Rendra keluar dari sebuah ruangan arsip rumah sakit untuk mencari data tentang Kakaknya bersama Erik. Namun, sepertinya ia tidak mendapatkan bukti apapun. Rendra terlihat sedih dan bingung. 'Apa mungkin Mas Pati salah mendapatkan informasi' "Mungkin suruhan kamu salah mendapatkan informasi," kata Erik mengunci pintu arsip itu kembali. "Mungkin, Pak." Rendra berjalan berdampingan dengan Erik menuju lobi rumah sakit. "Kamu sabar, ya. Saya akan bantu kamu cari Kakak kamu di rumah sakit lain." "Terima kasih, Pak," ucap Rendra. Ia melihat Pati menunggunya di samping mobil, "Kalau begitu saya kembali ke Jakarta duluan." "Baiklah. Kamu hati-hati." Erik menepuk pundak Rendra lembut untuk memberikannya semangat sambil tersenyum. "Iya, Pak," jawab Rendra membalas dengan senyuman pula. Namun, Pati memasang wajahnya yang tegang tanpa tersenyum. Ia langsung membuka pintu mobil untuk Rendra. "Kita harus kembali sekarang, Tuan Muda, sebelum macet," kata Pati. Rendra mengangguknya dan memasu
Eva dan Rendra berjalan di atas trotoar pinggiran jalan kota sambil bergandengan tangan. "Enak 'kan?" tanya Eva menyuapi Rendra eskrim rasa Strawberry. "Hmmm, enak. Walaupun aku nggak suka strawberry, tapi tetap enak," jawab Rendra sambil tersenyum. Eva tersenyum ke arah Rendra, "Kamu harus suka." "Iya, sayang." Rendra mengelus kepala Eva dengan lembut seraya memasuki sebuah toko pakaian. Beberapa menit kemudian, Eva dan Rendra berdiri di depan sebuah gedung tinggi yang sedang menyiarkan acara berita tentang kasus pemerkosaan yang di lakukan oleh seorang pria berumur 35 tahun kepada seorang siswi SMP. Rendra menatap pemberitaan itu tanpa senyum begitu juga dengan Eva. Mereka terlihat geram dengan perbuatan bejat lelaki itu. Pembawa acara berita itu merupakan Papa Eva sendiri 'Sukma Negara' "Ren?" panggil Eva. "Eum." Rendra menoleh ke arah Eva. "Aku ingin menjadi seorang pembawa acara yang hebat seperti, Papaku." Eva dan Rendra saling menatap tanpa senyum. *** "Ris, aku tak m
"Memangnya ada sesuatu dengan lukisan itu, sampai Paman berteriak?" tanya Eva. "Hmmm. Lu-lukisan itu milik direktur rumah sakit. Maaf ya, Ren. Bikin kamu kaget," jawab Erik sedikit gagap. "Tidak apa-apa, Pak. Lain kali saya akan berhati-hati. Tapi, kenapa lukisan itu ada di ruangan Pak Erik? Seharsunya 'kan berada di ruang direktur?" tanya Rendra berusaha mengulik kebenaran. "Dulunya ini ruangan mantan direktur yang kini sudah meninggal. Karena saya direkturnya sekarang, jadi saya yang menempati ruangan ini," jawab Erik membeberkan kebenarannya. Eva terlihat terkejut, "Paman direktur rumah sakit ini? Kok Eva tidak tahu? Sudah berapa lama." "Baru satu tahun. Begitulah kira-kira, oke? Oh ya, bagaimana kalau kita dinner bersama?" Erik mengalihkan pertanyaan lain. "Dinner?" Eva menoleh ke arah Rendra. "Iya." "Oke. Kamu mau pergi 'kan Ren?" tanya Eva. "Iya." Rendra tersenyum tapi terlihat kurang nyaman dan merasakan hal yang aneh dengan Erik. *** Keesokan harinya, Rendra mendapat
"Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?" Eva terlihat gelisah saat ia menelpon Erik, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Ia dan Rendra berada dalam perjalanan menuju rumah sakit. "Kamu sabar dulu. Mungkin Pamanmu sedang berusaha menyelamatkan pasien," sahut Rendra sambil menyetir. Eva melihat ke arah Rendra, "Mungkin saja. Semoga dia dan seluruh pasien selamat." *** Api yang begitu besar menghabiskan sebagian gedung samping kiri rumah sakit. Para dokter dan perawat berusaha menyelamat pasien dan keluar dari gedung. "Bagaimana dengan pasien yang lainnya? Apa yang harus kita lakukan?" tanya salah satu perawat kepada temannya yang berhasil keluar dan berkumpul di halaman rumah sakit. Para petugas pemadam kebakaran sudah siap siaga menolong para korban kebakaran. Masih banyak pasien, dokter, perawat yang terjebak di gedung rumah sakit. *** "Kita harus keluar lewat pintu bawah tanah yang tembus ke basement." Erik mendorong Sisi dengan kursi menuju keluar gedung lewat pintu rahasia.
