"Kek!" sapa Rawindra yang membawa Sagara dan Adista ke padang rumput tempat kakeknya biasa menggembalakan dombanya tapi kakeknya tidak ada di tempat.
Sayangnya, pria tua itu tak terlihat di mana pun.
Hanya ada domba-domba di sana tampak ditinggal sendiri tanpa pengawasan.
Ini bukan kebiasaan kakeknya!
"Kok kita ke padang rumput penuh domba ini, Windra?" tanya Sagara tiba-tiba.
"Aku mau mengabari kakek dahulu, Sagara! Tapi, kakek kemana, ya? Tidak biasanya kakek menghilang seperti ini?" tanya Rawindra yang agak bingung melihat sekelilingnya.
Namun, setelah sekian lama menunggu, kakeknya masih belum kembali.
"Kita ke rumahmu saja, Windra! Mungkin kakekmu ada di sana!" saran Sagara akhirnya.
Rawindra mengangguk lemas. "Seharusnya kakek masih berada di sini untuk menggembalakan domba! Aku khawatir ada sesuatu yang terjadi pada kakek!" sahutnya.
Kening Sagara dan Adista mengerut.
"Kalau begitu, kita harus bergegas ke rumahmu, Windra! Semoga kakekmu baik-baik saja di sana!" ajak gadis pelayan itu menarik tangan Rawindra.
Tak lama, ketiganya sampai di rumah Rawindra.
Namun, tempat itu lagi-lagi tampak sepi.
"Aneh sekali ... kemana kakek pergi? Tidak biasanya kakek menghilang seperti ini! Pasti sesuatu telah terjadi saat aku pergi tadi!"
"Mungkin kakekmu sedang mencarimu, Windra! Bisa saja kan kakekmu mencemaskanmu dan pergi melihat keadaanmu di alun-alun desa!" kata Adista mencoba menenangkan perasaan Rawindra.
"Apa kita kembali ke alun-alun desa saja ya mencari kakek!" ujar Rawindra yang tampak sangat mencemaskan kakeknya.
"Aku yakin kalau kakekmu sebentar lagi akan kembali, Windra! Percuma saja kita mencari kakekmu sekarang kalau kakekmu ini sedang dalam perjalanan pulang ke rumah!" sahut Sagara.
"Aku harus menggembalakan domba selama kakek tidak ada!"
Tiba-tiba Rawindra baru teringat kalau dia tidak berusaha menggantikan kerja kakeknya dengan menggembalakan domba-domba agar ke tengah padang rumput seperti biasanya.
Rawindra berlari cepat untuk kembali ke padang rumput tempat kakeknya biasa menggembalakan domba.
"Kakek!" sapa Rawindra begitu melihat sosok kakeknya sedang menggembalakan domba.
"Kau sudah kembali, Rawindra! Bagaimana pendaftarannya, apa berhasil?" tanya Ki Bratajaya.
"Kakek kemana saja? Tadi Windra ke sini, kakek tidak ada!" sahut Rawindra dengan perasaan senang bercampur kesal terhadap kakeknya.
"Apa maksudmu, Rawindra? Sedari tadi kakek di sini menggembalakan domba!" sahut Ki Bratajaya.
"Benar, Kek! Windra tidak bohong! Tadi kakek tidak ada di sini!" seru Rawindra mempertahankan pendapatnya.
"Windra tidak bohong Ki! Tadi kami bersama Windra tidak melihat sosok kakek di padang rumput ini, bahkan kami juga mencari di sekitar padang rumput dan tidak menemukan kakek sama sekali!" jelas Sagara.
"Aku tidak bilang kalau Rawindra berbohong ... aku juga tidak bohong kalau sedari pagi aku berada di padang rumput ini tanpa kemana-mana!"
"Aneh sekali! Kenapa kakek tidak kelihatan oleh kami kalau kakek tetap berada di padang rumput ini? Apa yang sedang terjadi? Apa kami melintas dimensi yang berbeda?" ujar Sagara lagi.
