Se connecterLapangan sekolah sudah penuh ketika mereka tiba. Matahari mulai naik, sinarnya menyengat ubun-ubun, memantul di atas genting dan seragam putih abu-abu yang tampak masih kaku karena baru dibeli. Beberapa siswa sibuk mencari posisi barisannya, sementara panitia OSIS berteriak-teriak memberi instruksi.
“Barisan 1 sampai 7, cepat rapikan barisannya! Lurus ke depan, jangan berisik!”
“Di barisan belakang masih kosong, kalian geser ke sana ya!”
El pun menuruti arahan itu, berjalan ke bagian paling belakang. Tapi langkahnya tiba-tiba melambat karena di sisi kiri barisan itu berdiri seorang gadis berambut hitam panjang yang diikat rapi, wajahnya teduh namun dingin. Gadis yang tadi ditabraknya di tangga.
“Oh, bukan main…” desah El dalam hati.
Akhirnya El berdiri di sebelah gadis itu, sedikit menjaga jarak.
Sementara itu, di barisan depan, Bagas terus memberikan instruksi. “Luruskan barisan! Kanan dikit! Eh, kamu, yang di belakang kiri itu, jangan miring ya!”
El sontak meluruskan tubuh, nyaris refleks. Beberapa siswa di sekitar menahan tawa. Tiara melirik lagi, kali ini dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Dia ini lucu juga, pikirnya dalam hati, meski ia berusaha tetap menjaga wajah serius.
Matahari semakin tinggi. OSIS yang lain membagikan botol air dan kipas kecil kertas bertuliskan Selamat Datang di SMA Nusantara Tangerang!
“Eh…” suaranya keluar kecil, hampir tak terdengar.
Keduanya otomatis berdiri tegak.
Upacara dimulai. Lagu kebangsaan berkumandang, diikuti sambutan dari ketua OSIS dan guru pembina. Suasana terasa formal dan agak kaku, tapi El nyaris tak bisa fokus.
“Sekian sambutan dari kami. Setelah ini seluruh peserta MPLS diminta menuju aula untuk mengikuti materi pertama dari Ibu Wakasek,” suara ketua OSIS menutup acara pagi itu.
Para siswa mulai bergerak lagi, membentuk barisan panjang menuju gedung utama.
Sambil berjalan menuju aula bersama ratusan siswa lainnya, El sempat menatap ke langit. Langit pagi itu cerah, biru muda dengan awan tipis yang perlahan menepi. Ia tersenyum kecil tanpa sadar.
Hari pertama yang berantakan... tapi entah kenapa, gue nggak nyesel nabrak dia tadi, gumamnya dalam hati.
Namun sebelum ia melangkah masuk ke aula, suara Bagas kembali terdengar dari belakang:
El berhenti sejenak, menoleh. “Belum, Kak. Emang siapa?”
Kalimat itu menggantung di udara, membuat El bingung sekaligus penasaran.
Rafa langsung memekik kecil sambil menutup telinganya. “Aduh, gue benci banget sama mati lampu!”Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegarTiara, yang duduk di kursinya, langsung refle menutup mata dan menunduk, tangannya menutup kedua telinga rapat-rapat.El melihatnya sebentar, agak heran. “Lo takut petir ya?” tanyanya lembut.Tiara mengangguk pelan tanpa membuka mata.Faqih yang melihat suasana itu malah tertawa kecil. “Wah, kesempatan bagus nih buat ngetes nyali!”Rafa langsung melotot. “Faqih! Jangan aneh-aneh ya!”Faqih pura-pura menunduk, menahan tawa. “Yaelah, baru mati lampu doang, bukan dipanggil arwah gentayangan…”Petir kembali menyambar, kali ini lebih keras — BLAAR!Tiara langsung memekik kecil dan semakin menutup telinganya, sementara Rafa spontan menutup wajahnya dengan buku.
