"Ndri, kamu tidur aja setelah ini." Rasya meletakkan putranya di atas tempat tidur. Ia membantu Indri duduk karena sejak tadi istrinya itu susah berjalan.
"Iya, Mas. Makasih. Tapi, aku belum bisa masakin kamu." Indri merebahkan diri. "Belum bisa ngerjain apa-apa."
"Tidak perlu kamu mikir terlalu jauh begitu. Hari ini kamu ngurusin Angga saja. Biar aku beli makan di luar." Rasya membalik badannya dan melangkah keluar kamar.
Batin Indri sedikit lega. Mendapat aliran kesegaran setelah kemarin bertengkar dengan sang suami. Ia berharap, Rasya sudah berubah.
Di luar sana, samar-samar wanita berbadan dua itu mendengar suara. Ia bangkit dari ranjang lalu membuka pintu perlahan.
"Ngapain kamu bawa dia lagi? Biarkan saja dia tinggal di rumah Ibunya. Kita tidak perlu repot-repot mengurusi dia. Tidak perlu capek-capek."
Indri memegangi dadanya yang sesak paska mendengar ucapan Alma barusan. Di ruang tamu mereka duduk menghadap ke luar. Alma dan putranya nampak berdiskusi.
"Indri itu istriku, Ma. Dia masih tanggung jawabku. Tidak usahlah, Mama, menyudutkan dia terus."
Ada senyuman yang kini merekah di bibir Indri. Ia yakin, Rasya sudah berubah. Tak pernah seumur-umur lelaki itu membelanya. Baru kali ini ia menjawab ucapan Mamanya begitu.
Indri lebih kuat. Hanya dengan satu kalimat belaan dari Rasya, ia tidak jadi larut dalam kesedihan. Dia yakin, suaminya telah berubah. Kelak, di hadapan Ibu dan Mas-nya, Indri bisa tersenyum puas.
"Sya, Mama, lagi butuh. Kemarin baju, Mama, yang beli dari uang tabungan udah bolong, kena strikaan." Alma berucap ketika Rasya masih asik dengan gawai di tangannya. Sama sekali tidak merespon. "Kamu tahu, siapa yang merusak baju, Mama?"
"Siapa?" tanya Rasya santai. Masih seru memencet tombol kanan kiri, lalu temb*k. Dir Dur D*r.
"Istrimu! Dia sengaja membiarkan baju, Mama, gosong. Sedangkan dia asik di kamar mandi." Dengan bibir maju dua senti, Alma bercerita layaknya bocah kecil yang baru saja kehilangan apa yang disukai.
Rasya tiba-tiba terdiam. Bahkan permainan tengah berjalan, ia matikan segera. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan. Bukan hanya itu, Alma juga menambah cerita yang baru ia karang.
"Ma, sudahlah! Aku pusing mendengar pertengkaran kalian. Apa kaum wanita itu kalau campur satu rumah memang begitu? Selalu saja saling tuding?"
Deru napas disertai degup tak beraturan dari jantung, Rasya meninggalkan Alma seorang diri. Indri segera kembali masuk ke kamar lagi dan menutup pintu rapat-rapat.
Wanita muda itu kembali menatap sang buah hati. Tangannya terayun menyentuh pipi gembul yang kini terlelap setelah meminum obat dari dokter. Bocah kecil dengan rambut ikal itu begitu suci untuk disalahkan. Berulangkali Alma mengumpat mengenai jarak kehamilan yang terlalu dekat.
Rasya masuk ke kamar. Masih dengan tangan fokus pada benda pipihnya. Lalu, menghentakkan bobot di sofa dalam. Ia tak melirik sekilas pun wanita yang kini mengharapkan kasih sayangnya.
"Mas, katanya mau beli makan? Ini sudah siang, kebetulan aku tadi belum sempat makan di rumah Ibu," ucap Indri seraya mendekati suaminya. Lalu, duduk dan tangannya mencoba memberikan sentuhan lembut pada pundak lelaki itu.
Rasya masih diam. Dia asik dengan per*arungan di medan laga dalam kotak layar di tangannya. Indri sudah menahan diri untuk tidak mengikuti isi hatinya yang seakan member*ntak. Akan tetapi, nyatanya Rasya masih sama saja.
"Mas," ucap Indri lagi. Bermaksud menarik perhatian kecil Rasya.
"Hem." Rasya menjawab sekenanya.
"Aku mau makan. Sudah jam dua siang. Dari pagi kebetulan ...."
"Duuh! Bikin kalah aja kamu!" Rasya memukul udara. Ia kesal karena kalah tarung. Selang sedetik kemudian, ia membanting ponselnya di sofa.