"Apa maksudmu, Sagara? Siapa yang memiliki kemampuan seperti itu?" tanya Rawindra.
"Aku pernah mendengar dari ayahku kalau di Desa Matahari ini pernah hidup Pendekar Pedang Hantu yang merupakan pendekar pedang nomor satu di dunia persilatan. Pendekar ini memiliki kemampuan khusus menembus dimensi yang berbeda dengan dimensi yang sebenarnya, bahkan bisa membawa lawan ke dalam dimensi yang dirancangnya. Sayangnya pendekar ini menghilang begitu saja tanpa jejak!" jelas Sagara.
"Apa kakek pernah mendengar tentang pendekar ini?" tanya Rawindra.
"Iya! Mungkin, kakek pernah mendengar kisah pendekar ini?" timpal Sagara.
Ki Bratajaya tampak terkejut mendengar pertanyaan anak-anak itu. Namun, ia segera menormalkan wajahnya. "Kakek bukan siapa-siapa, cucuku! Kehidupan kakek hanyalah menggembalakan domba. Jadi, maaf kalau kakek tidak pernah tahu tentang Pendekar Pedang Hantu ini!"
"Kenapa pendekar ini disebut Pendekar Pedang Hantu?" tanya Rawindra yang sangat tertarik mendengar kisah Sagara tentang pendekar ini.
"Gerakan pedangnya sangat cepat dan tidak terlihat bagaikan hantu, jadi pendekar ini terkenal dengan julukan Pendekar Pedang Hantu!" jelas Sagara.
"Aneh sekali ya kalau memang kakek seharian berada di sini! Mungkin kita memang menembus dimensi tapi mungkin juga tidak. Paling penting bagiku, kakek sudah kembali!" sahut Rawindra.
Langit mulai gelap. Adista tampak melihat ke atas.
“Sepertinya kita harus pulang,” ucapnya mendadak.
Mendengar itu, Sagara mengangguk. “Karena kakek sudah ditemukan, kami pamit undur diri dahulu, kakek, Windra. Besok, kita akan belajar sedikit teknik bela diri, ya!"
Kedua anak itu pun pergi–meninggalkan Rawindra dan Ki Bratajaya dengan ekspresi berbeda.
"Kamu akan belajar teknik bela diri?" tanya kakek tua itu pada sang cucu.
"Benar, kek! Sagara mau mengajari beberapa teknik bela diri agar aku tidak dihina-hina lagi oleh orang lain!" jawab Rawindra.
"Siapa yang telah menghinamu? Kasih tahu kakek!" Ki Bratajaya tampak menahan kemarahan begitu mendengar kalau ada orang yang telah menghina cucunya ini.
"Tidak ada, Kek! Windra hanya menjaga diri Windra agar tidak dipandang rendah oleh orang lain karena tangan Windra yang cacat, Kek!" ujar Rawindra.
"Oh begitu! kakek kira ada yang telah berani menghinamu! Dia harus berhadapan dengan kakek! Tidak ada siapapun yang boleh menghinamu, Rawindra!"
"Aku tahu, Kek! Ada seleksi ilmu bela diri juga saat nanti di Pulau Pedang, Kek! Ilmu bela diri Sagar lumayan tinggi, jadi belajar sedikit teknik bela diri padanya bisa membantu Windra untuk lolos ke tahap selanjutnya, Kek!"
"Kakek tidak melarangmu, Rawindra! Hanya saja pesan kakek kalau teknik bela diri digunakan hanya untuk membela diri saja, bukan untuk menyakiti orang lain!"
"Baik, Kek! Windra tahu batasnya Kek!" jawab Rawindra.
"Lebih baik kita hidup sebagai penduduk biasa saja daripada hidup sebagai pendekar yang akan mendatangkan banyak musuh!" pesan Ki Bratajaya.
"Hidup sebagai penduduk biasa selalu dinjak-injak orang lain, Kek! Terutama pendekar berilmu tinggi yang tidak memandang sama sekali rakyat jelata seperti kita, Kek!" seru Rawindra.
