Share

04. Misteri Kakek Rawindra

"Kek!" sapa Rawindra yang membawa Sagara dan Adista ke padang rumput tempat kakeknya biasa menggembalakan dombanya tapi kakeknya tidak ada di tempat.

Sayangnya, pria tua itu tak terlihat di mana pun.

Hanya ada domba-domba di sana tampak ditinggal sendiri tanpa pengawasan.

Ini bukan kebiasaan kakeknya!

"Kok kita ke padang rumput penuh domba ini, Windra?" tanya Sagara tiba-tiba.

"Aku mau mengabari kakek dahulu, Sagara! Tapi, kakek kemana, ya? Tidak biasanya kakek menghilang seperti ini?" tanya Rawindra yang agak bingung melihat sekelilingnya. 

Namun, setelah sekian lama menunggu, kakeknya masih belum kembali.

"Kita ke rumahmu saja, Windra! Mungkin kakekmu ada di sana!" saran Sagara akhirnya.

Rawindra mengangguk lemas. "Seharusnya kakek masih berada di sini untuk menggembalakan domba! Aku khawatir ada sesuatu yang terjadi pada kakek!" sahutnya.

Kening Sagara dan Adista mengerut.

"Kalau begitu, kita harus bergegas ke rumahmu, Windra! Semoga kakekmu baik-baik saja di sana!" ajak gadis pelayan itu menarik tangan Rawindra.

Tak lama, ketiganya sampai di rumah Rawindra.

Namun, tempat itu lagi-lagi tampak sepi.

"Aneh sekali ... kemana kakek pergi? Tidak biasanya kakek menghilang seperti ini! Pasti sesuatu telah terjadi saat aku pergi tadi!"

"Mungkin kakekmu sedang mencarimu, Windra! Bisa saja kan kakekmu mencemaskanmu dan pergi melihat keadaanmu di alun-alun desa!" kata Adista mencoba menenangkan perasaan Rawindra.

"Apa kita kembali ke alun-alun desa saja ya mencari kakek!" ujar Rawindra yang tampak sangat mencemaskan kakeknya.

"Aku yakin kalau kakekmu sebentar lagi akan kembali, Windra! Percuma saja kita mencari kakekmu sekarang kalau kakekmu ini sedang dalam perjalanan pulang ke rumah!" sahut Sagara.

"Aku harus menggembalakan domba selama kakek tidak ada!"

Tiba-tiba Rawindra baru teringat kalau dia tidak berusaha menggantikan kerja kakeknya dengan menggembalakan domba-domba agar ke tengah padang rumput seperti biasanya.

Rawindra berlari cepat untuk kembali ke padang rumput tempat kakeknya biasa menggembalakan domba.

"Kakek!" sapa Rawindra begitu melihat sosok kakeknya sedang menggembalakan domba.

"Kau sudah kembali, Rawindra! Bagaimana pendaftarannya, apa berhasil?" tanya Ki Bratajaya.

"Kakek kemana saja? Tadi Windra ke sini, kakek tidak ada!" sahut Rawindra dengan perasaan senang bercampur kesal terhadap kakeknya.

"Apa maksudmu, Rawindra? Sedari tadi kakek di sini menggembalakan domba!" sahut Ki Bratajaya.

"Benar, Kek! Windra tidak bohong! Tadi kakek tidak ada di sini!" seru Rawindra mempertahankan pendapatnya.

"Windra tidak bohong Ki! Tadi kami bersama Windra tidak melihat sosok kakek di padang rumput ini, bahkan kami juga mencari di sekitar padang rumput dan tidak menemukan kakek sama sekali!" jelas Sagara.

"Aku tidak bilang kalau Rawindra berbohong ... aku juga tidak bohong kalau sedari pagi aku berada di padang rumput ini tanpa kemana-mana!"

"Aneh sekali! Kenapa kakek tidak kelihatan oleh kami kalau kakek tetap berada di padang rumput ini? Apa yang sedang terjadi? Apa kami melintas dimensi yang berbeda?" ujar Sagara lagi.

"Apa maksudmu, Sagara? Siapa yang memiliki kemampuan seperti itu?" tanya Rawindra.

