidur, aku sering dibuat geleng-geleng sendiri. Memilih untuk duduk di ruang depan, kulihat air meluncur dari seng yang menaungi teras depan rumah. Aku bersyukur atap itu masih bekerja dengan baik meski seminggu lalu habis terbang kena angin. Bapak harus bekerja keras memperbaikinya lagi karena kami tidak bisa membeli yang baru, harganya sangat mahal untuk sekarang. Di kejauhan sana, di tengah derai hujan yang semakin deras, bocah lelaki berkaus merah yang basah kuyup, berdiri di atas kursi plastik dengan sepotong kain kumal di tangannya yang kurus hitam. Bergerak lincah mengelap kaca rumahnya yang mungkin sudah setahun ini tidak dibersihkan. Ia jungkat-jangkit seolah tidak takut akan terjungkal dan jatuh dengan menyakitkan. Menarik kedua lutut keatas kursi, terus kuperhatikan bocah itu. Bocah yang lima bulan ini menyandang status anak yatim. Ayahnya meninggal di ladang, tidak ada yang tau apa sebabnya. Padahal dua hari sebelumnya anaknya yang kelima baru saja lahir sementara anak-anaknya yang lain masih begitu kecil-kecil bahkan yang paling besarpun baru lulus sekolah dasar. Aku masih ingat betapa pilunya suara jeritan mbak Retno saat itu. Wanita tiga puluh dua tahun yang bekerja sebagai buruh pabrik dengan gaji tak seberapa, tiba-tiba harus ditinggalkan suami dan menjadi janda. Aku tidak tau sebanyak apa rasa sedih dan terpuruk yang musti ditanggung jika mengalami musibah seberat itu. Pun setelah tragedy itu ia hidup seperti orang linglung, sering sekali melamun. Aku pikir ia sangat frustasi juga syok berat tapi aku tak bisa apa-apa untuk menolongnya. Begitu juga saat dengan sembunyi sembunyi mba Retno datang mencegat ku saat akan pergi ke warung. Kedua matanya terlihat layu dengan tulang pipi menonjol. Belah bibirnya yang dulu selalu ter-poles gincu merah kini tampak pucat dan kering. Aku cukup terkejut dengan keadaannya kini, terlihat begitu menyedihkan dan lelah. “Tolong…” ia memohon. Jemarinya yang kurus mencengkeram erat lengan bajuku sampai nyaris sobek. “Lima ratus ribu saja. Susu untuk Dania sudah habis, aku tidak tau harus pinjam pada siapa lagi.” Kulihat ia hampir menangis. Aku tergugu, kebingungan. “Tapi aku tak punya, Mbak. Maaf …” aku melihatnya menunduk. Kini jemarinya berpindah untuk meremas baju dasternya sendiri. Sebenarnya aku tidak tega, tapi mau bagaimana lagi, pekerjaanku yang hanya sebagai penjaga toko buku di kota tidak memberikanku uang lebih sebagai simpanan. Terkadang aku bahkan harus kelabakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan mendadak yang mendesak. “Ya sudah. “ Mbak Retno mengangguk samar. Kulihat ia mengelap pipinya. Aku pikir ia benar-benar sudah menangis. Aku semakin merasa bersalah jadinya. Sambil menggigit bibir dan menimbang-nimbang berbagai hal, kukeluarkan dompetku sambil celingukan. Takut kalau kalau ada Ibuku yang melihat. Dengan tergesa gesa kuambil dua lembar uang kertas dari dalamnya dan kuraih tangan mbak Retno. “Maaf, aku Cuma bisa bantu segini...” aku meringis ketika mbak Retno mendongakan wajah sembari melihat dua lembar uang seratus ribuan di tangannya. Kedua matanya kembali berkaca kaca. “Ndak apa-apa, Fi. Makasih ya…” Ia mencoba tersenyum di sela-sela tangisnya. Aku hanya diam sambil mengangguk. Setelah menepuk pundaknya untuk menguatkan, akupun pamit. Ibu dan bapak di rumah pasti sudah ngomel ngomel karena lama menunggu. Tadi mereka bilang pengen dimasakin telor balado. Padahal ini tanggal tua, telor pun harganya sedang naik. Mentang mentang anaknya sedang pulang kampung, malah ditodong beli ini itu. Tapi ya sudahlah, mungkin senin nanti aku bisa puasa untuk menghemat pengeluaran. “Padahal simpenan pak Lurah, masak cuma dikasih dua ratus,…” Sayup sayup aku mendengar suara lirih dari belakang. Ingin rasanya aku menoleh, tapi dengan sekuat tenaga ku tahan dan tetap mengayunkan langkah. “...Dasar pelit!” Sambil mengepalkan tangan, kurasakan air mataku meleleh. *** Aku tau ibu melirikku sedari tadi. Mungkin karena beliau sadar bahwa kedua mataku sedikit sembab. Namun aku mencoba tak peduli dan lanjut menata piring di atas meja makan. Aku baru selesai memasak balado telor kesukaan bapak, spesial ekstra pedas. “Kamu habis