Setelah bel istirahat berbunyi, satu per satu siswa keluar dari kelas, sebagian menuju kantin, sebagian lagi ke lapangan untuk melihat siswa lain bermain basket. Tak lama, ruangan kelas menjadi jauh lebih sepi.Hanya tersisa El, Rafa, dan Tiara. Rafa dan Tiara duduk bersebelahan di barisan tengah, tampak serius membicarakan sesuatu, entah soal hobi atau sekadar hal kecil seperti warna seragam yang mereka pakai. Suara mereka pelan, namun tawa kecil sesekali pecah di antara percakapan itu.El duduk di kursinya dekat jendela, memainkan ujung pulpen sambil melirik sekilas ke arah mereka. Dalam hati, ia tersenyum tipis. Entah kenapa, suasana sederhana seperti ini terasa menyenangkan.Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.“Sendirian aja, bro?”El menoleh. Seorang siswa laki-laki berambut sedikit berantakan menatapnya sambil tersenyum lebar. Wajahnya terlihat ramah dan santai.“Engga,” jawab El pelan. “Kan itu… ada anak cewe juga lagi ngobrol.”Anak itu tertawa kecil.“Gue Faqi
Keesokan harinya, El datang ke sekolah lebih awal. Udara pagi masih terasa dingin, embun menempel di daun-daun sekitar halaman sekolah. Ia berdiri di depan gerbang SMA Nusantara Tangerang, menatap bangunan itu dengan perasaan yang aneh, campuran antara semangat dan rasa penasaran.Masih terlintas senyum Tiara di bus kemarin sore.Entah kenapa, bayangan itu terus mengganggunya.“Ah, kenapa juga mikirin orang yang bahkan belum kenal,” gumam El pelan sambil tersenyum tipis.Ia berjalan ke ruang 7. Kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya, menyalakan ponsel dan memutar playlist favoritnya, lagu-lagu yang biasa ia dengar saat butuh ketenangan. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki mulai terdengar. Satu per satu siswa baru masuk, membawa tas dan wajah-wajah canggung. El baru sadar kalau ruangan mulai ramai saat suara ketawa pelan terdengar dari pojok kelas.Tak lama, pintu terbuka. Dua orang berseragam OSIS masuk. Salah satunya El kenal, Bagas, ketua OSIS yang kemarin membantunya. Di s
Bel pulang akhirnya berbunyi, menggema di seluruh penjuru sekolah. Suara itu bagai tanda lega bagi El. Ia menatap langit, menghela napas panjang. Hari pertama… akhirnya selesai juga, batinnya. Meski lelah, ada rasa puas dalam dirinya, ia berhasil melewati hari penuh kejutan, dari hampir terlambat, sampai momen yang tak terduga di aula tadi.Namun, di balik rasa lega itu, pikirannya masih saja tertuju pada satu hal, atau lebih tepatnya satu orang. Gadis yang tadi berdiri di sampingnya di lapangan. Tatapan mata yang sekilas bertemu membuat dadanya berdegup dengan irama aneh yang bahkan belum ia mengerti.Osis pun mempersilahkan para siswa baru untuk pulang dan bersiap untuk MPLS hari kedua besok, El kemudian merapikan buku dan tasnya. Dalam hatinya, SMA Nusantara terasa tenang di bawah cahaya sore. Ia berjalan perlahan menuju gerbang, melewari barisan pot bunga yang masih disiram penjaga sekolah. Aroma tanah basah berpadu dengan angin senja yang lembut membuat langkahnya terasa ringan.
Suasana aula mulai sepi. Satu per satu siswa baru beranjak keluar, mengikuti arahan panitia OSIS yang sudah menunggu di luar. Namun El tetap duduk di kursinya, sesuai instruksi yang baru saja disampaikan lewat pengeras suara. Beberapa siswa yang lewat menatapnya penasaran, ada juga yang sempat berbisik, “Eh, itu yang tadi maju, kan?”El hanya tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa meski jantungnya masih berdebar sejak tadi. Tak lama kemudian, Bu Ratna muncul dari arah panggung, langkahnya tenang, membawa map berwarna cokelat.“Ah, ini dia si jujur kita,” ucapnya sambil tersenyum hangat.El berdiri cepat. “Iya, Bu… ada yang mau Ibu sampaikan?”Bu Ratna terkekeh pelan. “Hehe, santai aja, El. Ibu cuma mau bilang, kamu keren. Biasanya kalau Ibu tanya begitu, nggak ada yang mau ngaku. Eh, kamu malah langsung angkat tangan. Hebat, lho. Padahal sebenernya Ibu nggak mengarah ke kamu tadi.”El menatap heran. “Lho? Serius, Bu?”“Iya,” jawab Bu Ratna sambil tertawa kecil. “Tapi kamu ngaku dulua
Aula SMA Nusantara terasa sesak oleh ratusan siswa baru yang berjejer rapi di kursi-kursi plastik biru. Pendingin ruangan belum sepenuhnya terasa, sehingga aroma seragam baru, parfum ringan, dan keringat bercampur menjadi satu. Di panggung depan, spanduk besar bertuliskan “Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah SMA Nusantara Tangerang” membentang lebar, dihiasi logo sekolah di tengahnya.El duduk di deretan tengah, bersama beberapa teman seruangannya. Pandangannya sesekali berkeliling, mencari sosok yang tadi sempat duduk di sebelahnya di lapangan. Tiara.Namun lautan kepala siswa di aula itu membuatnya sulit melihat ke mana pun tanpa kehilangan arah. Ia menarik napas, berusaha fokus pada suasana yang mulai tenang.“Perhatian kepada seluruh siswa baru,” terdengar suara dari pengeras, “acara selanjutnya adalah Pengenalan Tata Tertib Sekolah yang akan disampaikan langsung oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Ibu Ratna Pramudita.”Seisi aula bertepuk tangan sopan ketika seorang wanita