"Kakek mau tanya sekali lagi ... apa benar tadi kamu tidak melihat kakek di padang rumput ini? Hanya melihat domba-domba saja? Kalau kakek boleh tahu, berapa domba yang ada di padang rumput saat itu?" tanya Ki Bratajaya dengan mimik wajah serius.
“Kenapa kakek kembali lagi membahas masalah kakek yang hilang tadi? Ada apa sebenarnya?” pikir Rawindra dengan wajah bingung.
Amara yang marah besar langsung berubah menjadi rasa kasihan saat melihat keadaan Shen Long. Tubuhnya kurus kering dan menderita semacam penyakit misterius yang sulit untuk disembuhkan."Kaisar Agung benar-benar menghukum berat Kaisar Naga yang gagal memenuhi perintahnya. Ada sebabnya Shen Long memberikan Kitab Jari sakti dan Pedang Naga Api ... itu semua atas perintah ayahmu, Amara."Aisya baru menjelaskan kondisi yang sebenarnya saat mereka menemui Shen Long yang lumpuh dan tidak mampu untuk bergerak sama sekali."Sadis sekali Kaisar Agung itu ... kenapa dia memburuku, Aisya?" tanya Rawindra."Aku tidak tahu, Windra ... semua itu ada hubungannya dengan masa lalumu yang terlupakan! Aku hanya diperintahkan ke Kota Pendekar ini untuk menahanmu tinggal di sini sampai ayah datang menemuimu, tapi aku tahu kalau Kaisar Agung berniat jahat padamu sehingga aku harus melanggar perintah ayah!" sahut Aisya."Lebih baik kita segera pergi dari Alam Lelembut ini, Windra ... Kaisar Agung masih membu
"Begini Aisya ... aku dan Windra sudah memutuskan akan mengajakmu untuk pergi bersama ke Alam Manusia. Apa kamu berminat untuk pergi bersama kami?" tanya Amara.Aisya menaikkan sedikit bibirnya dengan dahinya yang berkerut seolah sedang berusaha mencerna ucapan Amara. "Aku tidak mengerti maksudmu, Amara! Untuk apa aku ikut dengan kalian? Bukankah kalian ini pasangan suami-istri?" ujarnya."Benar, Aisya ... kamu masih belum mengerti juga? Apa kamu benar-benar mencintai Windra?" tanya Iblis Amara sekali lagi dengan tegas."HAH!"Aisya benar-benar tidak mengerti maksud pembicaraan dari Iblis Amara. Hal ini membuat kesal Amara."Ya sudah kalau tidak mau ikut! Aku hanya tidak ingin Windra menyesal telah meninggalkanmu di Kota Pendekar ini. Kemungkinan kecil untuk Windra kembali lagi ke Alam Iblis ini walaupun dia menginginkannya," ujar Iblis Amara."Apa sebenarnya maksudmu, Amara? Jangan bertele-tele dan membingungkan ... langsung saja ke pokok permasalahan!" tegur Aisya."Hufh! Baiklah, a
Gadis yang barusan datang ini sangat cantik dan anggun sekali. Walaupun wajahnya cantik jelita, tapi ketegasannya membuat anak buahnya takut terhadapnya."Nona ... gembel-gembel ini telah berani mengacau di tempat Nona! Seharusnya kita tidak memberi ampun terhadap mereka!" seru salah satu penjaga gerbang Balai Lelang ini.PLAAAK!Sebuah tamparan keras diterima oleh penjaga pintu gerbang ini. "Siapa lagi yang berani mengatakan tamu kita ini, gembel?" hardik gadis cantik ini.Peri Houri dan Roh Athalia dibuat bingung oleh sikap gadis muda yang cantik ini, tapi tidak demikian dengan Iblis Amara."Aisya ... kamu tambah cantik saja! Windra pasti semakin terpikat olehmu!" seru Iblis Amara.Sikap bersahabat Iblis Amara membuat peri Houri dan Roh Athalia keheranan. Hal yang sama juga dialami oleh penjaga gerbang Balai Lelang."Kalian semua memang pantas dipecat! Sudah bertemu Tuan Besar kalian, masih saja tidak memberi salam hormat dan minta maaf!" teriak Aisya kepada belasan penjaga gerbang
