Accueil / Romansa / Perjalanan Cinta dan Harapan / BAB 3 - Keberanian Yang Tak Terduga

Share

BAB 3 - Keberanian Yang Tak Terduga

Auteur: Kahfi Riza
last update Dernière mise à jour: 2025-07-15 14:32:09

Aula SMA Nusantara terasa sesak oleh ratusan siswa baru yang berjejer rapi di kursi-kursi plastik biru. Pendingin ruangan belum sepenuhnya terasa, sehingga aroma seragam baru, parfum ringan, dan keringat bercampur menjadi satu. Di panggung depan, spanduk besar bertuliskan “Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah SMA Nusantara Tangerang” membentang lebar, dihiasi logo sekolah di tengahnya.

El duduk di deretan tengah, bersama beberapa teman seruangannya. Pandangannya sesekali berkeliling, mencari sosok yang tadi sempat duduk di sebelahnya di lapangan. Tiara.

Namun lautan kepala siswa di aula itu membuatnya sulit melihat ke mana pun tanpa kehilangan arah. Ia menarik napas, berusaha fokus pada suasana yang mulai tenang.

“Perhatian kepada seluruh siswa baru,” terdengar suara dari pengeras, “acara selanjutnya adalah Pengenalan Tata Tertib Sekolah yang akan disampaikan langsung oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Ibu Ratna Pramudita.”

Seisi aula bertepuk tangan sopan ketika seorang wanita berusia sekitar 40-an naik ke panggung. Rambutnya dikonde rapi, ekspresinya ramah namun tegas. Ibu Ratna mengambil mikrofon dan tersenyum, “Selamat pagi, anak-anakku sekalian.”

“Selamat pagi, Bu…” jawab siswa-siswa serentak namun lesu.

“Wah, suaranya pelan sekali. Coba sekali lagi, SELAMAT PAGI!”

“SELAMAT PAGI, BU!”

“Naah, begitu dong! Baru terasa semangatnya anak SMA!”

Tawa ringan terdengar di seluruh aula. El tersenyum kecil, sedikit merasa lebih tenang.

Namun di tengah keramaian itu, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu, gadis itu.

Dua baris di depan, sedikit ke kanan. Rambutnya masih terurai rapi, wajahnya tampak serius memperhatikan Bu Ratna.
Ketemu juga, batin El lega.

Bu Ratna kemudian mulai menjelaskan isi tata tertib, aturan seragam, jam masuk, larangan memainkan HP selama jam pelajaran, dan sebagainya. Suaranya terdengar tenang tapi penuh wibawa. Namun di tengah penjelasannya, nada suaranya berubah sedikit.

“Oh iya, tadi pagi Ibu sempat dapat laporan dari guru piket,” katanya sambil tersenyum geli. “Katanya ada yang hampir telat ya? Hmm… siapa tuh, yang baru hari pertama sudah nyaris ditutup gerbangnya?”

Aula langsung hening.

Beberapa siswa saling menoleh, sebagian tertawa kecil. El langsung merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
Jangan bilang itu gue…

“Ibu mau tau, siapa yang hampir telat? Ayo, angkat tangan. Jangan malu. Ibu nggak akan marah kok,” kata Bu Ratna sambil menyapu pandangannya ke seluruh aula.

Tak ada satu pun tangan yang terangkat.

Semua siswa diam, sebagian malah berpura-pura sibuk melihat catatan.

El menunduk. Dalam benaknya, ia berpikir keras, Kalau gue diem aja, mungkin nggak ketahuan… tapi, ya, gimana… Wakasek pasti udah tau dari guru piket.

Ia menelan ludah. Suara detak jam dinding terasa begitu keras di telinganya.

Dan akhirnya, pelan-pelan, tangan kanan El terangkat ke udara.

“Saya, Bu.”

Seluruh aula langsung menoleh ke arahnya.

Beberapa siswa berbisik-bisik, beberapa malah bertepuk pelan.

Bu Ratna menaikkan alis, tampak terkejut tapi juga senang. “Oh, ini dia orangnya! Wah, luar biasa. Sini, Nak, maju ke depan.”

El berdiri, lututnya sedikit gemetar. Ia berjalan ke depan panggung sambil menunduk, menahan malu. Namun dalam keramaian itu, Tiara yang duduk di barisan depan kanan menatapnya tanpa berkedip. Ada rasa kagum yang tiba-tiba tumbuh dalam dirinya.

“Namamu siapa, Nak?”

“Zarael Narendra, Bu. Panggil aja El.”

“Baik, El. Ibu mau tanya, kenapa hampir telat di hari pertama? Padahal baru MPLS loh,” tanya Bu Ratna sambil menahan senyum.

El sempat berpikir sejenak, lalu menjawab dengan suara jujur, “Jalanan macet banget, Bu. Tapi… saya juga memang kurang siap dari rumah. Jadi ya, itu salah saya sendiri.”

Beberapa guru yang duduk di barisan depan saling melirik dan tersenyum.

