LOGINHari pertama sekolah selalu penuh tanda tanya, apakah akan menyenangkan, membosankan, atau justru penuh kejutan? Bagi El dan Tiara, hari pertama MPLS bukan hanya tentang mengenal sekolah baru, guru baru, atau teman baru. Tapi tentang pertemuan yang terasa... berbeda. Dari obrolan ringan di kantin yang penuh sesak, ice cream rasa stroberi yang tak terduga, hingga pulang bersama naik bus kota, semua terasa sederhana. Tapi dalam kesederhanaan itu, ada percikan hangat yang belum bisa mereka definisikan. Apakah ini hanya pertemanan? Atau benih sesuatu yang lebih? Di antara kelas-kelas baru, peraturan sekolah, dan perasaan canggung, El dan Tiara menjalani hari demi hari dengan obrolan yang makin dalam, namun tetap mencoba tetap dalam "jalur pertemanan". Karena kadang, cerita paling manis justru dimulai dari hal-hal paling sederhana.
View MoreMatahari perlahan terbit dari ufuk timur, sinarnya menyusup masuk melalui jendela kamar seorang pemuda laki-laki bernama El. Suara alarm yang nyaring membuatnya terbangun. Dengan mata setengah terpejam, ia mematikan alarm itu, lalu menarik napas panjang beberapa kali.
Hari ini adalah hari penting, hari pertamanya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ada rasa bersemangat sekaligus gugup di dadanya. Namun, ini sudah jam 06.23 yang menandakan El sudah terlambat. El segera meraih handuk, pergi mandi, dan segera berpakaian.
Saat El memakai seragam putih abu-abu yang baru dibelinya, El melamun… El merasa sesuatu baru yang panjang akan ia hadapi. Tapi, Suara klakson dari luar pagar membuyarkan lamunan El.
“EL! Udah jam tujuh kurang lima belas!” teriak Ibu Ros dari bawah.
“Ya, Bu! Lima menit!” balas El tergesa sambil menepuk-nepuk rambutnya yang belum rapi. Dalam kepanikan, ia hampir saja salah mengenakan sepatu kiri dan kanan.
Begitu keluar dari kamar, ibunya menatap dengan alis terangkat. “Hari pertama masuk SMA, dan kamu udah begini?”
El cengengesan. “Namanya juga adaptasi, Bu.”
Ibu hanya menghela napas sambil menyodorkan roti. “Makan di mobil aja. Ayah udah nunggu sampai klakson-klakson tuh.”
Di perjalanan menuju SMA Nusantara Tangerang, ayahnya sempat berkomentar.
“El, kamu ini ya, jangan cuma semangat waktu main game aja. Sekolah juga harus punya semangat.”
El terkekeh. “Santai, Yah. Hari ini aku mulai lembaran baru kok.”
Namun ucapan itu belum sempat ditegaskan ketika tiba-tiba mobil di depan mereka berhenti mendadak. Ayah terpaksa menginjak rem keras, roti di tangan El jatuh ke celananya, meninggalkan noda selai stroberi.
“Ya Tuhan…..” seru El pasrah.
Ayah menahan tawa. “Nah, itu tandanya rezeki. Nggak usah marah, nanti malah malu di sekolah baru.”
El hanya menghela napas panjang. Hari pertama dan sudah berantakan, pikirnya.
Begitu di depan sekolah, El langsung buru-buru pamit dan turun dari mobil karena gerbang sekolah akan segera ditutup. Ia menyebrang jalan, menyelinap di antara sepeda motor dan angkot yang bersahutan klakson. Di depan gerbang, beberapa kakak OSIS sudah berjaga dengan wajah tegas.
“Cepat, lima menit lagi gerbang ditutup!”
El berlari sekencang mungkin.
Begitu sampai di gerbang, El langsung di sambut oleh beberapa kakak OSIS dan salah satu guru piket, seorang wanita berwajah ramah namun tegas itu langsung menatapnya.
“Baru hari pertama sudah hampir terlambat ya?” katanya dengan nada setengah menggoda
El hanya nyengir kikuk. “Maaf, Bu... macet.”
“Bisa sebutkan nama lengkapnya?”
“Zarael Narendra, Bu.”
Guru itu membuka laptop di meja kecil, mengetik beberapa saat, lalu tersenyum tipis. “Baik, ini ID Card-mu. Pakai selama tiga hari MPLS, jangan sampai hilang. Ruanganmu di lantai tiga, ruang tujuh. Naik saja lewat koridor kanan, nanti ada kakak OSIS yang bantu arahkan.”
“Siap, Bu. Terima kasih!”