nangis , Ndok?” ibu akhirnya tak mampu menahan untuk bertanya. Aku hanya menggeleng sambil memberinya sebuah senyuman. “Enggak, Bu. Ini balado sambelnya dicampur cabe setan jadi pedesnya sampai ke mata, hehe,” aku menambahi sambil terkekeh. ”Bapak di mana?” “Lagi di belakang kayaknya, dari kemarin airnya mati ….” “ Ya sudah. Ibu aja dulu yang makan, aku mau manggil Bapak dulu.” Langit sudah menghitam saat aku membuka pintu belakang. Lampu bohlam kekuningan yang menggantung di langit langit sebelah sumur menampakan sosok bapak yang sedang berjongkok, memperbaiki entah apa aku tak terlalu mengerti. “Pak!” aku berseru. “Opo , Nduk?” si bapak menjawab tanpa menoleh. Terlihat masih sibuk dengan kegiatannya. “Makan malam dulu, Pak. Ibu sudah nungguin …” “Iya sebentar. Ini hampir selesai.” Untuk beberapa menit aku menunggui bapak sambil melihat kesekitar halaman rumah yang remang karena hari sudah menjelang malam. Suara jangkrik terdengar nyaring di telingaku. Beda sekali dengan keadaan di kota yang biasanya hanya terdengar suara mesin pabrik atau kendaraan yang bising. Ini sudah dua bulan semenjak kejadian waktu itu. Kejadian memalukan yang hampir mencoreng nama baik keluargaku. Di mana fotoku bersama sosok yang disegani di desa ini tersebar di media sosial dan menjadi gunjingan tiada henti. Ayah dan ibu tentu pasang badan paling depan dalam membelaku, mereka terus membantah, meluruskan pada masyarakat bahwa berita yang beredar hanyalah fitnah, itu pasti perbuatan dari salah seorang yang merasa iri. Dan lambat laun semuanya pun reda, meskipun aku tak membuka suara semuanya pun percaya bahwa berita yang entah bersumber dari mana itu hanyalah kebohongan belaka. Aku diam, bapak dan ibu tak pernah menuntut jawaban. Semuanya berlalu begitu saja, pun sampai aku kembali sekarang. “Ayo, Ndok.” Tau-tau bapak sudah ada di hadapanku. Rupanya aku keasyikan melamun. Aku menyingkir sedikit. Mempersilahkan bapak untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu. Saat aku hampir menutup pintu, sayup-sayup kudengar deru halus sepeda motor yang lewat dari jalan samping rumah. Dari suaranya saja aku tau itu milik siapa. Tentu saja mas Suryo. Tanpa sadar aku tersenyum begitu ponsel yang kukantongi di saku baju bergetar menerima satu pesan masuk. ‘ketemu sebentar, yuk. Mamas kangen Sufi’ begitu tulisnya.Sudah pukul sepuluh malam ketika aku tiba di depan sebuah rumah yang lampunya masih terang benderang. Dihalaman yang tak seberapa luas itu terparkir sebuah mobil hitam mengkilat. aku tak hafal dengan plat nomornya, tapi aku punya dugaan kuat siapa pemiliknya. Turun dari sepeda yang kucuri dari kediaman utama pratama, aku berdiri sejenak untuk mengamati keadaan. Sunyi, karena memang rumah ini cukup jauh dari tetangga lain. Aku menghela nafas. Sesungguhnya aku belum memiliki rencana apapun. Tapi aku sudah di sini. Naluriku berkata aku harus ke sini. Aku yakin aku akan mendapatkan sesuatu malam ini di sini. Memantapkan hati aku pun mengetuk pintu, cukup lama aku menunggu hingga pintu akhirnya terbuka menampilkan sosok mbak Retno yang terkaget kaget melijatku berdiri dihadapannya. "Sufi!" Aku tak peduli dengan ia yang seperti hampir kena seramgan jantung, segera saja aku mendorong tubuhnya untuk menyi gkir dari ambang pi tu dan masuk ke dalam rumahnya begitu saja. Aku memgedarkan
" Belum tidur, Yang?" Aku mengalihkan mataku dari pemandangan gelapnya malam dibalik jendela kaca ketika kudengar mas suryo memasuki kamar. Pria tampan itu kini terlihat lusuh. Kemeja yang ia kenakan dari siang masih ia pakai padajal sudah lecek dan kusut. Sinar wajahnya begitu lelah. Sepertinya obrolan panjang duamiku bersama ayah dan beberapa orang penting di kelurahan cukup alot dan banyak memguras energinya. Ia yang biasanya penuh dengan semangat pun kini hanya bisa terduduk diranjang dengan lesu. "Maaf ya, mas. Aku nggak bisa bantuin apa-apa." Aku mendekatinya dan duduk berhadaoan. "Aku cuma bisa bikin kekacauan." "Sst, sudah beraoa aku bilang sih sayang, ini semua bukan salah kamu." Ia berucap lembut sembari merengkuhku dalam oelukan. "Kamu jangan mikir yang macam-macam. Mas bakalan jagain kamu, nggak bakalan bikin kamu kenapa kenapa. Semuanya bakal mas beresin seceoatnya. " Aku mengangguk, makin merangsek dalam pelukannya yang hangat. "Aku percaya kamu, mas." "Kita bisa
