Share

Bab 5

Be your self

Tetaplah menjadi dirimu sendiri, dengan versi terbaikmu.

Janganlah menjelaskan apapun tentang dirimu, kepada siapapun. Karena yang membencimu tidak akan percaya kepadamu. Dan yang menyukaimu tidak butuh itu.

Kembali menjejakkan kaki di lantai marmer rumah hasil dari kerja atas bantuan kakak kandung istrinya, Rasya membawa putra sulung mereka masuk ke dalam rumah.

"Ndri, kamu tidur aja setelah ini." Rasya meletakkan putranya di atas tempat tidur. Ia membantu Indri duduk karena sejak tadi istrinya itu susah berjalan.

"Iya, Mas. Makasih. Tapi, aku belum bisa masakin kamu." Indri merebahkan diri. "Belum bisa ngerjain apa-apa."

"Tidak perlu kamu mikir terlalu jauh begitu. Hari ini kamu ngurusin Angga saja. Biar aku beli makan di luar." Rasya membalik badannya dan melangkah keluar kamar.

Batin Indri sedikit lega. Mendapat aliran kesegaran setelah kemarin bertengkar dengan sang suami. Ia berharap, Rasya sudah berubah. 

Di luar sana, samar-samar wanita berbadan dua itu mendengar suara. Ia bangkit dari ranjang lalu membuka pintu perlahan.

"Ngapain kamu bawa dia lagi? Biarkan saja dia tinggal di rumah Ibunya. Kita tidak perlu repot-repot mengurusi dia. Tidak perlu capek-capek." 

Indri memegangi dadanya yang sesak paska mendengar ucapan Alma barusan. Di ruang tamu mereka duduk menghadap ke luar. Alma dan putranya nampak berdiskusi.

"Indri itu istriku, Ma. Dia masih tanggung jawabku. Tidak usahlah, Mama, menyudutkan dia terus." 

Ada senyuman yang kini merekah di bibir Indri. Ia yakin, Rasya sudah berubah. Tak pernah seumur-umur lelaki itu membelanya. Baru kali ini ia menjawab ucapan Mamanya begitu.

Indri lebih kuat. Hanya dengan satu kalimat belaan dari Rasya, ia tidak jadi larut dalam kesedihan. Dia yakin, suaminya telah berubah. Kelak, di hadapan Ibu dan Mas-nya, Indri bisa tersenyum puas.

"Sya, Mama, lagi butuh. Kemarin baju, Mama, yang beli dari uang tabungan udah bolong, kena strikaan." Alma berucap ketika Rasya masih asik dengan gawai di tangannya. Sama sekali tidak merespon. "Kamu tahu, siapa yang merusak baju, Mama?"

"Siapa?" tanya Rasya santai. Masih seru memencet tombol kanan kiri, lalu temb*k. Dir Dur D*r.

"Istrimu! Dia sengaja membiarkan baju, Mama, gosong. Sedangkan dia asik di kamar mandi." Dengan bibir maju dua senti, Alma bercerita layaknya bocah kecil yang baru saja kehilangan apa yang disukai.

Rasya tiba-tiba terdiam. Bahkan permainan tengah berjalan, ia matikan segera. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan. Bukan hanya itu, Alma juga menambah cerita yang baru ia karang.

"Ma, sudahlah! Aku pusing mendengar pertengkaran kalian. Apa kaum wanita itu kalau campur satu rumah memang begitu? Selalu saja saling tuding?" 

Deru napas disertai degup tak beraturan dari jantung, Rasya meninggalkan Alma seorang diri. Indri segera kembali masuk ke kamar lagi dan menutup pintu rapat-rapat.

Wanita muda itu kembali menatap sang buah hati. Tangannya terayun menyentuh pipi gembul yang kini terlelap setelah meminum obat dari dokter. Bocah kecil dengan rambut ikal itu begitu suci untuk disalahkan. Berulangkali Alma mengumpat mengenai jarak kehamilan yang terlalu dekat. 

Rasya masuk ke kamar. Masih dengan tangan fokus pada benda pipihnya. Lalu, menghentakkan bobot di sofa dalam. Ia tak melirik sekilas pun wanita yang kini mengharapkan kasih sayangnya. 

"Mas, katanya mau beli makan? Ini sudah siang, kebetulan aku tadi belum sempat makan di rumah Ibu," ucap Indri seraya mendekati suaminya. Lalu, duduk dan tangannya mencoba memberikan sentuhan lembut pada pundak lelaki itu.

Rasya masih diam. Dia asik dengan per*arungan di medan laga dalam kotak layar di tangannya. Indri sudah menahan diri untuk tidak mengikuti isi hatinya yang seakan member*ntak. Akan tetapi, nyatanya Rasya masih sama saja. 

"Mas," ucap Indri lagi. Bermaksud menarik perhatian kecil Rasya. 