El pun melangkah cepat, mencoba memperbaiki kerah bajunya sambil berjalan. Namun sialnya, karena tergesa, ia tidak memperhatikan arah. Tepat di tikungan tangga lantai dua, BRAK!
Semuanya terjadi dalam sekejap.
Buku-buku berserakan di lantai. Seorang gadis jatuh terduduk, rambut hitamnya terurai indah menutupi sebagian wajahnya. Mata El membesar, ia baru saja menabrak seseorang.
“Aduh!! Lo jalan ngga lihat-lihat ya?!” suara gadis itu sedikit tinggi, namun lembut di ujungnya.
“Sorry sorry… Gue nggak sengaja, Gue buru-buru”
El jongkok, memunguti buku-bukunya satu per satu. Saat ia menyerahkan buku terakhir, tatapan mereka bertemu untuk pertama kalinya.
Waktu seperti melambat.
Gadis itu… cantik luar biasa. Kulitnya putih bersih, matanya tajam tapi indah, kalau saja ia tersenyum pasti mematikan. Namun saat ini, wajahnya jelas kesal.
Saat tangan mereka bersentuhan sebentar, El merasa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Gadis itu menerima buku terakhirnya dengan ekspresi datar.
“Ya udah, lain kali hati-hati aja,” katanya singkat lalu berlalu menaiki tangga.
El hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Ada sesuatu dalam dirinya yang seolah terseret pergi bersama gadis itu. Entah rasa bersalah, atau… rasa lain yang baru pertama kali ia rasakan.
Tepukan di bahu menyadarkannya.
“Woi, kenapa bengong?” suara seorang kakak OSIS terdengar.
El menoleh. Seorang siswa berpostur tinggi, dengan senyum ramah, menatapnya.
“Hati-hati ya, bro. Tangga di sini licin, udah banyak yang hampir jatuh. Tadi gue lihat, lo nabrak cewek, kan? Untung nggak ada yang luka.”
El mengangguk cepat. “Iya, Kak. Gue nggak lihat jalan tadi.”
Bagas, nama kakak OSIS itu, tertawa kecil. “Santai aja. Tapi lain kali jangan buru-buru. Sekolah ini gede, banyak tikungan licin. Boleh cek ID-Card nya?”
“Boleh kak”
“Ohhh ruangan tujuh, ayo gue anter”
“Makasih kak” jawab El meskipun ia masih sedikit ngos-ngosan
Mereka menaiki tangga bersama. Tapi sepanjang jalan, pikiran El masih terbayang pada gadis yang tadi ia tabrak.
Ia berusaha menepis rasa penasaran itu, tapi tak bisa.
Siapa dia?
Kenapa wajahnya… sulit dilupain?
Saat mereka sampai di lantai tiga, El sempat menoleh ke arah koridor lain. Di ujung sana, gadis tadi terlihat sedang berbicara dengan guru piket sambil menenteng buku yang sama. Dan saat mata mereka tak sengaja bertemu, gadis itu langsung memalingkan pandangan.
El menelan ludah pelan.
Ada sesuatu di tatapan itu—sesuatu yang belum ia mengerti, tapi membuatnya ingin tahu lebih jauh.
Bagas menepuk bahunya lagi. “Ayo, ruang tujuh di sini.”
El berjalan masuk, namun sebelum ia sempat duduk, bel pertama berbunyi keras.
DRRIIINNNGGG!
Dari pengeras suara, suara kakak OSIS menggema di seluruh gedung:
“Seluruh siswa baru dari ruang 1 sampai 7, harap segera menuju lapangan untuk pembukaan MPLS. Ulangi, seluruh siswa baru harap menuju lapangan!”
El menghela napas panjang.
“Baru juga sampai… udah disuruh turun lagi,” gumamnya dengan nada setengah malas.
Ia bangkit, merapikan tasnya, dan berjalan keluar mengikuti arus siswa lainnya yang juga baru datang. Di tengah kerumunan, matanya kembali menangkap sosok yang sama, gadis dengan rambut panjang itu, berjalan tak jauh di depannya.
Hatinya berdebar tanpa alasan.
