Secara perlahan, hal yang ingin diketahui pun mulai terungkap. Zsalsya paham mengapa selama ini dirinya selalu jauh dari Firman. Mungkin, Firman selalu mendapat hasutan dari Mariana yang tidak senang dengan keberadaannya bersama sang Ayah."Saya tidak peduli alasannya. Sekarang saya mau bertemu Papa!" kata Zsalsya bersikeras ingin menemuinya.Ada hal penting yang menurutnya tidak bisa ditunda. Ia tidak mau jika Firman membencinya dan salah paham kepada dirinya yang memang sudah cukup lama tidak terlihat atau menanyakan kabar.Bukan karena tidak ingin tahu kondisi sang Ayah, tetapi keadaanlah yang membuatnya tidak bisa mengabari."Tunggu sebentar, biar saya hubungi dulu!"Dengan telepon itu, resepsionis tersebut segera menghubungi."Apa dia tidak bisa melihat pada wajahku yang banyak kesamaannya dengan Papa. Kenapa orang-orang kantor mudah percaya begitu saja? Tanpa mau menelisik lebih jelas apa yang sudah mereka dengar!" batin Zsalsya sembari menanti kepastian dari resepsionis tersebu
"Yang kamu ingat hanya orang baru itu saja. Kamu sama sekali tidak ingat pada keluarga asalmu. Apa begini caramu membalas kebaikan orang tua yang sudah merawatmu?" 'Papa tidak mengerti apa yang aku rasakan. Dia sama sekali tidak tahu apa yang aku alami. Kalau memang mau aku peduli juga, kenapa ketika aku sakit Papa tidak lagi datang menjenguk?' Itulah isi pikiran Zsalsya. Tetapi, ia tidak bisa mengutarakannya. Ia menelan ludah. Ingin berkata, tetapi bibirnya kelu. Ada rasa sakit yang hanya bisa dipendam, tanpa mampu ia ungkapkan. Ketika dirinya sadar bahwa tidak ada yang mengerti dirinya sebaik dirinya sendiri."Kenapa kamu diam?""Pa, kedatangan aku ke sini hanya untuk kembali bekerja. Aku ingin tanya sama Papa, apa Papa masih mau menerimaku untuk bekerja di sini?" tanya Zsalsya.Sekalipun itu perusahaan orang tuanya sendiri. Tetapi, merasa dan melihat bahwa Firman lebih mementingkan keluarga barunya, itu membuatnya ragu. Apakah ia masih diakui sebagai anak atau tidak? Terlebih lag
Sopir menepikan mobilnya di halaman rumah. Rosmala keluar dari dalam mobil. Tetapi tidak langsung pergi, melainkan menunggu pelayannya membawa semua barang ke dalam rumah.Bersama dengan salah seorang pelayan, ia melangkah memasukinya dengan santai. Tetapi, kepala pelayan menghampiri Rosmala."Nyonya besar, undangan baru selesai dibuat. Sekarang bagaimana? Apa perlu dibagikan sekarang juga?" tanya kepala pelayan, Herny."Langsung bagikan saja. Kamu sudah tahu 'kan siapa orang-orangnya. Kalau lupa, kamu bisa ambil di ruangan saya!" jawabnya dengan jelas."Baik, Nyonya besar!" sahut kepala pelayan itu dengan tubuh agak membungkuk sopan.Selepas menjelaskan hal itu. Rosmala pun melangkah pergi menuju dapur. Dirinya merasa haus dan perlu minum.***"Oh ya, Pak Endrick, di lobi ada yang menunggu!" ucap resepsionis yang baru saja menghubunginya.Endrick bertanya-tanya. Ia berdiri sembari mengancingkan jasnya. Lalu, secara perlahan ia melangkah pergi dari ruangannya menuju lift eksekutif. S
Untungnya, dengan sigap Endrick langsung menahan tubuh Zsalsya dari bagian punggungnya hingga terselamatkan. Karena kejadian itu, Endrick dan Zsalsya saling berpelukan dengan pandangan lurus ke wajah mereka masing-masing.Endrick mengedip. Ia membantu Zsalsya berdiri kembali seperti sebelumnya. "Terima kasih," ucap Zsalsya selepas dirinya berdiri kembali. Mereka menjadi semakin gugup. Endrick menggaruk bagian belakang lehernya dengan jari telunjuk."Kita ke ruangan saya!" ajaknya."Ah, i-iya ...."Mereka pun melangkah bersamaan. "Kamu jalan duluan," kata Endrick."Kamu saja!" balas Zsalsya mempersilakan.Tetapi, Endrick tidak mau dirinya berjalan lebih dahulu dan meninggalkan Zsalsya begitu saja."Kita jalan sama-sama saja!" Endrick membuka pintu ruangan miliknya. Ia berdiri di samping pintu dengan tangan mempersilakan Zsalsya untuk memasuki ruangan itu lebih dulu. "Silakan!"Sementara itu, di rumah, Mariana yang kala itu tengah duduk santai mendadak terdengar suara bel pintu yang
