Se connecterSuasana aula mulai sepi. Satu per satu siswa baru beranjak keluar, mengikuti arahan panitia OSIS yang sudah menunggu di luar. Namun El tetap duduk di kursinya, sesuai instruksi yang baru saja disampaikan lewat pengeras suara. Beberapa siswa yang lewat menatapnya penasaran, ada juga yang sempat berbisik, “Eh, itu yang tadi maju, kan?”
El hanya tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa meski jantungnya masih berdebar sejak tadi. Tak lama kemudian, Bu Ratna muncul dari arah panggung, langkahnya tenang, membawa map berwarna cokelat.
“Ah, ini dia si jujur kita,” ucapnya sambil tersenyum hangat.
El berdiri cepat. “Iya, Bu… ada yang mau Ibu sampaikan?”
Bu Ratna terkekeh pelan. “Hehe, santai aja, El. Ibu cuma mau bilang, kamu keren. Biasanya kalau Ibu tanya begitu, nggak ada yang mau ngaku. Eh, kamu malah langsung angkat tangan. Hebat, lho. Padahal sebenernya Ibu nggak mengarah ke kamu tadi.”
El menatap heran. “Lho? Serius, Bu?”
“Iya,” jawab Bu Ratna sambil tertawa kecil. “Tapi kamu ngaku duluan, jadi Ibu kira kamu yang dimaksud guru piket.”
El mengusap tengkuknya yang terasa hangat. “Hehehe… ya, gimana ya Bu, saya kira memang saya yang dimaksud.”
“Iya, dan justru dari situ Ibu bisa lihat kamu anaknya berani. Itu hal yang langka, El. Terus pertahanin ya,” ujar Bu Ratna sambil menepuk bahunya ringan.
Sebelum El sempat menjawab, terdengar suara ceria dari arah pintu.
Bagas langsung tertawa keras. “Wihhh, keren bro! Jarang banget loh anak baru berani ngaku. Biasanya sih pura-pura lupa jam sekolah, hahaha.”
El tersipu, menunduk. “Aduh, jangan dibahas terus dong, Kak.”
Bu Ratna tersenyum melihat interaksi mereka. “Kalian udah kenal sebelumnya?”
“Belum, Bu,” jawab Bagas cepat. “Tapi tadi pas pagi, saya yang ngarahin dia ke kelasnya. Ingat banget, ruang 7 lantai 3 kan, bro?”
El mengangguk. “Iya, bener.”
“Kalau gitu, kenalan dulu deh,” kata Bu Ratna sambil tersenyum.
Bagas mengulurkan tangan. “Oke, nama lengkap gue Bagaskara Pradipta, tapi panggil aja Bagas. Ketua OSIS periode ini, hehe.”
El menjabat tangannya dengan senyum malu. “Zarael Narendra. Panggil aja El.”
“Siapp, El. Dan santai aja ya, nggak usah ‘Kak-Kak’-an segala. Kayaknya kita seumuran juga, gue kelas 11.”
El terkekeh kecil. “Oke, noted.”
Suasana terasa hangat dan akrab seketika.
Lalu Bu Ratna mengambil sesuatu dari map yang ia bawa. Sebuah buku berwarna biru muda dengan tulisan “Langkah Awal yang Baik” di sampulnya.
“Nih, El,” katanya sambil menyerahkan buku itu. “Sebagai apresiasi dari Ibu. Karena kejujuran sekecil apa pun, pantas untuk dihargai.”
El menatap buku itu dengan mata sedikit membesar. “Serius, Bu? Buat saya?”
Bu Ratna mengangguk. “Iya. Tapi jangan jadi beban ya, anggap aja hadiah kecil.”
“Wah, makasih banyak, Bu… beneran nggak nyangka saya dikasih beginian.”
Bagas menepuk bahunya. “Cocok tuh, bro. Jadi anak baru tapi udah dapet hadiah dari Wakasek. Mantap, hahaha.”
El hanya tertawa kecil, sementara Bu Ratna berkata lembut, “Sekarang kamu boleh lanjut ikut MPLS lagi, ya. Di luar anak-anak sudah mulai sesi pengenalan lingkungan sekolah. Biar Bagas aja yang nganterin kamu.”
“Oke, Bu.”
El membungkuk sopan sebelum keluar ruangan bersama Bagas.
Koridor sekolah terasa riuh. Ratusan siswa baru berjalan berkelompok, sebagian menenteng catatan, sebagian lagi sibuk memotret gedung sekolah dengan ponsel yang diam-diam mereka bawa.
Udara siang mulai terasa panas, tapi semangat para siswa belum padam.
“Jadi, lo dari SMP mana, El?” tanya Bagas sambil berjalan santai di sampingnya.
“SMP Nusantara juga, tapi cabang Tangerang Selatan. Lo sendiri dari mana?”