"Mas, kebutuhanku itu tanggung jawabmu. Apalagi makan. Kamu itu mampu dari segi manapun."
Mendengar ucapan Indri barusan, Rasya tak peduli. Ia malah merebahkan diri di atas ranjang dengan tangan menjadi bantalan.
Indri kembali kecewa. Diam-diam dia menghapus game online yang sudah lama mendiami ponsel sang suami. Ia tak tahan lagi, nafkah lahir batin yang sengaja terbengkalai membuatnya melakukan hal nekat.
****
Indri akhirnya membeli makan sendiri di warteg dekat rumahnya. Ia membeli nasi dengan lauk sederhana. Uang yang diambil dari dompet suaminya, sebab sepeserpun dia tak punya.
Sampai di rumah, dia langsung disuguhi dua mata yang melot*t hampir copot. Bibir merona yang komat-kamit milik mertuanya.
"Dari mana kamu?" Alma melirik benda yang terbungkus plastik putih.
"Dari warteg, Ma." Indri hendak melanjutkan langkah tetapi Alma kembali mengintrogasi.
"Beli apa? Kenapa cuman satu bungkus aja? Mana buat Rasya? Masa kamu tega makan sendiri sementara suamimu ...."
Indri memejamkan matanya sekilas. Ia tak menoleh pada mertuanya karena tak tahan kedua matanya memanas.
"Ada apa, sih, ribut-ribut lagi?" Rasya baru saja keluar kamar. Masih terlihat jelas jejak bangun tidur di wajahnya.
"Tuh, si Indri. Beli makan cuman satu bungkus. Buat Mama, mana? Buatmu juga enggak ada."
Rasya menghampiri dua wanita itu. "Ndri, kamu beli sendiri?"
Indri mengangguk. Lidahnya kelu tak bisa menjawab. Seakan kehilangan seluruh tenaganya. Seluruh kekuatannya, sudah lenyap. Ia masih menghormati Alma sebagai orangtua, dan dimaklumi.
Indri sadar, Alma satu-satunya orangtua suaminya yang masih tersisa. Apalagi, Rasya lah yang selama ini menjadi tumpuan harapannya.
"Kenapa beli cuman satu, Ndri? Mama kayaknya juga belum makan. Eh, kamu dapat duit dari mana?" tanya Rasya.
Indri mulai bingung. Kenapa tiba-tiba semua apa yang ada dalam isi kepalanya hilang padahal sebelumnya sudah ia siapkan semua jawaban jika nanti Raysa bertanya.
"Jawab, Ndri!" tekan Rasya.
"Ak ... aku ngambil dari dompet kamu."
Rasya terkejut. "Kenapa tidak bilang?" Lelaki itu mulai kesal karena sikap berani Indri. "Namanya kamu lancang, Ndri."
"Maaf, Mas. Kamu tidak memberiku uang belanja. Bahkan biaya perawatan Angga saja, Mas Ali yang harus turun tangan. Kamu tidak mau tahu." Napas Indri naik turun. Bibirnya bergetar menahan diri.
"Siapa yang menyuruhmu membawa Angga ke rumah sakit? Lagipula kamu tidak mendapat izinku."
"Cukup, Mas!" Indri langsung kembali ke kamar.
Alma menyeringai taj*m. Menarik satu sudut bibirnya lalu berkata, "Kamu harus tegas, Sya. Dia mulai berani."
Rasya mengikuti Indri ke kamar. Setelah sampai di sana, Indri terlihat menangis sambil mendekap tubuh mungil putranya.
"Kalau mau apa-apa itu harus izin suami. Jika aku tidak ridho, kamu bakal dil*knat malaikat sampai kembali. Sampai aku ridho! Ingat itu, Ndri. Kukira kamu wanita shalihah makanya aku dulu menikahimu. Tapi, ternyata sifat aslimu begini."
Indri tidak menjawab. Ia hanya sibuk mengusap wajahnya. Rasa lapar pun berubah mual. Ia langsung bergegas ke kamar mandi. Mengeluarkan semua isi dalam perutnya.
"Sya!" teriak Alma dari luar.
Rasya yang masih tergugu duduk di tepi ranjang segera keluar menghampiri Mamanya.
"Ada apa, Ma? tanya Rasya.
"Tuh, ada yang nyariin kamu." Alma tersenyum semringah.
