Orang-orang semakin menatapnya khawatir. Nora menghentikan tawanya dan menatap mereka satu persatu. "Aku tak seperti yang kalian pikirkan, tenang saja, jauh sebelum kalian melihat apa yang mereka berdua lakukan, aku sudah melihatnya dengan kedua mataku sendiri," Nora menyeringai. Fatiya dan Zafran mengernyitkan keningnya. "Melihatnya? Kapan? Dimana?" tanya Fatiya. Nora menatap sang Bunda dengan lembut. "Di suatu tempat yang hina," jawabnya. Memang semenjak dirinya di masa lalu memergoki mereka berdua tengah memadu kasih, ia langsung menyebut rumah yang ia tinggali itu adalah sebuah tempat hina. Dimana hal-hal kotor terjadi di sana. Fatiya tak bertanya lebih lanjut. Sisi lain hatinya sudah lega di saat melihat putri pertamanya yang terlihat baik-baik saja akan pengkhianatan yang di lakukan adik kandungnya. "Bunda tenang saja, aku sudah punya Ken, hehe," Nora tersenyum memperlihatkan giginya. Ia tersenyum gemas pada Kenzo dan mengacak-acak rambut tebal milik suaminya itu. Di saat
Kenzo menatap Nora dengan wajah menelisik. "Aku bersungguh-sungguh Ken,"Pemimpin mafia terkejam yang paling ditakuti itu terdiam sesaat menimbang-nimbang keputusannya. "Tetapi ini terlalu bahaya," Nora tak putus semangat. "Apapun bahayanya. Aku yakin aku bisa melewatinya," "Baiklah," final Kenzo. Mata Nora berbinar. "Benarkah?" Kenzo mengangguk. "Terima kasih suamiku," ucap Nora dengan senyuman yang kelewat manis. Ia berjinjit dan meraih wajah Kenzo. Cup! Bibir Nora mengecup pipi sebelah kanan Kenzo. Setelahnya, ia menggandeng tangan Kenzo menuju keluar. "Ayo, dimana kamar kita?" tanya Nora sambil berjalan. "Mau melanjutkan hal tadi?" Nora melihat Kenzo menyeringai sambil menatapnya. Nora menegang. ...."Aku lelah sekali kak, tolong berhenti," ucap Reyna yang sudah tergeletak tak berdaya di atas ranjang dengan Gian yang masih senantiasa bergerak di atasnya. "Sebentar lagi," jawab pria itu. Reyna sudah merasa benar-benar kelelahan. Tanpa menunggu Gian selesai, ia pun te
"Bodoh! Banyak bicara! Aib keluarga! Memalukan!" Bagaikan di sambar petir di siang hari, Reyna amat terkejut mendapatkan sebuah tamparan keras yang mendarat di kedua pipinya. Telapak tangannya dengan refleks memegangi kedua pipinya yang langsung memerah dan terasa panas lagi perih yang amat terasa.Kedua Neneknya, baik Nenek dari pihak Ayah maupun pihak Bunda, mereka berdua lah yang telah menamparnya barusan. Kedua wanita yang sudah menginjak usia senja itu bersedekap dada dengan mata melotot tajam pada Reyna dan Gian. Gian, pria itu juga sama terkejutnya dengan apa yang baru saja dirinya dapatkan. Sebuah tamparan keras yang baru kali ini ia terima. Pria itu mengusap-usap kedua pipinya yang terasa perih. Dirinya telah sering mendapatkan luka pukulan, tetapi kali ini rasanya sangat berbeda karena di tampar oleh dua orang Nenek-nenek. "Dua manusia hina yang Kita tunggu-tunggu telah tiba!" Seru salah satu dari mereka yang bernama Twilla dengan mengangkat kedua tangannya. ia merupak
"Dan, bukankah kau kekasih Nora?" Deg. Jantung Reyna dan Gian berdetak kencang dan mendongak menatap Liavin dengan cepat. Pria itu itu tersenyum miring. "Untung saja Nora segera menikah dengan pria lain yang lebih segalanya di banding dirimu," Lagi-lagi Gian hanya bisa mengepalkan tangannya menahan emosi. Ego nya tergores ketika dia di banding-bandingkan dengan seseorang yang amat ia benci dan memang belum bisa ia tandingi. Pikiran Gian langsung teringat aksinya menyekap Nora beberapa hari lalu yang berujung ia kehilangan banyak sekali anak buahnya. Dan yang tersisa, ia bawa untuk membuat markas baru karena markas di dalam hutan itu telah hangus menjadi debu karena di bakar beserta semua isinya oleh anak buah Kenzo. Tetapi itu tak menjadikannya hilang rasa ingin memiliki Nora. Meskipun ia sudah mengalami hal yang tak dia inginkan, ia masih saja terobsesi dengan Nora. Padahal saat ini Reyna tengah mengandung anaknya, darah dagingnya sendiri. "Benarkan?" ulang Liavin dengan sinis
Byur! Nora menyemburkan air dalam mulut nya ketika mendengar ucapan dari sang Nenek. "Uhuk! Uhuk!" Nora terbatuk-batuk dengan keras ketika air yang masuk ke dalam tenggorokannya seperti akan keluar kembali. "Pelan-pelan," ujar Kenzo. Tangan pria itu meraih sebuah tissue dan memberikannya pada Nora. Nora langsung menerimanya dan dengan cepat mengelap air yang telah membasahi area dagunya. "Kenapa terkejut begitu? Memang seharusnya kami para Nenek dan Kakek mu menerima Cicit. Semakin hari umur kami semakin bertambah. Apa kau tak ingin kami melihat Cicit kami?" tanya Twilla. Wanita tua itu saling melirik dengan suami dan kedua besannya. "Sepertinya itu benar sayang, kami juga menanti Cucu dari mu, kami tak ingin memiliki Cucu dari hasil hubungan gelap," sambung Fatiya di angguki Zafran. Nora menatap semua orang yang tersenyum kepadanya. Memberikan Cucu? Cicit? Apakah ia bisa? Apakah ia siap? Sepertinya belum, pikir Nora. Ia memaksakan senyumnya. "Semua itu akan terjadi, kalian ha
"Mau main-main hm?" Kenzo kembali ke atas ranjang dan melakukan sesuatu pada istrinya yang jahil ini. Setelah selesai, ia meletakkan lipstik itu kembali di atas ranjang dan berjalan keluar dari dalam kamar. Setengah jam kemudian, Nora bangun dari tidurnya yang lumayan lama. Ia mengucek-ucek matanya seraya melirik sekitar. "Dimana Ken?" gumamnya saat tak mendapati keberadaan Kenzo di sampingnya. Ia pun beringsut duduk. Pandangannya tertuju pada lipstik miliknya yang semalam ia gunakan untuk melakukan sesuatu pada Kenzo. Senyumnya langsung terbit saat teringat wajah dingin Kenzo yang telah ia poles. Dengan tak sabar, ia turun dari ranjang, lalu keluar dari dalam kamar guna mencari keberadaan suaminya ini. "Itu dia," ucapnya saat melihat punggung suaminya. Ia telah duduk di meja makan yang dapat di lihat dari tangga tempat Nora berdiri saat ini. "Semuanya telah berkumpul, pasti seru," ia tersenyum geli dan melanjutkan langkahnya menuju meja makan. Tetapi sesaat ia merasa heran sa
"Ini dia," Wanita hamil itu menatap sebuah botol kecil berisi sebuah bubuk berwarna putih dengan senyuman lebar. "Aku akan membuatkan makanan kesukaan Kakakku tercinta, tak lupa, ini sebagai bumbu tambahan nya," Reyna tertawa senang. Dengan cepat ia memasukkan botol kecil tersebut ke dalam saku bajunya. Tanganya bergerak menutup pintu lemari dan segera keluar dari ruang kerja milik Gian. Sebelum keluar, ia melongokkan kepalanya dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan keadaan aman, ia langsung keluar dan menutup kembali pintunya. Lalu berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Dengan senandung senangnya, ia pergi ke dapur. di dalam rumah yang sangat luas ini, hanya Gian seorang yang menempatkan. Ia akan memanggil seseorang untuk membersihkan rumah di hari tertentu. "Senangnya hidup berdua hanya dengan suami, terima kasih telah hadir sayang ku," ucap Reyna sambil mengelus perutnya. Wanita itu membuka kulkas dan memperhatikan isi di dalamnya. Semuanya bahan makanan hampir a
"Menjijikkan!" Nora menoleh cepat pada sang suami yang berkata demikian. Ia mendapati Kenzo tengah menatap pada sesuatu dan Nora langsung mengikuti arah pandangnya. Sontak Nora pun mengernyitkan dahinya saat melihat seseorang yang yang tengah memakan sesuatu. Orang itu bukan memakan makanan dari warung ini, melainkan di atas mejanya terdapat seekor daging kucing yang di letakkan di atas sebuah nampan. Daging itu sepertinya telah di masak dengan menggunakan banyak bumbu. Orang itu duduk di teras depan. Di sana memang di sediakan kursi jika ada pelanggan yang ingin makan di luar warung. "Astaga," gumam Nora tak percaya. Pasalnya ia melihat orang itu makan dengan rakus daging tersebut. Nora sangat menyayangkan hewan terlucu itu yang menjadi santapan orang rakus sepertinya. Pandangannya beralih pada Kenzo yang masih menatap orang itu dengan tajam. "Apa sebaiknya kita pergi saja Ken?" tanyanya. Kenzo menatap padanya. "Tak apa," jawabnya. Ia mengambil tangan Nora dan menari