Share

Bab 4

Part4

Tak peduli

Pernah sengaja tidur lebih awal, untuk melupakan beban pikiran. Dan ketika larut malam dia terbangun, seketika air mata keluar tanpa aba-aba. Lalu dia terlelap dengan sendirinya. Sesakit inikah menjadi dewasa, dia dituntut untuk bijaksana sedangkan dunia mengajaknya bercanda.

Indri belajar mendidik hatinya sendiri, agar bisa menerima kenyataan. Karena ada banyak hal yang bisa diterima tetapi tidak bisa diubah. Bersabarlah akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah ikhtiar. Jalani, nikmati apapun yang sudah menjadi takdirmu.

Wanita yang kini telah berganti pakaian serba hijau itu berlinang air mata. Menaham rasa ngilu pada perutnya. Ia harus beristirahat total tanpa beban pikiran.

Tak lama setelah itu, pintu ruangan terbuka lebar. Membuatnya terperanjat dan menoleh cepat.

"Ndri!" Ali bergegas menghampiri.

"Mas." Indri membalas lirih.

"Ada apa denganmu? Suster memberitahu kami. Katanya kamu kontraksi. Bagaimana sekarang?" Ali menatap pilu pada adiknya. Terpasang beberapa alat kesehatan semakin membuat lelaki itu nelangsa.

"Ibu mana, Mas? Bagaimana dengan Angga?" Bukannya menjawab Indri malah ganti bertanya. Ia tak begitu memperhatikan dirinya sendiri.

"Angga sudah mendingan. Sudah membuka mata dan mencarimu. Ibu tadi pesan, kau tak boleh lagi memikirkan Rasya. Sekarang, bagaimana keadaanmu?" Aku mulai duduk di sebelah ranjang rumah sakit. Ia menautkan jemarinya.

"Aku sudah tidak apa-apa, Mas. Tolong, bilang ke suster, Mas. Aku pengen lihat Angga. Aku juga rindu sama dia." 

Ali tak kuasa menolak kali ini. Ia keluar untuk izin pada suster membawa Indri ke ruangan anaknya. 

Dua roda menggelinding membawa sosok yang terpaku pasrah. Ali mendorong adiknya di atas kursi roda dan masuk ke ruangan semula.

Rumi yang awalnya duduk, Kini berdiri tegak. Menyambut putrinya dengan isakan tangis bersama sahutan adzan subuh. 

"Bagaimana Angga, Bu?" Indri melepas pelukan.

"Dia mencarimu. Kamu dari mana saja? Ibu sangat khawatir, Nak." Rumi membingkai wajah Indri.

"Hanya kontraksi palsu, Bu. Sekarang, bawa aku ke Angga, Bu. Aku rindu dia."

Rumi mengangguk. Setelah membawa putrinya mendekati Angga kecil, wanita tua itu menoleh pada sentuhan halus di pundak.

Ali meminta izin salat Subuh dan pulang sebentar. Kebetulan dia juga izin tidak masuk kantor. Beruntungnya mempunyai bos yang sangat baik hati. Memperbolehkan di mengambil cuti sampai Indri bisa pulang.

Indri mulai menceritakan semua kejadian semalam. Akan tetapi, Indri meminta Rumi agar tidak mengatakannya pada Ali. Wanita muda dengan selang infus di tangan kiri itu mengungkap semua ucapan Rasya padanya. Semakin sesak dada wanita tua di hadapan Indri mendengar penderitaan anaknya.

"Ndri, kamu masih mau bertahan setelah ini?" Rumi akhirnya lelah juga.

"Entah, Bu. Jika dia masih bisa berubah, mungkin aku akan mencoba memaafkannya. Namun, jika tidak, aku pasrah."

Pundak Rumi luruh seketika. Kenapa putrinya sangat bersikeras masih ingin melanjutkan rumah tangganya. Bahkan Indri lebih tabah darinya.

"Ndri, kamu lupa apa yang dikatakan Mas-mu kemarin? Rasya bersama seorang wanita. Dia tidak datang ke sini sama sekali, tetapi malah jalan dengan wanita lain. Kamu masih tahan itu?" Dia bola mata Rumi memancarkan gelombang bening. Jatuh tiba-tiba setelah berkedip.

"Selama aku belum melihatnya sendiri, Bu. Aku tidak bisa memastikan kalau wanita yang bersama Mas Rasya adalah simpanannya."

"Ya, sudah. Sekarang kamu Ibu antar ke kamarmu, ya? Biar Ibu yang jagain Angga. Kata suster tadi, jika demamnya turun hari ini, besok dia boleh pulang," jelas Rumi. Tangannya menyentuh sang cucu.

"Indri mau di sini saja, Bu. Indri sudah tidak apa-apa."

Lagi-lagi Rumi harus mengalah. Ia juga heran kenapa putri bungsunya itu sangat keras kepala. Persis seperti Bapaknya dulu. 