Waktu bekerja telah usai, Endrick pun telah menyelesaikan pekerjaannya saat itu.Zsalsya yang sedari tadi menunggu di sofa sembari bermain game pun membuatnya segera mematikan ponselnya kala melihat Endrick yang sudah beranjak dari kursi kantor dan kini berjalan ke arahnya."Mas, kita pergi sekarang?" tanya Zsalsya kepada Endrick.Endrick menjulurkan tangannya ke arah Zsalsya, seakan sebuah kode agar Zsalsya menggandengnya."Iya, kita berangkat sekarang, supaya waktu kita punya banyak sisa!" jawabnya.Lantas, mereka pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Sekretaris Endrick hanya memperhatikan. Dirinya tampak iri karena sejak kedatangan Zsalsya ke sana, wanita itu cemberut dan tidak melakukan pekerjaannya dengan baik."Aku tidak bisa begini," gumamnya.Sekretaris itu mengambil tasnya dan langsung menghampiri Endrick. Ia menghampiri Endrick tanpa ada sedikitpun keraguan di dalam hatinya, seolah tidak punya malu."Pak Endrick, boleh saya ikut nebeng di mobil Anda?" tanyanya.E
Zsalsya tidak tahu jika pertanyaan yang ia tanyakan sangat tidak penting bagi Endrick. Terlebih lagi ketika sudah membahas wanita lain. Endrick sangat tidak menyukainya. Ia tidak mau jika sebab itu membuat dirinya dan Zsalsya jauh."Mulai sekarang, jangan tanyakan apapun yang memang tidak penting!" Endrick memberi peringatan kepada Zsalsya karena menurutnya wanita yang ada di sampingnya ini benar-benar seperti tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya."Apa dia sama sekali tidak memiliki perasaan sama sekali padaku sampai-sampai membahas wanita lain tanpa beban. Dia juga malah membiarkan orang lain hadir di antara kita," batin Endrick dengan bingung. Beberapa tanya dalam benak membuatnya kian bingung. Ia sangat ingin tahu bagaimana perasaan Zsalsya kepadanya. Zsalsya memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia melihat beberapa mobil yang berjajar rapi di tempat khusus. "Selalu saja menghindari pertanyaan. Apa dia sama sekali tidak suka ditanya?" batin Zsalsya.Rupanya, mereka saling m
Sampai di mall terbesar pada kota tersebut. Zsalsya keluar dari mobil setelah melihat Endrick menepikan mobilnya dan yang bersiap keluar."Ayo, Zsa!" ajak Endrick seraya menjulurkan tangannya untuk Zsalsya genggam.Zsalsya pun memegang lengan Endrick. Ia merasa lebih nyaman memegang lengannya."Ya sudah, yang penting kamu senang dan nyaman." Begitulah kata Endrick.Mereka berjalan sama-sama ke dalam mall tersebut. Kala itu suasana mall sedang cukup ramai. Banyak yang berbelanja dan tentu saja Endrick berusaha untuk tidak membuat Zsalsya sampai harus mengantri.Matanya menyapu seluruh ruangan dari tempat Zsalsya berdiri. Ia melihat beberapa orang yang tampak menyerbu pakaian. Tetapi, Zsalsya merasa malas jika harus mengantri sampai sebanyak itu."Mas, memangnya kamu mau ajak saya beli apa?" Endrick menarik pergelangan tangan Zsalsya. Ia memasuki di antara mereka. Tetapi, rupanya tanpa diganggu siapapun, dua orang penjaga keamanan dengan seragam hitam berusaha memberi jalan untuk mereka
"Ya sudah kita beli yang itu saja."Setelah selesai memilih beberapa potong baju, Endrick pun membawa semuanya ke kasir untuk membayar semuanya. Selepas itu, Endrick pun berjalan kembali dengan Zsalsya ke tempat lain yang mana memang menurutnya belum membeli sesuatu."Zsa, kita pergi ke sana, ya?!" ajaknya sekaligus bertanya kepada Zsalsya.Zsalsya melihat jari telunjuk Zsalsya yang mengarah pada sebuah tempat. "Iya, Mas." Tanpa banyak alasan apapun, Zsalsya langsung setuju. Menurutnya semakin cepat selesai mereka berbelanja semakin baik. Hari semakin gelap. Tetapi, malah semakin indah karena ada banyak lampu hias yang tampak menyala. Keindahan tempat pun semakin menciptakan keindahan dan romantisme."Emm .... Mama suka sekali syal. Kita beli satu, ya," kata Endrick."Syal? Jadi, Mama suka syal?" tanya Zsalsya yang merasa kaget dan tidak menyangka jika Rosmala menyukai syal.Itu benar-benar mengingatkannya pada kenangan masa lalu. Ia teringat pada bagaimana Ibunya waktu dulu sangat