"Aku pernah mendengar dari ayahku kalau di Desa Matahari ini pernah hidup Pendekar Pedang Hantu yang merupakan pendekar pedang nomor satu di dunia persilatan. Pendekar ini memiliki kemampuan khusus menembus dimensi yang berbeda dengan dimensi yang sebenarnya, bahkan bisa membawa lawan ke dalam dimensi yang dirancangnya. Sayangnya pendekar ini menghilang begitu saja tanpa jejak!" jelas Sagara.

"Apa kakek pernah mendengar tentang pendekar ini?" tanya Rawindra.

"Iya! Mungkin, kakek pernah mendengar kisah pendekar ini?" timpal Sagara.

Ki Bratajaya tampak terkejut mendengar pertanyaan anak-anak itu. Namun, ia segera menormalkan wajahnya. "Kakek bukan siapa-siapa, cucuku! Kehidupan kakek hanyalah menggembalakan domba. Jadi, maaf kalau kakek tidak pernah tahu tentang Pendekar Pedang Hantu ini!"

"Kenapa pendekar ini disebut Pendekar Pedang Hantu?" tanya Rawindra yang sangat tertarik mendengar kisah Sagara tentang pendekar ini.

"Gerakan pedangnya sangat cepat dan tidak terlihat bagaikan hantu, jadi pendekar ini terkenal dengan julukan Pendekar Pedang Hantu!" jelas Sagara.

"Aneh sekali ya kalau memang kakek seharian berada di sini! Mungkin kita memang menembus dimensi tapi mungkin juga tidak. Paling penting bagiku, kakek sudah kembali!" sahut Rawindra.

Langit mulai gelap. Adista tampak melihat ke atas.

 “Sepertinya kita harus pulang,” ucapnya mendadak.

Mendengar itu, Sagara mengangguk. “Karena kakek sudah ditemukan, kami pamit undur diri dahulu, kakek, Windra. Besok, kita akan belajar sedikit teknik bela diri, ya!"

Kedua anak itu pun pergi–meninggalkan Rawindra dan Ki Bratajaya dengan ekspresi berbeda.

"Kamu akan belajar teknik bela diri?" tanya kakek tua itu pada sang cucu.

"Benar, kek! Sagara mau mengajari beberapa teknik bela diri agar aku tidak dihina-hina lagi oleh orang lain!" jawab Rawindra.

"Siapa yang telah menghinamu? Kasih tahu kakek!" Ki Bratajaya tampak menahan kemarahan begitu mendengar kalau ada orang yang telah menghina cucunya ini.

"Tidak ada, Kek! Windra hanya menjaga diri Windra agar tidak dipandang rendah oleh orang lain karena tangan Windra yang cacat, Kek!" ujar Rawindra.

"Oh begitu! kakek kira ada yang telah berani menghinamu! Dia harus berhadapan dengan kakek! Tidak ada siapapun yang boleh menghinamu, Rawindra!"

"Aku tahu, Kek! Ada seleksi ilmu bela diri juga saat nanti di Pulau Pedang, Kek! Ilmu bela diri Sagar lumayan tinggi, jadi belajar sedikit teknik bela diri padanya bisa membantu Windra untuk lolos ke tahap selanjutnya, Kek!"

"Kakek tidak melarangmu, Rawindra! Hanya saja pesan kakek kalau teknik bela diri digunakan hanya untuk membela diri saja, bukan untuk menyakiti orang lain!"

"Baik, Kek! Windra tahu batasnya Kek!" jawab Rawindra.

"Lebih baik kita hidup sebagai penduduk biasa saja daripada hidup sebagai pendekar yang akan mendatangkan banyak musuh!" pesan Ki Bratajaya.

"Hidup sebagai penduduk biasa selalu dinjak-injak orang lain, Kek! Terutama pendekar berilmu tinggi yang tidak memandang sama sekali rakyat jelata seperti kita, Kek!" seru Rawindra.

"Kakek mau tanya sekali lagi ... apa benar tadi kamu tidak melihat kakek di padang rumput ini? Hanya melihat domba-domba saja? Kalau kakek boleh tahu, berapa domba yang ada di padang rumput saat itu?" tanya Ki Bratajaya dengan mimik wajah serius.

“Kenapa kakek kembali lagi membahas masalah kakek yang hilang tadi? Ada apa sebenarnya?” pikir Rawindra dengan wajah bingung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status