Share

03. Sahabat Terhebat

Plaak!

Pukulan tangan Hirawan ditangkis seseorang.

"Jangan beraninya sama anak yang lemah! Lawan aku kalau berani!"

Di hadapan Hirawan, kini berdiri pemuda berumur 15 tahun tapi mengenakan pakaian pendekar yang menyerupai bangsawan.

"Tidak perlu Tuan Muda yang melawannya, biar aku saja!" seru seorang gadis cantik yang juga seumuran dengan Tuan Mudanya ini.

"Siapa kalian? Kenapa ikut campur dengan urusanku! Aku hanya menyingkirkan anak cacat yang tidak berguna ini! Tidak semestinya kalian mencampuri urusanku!" seru Hirawan dengan sombongnya.

"Bagaimana, Tuan Muda? Apa aku patahkan tangan kirinya saja biar sama dengan pemuda cacat yang kehilangan tangan kirinya ini?" tanya gadis pelayan Tuan Muda ini.

"Bangs*t kalian! Aku tidak peduli siapa kalian! Berani mencampuri urusan kami berarti cari mati! Kalian tidak tahu siapa orangtuaku!" seru Iravan dengan sombongnya.

"Buat apa kita tahu siapa orang tuanya? Hanya pengecut yang berani mengandalkan orangtua saat nyawanya terancam!" ujar gadis pelayan itu dengan berani.

Mendengarnya, dua anak nakal itu terkejut.

Sang Tuan Muda tampak tertawa. "Baiklah, Adista! Aku serahkan saja padamu! Aku mau melihat anak yang mereka siksa ini!" ujarnya.

"Terima kasih, Tuan Muda!" sahut Adista.

"Halah! Kalian sudah selesai bicara?" remeh Hirawan seketika.

"Sudah siap kehilangan tangan kiri?" tanya balik Adista sambil tersenyum sinis.

"Kurang ajar! Matilah kau!"

Hirawan langsung menyerang dengan pukulan telak ke wajah Adista. Akan tetapi, gadis ini hanya menggerakkan kepalanya sedikit saja, kemudian mencengkram tangan kiri Hirawan dan dipelintirnya.

Kraaak!

Bunyi tangan kirinya yang patah membuat Hirawan menjerit sejadi-jadinya. “ARRRGGGH ....”

"Kamu tinggal pilih, mau tangan kiri atau tangan kanan?" tanya Adista kepada Iravan yang mulai ketakutan dengan kehebatan gadis ini.

"Ampuni aku, Pendekar! Aku memang bodoh tidak melihat pendekar sakti di depan mataku!" ujar Iravan yang tubuhnya mulai gemetaran.

"Aku tanya padamu, pilih tangan kiri atau tangan kanan, bukan merengek seperti anak gadis!" teriak Adista pada Iravan yang gemetar ketakutan.

"Adista, biarkan saja dia! Cukup lumpuhkan titik tenaga dalamnya saja agar dia tidak bisa lagi menjadi pendekar yang menyakiti orang yang lemah!" seru Tuan Muda ini.

"Baiklah, Tuan Muda!" sahut Adista yang langsung menotok beberapa titik tenaga dalam di tubuh Iravan, yang memupuskan harapan pemuda ini ikut seleksi Perguruan Pedang Patah.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Tuan Muda yang menolong Rawindra ini.

"Terima kasih, Tuan Muda!" sahut Rawindra yang takjub melihat kehebatan penolongnya ini.

"Aku, Sagara! Siapa namamu?" tanya Tuan Muda ini.

"Rawindra, Tuan Muda!" sahut pemuda ini.

"Panggil namaku saja, Rawindra! Kamu sudah mendaftar seleksi?" tanya Sagara.

"Belum, Tuan Muda ... eh ... Sagara!" sahut Rawindra.

"Kalau begitu, mari kuantarkan kau mendaftar seleksi ini! Biar aku yang bayar sebagai hadiah buatmu untuk menjadi sahabatku! Maukah kamu menjadi sahabatku, Rawindra? Aku juga akan mendaftar seleksi ini!" ujar Sagara.

"Bukannya Sagara sudah hebat sebagai Pendekar? Kenapa ingin ikut seleksi lagi?" tanya Rawindra keheranan.

"Setiap penghuni Desa Matahari pasti ingin menjadi murid Perguruan Pedang Patah, termasuk Adista ini!" seru Sagara sambil memperkenalkan gadis pelayannya ini.

"Memangnya Kak Adista mau ikut seleksi Perguruan Pedang Patah juga?" tanya Rawindra.

"Apa seorang pelayan tidak pantas mendaftar sebagai peserta seleksi?" tanya Adista yang membuat Rawindra merasa serba salah karena telah menanyakan pertanyaan yang salah.