Bu Ratna mengangguk pelan, “Jujur sekali kamu, El. Biasanya kalau ditanya begini, anak-anak jawabnya ‘ban bocor’ atau ‘dibangunin telat’. Tapi kamu berani ngaku, itu bagus sekali.”

El tersenyum malu. “Saya pikir, Bu… kalau kesalahan nggak berani kita akui, nanti kita malah merasa nggak bersalah. Dan itu bisa kebawa terus.”

Seketika suasana aula berubah hening.

Lalu tepuk tangan bergema.

Dimulai dari barisan guru, lalu OSIS, hingga seluruh siswa. Tiara pun ikut bertepuk tangan, matanya masih tertuju pada El yang kini berdiri di depan dengan wajah sedikit memerah.

Bu Ratna tertawa kecil. “Wah, keren juga jawabannya. Nah, anak-anak, kalian dengar kan? Kejujuran itu bukan tentang siapa yang salah, tapi siapa yang berani mengakui. El, kamu kasih contoh bagus banget buat teman-temanmu.”

“Terima kasih, Bu…” jawab El lirih.

Setelah itu, Bu Ratna mempersilakan El kembali ke tempat duduk. Saat El berjalan melewati barisan, beberapa siswa menepuk bahunya sambil tersenyum. Tapi satu tatapan terasa paling menenangkan, Tiara.

Ia hanya menatap tanpa kata, namun pandangan itu seolah berbicara banyak.

Untuk pertama kalinya, El merasa tindakannya tadi tidak sia-sia.

Bu Ratna melanjutkan pembicaraan, tapi fokus El sudah tak sepenuhnya di sana.

Ia masih merasakan degup di dada, masih terngiang tepuk tangan tadi, dan yang paling kuat masih membayangkan tatapan lembut Tiara.

Hingga akhirnya, dari pengeras suara, suara panitia OSIS kembali terdengar:

“Seluruh peserta MPLS, setelah ini akan ada sesi pengenalan lingkungan sekolah. Harap tetap di tempat sampai diarahkan oleh panitia.”

El bergumam pelan, menatap Tiara dari jauh.

Dan tanpa disadarinya, Tiara menoleh sekilas tatapan mereka beradu sepersekian detik sebelum Tiara cepat-cepat memalingkan wajah.

Senyum kecil terbit di wajah El.

Ia menunduk, mengusap tengkuknya yang berkeringat.
Kayaknya… hari ini nggak cuma soal kejujuran yang ngga terduga. Tapi juga sesuatu yang baru… yang belum gue pahami sepenuhnya.

Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara mikrofon kembali menggelegar dari depan aula.

“Untuk El, Zarael Narendra, diminta tetap di tempat setelah acara ini selesai. Ibu Wakasek ingin bicara sebentar.”

El langsung tertegun.
Apa lagi ini?

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 8 - Diantara Gelap dan Hujan

    Rafa langsung memekik kecil sambil menutup telinganya. “Aduh, gue benci banget sama mati lampu!”Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegarTiara, yang duduk di kursinya, langsung refle menutup mata dan menunduk, tangannya menutup kedua telinga rapat-rapat.El melihatnya sebentar, agak heran. “Lo takut petir ya?” tanyanya lembut.Tiara mengangguk pelan tanpa membuka mata.Faqih yang melihat suasana itu malah tertawa kecil. “Wah, kesempatan bagus nih buat ngetes nyali!”Rafa langsung melotot. “Faqih! Jangan aneh-aneh ya!”Faqih pura-pura menunduk, menahan tawa. “Yaelah, baru mati lampu doang, bukan dipanggil arwah gentayangan…”Petir kembali menyambar, kali ini lebih keras — BLAAR!Tiara langsung memekik kecil dan semakin menutup telinganya, sementara Rafa spontan menutup wajahnya dengan buku.

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 7 - Suara Tawa di Tengah Istirahat

    Setelah bel istirahat berbunyi, satu per satu siswa keluar dari kelas, sebagian menuju kantin, sebagian lagi ke lapangan untuk melihat siswa lain bermain basket. Tak lama, ruangan kelas menjadi jauh lebih sepi.Hanya tersisa El, Rafa, dan Tiara. Rafa dan Tiara duduk bersebelahan di barisan tengah, tampak serius membicarakan sesuatu, entah soal hobi atau sekadar hal kecil seperti warna seragam yang mereka pakai. Suara mereka pelan, namun tawa kecil sesekali pecah di antara percakapan itu.El duduk di kursinya dekat jendela, memainkan ujung pulpen sambil melirik sekilas ke arah mereka. Dalam hati, ia tersenyum tipis. Entah kenapa, suasana sederhana seperti ini terasa menyenangkan.Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.“Sendirian aja, bro?”El menoleh. Seorang siswa laki-laki berambut sedikit berantakan menatapnya sambil tersenyum lebar. Wajahnya terlihat ramah dan santai.“Engga,” jawab El pelan. “Kan itu… ada anak cewe juga lagi ngobrol.”Anak itu tertawa kecil.“Gue Faqi