Sebenarnya ada apa? Apa yang sedang terjadi?Aku meremas jemariku dengan hati gekisah. Mas suryo masih bungkam namun dari raut wajahnya yang tegang aku tau bahwa semuanya tidak baik baik saja.Siapa yang menghubunginya tadu? Kabar apa yang diterimanya? Sebegitu buruk ya kah sampai suamiku terguncang seperti ini?"Mas?"Tak sanggup menahan diri lebih lama dalam keterdiaman, akuoun memecah kesunyian yang mencekam itu dengan memanggilnya pelan. "Sebenarnya ada apa?" Aku memegang oengannya lembut.Mas suryo menoleh. Dari raut wajahnya aku tau pikirannya kini tengah berkecamuk."Nanti, yang..." Ia balas menggenggam jemariku, menyalurkan kekuatan. " Nanti aku jelasin semuanya. Yang pentingbkita harus pergi ke tempat yang aman duku."Meskipun belum cukup puas karena beoum mendapatkan jawaban yang aku inginkan namun sekarang aku hanya bisa menurutinya. Aku harus menahan diri dan bersabar sebentar.Tak lama berkendara aku akhirnya tau kemana mas suryo membawaku. Itu adalah kediam utama kedua
hari ini aku bangun dengan tubuh super lemas. Bedanya, kemarin karena aku digemour habis habisan olehas suryo semalaman suntuk, sementara hari ini entah katena apa. Mungkin aku sedang tak enak badan, kena gejala fDualu, atau masuk angin, entahlah. Yang jelas, saat aku terbangun aku sudah tak memikiki energi. Mulutku terasa pahit, mual juga masih sering hilang timbul. Udaea pegunungan yang biasanya kurasakan segar malah kini membuat tububku memggigil bak orang pesakitan. Aneh sekali...aneh... "Makan duku ya? Dari kemarin kamu belum makan yang?" Mas suryo menyendokan sop hangat yang kutolak mentah-mentah. Aku caoek mencoba menelan apapun karena nantina akan kumuntahkan juga semuanya. Lebih baik tak makan saja sekalian walaupun jadinya oemas begimi. "Dikit aja, sayang. Kalo iamu kayak gini terus kaoan sembuhnya?" "Tapi aku mual," aku menatap mas suryo dengan mata berkaca akaca. Mas suryo menghela nafas oanjang, lelah juga mu gkin menghadapiku yang dalam mode keras kepala. "Atau ma
Aku mengerjap dan menghela nafas panjang begitu mendengar mas suryo terus terusan bergerak gelisah di belakang. Ini sudah hampir tengah malam, waktunya untuk terlelap namun pria besar itu dari tadi belum juga mau tidur. Aku yang sudah sangat mengantuk karena seharian lelah jalan-jalan kesana kemari pada akhirnya jadi terganggu oleh tingkah polah suamikuyang entah sedang kesurupan apa sampai tak mau diam bagai cacing kepanasan. "Kenapa sih mas? " Aku yang jengah dengan sikap suamiku pun membalikan badan untuk berbaring menghadapnya. Mas Suryo terkejut. Ia mengerjap beberapa kali sebelum merangsek mendekat. Entah mengapa setelah itu ia beberapa kali kedapatan menghela nafas panjang seolah sedang menenangkan diri. Suamiku ini kenapa sih? "Kenapa bangun? Udah tidur aja gih, " ujarnya singkat. Tangannya mengelus pipiku dengan lembut. Jakunnya naik turun seperti kesusahan menelan air liur. Sikapnya ini benar benar aneh. Apa mas Suryo tengah menyembunyikan sesuatu? "Gimana mau tidur
Tubuhku remuk. Semuanya terasa sakit sekali sampai rasanya aku tak mampu bergerak sedikitpun dari kasur. pergulatan kami semalam sungguh menguras energiku sampai tak bersisa. bahkan mungkin aku harus bersyukur dengan kenyataan tak sampai jatuh pingsan, walapun tentu saja terbaring lemah seperti ini pun sangat menyiksa. "Sarapan dulu, Yang." Aku menoleh penuh kemalasan ketika Mas Suryo memasuki kamar dengan membawa dua mangkuk bubur ayam dan teh hangat. Melihat lelaki itu yang sudah rapi menggunakan stelan kasual, segar bugar dan bahkan wajahnya begitu bercahaya membuatku mendengsus. Tiba tiba saja aku merasa jengkel sendiri. Kenapa suamiku bagai baru disuntik satu ton vitamin sementara keadaanku layaknya korban yang habis hanyut terkena banjir bandang begini sih. "Kenapa lagi? Kok malah cemberut?" Ia duduk di sampingku yang masih rebahan. Tangannya mengelusi wajah yang luar biasa lusuh. "Ya gara gara siapa badanku remuk kaya habis ditabrak gerobak!" Bukannya menyesal mas Su
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments