Accueil / Romansa / Perjalanan Cinta dan Harapan / BAB 2 - Di Bawah Langit Pagi

Share

BAB 2 - Di Bawah Langit Pagi

Auteur: Kahfi Riza
last update Dernière mise à jour: 2025-07-15 14:31:20

Lapangan sekolah sudah penuh ketika mereka tiba. Matahari mulai naik, sinarnya menyengat ubun-ubun, memantul di atas genting dan seragam putih abu-abu yang tampak masih kaku karena baru dibeli. Beberapa siswa sibuk mencari posisi barisannya, sementara panitia OSIS berteriak-teriak memberi instruksi.

“Barisan 1 sampai 7, cepat rapikan barisannya! Lurus ke depan, jangan berisik!”

Suara lantang itu datang dari Bagas, yang rupanya bertugas di lapangan pagi itu. Kali ini ia mengenakan seragam OSIS lengkap dengan selempang biru di bahu, terlihat jauh lebih tegas daripada di kelas tadi.

“Di barisan belakang masih kosong, kalian geser ke sana ya!”

El pun menuruti arahan itu, berjalan ke bagian paling belakang. Tapi langkahnya tiba-tiba melambat karena di sisi kiri barisan itu berdiri seorang gadis berambut hitam panjang yang diikat rapi, wajahnya teduh namun dingin. Gadis yang tadi ditabraknya di tangga.

“Oh, bukan main…” desah El dalam hati.

Ia sempat ragu-ragu untuk berdiri di sana, tapi OSIS lain sudah berteriak, “Cepat, barisannya dirapikan!”

Akhirnya El berdiri di sebelah gadis itu, sedikit menjaga jarak.

Tiara melirik sekilas, ekspresinya datar, lalu kembali menatap ke depan. Namun El merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Suara riuh di lapangan seolah memudar, yang ia dengar hanya denyut gugup di dadanya sendiri.

Sementara itu, di barisan depan, Bagas terus memberikan instruksi. “Luruskan barisan! Kanan dikit! Eh, kamu, yang di belakang kiri itu, jangan miring ya!”

El sontak meluruskan tubuh, nyaris refleks. Beberapa siswa di sekitar menahan tawa. Tiara melirik lagi, kali ini dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Dia ini lucu juga, pikirnya dalam hati, meski ia berusaha tetap menjaga wajah serius.

Matahari semakin tinggi. OSIS yang lain membagikan botol air dan kipas kecil kertas bertuliskan Selamat Datang di SMA Nusantara Tangerang!

Tiara sempat menunduk sambil mengibas pelan kipas itu. El mencuri pandang sekilas, entah kenapa dalam diam, ia ingin meminta maaf lagi atas kejadian tadi pagi. Tapi lidahnya kelu.

“Eh…” suaranya keluar kecil, hampir tak terdengar.

Tiara menoleh perlahan, “Apa?”

“Hmm… tadi pagi, gue…”

Belum sempat El menyelesaikan kalimatnya, dari pengeras suara terdengar suara lantang:

“Seluruh siswa baru harap menyiapkan diri untuk apel pembukaan! Tegak! Siap, grak!”

Keduanya otomatis berdiri tegak.

El membatalkan niatnya untuk bicara, sementara Tiara menatap lurus ke depan lagi.

Namun dari sudut mata, Tiara tahu - El masih melirik ke arahnya. Ada sesuatu pada cara cowok itu berdiri: kikuk tapi berusaha terlihat tegas.

Upacara dimulai. Lagu kebangsaan berkumandang, diikuti sambutan dari ketua OSIS dan guru pembina. Suasana terasa formal dan agak kaku, tapi El nyaris tak bisa fokus.

Pikirannya masih tertuju pada satu hal Gimana caranya ngomong lagi sama dia tanpa keliatan aneh?

“Sekian sambutan dari kami. Setelah ini seluruh peserta MPLS diminta menuju aula untuk mengikuti materi pertama dari Ibu Wakasek,” suara ketua OSIS menutup acara pagi itu.

Para siswa mulai bergerak lagi, membentuk barisan panjang menuju gedung utama.

