Rosmala melirik ke arah Zsalsya. Ketika itu wajah Zsalsya tampak kecewa, tetapi berusaha ia tahan dan tidak diperlihatkan. Tetapi, meskipun sudah ia coba sembunyikan, tetap saja ada garis wajah yang menunjukkan bahwa dirinya memang kecewa."Ya sudah, boleh, tapi sekarang kamu temani saya ke suatu tempat dulu!"Sontak, wajah Zsalsya yang tampak sedih pun berubah menjadi bahagia. Seakan wajahnya langsung memancarkan aura cerita."Sungguh, Ma?" tanya Zsalsya sembari tersenyum untuk memastikan.Tetapi, wajah Rosmala tetap datar. "Iya. Tapi ingat, kamu harus temani aku ke suatu tempat dulu!" katanya memperingatkan.Tentu saja Zsalsya senang, walaupun dirinya harus menunggu beberapa saat dahulu sebelum dirinya benar-benar bisa melangkah pergi ke kantor perusahaan Firman.Mobil menepi. Mereka pun sampai di depan sebuah toko kue bernama cake delico. Itu adalah toko kue paling enak dan selalu menjadi langganan Rosmala ketika ada acara tertentu.Zsalsya menoleh ke samping. Ia melihat toko kue
Mereka pun berjalan keluar dari toko kue tersebut. "Ma, karena Zsalsya sudah menemani Mama ke toko kue ini, sekarang aku mau pamit ke tempat lain dulu," kata Zsalsya dengan ramah dan sopan."Oh ya, kamu sama Mama saja. Nanti biar sopir Mama saja yang mengantar kamu ke tempat tujuan.""Tidak usah, Ma, biar aku sendiri saja."Sebetulnya tidak masalah bagi Zsalsya, bahkan dirinya sangat ingin sekali diantar begitu sampai rumah. Tetapi, ia merasa bahwa belum waktu yang tepat, sehingga belum bisa seserius itu."Jangan begitu. Pokoknya kamu masuk ke mobil sekarang!" pinta Rosmala kepada Zsalsya bersikeras akan pergi sendiri."Ma ...!" "Sudah. Jangan banyak mikir. Kamu masuk ke mobil, biar sopir Mama yang mengantar kamu!"Di sisi lain Zsalsya merasa senang ketika diperhatikan oleh Rosmala. Tetapi, di samping itu ia juga merasa tidak enak hati jika harus diantar dengan Rosmala. Tetapi ...."Baiklah ...."Zsalsya tidak memiliki pilihan lain. Tidak mungkin pula jika dirinya terus memperdebatk
"Tapi hari ini kamu ingat 'kan hari apa?"Lalu, dengan percaya dirinya Arzov pun langsung menjawab. Ia tidak memikirkan apapun lagi. "Hari gajian 'kan, Pak?" HAHAHA. Endrick langsung tertawa kecil. Sekretaris yang mendengarnya pun langsung melihat ke arah Endrick. Ia yang cukup mengenal Endrick pun langsung agak ketakutan. Dirinya takut jika Endrick sampai tidak bisa menahan rasa kesalnya."Rupanya kamu tidak lupa."Endrick memijat pangkal hidungnya. "Lalu, kenapa kamu tidak bisa mengingat kesalahan kamu?"Arzov pun menjadi bingung. Ia tergagap. "A-anu, Pak, sa ... saya hanya mengatakan apa yang saya ingat saja."Ia mengambil ponsel. Lalu, tampak membuka aplikasi, setelah itu ia meletakkannya kembali."Kamu boleh lihat sekarang!""Lihat apa?" Arzov tampak kebingungan."Akun m-bankingmu!" jawabnya ketus.Lantas, dengan sigap Arzov pun langsung membukanya. Ia penasaran dengan apa yang telah Endrick lakukan. Setelah melihatnya, Arzov langsung terdiam. Di sana memang ada beberapa nomin
Secara perlahan, hal yang ingin diketahui pun mulai terungkap. Zsalsya paham mengapa selama ini dirinya selalu jauh dari Firman. Mungkin, Firman selalu mendapat hasutan dari Mariana yang tidak senang dengan keberadaannya bersama sang Ayah."Saya tidak peduli alasannya. Sekarang saya mau bertemu Papa!" kata Zsalsya bersikeras ingin menemuinya.Ada hal penting yang menurutnya tidak bisa ditunda. Ia tidak mau jika Firman membencinya dan salah paham kepada dirinya yang memang sudah cukup lama tidak terlihat atau menanyakan kabar.Bukan karena tidak ingin tahu kondisi sang Ayah, tetapi keadaanlah yang membuatnya tidak bisa mengabari."Tunggu sebentar, biar saya hubungi dulu!"Dengan telepon itu, resepsionis tersebut segera menghubungi."Apa dia tidak bisa melihat pada wajahku yang banyak kesamaannya dengan Papa. Kenapa orang-orang kantor mudah percaya begitu saja? Tanpa mau menelisik lebih jelas apa yang sudah mereka dengar!" batin Zsalsya sembari menanti kepastian dari resepsionis tersebu
"Yang kamu ingat hanya orang baru itu saja. Kamu sama sekali tidak ingat pada keluarga asalmu. Apa begini caramu membalas kebaikan orang tua yang sudah merawatmu?" 'Papa tidak mengerti apa yang aku rasakan. Dia sama sekali tidak tahu apa yang aku alami. Kalau memang mau aku peduli juga, kenapa ketika aku sakit Papa tidak lagi datang menjenguk?' Itulah isi pikiran Zsalsya. Tetapi, ia tidak bisa mengutarakannya. Ia menelan ludah. Ingin berkata, tetapi bibirnya kelu. Ada rasa sakit yang hanya bisa dipendam, tanpa mampu ia ungkapkan. Ketika dirinya sadar bahwa tidak ada yang mengerti dirinya sebaik dirinya sendiri."Kenapa kamu diam?""Pa, kedatangan aku ke sini hanya untuk kembali bekerja. Aku ingin tanya sama Papa, apa Papa masih mau menerimaku untuk bekerja di sini?" tanya Zsalsya.Sekalipun itu perusahaan orang tuanya sendiri. Tetapi, merasa dan melihat bahwa Firman lebih mementingkan keluarga barunya, itu membuatnya ragu. Apakah ia masih diakui sebagai anak atau tidak? Terlebih lag
Sopir menepikan mobilnya di halaman rumah. Rosmala keluar dari dalam mobil. Tetapi tidak langsung pergi, melainkan menunggu pelayannya membawa semua barang ke dalam rumah.Bersama dengan salah seorang pelayan, ia melangkah memasukinya dengan santai. Tetapi, kepala pelayan menghampiri Rosmala."Nyonya besar, undangan baru selesai dibuat. Sekarang bagaimana? Apa perlu dibagikan sekarang juga?" tanya kepala pelayan, Herny."Langsung bagikan saja. Kamu sudah tahu 'kan siapa orang-orangnya. Kalau lupa, kamu bisa ambil di ruangan saya!" jawabnya dengan jelas."Baik, Nyonya besar!" sahut kepala pelayan itu dengan tubuh agak membungkuk sopan.Selepas menjelaskan hal itu. Rosmala pun melangkah pergi menuju dapur. Dirinya merasa haus dan perlu minum.***"Oh ya, Pak Endrick, di lobi ada yang menunggu!" ucap resepsionis yang baru saja menghubunginya.Endrick bertanya-tanya. Ia berdiri sembari mengancingkan jasnya. Lalu, secara perlahan ia melangkah pergi dari ruangannya menuju lift eksekutif. S
Untungnya, dengan sigap Endrick langsung menahan tubuh Zsalsya dari bagian punggungnya hingga terselamatkan. Karena kejadian itu, Endrick dan Zsalsya saling berpelukan dengan pandangan lurus ke wajah mereka masing-masing.Endrick mengedip. Ia membantu Zsalsya berdiri kembali seperti sebelumnya. "Terima kasih," ucap Zsalsya selepas dirinya berdiri kembali. Mereka menjadi semakin gugup. Endrick menggaruk bagian belakang lehernya dengan jari telunjuk."Kita ke ruangan saya!" ajaknya."Ah, i-iya ...."Mereka pun melangkah bersamaan. "Kamu jalan duluan," kata Endrick."Kamu saja!" balas Zsalsya mempersilakan.Tetapi, Endrick tidak mau dirinya berjalan lebih dahulu dan meninggalkan Zsalsya begitu saja."Kita jalan sama-sama saja!" Endrick membuka pintu ruangan miliknya. Ia berdiri di samping pintu dengan tangan mempersilakan Zsalsya untuk memasuki ruangan itu lebih dulu. "Silakan!"Sementara itu, di rumah, Mariana yang kala itu tengah duduk santai mendadak terdengar suara bel pintu yang
Waktu bekerja telah usai, Endrick pun telah menyelesaikan pekerjaannya saat itu.Zsalsya yang sedari tadi menunggu di sofa sembari bermain game pun membuatnya segera mematikan ponselnya kala melihat Endrick yang sudah beranjak dari kursi kantor dan kini berjalan ke arahnya."Mas, kita pergi sekarang?" tanya Zsalsya kepada Endrick.Endrick menjulurkan tangannya ke arah Zsalsya, seakan sebuah kode agar Zsalsya menggandengnya."Iya, kita berangkat sekarang, supaya waktu kita punya banyak sisa!" jawabnya.Lantas, mereka pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Sekretaris Endrick hanya memperhatikan. Dirinya tampak iri karena sejak kedatangan Zsalsya ke sana, wanita itu cemberut dan tidak melakukan pekerjaannya dengan baik."Aku tidak bisa begini," gumamnya.Sekretaris itu mengambil tasnya dan langsung menghampiri Endrick. Ia menghampiri Endrick tanpa ada sedikitpun keraguan di dalam hatinya, seolah tidak punya malu."Pak Endrick, boleh saya ikut nebeng di mobil Anda?" tanyanya.E