Kota Pendekar begitu megahnya saat Rawindra bersama istri dan sahabat naga-nya tiba di kota yang telah mengalami perubahan besar ini.Tidak ada bekas ledakan dan kejadian besar yang menewaskan setengah penduduk Kota Pendekar ini. Kota ini seakan tidak pernah terusik oleh kejadian besar apapun.Tidak ada lagi pembagian distrik seperti sebelumnya, bahkan tidak ada lagi penjaga di perbatasan kota ini. Semua penghuni Alam Lelembut bebas untuk keluar-masuk Kota Pendekar tanpa perlu melalui gerbang pemeriksaan seperti sebelumnya."Wah! Siapa yang membangun kembali Kota Pendekar ini? Sangat indah sekali!" kata Rawindra yang takjub dengan bangunan-bangunan baru yang sanggup dibangun dalam waktu yang cukup singkat."Apa Kak Shen Long masih memerintah di Kota Pendekar ya?" tanya Iblis Amara. Dewi Iblis ini menyinggung tentang kaisar Naga yang sebenarnya menjadi sumber masalah kehancuran Kota Pendekar dengan menyerahkan Kitab Jari Sakti dan Pedang Naga Api kepada dirinya dan Amara."Kaisar Naga,
Kemampuan Rawindra yang sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu pendekar, kultivasi, dan magis membuatnya tanpa kesulitan membuka kunci ingatan yang telah disegel oleh kekuatan magis Iblis Mikaela.Wajah Rawindra yang awalnya tampak tenang mulai terlihat pucat pasi dengan wajah yang penuh kepanikan saat berusaha mengingat kejadian masa lalunya bersama Iblis Mikaela.Berbagai kilasan kejadian masa lalu yang terus lalu lalang dalam ingatannya ini membuat Rawindra terkejut sekaligus bingung dengan kejadian yang awalnya sama sekali tidak diingatnya sama sekali ini."Kenapa, Kaela? Kenapa kau lakukan ini?" ujar Rawindra dengan wajah penuh penyesalan."Apa Ryder sudah ingat semua kejadian bersama Ryder Mikaela?" tanya Naga Hitam."Apa yang telah terjadi, Windra?" tanya Iblis Amara yang baru pertama kali melihat kepanikan dalam diri Rawindra. Dia tidak mengerti apa yang telah terjadi, tapi perasaannya sebagai wanita mengatakan kalau telah terjadi sesuatu antara Rawindra dengan Mikaela ya
Belum sempat Dewa Iblis membalas ucapan Iblis Rawindra, tiba-tiba terasa sesuatu yang dingin menerpa lehernya.CLASH!Satu tebasan dari Pedang Iblis Api mengakhiri hidup Dewa Iblis untuk selama-lamanya. Iblis Rawindra benar-benar membuat Dewa Bodhisatva tidak akan mampu lagi untuk inkarnasi ataupun reinkarnasi dengan kemampuan Immortal-nya.Walaupun Pedang ini berkobar api tapi bisa terasa dingin di leher Dewa Iblis,yang menunjukkan kehebatan Iblis Rawindra untuk mengendalikan elemental api sesuai keinginannya.Roh Kultivasi di dalam diri Dewa Bodhisatva ini turut dihancurkan oleh kekuatan Iblis Rawindra, sehingga tidak akan lahir lagi Dewa Bodhisatva baru hasil inkarnasi dan reinkarnasinya.Roh Dewa Bodhisatva juga turut hancur karena setelah menebaskan Pedang Iblis Api pada bagian leher Dewa Bodhisatva, Iblis Rawindra juga menusukkan Pedang Iblis Petir ke dalam tubuh Dewa Iblis untuk menghancurkan semua spirit dan kemampuan spiritual yang terdapat di dalam tubuhnya.Mata Dewa Iblis