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 6 - Langit Pagi dan Nama Itu

    Keesokan harinya, El datang ke sekolah lebih awal. Udara pagi masih terasa dingin, embun menempel di daun-daun sekitar halaman sekolah. Ia berdiri di depan gerbang SMA Nusantara Tangerang, menatap bangunan itu dengan perasaan yang aneh, campuran antara semangat dan rasa penasaran.Masih terlintas senyum Tiara di bus kemarin sore.Entah kenapa, bayangan itu terus mengganggunya.“Ah, kenapa juga mikirin orang yang bahkan belum kenal,” gumam El pelan sambil tersenyum tipis.Ia berjalan ke ruang 7. Kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya, menyalakan ponsel dan memutar playlist favoritnya, lagu-lagu yang biasa ia dengar saat butuh ketenangan. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki mulai terdengar. Satu per satu siswa baru masuk, membawa tas dan wajah-wajah canggung. El baru sadar kalau ruangan mulai ramai saat suara ketawa pelan terdengar dari pojok kelas.Tak lama, pintu terbuka. Dua orang berseragam OSIS masuk. Salah satunya El kenal, Bagas, ketua OSIS yang kemarin membantunya. Di s

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 5 - Di Bawah Senja yang Sama

    Bel pulang akhirnya berbunyi, menggema di seluruh penjuru sekolah. Suara itu bagai tanda lega bagi El. Ia menatap langit, menghela napas panjang. Hari pertama… akhirnya selesai juga, batinnya. Meski lelah, ada rasa puas dalam dirinya, ia berhasil melewati hari penuh kejutan, dari hampir terlambat, sampai momen yang tak terduga di aula tadi.Namun, di balik rasa lega itu, pikirannya masih saja tertuju pada satu hal, atau lebih tepatnya satu orang. Gadis yang tadi berdiri di sampingnya di lapangan. Tatapan mata yang sekilas bertemu membuat dadanya berdegup dengan irama aneh yang bahkan belum ia mengerti.Osis pun mempersilahkan para siswa baru untuk pulang dan bersiap untuk MPLS hari kedua besok, El kemudian merapikan buku dan tasnya. Dalam hatinya, SMA Nusantara terasa tenang di bawah cahaya sore. Ia berjalan perlahan menuju gerbang, melewari barisan pot bunga yang masih disiram penjaga sekolah. Aroma tanah basah berpadu dengan angin senja yang lembut membuat langkahnya terasa ringan.

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 4 - Langkah Pertama

    Suasana aula mulai sepi. Satu per satu siswa baru beranjak keluar, mengikuti arahan panitia OSIS yang sudah menunggu di luar. Namun El tetap duduk di kursinya, sesuai instruksi yang baru saja disampaikan lewat pengeras suara. Beberapa siswa yang lewat menatapnya penasaran, ada juga yang sempat berbisik, “Eh, itu yang tadi maju, kan?”El hanya tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa meski jantungnya masih berdebar sejak tadi. Tak lama kemudian, Bu Ratna muncul dari arah panggung, langkahnya tenang, membawa map berwarna cokelat.“Ah, ini dia si jujur kita,” ucapnya sambil tersenyum hangat.El berdiri cepat. “Iya, Bu… ada yang mau Ibu sampaikan?”Bu Ratna terkekeh pelan. “Hehe, santai aja, El. Ibu cuma mau bilang, kamu keren. Biasanya kalau Ibu tanya begitu, nggak ada yang mau ngaku. Eh, kamu malah langsung angkat tangan. Hebat, lho. Padahal sebenernya Ibu nggak mengarah ke kamu tadi.”El menatap heran. “Lho? Serius, Bu?”“Iya,” jawab Bu Ratna sambil tertawa kecil. “Tapi kamu ngaku dulua

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 3 - Keberanian Yang Tak Terduga

    Aula SMA Nusantara terasa sesak oleh ratusan siswa baru yang berjejer rapi di kursi-kursi plastik biru. Pendingin ruangan belum sepenuhnya terasa, sehingga aroma seragam baru, parfum ringan, dan keringat bercampur menjadi satu. Di panggung depan, spanduk besar bertuliskan “Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah SMA Nusantara Tangerang” membentang lebar, dihiasi logo sekolah di tengahnya.El duduk di deretan tengah, bersama beberapa teman seruangannya. Pandangannya sesekali berkeliling, mencari sosok yang tadi sempat duduk di sebelahnya di lapangan. Tiara.Namun lautan kepala siswa di aula itu membuatnya sulit melihat ke mana pun tanpa kehilangan arah. Ia menarik napas, berusaha fokus pada suasana yang mulai tenang.“Perhatian kepada seluruh siswa baru,” terdengar suara dari pengeras, “acara selanjutnya adalah Pengenalan Tata Tertib Sekolah yang akan disampaikan langsung oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Ibu Ratna Pramudita.”Seisi aula bertepuk tangan sopan ketika seorang wanita

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status