“Dari sini, bro. Anak asli Nusantara, hahaha. Jadi udah hapal seluk-beluknya. Lo nanti ikut kelompok 3 ya, di situ yang lagi jalan ke taman belakang.”
El mengangguk. Mereka berdua akhirnya bergabung dengan rombongan siswa lain yang dipandu OSIS perempuan bernama Kak Dita. Di sana, suasana terasa lebih santai, mereka sedang berkeliling melihat taman sekolah, ruang UKS, dan laboratorium.
Namun di tengah keramaian itu, mata El tiba-tiba menangkap sosok yang familiar, Tiara.
Ia berjalan di barisan depan. Sinar mataharinya memantul di rambut hitamnya yang terurai lembut.
Entah kenapa, El merasa dadanya bergetar lagi, sama seperti di tangga pagi tadi.
Sementara Tiara, tanpa menoleh, tahu bahwa seseorang memperhatikannya. Ia berpura-pura mendengarkan penjelasan Kak Dita, tapi matanya sesekali melirik ke arah belakang, memastikan dugaannya benar.
Dan benar saja. El berada beberapa langkah di belakangnya, sedang berbicara dengan Bagas sambil sesekali tersenyum.
Dia anak yang tadi maju ke depan… yang jujur itu, pikir Tiara sambil menunduk sedikit.
Untuk pertama kalinya, bibirnya membentuk senyum samar tipis, tapi nyata.
Rombongan berhenti di depan gedung laboratorium. Kak Dita memberi instruksi untuk beristirahat sejenak di halaman. Para siswa duduk di bawah pohon flamboyan besar. El menaruh tasnya, lalu menatap ke arah depan, Tiara sedang duduk beberapa meter darinya, membuka botol minum dan mengusap keringat di leher.
Bagas tiba-tiba menepuk bahunya.
“Bro, lo kenapa ngelamun?”
El tersentak. “Nggak, cuma liat taman doang.”
“Hahaha, taman ya? Atau yang di taman?” goda Bagas sambil menaikkan alis.
El hanya bisa terdiam menahan malu.
Sementara itu, Tiara yang mendengar sedikit percakapan itu melirik ke arah mereka sebentar, lalu buru-buru berpaling lagi. Pipinya bersemu ringan tanpa alasan jelas.
Hari semakin siang. Sesi pengenalan lingkungan akhirnya berakhir di depan lapangan utama. Semua siswa diarahkan kembali ke aula untuk kegiatan penutupan hari pertama MPLS.
El menatap buku biru di tangannya, hadiah dari Bu Ratna.
Ia tersenyum tipis, lalu memandang Tiara yang berjalan beberapa meter di depannya.
Aneh… baru sehari, tapi gue udah ngerasa ada yang berubah.
Dan tanpa ia sadari, Tiara menoleh sebentar, hanya sepersekian detik menatap El yang memandangnya dari jauh.
Langit mulai memerah di ufuk barat, menandai sore pertama di SMA Nusantara.
Dan mungkin, juga awal dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar pertemuan tak sengaja.
Rafa langsung memekik kecil sambil menutup telinganya. “Aduh, gue benci banget sama mati lampu!”Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegarTiara, yang duduk di kursinya, langsung refle menutup mata dan menunduk, tangannya menutup kedua telinga rapat-rapat.El melihatnya sebentar, agak heran. “Lo takut petir ya?” tanyanya lembut.Tiara mengangguk pelan tanpa membuka mata.Faqih yang melihat suasana itu malah tertawa kecil. “Wah, kesempatan bagus nih buat ngetes nyali!”Rafa langsung melotot. “Faqih! Jangan aneh-aneh ya!”Faqih pura-pura menunduk, menahan tawa. “Yaelah, baru mati lampu doang, bukan dipanggil arwah gentayangan…”Petir kembali menyambar, kali ini lebih keras — BLAAR!Tiara langsung memekik kecil dan semakin menutup telinganya, sementara Rafa spontan menutup wajahnya dengan buku.