El menoleh sekilas, Tiara juga berjalan di arah yang sama, sedikit di depan. Ia hampir ingin memanggilnya, tapi menahan diri.

Sambil berjalan menuju aula bersama ratusan siswa lainnya, El sempat menatap ke langit. Langit pagi itu cerah, biru muda dengan awan tipis yang perlahan menepi. Ia tersenyum kecil tanpa sadar.

Hari pertama yang berantakan... tapi entah kenapa, gue nggak nyesel nabrak dia tadi, gumamnya dalam hati.

Namun sebelum ia melangkah masuk ke aula, suara Bagas kembali terdengar dari belakang:

“Bro! Lo belum tau kan nama perempuan yang lo tabrak tadi?”

El berhenti sejenak, menoleh. “Belum, Kak. Emang siapa?”

Bagas hanya tersenyum misterius. “Nanti juga tau sendiri.”

Kalimat itu menggantung di udara, membuat El bingung sekaligus penasaran.

Ia menatap kembali ke arah aula di mana Tiara sudah lebih dulu masuk dan untuk pertama kalinya, El merasa hari pertamanya di SMA ini akan jauh lebih menarik daripada yang ia bayangkan.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 8 - Diantara Gelap dan Hujan

    Rafa langsung memekik kecil sambil menutup telinganya. “Aduh, gue benci banget sama mati lampu!”Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegarTiara, yang duduk di kursinya, langsung refle menutup mata dan menunduk, tangannya menutup kedua telinga rapat-rapat.El melihatnya sebentar, agak heran. “Lo takut petir ya?” tanyanya lembut.Tiara mengangguk pelan tanpa membuka mata.Faqih yang melihat suasana itu malah tertawa kecil. “Wah, kesempatan bagus nih buat ngetes nyali!”Rafa langsung melotot. “Faqih! Jangan aneh-aneh ya!”Faqih pura-pura menunduk, menahan tawa. “Yaelah, baru mati lampu doang, bukan dipanggil arwah gentayangan…”Petir kembali menyambar, kali ini lebih keras — BLAAR!Tiara langsung memekik kecil dan semakin menutup telinganya, sementara Rafa spontan menutup wajahnya dengan buku.

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 7 - Suara Tawa di Tengah Istirahat

    Setelah bel istirahat berbunyi, satu per satu siswa keluar dari kelas, sebagian menuju kantin, sebagian lagi ke lapangan untuk melihat siswa lain bermain basket. Tak lama, ruangan kelas menjadi jauh lebih sepi.Hanya tersisa El, Rafa, dan Tiara. Rafa dan Tiara duduk bersebelahan di barisan tengah, tampak serius membicarakan sesuatu, entah soal hobi atau sekadar hal kecil seperti warna seragam yang mereka pakai. Suara mereka pelan, namun tawa kecil sesekali pecah di antara percakapan itu.El duduk di kursinya dekat jendela, memainkan ujung pulpen sambil melirik sekilas ke arah mereka. Dalam hati, ia tersenyum tipis. Entah kenapa, suasana sederhana seperti ini terasa menyenangkan.Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.“Sendirian aja, bro?”El menoleh. Seorang siswa laki-laki berambut sedikit berantakan menatapnya sambil tersenyum lebar. Wajahnya terlihat ramah dan santai.“Engga,” jawab El pelan. “Kan itu… ada anak cewe juga lagi ngobrol.”Anak itu tertawa kecil.“Gue Faqi

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 6 - Langit Pagi dan Nama Itu

    Keesokan harinya, El datang ke sekolah lebih awal. Udara pagi masih terasa dingin, embun menempel di daun-daun sekitar halaman sekolah. Ia berdiri di depan gerbang SMA Nusantara Tangerang, menatap bangunan itu dengan perasaan yang aneh, campuran antara semangat dan rasa penasaran.Masih terlintas senyum Tiara di bus kemarin sore.Entah kenapa, bayangan itu terus mengganggunya.“Ah, kenapa juga mikirin orang yang bahkan belum kenal,” gumam El pelan sambil tersenyum tipis.Ia berjalan ke ruang 7. Kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya, menyalakan ponsel dan memutar playlist favoritnya, lagu-lagu yang biasa ia dengar saat butuh ketenangan. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki mulai terdengar. Satu per satu siswa baru masuk, membawa tas dan wajah-wajah canggung. El baru sadar kalau ruangan mulai ramai saat suara ketawa pelan terdengar dari pojok kelas.Tak lama, pintu terbuka. Dua orang berseragam OSIS masuk. Salah satunya El kenal, Bagas, ketua OSIS yang kemarin membantunya. Di s