"Hem." Rasya menjawab sekenanya. 

"Aku mau makan. Sudah jam dua siang. Dari pagi kebetulan ...."

"Duuh! Bikin kalah aja kamu!" Rasya memukul udara. Ia kesal karena kalah tarung. Selang sedetik kemudian, ia membanting ponselnya di sofa. 

"Mas, kebutuhanku itu tanggung jawabmu. Apalagi makan. Kamu itu mampu dari segi manapun." 

Mendengar ucapan Indri barusan, Rasya tak peduli. Ia malah merebahkan diri di atas ranjang dengan tangan menjadi bantalan.

Indri kembali kecewa. Diam-diam dia menghapus game online yang sudah lama mendiami ponsel sang suami. Ia tak tahan lagi, nafkah lahir batin yang sengaja terbengkalai membuatnya melakukan hal nekat.

****

Indri akhirnya membeli makan sendiri di warteg dekat rumahnya. Ia membeli nasi dengan lauk sederhana. Uang yang diambil dari dompet suaminya, sebab sepeserpun dia tak punya.

Sampai di rumah, dia langsung disuguhi dua mata yang melot*t hampir copot. Bibir merona yang komat-kamit milik mertuanya.

"Dari mana kamu?" Alma melirik benda yang terbungkus plastik putih. 

"Dari warteg, Ma." Indri hendak melanjutkan langkah tetapi Alma kembali mengintrogasi.

"Beli apa? Kenapa cuman satu bungkus aja? Mana buat Rasya? Masa kamu tega makan sendiri sementara suamimu ...."

Indri memejamkan matanya sekilas. Ia tak menoleh pada mertuanya karena tak tahan kedua matanya memanas.

"Ada apa, sih, ribut-ribut lagi?" Rasya baru saja keluar kamar. Masih terlihat jelas jejak bangun tidur di wajahnya. 

"Tuh, si Indri. Beli makan cuman satu bungkus. Buat Mama, mana? Buatmu juga enggak ada." 

Rasya menghampiri dua wanita itu. "Ndri, kamu beli sendiri?" 

Indri mengangguk. Lidahnya kelu tak bisa menjawab. Seakan kehilangan seluruh tenaganya. Seluruh kekuatannya, sudah lenyap. Ia masih menghormati Alma sebagai orangtua, dan dimaklumi. 

Indri sadar, Alma satu-satunya orangtua suaminya yang masih tersisa. Apalagi, Rasya lah yang selama ini menjadi tumpuan harapannya. 

"Kenapa beli cuman satu, Ndri? Mama kayaknya juga belum makan. Eh, kamu dapat duit dari mana?" tanya Rasya.

Indri mulai bingung. Kenapa tiba-tiba semua apa yang ada dalam isi kepalanya hilang padahal sebelumnya sudah ia siapkan semua jawaban jika nanti Raysa bertanya.

"Jawab, Ndri!" tekan Rasya.

"Ak ... aku ngambil dari dompet kamu." 

Rasya terkejut. "Kenapa tidak bilang?" Lelaki itu mulai kesal karena sikap berani Indri. "Namanya kamu lancang, Ndri." 

"Maaf, Mas. Kamu tidak memberiku uang belanja. Bahkan biaya perawatan Angga saja, Mas Ali yang harus turun tangan. Kamu tidak mau tahu." Napas Indri naik turun. Bibirnya bergetar menahan diri.

"Siapa yang menyuruhmu membawa Angga ke rumah sakit? Lagipula kamu tidak mendapat izinku." 

"Cukup, Mas!" Indri langsung kembali ke kamar. 

Alma menyeringai taj*m. Menarik satu sudut bibirnya lalu berkata, "Kamu harus tegas, Sya. Dia mulai berani."

Rasya mengikuti Indri ke kamar. Setelah sampai di sana, Indri terlihat menangis sambil mendekap tubuh mungil putranya. 

"Kalau mau apa-apa itu harus izin suami. Jika aku tidak ridho, kamu bakal dil*knat malaikat sampai kembali. Sampai aku ridho! Ingat itu, Ndri. Kukira kamu wanita shalihah makanya aku dulu menikahimu. Tapi, ternyata sifat aslimu begini."

Indri tidak menjawab. Ia hanya sibuk mengusap wajahnya. Rasa lapar pun berubah mual. Ia langsung bergegas ke kamar mandi. Mengeluarkan semua isi dalam perutnya.

"Sya!" teriak Alma dari luar. 

Rasya yang masih tergugu duduk di tepi ranjang segera keluar menghampiri Mamanya. 

"Ada apa, Ma? tanya Rasya. 

"Tuh, ada yang nyariin kamu." Alma tersenyum semringah.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
D'naya
Masih semangat buat marathon
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
siaoa tamunya
goodnovel comment avatar
D Lista
hmm penasaran siapa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status