Setelah bel istirahat berbunyi, satu per satu siswa keluar dari kelas, sebagian menuju kantin, sebagian lagi ke lapangan untuk melihat siswa lain bermain basket. Tak lama, ruangan kelas menjadi jauh lebih sepi.Hanya tersisa El, Rafa, dan Tiara. Rafa dan Tiara duduk bersebelahan di barisan tengah, tampak serius membicarakan sesuatu, entah soal hobi atau sekadar hal kecil seperti warna seragam yang mereka pakai. Suara mereka pelan, namun tawa kecil sesekali pecah di antara percakapan itu.El duduk di kursinya dekat jendela, memainkan ujung pulpen sambil melirik sekilas ke arah mereka. Dalam hati, ia tersenyum tipis. Entah kenapa, suasana sederhana seperti ini terasa menyenangkan.Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.“Sendirian aja, bro?”El menoleh. Seorang siswa laki-laki berambut sedikit berantakan menatapnya sambil tersenyum lebar. Wajahnya terlihat ramah dan santai.“Engga,” jawab El pelan. “Kan itu… ada anak cewe juga lagi ngobrol.”Anak itu tertawa kecil.“Gue Faqi
Keesokan harinya, El datang ke sekolah lebih awal. Udara pagi masih terasa dingin, embun menempel di daun-daun sekitar halaman sekolah. Ia berdiri di depan gerbang SMA Nusantara Tangerang, menatap bangunan itu dengan perasaan yang aneh, campuran antara semangat dan rasa penasaran.Masih terlintas senyum Tiara di bus kemarin sore.Entah kenapa, bayangan itu terus mengganggunya.“Ah, kenapa juga mikirin orang yang bahkan belum kenal,” gumam El pelan sambil tersenyum tipis.Ia berjalan ke ruang 7. Kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya, menyalakan ponsel dan memutar playlist favoritnya, lagu-lagu yang biasa ia dengar saat butuh ketenangan. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki mulai terdengar. Satu per satu siswa baru masuk, membawa tas dan wajah-wajah canggung. El baru sadar kalau ruangan mulai ramai saat suara ketawa pelan terdengar dari pojok kelas.Tak lama, pintu terbuka. Dua orang berseragam OSIS masuk. Salah satunya El kenal, Bagas, ketua OSIS yang kemarin membantunya. Di s
Bel pulang akhirnya berbunyi, menggema di seluruh penjuru sekolah. Suara itu bagai tanda lega bagi El. Ia menatap langit, menghela napas panjang. Hari pertama… akhirnya selesai juga, batinnya. Meski lelah, ada rasa puas dalam dirinya, ia berhasil melewati hari penuh kejutan, dari hampir terlambat, sampai momen yang tak terduga di aula tadi.Namun, di balik rasa lega itu, pikirannya masih saja tertuju pada satu hal, atau lebih tepatnya satu orang. Gadis yang tadi berdiri di sampingnya di lapangan. Tatapan mata yang sekilas bertemu membuat dadanya berdegup dengan irama aneh yang bahkan belum ia mengerti.Osis pun mempersilahkan para siswa baru untuk pulang dan bersiap untuk MPLS hari kedua besok, El kemudian merapikan buku dan tasnya. Dalam hatinya, SMA Nusantara terasa tenang di bawah cahaya sore. Ia berjalan perlahan menuju gerbang, melewari barisan pot bunga yang masih disiram penjaga sekolah. Aroma tanah basah berpadu dengan angin senja yang lembut membuat langkahnya terasa ringan.
Suasana aula mulai sepi. Satu per satu siswa baru beranjak keluar, mengikuti arahan panitia OSIS yang sudah menunggu di luar. Namun El tetap duduk di kursinya, sesuai instruksi yang baru saja disampaikan lewat pengeras suara. Beberapa siswa yang lewat menatapnya penasaran, ada juga yang sempat berbisik, “Eh, itu yang tadi maju, kan?”El hanya tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa meski jantungnya masih berdebar sejak tadi. Tak lama kemudian, Bu Ratna muncul dari arah panggung, langkahnya tenang, membawa map berwarna cokelat.“Ah, ini dia si jujur kita,” ucapnya sambil tersenyum hangat.El berdiri cepat. “Iya, Bu… ada yang mau Ibu sampaikan?”Bu Ratna terkekeh pelan. “Hehe, santai aja, El. Ibu cuma mau bilang, kamu keren. Biasanya kalau Ibu tanya begitu, nggak ada yang mau ngaku. Eh, kamu malah langsung angkat tangan. Hebat, lho. Padahal sebenernya Ibu nggak mengarah ke kamu tadi.”El menatap heran. “Lho? Serius, Bu?”“Iya,” jawab Bu Ratna sambil tertawa kecil. “Tapi kamu ngaku dulua
Aula SMA Nusantara terasa sesak oleh ratusan siswa baru yang berjejer rapi di kursi-kursi plastik biru. Pendingin ruangan belum sepenuhnya terasa, sehingga aroma seragam baru, parfum ringan, dan keringat bercampur menjadi satu. Di panggung depan, spanduk besar bertuliskan “Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah SMA Nusantara Tangerang” membentang lebar, dihiasi logo sekolah di tengahnya.El duduk di deretan tengah, bersama beberapa teman seruangannya. Pandangannya sesekali berkeliling, mencari sosok yang tadi sempat duduk di sebelahnya di lapangan. Tiara.Namun lautan kepala siswa di aula itu membuatnya sulit melihat ke mana pun tanpa kehilangan arah. Ia menarik napas, berusaha fokus pada suasana yang mulai tenang.“Perhatian kepada seluruh siswa baru,” terdengar suara dari pengeras, “acara selanjutnya adalah Pengenalan Tata Tertib Sekolah yang akan disampaikan langsung oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Ibu Ratna Pramudita.”Seisi aula bertepuk tangan sopan ketika seorang wanita