"Siapa, sih, Ma?" Rasya mulai menengok. Di ruang tamu seorang wanita terlihat menopang kakinya. Gaun pendek berwarna marun dipadu dengan high heels lima senti menghiasi kaki mulus di sana. Wajahnya putih mulus, terlihat sekali perawatan teratur.Rasya tersenyum ke arahnya. Meski sang wanita memunggungi, tetapi lelaki itu sudah menduga akan ada hari yang indah. Suami dari Indri itu membenahi penampilannya meski sederhana. Meski hanya kaus oblong dan celana selutut, ia dengan percaya diri menghampiri. Senyumnya tak henti-hentinya bersinar."Ra," ucapnya lalu duduk di sebelah wanita itu. Berjarak hanya beberapa jengkal saja."Hai, Mas Rasya? Aku lagi bosan aja, jadi main ke sini. Boleh, enggak?" Laura, anak pengusaha kaya yang kini bekerjasama dengan perusahaan tempat Rasya bekerja mengulas senyuman."Boleh, dong. Main aja, masa enggak boleh." Lelaki itu terkekeh. Ada rasa kagum melihat wanita berkelas di hadapannya.Tak lama setelah itu, Alma datang dengan nampan dua gelas berisi air
Indri segera membuka dompet milik suami yang berada di atas tempat tidur, tepatnya di sebelah jas hitam Rasya.Isinya dua lembaran merah dan satu lembaran biru. Apalah daya, Indri menurut saja. Lima puluh ribu dia ambil lalu belanja di tukang sayur yang keliling depan rumah.Indri hanya menggunakan sebagian saja dari uang tadi. Meski isi dompet Rasya tidak banyak, ia tahu, ada beberapa ATM yang jelas isinya. Indri adalah wanita yang pantang meminta lebih. Dia wanita berprinsip, hanya meminta haknya sekadar untuk makan.Ia tidak sekaligus memasak semua bahan yang tadi dibeli. Hanya cukup untuk sarapan."Masak apa, Ndri?" tanya Alma seraya mendekati. "Bikin nasi goreng telur, Ma. Mama kalau mau, Indri siapin." Indri menoleh. Ia membawa satu wadah berisi nasi goreng yang dicampur telur serta timur dan tomat di piring lain."Enggak, ah. Mama tidak biasa pagi-pagi makan karbo." Alma dengan segera melengos dan pergi.Indri yang mendengar langkah kaki dari arah kamarnya segera mempercepat g
Wanita"Kadang diuji dengan sehebat-hebatnya ujian, fisiknya lemah tapi batinnya kuat.Itulah anugrah yang diberikan Allah kepada makhluk yang bernama wanita.""Kita bukan tidak tahu, menaruh harapan kepada manusia adalah awal dari patah hati. Kita bukan tidak mengerti bahwa mempercayai seutuhnya kepada manusia adalah awal kekecewaan. Hanya saja, kita itu terkadang memang suka sekali jatuh di tempat yang sama."Indri tak menoleh. Ia hanya menerima sapu tangan tadi lalu menggunakannya. Seseorang di belakang mereka hanya mengangkat dua alisnya saja melihat Indri tak acuh. Pintu lift terbuka. Indri bersama Ibunya pun meninggalkan tempat itu. Tak peduli dengan suara klakson yang memekik telinga serta teriakan keras saat mereka menyeberang tanpa melihat kanan kiri. "Ndri, jangan buru-buru! Awas ada mobil." Rumi tak bisa menghentikan langkah putrinya. Indri menghentikan taksi lalu mengajak Ibu dan putra kecilnya pulang..Semua pakaian sudah tertata. Keputusannya sudah bulat untuk berpis
"Mas, berikan aku kebebasan. Asal kamu tahu, jangan kira kamu tidak berdosa dalam hal ini. Semua yang kulakukan itu bersumber darimu. Kau berbuat baik padaku, aku akan membalasnya lebih baik lagi. Tapi, ternyata sebaliknya, kau tidak peduli denganku dan Angga."Kini Angga kecil pun menangis. Ingin ikut dengan Indri. Mereka masih diam mendengar ucapan Indri barusan. Sepoi angin menambah nelangsanya hati Indri."Ndri, harusnya kamu juga tahu diri. Tahu terima kasih. Rasya itu setiap hari pulang pergi cari uang buatmu." Tiba-tiba Alma datang dan langsung menjejali mereka semua dengan argumentasinya."Cukup, Ma! Selama ini yang pegang gaji Mas Rasya, kan, Mama. Aku hanya dikasih kalau minta," balas Indri. Ia tak terima. Semua orang harus tahu selama ini yang telah terjadi antara dia dan sang mertua."Ya, karena aku Ibunya. Aku berhak sepenuhnya atas putraku. Sampai kapanpun, dia itu milikku. Kamu harusnya nyadar, Ndri. Sudah baik dinafkahi."Indri dan Rumi mengurut dada karena ucapan Alma