"Bukan itu maksudku ... aku minta maaf kalau telah salah bicara!" ujar Rawindra.

"Hahaha ... Adista sedang mempermainkan dirimu, Rawindra! Dia tidak pernah tersinggung oleh pertanyaan-pertanyaan seperti itu!" seru Sagara sambil tertawa.

'Jadi, kamu tidak marah padaku, Adista?" tanya Rawindra.

"Tentu saja tidak, Rawindra! Siapa yang bisa marah terhadapmu? Kondisimu saja sudah membuat kita kasihan terhadapmu, jadi mana mungkin kami bisa marah terhadapmu?" sahut Sagara.

Gadis ini hanya tersenyum padanya.

Senyum manis yang membangkitkan kembali semangatnya untuk menjadi Pendekar Pedang Terhebat setelah sempat terpuruk oleh hinaan dua pemuda tadi.

Perguruan Pedang Patah memang merupakan harapan penduduk Desa Matahari untuk meningkatkan taraf hidup mereka yang miskin.

Setiap tahun, Perguruan Pedang Patah mengadakan seleksi untuk pemuda berbakat dari Desa Matahari dan sekitarnya untuk dilatih di perguruan tersebut.

Lulusan perguruan akan disalurkan pekerjaan sebagai pengawal ataupun pendekar bayaran yang dikelola oleh perguruan ini, yang merupakan lapangan pekerjaan baru bagi pemuda yang baru mulai mencari pekerjaan.

Apabila hendak menetap di Perguruan Pedang Patah, juga diperbolehkan untuk mengajari murid-murid baru perguruan ini. Biaya pendaftaran yang tidak terlalu mahal membuat banyak anak-anak muda yang ingin diterima di Perguruan Pedang Patah ini.

Sayangnya semua anak-anak muda ini harus melalui seleksi yang ketat untuk dinyatakan lulus sebagai murid perguruan ini.

Rawindra beruntung bertemu Sagara yang merupakan anak bangsawan kaya di Desa Matahari ini, sehingga pendaftarannya diterima bersamaan dengan pendaftaran Sagara dan Adista.

"Lengkap sudah pendaftarannya! Tinggal berangkatnya saja ke Pulau Pedang!" seru Sagara penuh semangat.

Tidak banyak pertanyaan yang diajukan oleh panitia pendaftaran seleksi ini seperti terhadap pendaftar lainnya, karena keluarga Sagara cukup terkenal di Desa Matahari.

"Kenapa Sagara membantuku? Aku hanya anak cacat yang lemah!" ujar Rawindra dengan raut wajah penuh tanda tanya.

"Tekadmu sangat kuat, Rawindra! Hanya itu yang penting dalam seleksi! Aku sarankan kamu belajar beberapa teknik bela diri untuk menghadapi seleksi di Pulau Pedang!" saran Sagara.

"Ada pertarungan bela diri dalam seleksi?" tanya Rawindra yang mulai khawatir karena dia sama sekali tidak memiliki dasar ilmu bela diri.

Harapannya langsung pupus mendengar ada pertandingan bela diri dalam seleksi di Pulau Pedang selain seleksi lainnya.

"Kamu tidak tahu kalau ada pertarungan bela diri?" tanya Sagara yang lebih heran lagi. "Aku akan mengajarimu beberapa teknik bela diri apabila kamu menginginkannya! Atau Adista bisa mengajarimu ... bukankah demikian, Adista?" tanya Sagara.

"Kalau Rawindra menginginkannya, aku akan mengajarimu!" sahut Adista.

"Aku ingin sekali! Tapi aku tidak bisa membayar kalian ... keluargaku sangat miskin!" ujar Rawindra.

"Hahaha .... kami membantumu sebagai sahabat, jadi tidak perlu dipikirkan biayanya!" ujar Sagara.

"Sahabat? Aku punya sahabat?" tanya Rawindra terharu.

"Kami akan menjadi sahabatmu, bagaimana?" tanya Sagara.

"Aku senang sekali mendapatkan sahabat seperti kalian! Kapan kita bisa mulai latihannya?" tanya Rawindra. "Bisa tidak latihan bela dirinya di padang rumput sambil aku menggembalakan domba?"

"Kamu unik sekali Rawindra! Senang sekali bisa menjadi sahabatmu! Baiklah, besok pagi kita mulai latihannya!" ujar Sagara.

"Kalian adalah Sahabat Terhebat yang pernah aku miliki! Jangan pernah lelah terhadap diriku ya?"

"Kamu sempat tidak? Kami mau main ke tempatmu sekaligus mengetahui tempat tinggalmu, agar besok Adista bisa mengajarimu teknik bela diri!" ujar Sagara.

"Tentu saja! Hampir lupa ... kalian kan tidak tahu tempat tinggalku!" seru Rawindra, “baiklah, tempatku di….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status