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 5 - Di Bawah Senja yang Sama

    Bel pulang akhirnya berbunyi, menggema di seluruh penjuru sekolah. Suara itu bagai tanda lega bagi El. Ia menatap langit, menghela napas panjang. Hari pertama… akhirnya selesai juga, batinnya. Meski lelah, ada rasa puas dalam dirinya, ia berhasil melewati hari penuh kejutan, dari hampir terlambat, sampai momen yang tak terduga di aula tadi.Namun, di balik rasa lega itu, pikirannya masih saja tertuju pada satu hal, atau lebih tepatnya satu orang. Gadis yang tadi berdiri di sampingnya di lapangan. Tatapan mata yang sekilas bertemu membuat dadanya berdegup dengan irama aneh yang bahkan belum ia mengerti.Osis pun mempersilahkan para siswa baru untuk pulang dan bersiap untuk MPLS hari kedua besok, El kemudian merapikan buku dan tasnya. Dalam hatinya, SMA Nusantara terasa tenang di bawah cahaya sore. Ia berjalan perlahan menuju gerbang, melewari barisan pot bunga yang masih disiram penjaga sekolah. Aroma tanah basah berpadu dengan angin senja yang lembut membuat langkahnya terasa ringan.

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 4 - Langkah Pertama

    Suasana aula mulai sepi. Satu per satu siswa baru beranjak keluar, mengikuti arahan panitia OSIS yang sudah menunggu di luar. Namun El tetap duduk di kursinya, sesuai instruksi yang baru saja disampaikan lewat pengeras suara. Beberapa siswa yang lewat menatapnya penasaran, ada juga yang sempat berbisik, “Eh, itu yang tadi maju, kan?”El hanya tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa meski jantungnya masih berdebar sejak tadi. Tak lama kemudian, Bu Ratna muncul dari arah panggung, langkahnya tenang, membawa map berwarna cokelat.“Ah, ini dia si jujur kita,” ucapnya sambil tersenyum hangat.El berdiri cepat. “Iya, Bu… ada yang mau Ibu sampaikan?”Bu Ratna terkekeh pelan. “Hehe, santai aja, El. Ibu cuma mau bilang, kamu keren. Biasanya kalau Ibu tanya begitu, nggak ada yang mau ngaku. Eh, kamu malah langsung angkat tangan. Hebat, lho. Padahal sebenernya Ibu nggak mengarah ke kamu tadi.”El menatap heran. “Lho? Serius, Bu?”“Iya,” jawab Bu Ratna sambil tertawa kecil. “Tapi kamu ngaku dulua

  • Perjalanan Cinta dan Harapan   BAB 3 - Keberanian Yang Tak Terduga

    Aula SMA Nusantara terasa sesak oleh ratusan siswa baru yang berjejer rapi di kursi-kursi plastik biru. Pendingin ruangan belum sepenuhnya terasa, sehingga aroma seragam baru, parfum ringan, dan keringat bercampur menjadi satu. Di panggung depan, spanduk besar bertuliskan “Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah SMA Nusantara Tangerang” membentang lebar, dihiasi logo sekolah di tengahnya.El duduk di deretan tengah, bersama beberapa teman seruangannya. Pandangannya sesekali berkeliling, mencari sosok yang tadi sempat duduk di sebelahnya di lapangan. Tiara.Namun lautan kepala siswa di aula itu membuatnya sulit melihat ke mana pun tanpa kehilangan arah. Ia menarik napas, berusaha fokus pada suasana yang mulai tenang.“Perhatian kepada seluruh siswa baru,” terdengar suara dari pengeras, “acara selanjutnya adalah Pengenalan Tata Tertib Sekolah yang akan disampaikan langsung oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Ibu Ratna Pramudita.”Seisi aula bertepuk tangan sopan ketika seorang wanita

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status