PERGINYA ISTRIKU 8Air dari langit begitu deras menghantam bumi. Rumi duduk di dekat jendela kaca dalam ruangan Indri. Tangannya terus bergerak memutar butiran tasbih. Selama dua hari, Indri belum juga menunjukkan tanda-tanda kondisi membaik. Selang infus dengan cup oksigen masih menempel di tubuhnya. Wanita muda itu sangat memprihatinkan."Maaf, Bu. Mbak Indri sangat lemah saat ini. Bahkan denyut nadinya ... kita sama-sama berdo'a saja. Hanya dengan kuasa Allah lah yang mampu mengembalikan kebahagiaan." Air mata Rumi tumpah lagi. Ia mengingat pesan-pesan dokter tadi. Wanita tua itu hanya tidur beberapa jam saja selama Indri tak sadarkan diri. Di manapun berada, seorang ibu pasti akan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Paling banyak berkorban karena sampai kapanpun seorang anak adalah anak, meskipun sudah menikah. Mereka akan tetap dianggap anak kecil oleh makhluk bernama ibu.."Mas, kapan kamu mau datang ke rumah bertemu Papa?" tanya Laura. Dia duduk di pangkuan lelaki berkeme
Rasya tertunduk malu. Bibirnya mengatup rapat, ia sama sekali tak berani mendongak.Ali yang sejak tadi juga diam kini mulai berdiri. "Masih baik kau diberi kesempatan, lain kali tidak akan ada ampunan lagi." Dia langsung keluar setelah menunduk pada bos barunya.Rasya mengepalkan tangannya. Ia menahan rasa kesalnya pada mantan kakak ipar yang jabatannya jauh di atasnya itu.Malam itu, cuaca sangat mendukung bagi Rasya. Bintang bertaburan di langit gelap. Ia sudah siap dengan kemeja putih dan jas hitam termahal yang pernah ia beli, tak lupa dasi kupu-kupu agar tampilan semakin paripurna.Ia mengemudikan mobilnya, mengarah pada sebuah restoran Jepang bernuansa khas negeri bunga sakura itu. Ia juga sengaja datang lebih awal agar kedua orang tua Laura terkesan. Meski kini hatinya agak kurang baik akibat hal pelik di kantor tadi pagi.Binar bola mata Rasya terlihat jelas. Bibirnya merekah melihat bidadari jelita datang bersama lelaki tua dan satu wanita paruh baya. Mereka memang terlihat
PERGINYA ISTRIKU 9Rasya mengantar calon istrinya sampai di depan rumah. Namun, ia tidak ikut turun. Mereka saling melepas kepergian, tak lupa cipika-cipiki yang menjadi rutinitas.Lelaki dengan wajah berseri-seri itu melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Jalanan yang kian sepi membuat dia menekan pedal gas cukup kencang. Ditambah dengan alunan musik yang memenuhi satu mobil, Rasya terbuai.Sayang, ia tak begitu memperhatikan jalanan. Sebuah truk pengangkut barang-barang pengiriman membelok arah dan Rasya baru menyadarinya. Alhasil, ia telat menginjak rem.Mobil pun menubruk bagian ekor truk hingga terguling. Tak lama setelah itu, beberapa orang berkerumun. Membantu mengeluarkan Rasya yang setengah kesadarannya sudah hilang.Riuh suara sirine dan klakson mobil. Rasya mendengar suara wanita yang tak asing. Namun, ia seperti kenal dengan suara itu. Suara khas yang biasanya selalu membangunkan kala itu."Pak, tolong! Saya kenal dengan lelaki ini."Bibir yang hendak ia angkat untuk seka
"Oh, oke. Aku akan ajak kamu jalan-jalan." Laura segera membantu lelaki itu berpindah.Mereka mulai menyusuri lorong dan berakhir di taman rumah sakit. Rasya menghirup udara segar pagi itu. Ia rindu dengan suasana di luar. Namun, saat tengah menikmati pemandangan hijau di sana, kedua matanya tak sengaja melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan mantan istrinya. "Ra, tolong bawa aku ke sana!" pinta Rasya sambil menunjuk ke suatu arah. "Ke mana? Duh, enggak usah jauh-jauh, Mas! Kamu ....""Udah, buruan! Nanti keburu hilang," sahut Rasya cepat.Laura masih tak mengerti. Namun, ia tetap menuruti kemauan Rasya. Mereka berjalan menuju ke arah luar tetapi segera dihadang oleh petugas."Maaf, mau ke mana?" tanya seorang petugas, lengkap dengan masker dan sebuah alat komunikasi di tangan kirinya. Laura diam.Rasya bingung. Ia tak punya alasan untuk menjawab. Ia menoleh pada Laura yang juga menatapnya."Cuman mau cari udara segar di depan sana, Pak," bohong Rasya. Wajahnya terlihat ge