***

Hari berganti begitu cepat, kini mereka pulang ke rumah Rumi yang jaraknya satu jam perjalanan dari rumah sakit. Dengan bantuan Ali, Indri menuruni mobil. Rumi yang menggendong Angga kecil. 

"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga. Kemarin aku minta tetangga bantuin bersih-bersih, Bu. Maklum, aku tidak sempat," ucap Ali dengan meringis kuda.

"Halah, kamu. Sudah biasa berantakan. Bagaimana jika nanti punya istri? Pasti kaget melihat kebiasaan kamu." Rumi terkekeh sambil menidurkan cucunya di kamar. Ali dan Indri duduk di sofa karena ingin menghidu udara segar yang masuk lewat pintu utama yang terbuka lebar.

"Insyaallah, aman, Bu. Asal, Ibu, jangan buka kartu As aku di depan dia." Lelaki dengan wajah putih mulus itu kembali tertawa. Terlihat deretan gigi-giginya yang putih.

"Meskipun tidak Ibu kasih tau, dia bakal ngerti sendiri." Rumi datang dengan nampan berisi teh hangat lalu meletakkannya di depan Indri dan Ali. Ia ikut duduk menghadap mereka.

Ali hanya menanggapi dengan menutup wajah.

"Oiya, Ndri ...." 

Rumi baru saja membuka percakapan dengan putrinya yang masih tercenung menatap kosong, tiba-tiba seseorang datang tanpa salam.

Semua penghuni rumah sontak kaget dibuatnya. Ali yang pertama berdiri dan mendadak mendidih wajahnya.

"Mau apa kau ke sini, hah?" Dua lelaki kini saling membusungkan dada. Mereka seakan siap melayangkan amarah.

"Sudah-sudah! Jangan berantem di sini! Ali, jaga sikapmu! Tidak perlu mengotori tangan kita hanya untuk menuruti hawa nafsu." Rumi menengahi mereka.

Kalo ini, Rasya bungkam. Tatapannya hanya tertuju pada wajah pucat yang terduduk diam di sofa. Sama sekali tidak ada pergerakan atau keterkejutan, Indri beralih pandang.

"Ndri, ayo kita pulang!" Rasya melewati dua orang yang berdiri tadi. Kinj kedua kakinya berjongkok menghadap sang istri yang sudan seperti hilang setengah kewarasan.

"Indri akan tinggal di sini sampaj kapanpun. Lebih baik kau pulang saja dan urus saja Ibu dan wanita simpananmu itu," sela Ali.

Rumi segera mengangkat tangannya dan menyentuh dada Ali agar tidak melanjutkan pertengkaran. Bagaimanapun juga, itu semua urusan rumah tangga Indri dan Rasya. Rumi sadar, mereka tak berhak ikut campur.

"Biarkan mereka berdua musyawarah, Al. Kita ke dalam saja!" 

Ali dengan wajah tak rela meninggalkan adiknya dan Rasya di ruang utama.

Hanya ada dua orang yang kini saling diam. Rasya berkata, "Ndri, ayo pulang! Rumahmu adalah bersamaku. Tidak di sini."

Indri menarik kuat-kuat udara dan memasukkan ke dalam paru-parunya. Lalu, mengembus perlahan bersama gundah yang tengah menyelimuti hatinya.

"Tapi ... aku lebih nyaman di sini. Kalau di rumah kamu, aku seperti orang asing. Aku sendiri hanya dengan Angga. Belum lagi Mama yang selalu ...."

"Sudahlah! Ikuti saja perintah suami. Kau akan selamat." Rasya bersikukuh.

"Jangan salahkan aku, jika nanti aku menyerah," balas Indri. 

"Aku tahu apa yang seharusnya kuperbuat. Sekarang aku bantu kamu menggendong Angga." 

"Tunggu!" Mau apa kau?" Ali menghadang suami adiknya itu yang hendak mengangkat putranya. 

"Jangan halangi aku! Aku adalah Ayah anak ini dan suami dari Indri. Aku berhak atas mereka," ujar Rasya dengan tegas. Ia tak lagi gentar meski bekas lebam masih menghiasi wajahnya.

"Aku kasih kesempatan satu kali lagi untukmu. Jika aku mendengar atau mengetahui kau menyakiti adik serta keponakanku lagi, bersiaplah untuk menerima segala konsekwensinya." Ali tak main-main dengan ancamannya. 

Rumi dan Ali menatap mereka pergi menggunakan mobil hitam yang selama ini dipakai Rasya untuk ke mana-mana. 

"Al, bagaimana ini?" Kedua alis Rumi hampir bersatu. Garis wajahnya yang keriput itu menjelaskan betapa gelisahnya ia melepas Indri lagi.

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
perempuannya kelewatan gobloknya. nek baca perempuan y lebih senang jadi babu ini.
goodnovel comment avatar
R. Saban
baru bab 7 sdh mnta koin,dasar cerita sampah
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
perempuan tolol, bodohhh, mau saja disakiti begitu terus yg jadi objek nya ... songsong lah derita mu hai perempuan tolol dan bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status