Mungkin cuma kebetulan… atau mungkin ini awal dari sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
Pulang sekolah biasanya menjadi waktu paling ringan untuk El.Biasanya, Rafa bercanda receh, Faqih ribut sendiri, Tiara cerita hal-hal kecil yang entah kenapa selalu menarik.Tapi hari itu… semuanya terasa patah ritmenya.Bahkan langkah kaki mereka pun tidak kompak seperti dulu.Kenzo berjalan di sisi Tiara.Mereka bicara soal hal-hal yang El tidak tahu.Lomba lama yang El tidak pernah dengar.Cerita masa SD yang El tidak pernah ada di dalamnya.Untuk pertama kalinya, El merasa seperti tamu dalam lingkaran yang seharusnya miliknya.Faqih ngeh duluan.Ia coba narik El ke tengah obrolan.“Eh, El punya cerita juga nih! Dia—”“El,” potong Kenzo halus sambil menatap, “lo dulu ikut ekskul apa?”Pertanyaan sederhana.Normal.Nggak salah apa-apa.Tapi entah kenapa… El merasa seperti lagi diuji.“Futsal,” jawab El singkat.“Oh, pemain futsal ya.” Kenzo tersenyum. “Pantes tinggi.”Tiara mengangguk setuju. “Iya, dari awal juga keliatan banget El bakal cocok main futsal.”Dan itu aneh.Karena bia
Pagi itu terasa… berbeda.Bukan karena matahari lebih terang atau angin lebih sejuk.Tapi karena satu hal: mimpi itu.Mimpi yang semalam membuat dada El terasa aneh — campuran hangat, gugup, dan rasa takut yang sulit dijelaskan.Kalimat itu masih menggema di kepalanya:“Besok semuanya akan mulai berubah.”El mengucek mata di depan cermin kamar. Rambutnya masih acak-acakan, tapi moralnya turun naik.Ia mencoba menepis mimpi itu, berkata ke dirinya sendiri:“Ah… cuma mimpi. Nggak usah dipikirin.”Tapi tetap saja dadanya berat.Setelah sarapan dan diantar Ayah seperti biasanya, El tiba di sekolah dengan langkah sedikit lambat. Hari ini adalah hari pertama pelajaran dimulai — hari dimana kelas mulai lebih serius.Dan ketika ia melangkah ke gerbang sekolah, seluruh suasana tampak berjalan seperti biasa: murid-murid tertawa, suara langkah tergesa, aroma kertas baru dan seragam yang baru dicuci, dan pengumuman OSIS yang menggema.Tapi di antara semua itu, El merasa sesuatu… kosong.Karena ti
Malam menurunkan tirainya perlahan.Lampu meja belajar di kamar El menyala redup, menyoroti buku-buku yang sudah lama tak disentuh. Suara jangkrir terdengar dari balik jendela yang setengah terbuka, membawa udara dingin yang mengigit kulit. Di layar ponselnya, obrolan grup mereka berempat masih terbuka, namun tak satu pun kata baru muncul. Sunyi—seolah masing-masing sedang memikirkan hal yang sama, tapi memilih diam.El menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap langit-langit putih kamarnya yang mulai berbayang karena lampu. “Lo jatuh cinta, kan?” Kalimat Rafa terputar ulang di kepalanya, seperti kaset rusak yang tak mau berhenti.Ia menghela napas pelan. “Cinta?” gumamnya.Tangan kirinya tanpa sadar meraih ponsel, membuka galeri, dan menemukan satu foto: Tiara sedang tertawa—diambil tanpa sepengetahuannya saat mereka berempat nongkrong sore itu. Entah kenapa, setiap kali melihat foto itu, dadanya terasa hangat... tapi juga berat.“Apa mungkin Rafa bener?” bisiknya lirih.Ia memejam
Di sekolah, suasananya sedikit berbeda dari MPLS.Para siswa mulai memakai seragam lengkap, membawa buku pelajaran, dan duduk di kelas dengan wajah-wajah baru yang mulai saling mengenal lebih dekat.Tiara terlihat sudah duduk di bangku baris kedua dekat jendela — tempat yang sama seperti saat MPLS. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tampak cerah.El masuk ke kelas, dan begitu matanya bertemu dengan Tiara, senyum kecil itu muncul lagi.Rafa, yang duduk di belakang, langsung nyeletuk.“Waduhhh, pagi-pagi udah senyum-senyuman. Gua aja belum sarapan, tapi udah kenyang liat beginian.”Faqih ngakak di sebelahnya. “Hahaha, ini mah bukan MPLS lagi, tapi MCSS — Masa Cinta Saat Sekolah.”Tiara hanya menunduk sambil tertawa kecil, sedangkan El pura-pura fokus membuka buku, padahal mukanya udah merah setengah mati.Jam pelajaran berjalan cepat, tapi suasana di kelas itu nggak pernah sepi.Faqih beberapa kali kena tegur karena ngelawak waktu guru lagi jelasin pelajaran.Rafa juga sempat ketiduran l












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.