"Apakah dia Kakakmu?" tanya Eva sambil menangis. Rendra terus menatap Eva tanpa senyuman sambil menghela napas dan memindahkan pandangannya. "Tuan Muda. Kita harus bergegas mencari bukti di ruangan ini sebelum orang lain datang." Pati meminta Rendra untuk segera bertindak. "Iya, Mas. Kita memang tidak memiliki banyak waktu. Kita harus segera periksa seluruh ruangan ini." Rendra bergegas membuka semua laci lemari di ruangan itu. Eva sangat terpukul menerima kenyataan bahwa Pamannya ternyata sudah menikah tanpa diketahui olehnya. Ia juga harus menerima kenyataan bahwa ia menyembunyikan istrinya yang mengalami gangguan jiwa dan merupakan Kakak dari lelaki yang dia cintai. 'Kenapa Paman harus menyembunyikan hal ini? Ada apa sebenarnya?' *** Erik membawa Sisi ke sebuah villa milik pribadinya di Malang. Ia menidurkan Sisi di atas ranjang karena sudah tertidur. Ia mengelus rambut Sisi, "Aku sudah bersusah payah untuk memperjuangkanmu dulu, Si. Kini, seenaknya Papamu menyuruh adikmu un
Erik menghalangi Rendra agar tidak membawa Sisi. Ia melakukan berbagai cara untuk menggagalkan rencana Rendra. Tapi, Rendra sudah lebih dulu melaporkan Erik pada pihak kepolisian. "Selamat malam. Apakah benar Anda Erik Harris?" tanya Polisi yang datang bersama tiga polisi lainnya. "Iya, memangnya ada apa?" tanya Erik mulai ketakutan. "Anda terjerat kasus penculikan dan dalang kejahatan dengan memanipulasi data pasien di rumah sakit dan membangun ruang rahasia dengan dana penggelepan," jelas Pak polisi itu. "Pak. Sa-saya tidak mungkin, melakukan itu semua. Kamu jangan sembarangan tuduh ya, Ren. Dia, penjahatnya Pak!" tunjuk Erik ke arah Rendra. "Tangkap dia sekarang!" perintah polisi itu kepada bawahannya. "Itu istri saya, Pak. Saya tidak menculiknya sama sekali." Erik melawan para polisinya saat diborgol. Erik dibawa paksa ikuti menaiki mobil patroli menuju kantor polisi untuk diinterigasikan. Eva melihat Erik dai kejauhan sambil menahan air mata. Ia membenci Pamannya yang terl
Hati siapa yang tak sedih melihat saudara kita sendiri disakiti, dihancurkan marwahnya, bahkan impiannya pun hancur demi mempertahankan cinta. Begitu juga dengan Rendra yang sangat terluka melihat kondisi Kakaknya yang tak berdaya setelah bertahun-tahun tidak mendapatkan pengobatan yang pantas dari Erik. Ia sangat kecewa dan marah dengan apa yang sudah Erik lakukan. Rendra membawa Sisi ke sebuah apartemen yang di sewanya khusus agar lebih aman dan jauh dari gangguan orang kalayak ramai. Ia mendudukkan Kakaknya di atas kursi roda sambil memberikan sarapan berupa bubur dan segelas susu. Sisi begitu penurut. Ia terus memakan bubur yang diberikan Rendra dengan lahap. Ia tersenyum dan tertawa dengan riang dan terus meminta disuapi bubur itu sampai habis. Rendra merasa sedih melihat Kakaknya yang merasakan perlakuan yang tidak adil, padahal dia sosok wanita yang sangat baik dan kuat. 'Sampai kapan pun aku tidak memaafkanmu Pak Erik' Tiba-tiba, Sisi merasakan kesedihan Rendra dan melihat
Rendra melepaskan pelukannya dan menatap Eva sambil menempelkan kedua telapak tangannya di pipi Eva agar ia tetap tenang. "Aku nggak ke mana-mana kok, Sayang. Ayo kita masuk dulu. Kamu ingin sekali bertemu dengan Kakakku 'kan? Sudah, jangan sedih lagi." Rendra menggenggam tangan Eva dan mereka memasuki apartemen. Sisi sedang asyik nonton acara komedy di televisi sambil duduk di kursi sofa tanpa reaksi apa pun. Ia hanya melihat dan mendengar. Ia sama sekali tidak tertawa atau pun menangis. Rendra membawa Eva ke hadapan di sisi. "Kakak?" panggil Rendra dengan lembut. Sisi tak perpaling. Ia menunjukkan wajah yang cemberut. Ia bahkan tidak bergeming saat Rendra memanggilnya. "Kenapa Kakak diam saja? Aku bawa seorang yang akan menjadi teman Kakak. Memangnya Kakak nggak mau diajak main sama wanita cantik ini?" bujuk Rendra agar Sisi melembut. "Teman?" Sisi memainkan bola matanya dan agak tersenyum. "Iya, aku butuh teman. Di mana temanku?" tanya Sisi menoleh ke arah Eva sambil tersenyum