Rawindra menatap kakeknya dengan pandangan yang aneh saat kakeknya menanyakan jumlah domba yang ada saat dia tidak menjumpai kakeknya di padang rumput ini.
"Untuk apa kakek menanyakan jumlah domba yang ada di padang rumput saat kakek tidak ada? Apa ada domba yang hilang, Kek?" tanya Rawindra.
"Jawab dahulu pertanyaan kakek tadi barulah kamu boleh mengajukan pertanyaan!" sahut Ki Bratajaya.
"Tunggu dulu, Kek! Windra baru sadar tadi ada yang aneh dengan jumlah domba di padang rumput ini! Tadi, banyak sekali domba yang ada memenuhi seluruh padang rumput, sedangkan sekarang hanya sedikit domba yang ada!" ujar Rawindra.
"Kamu tahu kalau domba yang sekarang adalah domba yang sebenarnya yang kita gembalakan ke tengah padang rumput!" kata Ki Bratajaya, yang mulai memahami arti kesalah pahaman antara dirinya dengan Rawindra mengenai keberadaannya di padang rumput ini.
"Tadi banyak Kek! Aku tidak bohong!" tegas Rawindra.
"Kakek tidak bilang kalau kamu bohong, Rawindra!" sahut Ki Bratajaya.
"Lantas, kenapa tadi dombanya banyak, sekarang tinggal sedikit?" tanya Rawindra yang semakin bingung.
"Kamu menembus dimensi masa depan, Nak!" sahut Ki Bratajaya. "Walaupun hanya sesaat, secara tidak sengaja kamu membuka dimensi masa depan dan membawa kedua temanmu juga ke dalamnya!"
"Masa depan? Mana ada yang seperti itu, Kek!"
"Kekuatan tersembunyi ini hanya dimiliki oleh ahli ilmu bela diri tertentu saja, Rawindra! Sepertinya, kamu termasuk salah satunya. Dulu, Legenda Persilatan mengatakan kalau pendekar terpilih yang bisa menembus masa depan adalah pemimpin dunia persilatan yang akan membawa negeri ini ke dalam kejayaan dan kedamaian!" jelas Ki Bratajaya.
Rawindra menggeleng, tak percaya. "Kakek terlalu berlebihan! Kita kan bukan siapa-siapa, Kek. Ilmu Bela Diri saja tidak bisa, mana mungkin menjadi pemimpin dunia persilatan?"
Pemuda 15 tahun itu tersenyum karena menganggap ucapan sang kakek begitu lucu, sampai ia mendengar ucapan Ki Bratajaya selanjutnya.
"Kekuatan ini juga dimiliki oleh ayahmu, Rawindra!"
"Ayahku? Bukannya ayahku hanya manusia biasa saja yang tidak punya kemampuan apa-apa, Kek?"
Kini, Ki Bratajaya yang dibuat terkejut dengan pertanyaan Rawindra.
Tanpa sengaja, dia telah membocorkan rahasia yang selama ini dia simpan demi kebaikan Rawindra.
Pria tua itu menghela nafas panjang.
Tak ada pilihan lain.
Sepertinya, hari ini, ia terpaksa memberitahu Rawindra tentang asal-usul pemuda ini
"Maafkan Kakek, Rawindra. Ayahmu bukanlah manusia biasa, tapi seorang pendekar sakti yang dahulu memimpin dunia persilatan untuk melawan serangan pasukan Iblis Azriel yang berusaha menguasai dunia manusia!" jelas Ki Bratajaya pada akhirnya.
Mata Rawindra membulat.
"Maksud kakek? Kakek berbohong padaku?”
Pemuda itu terlihat kecewa. Selama ini, kakeknya terus mengajarinya tentang kejujuran. Tapi, apa ini?
"Semua demi kebaikanmu, Rawindra! Iblis Azriel ini pasti akan membalaskan dendamnya kepadamu sebagai satu-satunya keturunan ayahmu yang masih hidup!" sahut Ki Bratajaya.
"Kakek melarangku belajar ilmu bela diri dan menjadi pendekar hanya karena tangan kiriku cacat!" ujar Rawindra melampiaskan kekesalannya.
"Saat ini, Iblis Azriel terkurung di dalam Alam Kegelapan yang berada di luar alam yang ada di semesta ini. Tapi, ayahmu tidak bisa terlalu lama mengurung iblis ini karena kekuatanya terbatas saat itu. Ayahmu yang menitipkan pesan kepada kakek untuk menjadikanmu sebagai manusia biasa saja agar tidak diincar oleh Iblis Azriel!" jelas Ki Bratajaya.
"Apa hubunganya ayahku dengan kakek? Apa kakek ini ayah dari ayahku atau hanya sekedar diminta merawatku?” tanya Rawindra.
"Aku dan ayahmu bersahabat, Rawindra! Hanya saja ayahmu memiliki ilmu keabadian sedangkan aku tidak memilikinya!" sahut Ki Bratajaya.
"Berarti ayahku masih hidup?" tanya Rawindra.
"Kakek tidak tahu! Sudah lama kakek tidak berjumpa dengan ayahmu!" sahut Ki Bratajaya.
Wajah Rawindra seketika lesu. "Apa kakek tahu sebabnya tangan kiriku ini menjadi cacat? Kalau aku boleh tahu, di mana ibuku?"
Ki Bratajaya menggeleng. "Ayahmu melarangmu untuk mencari ibumu, Rawindra! Sebenarnya kamu tidak terlahir cacat! Ada suatu kejadian yang membuatmu cacat di tangan kirimu ini!"
Entah mengapa, Rawindra mulai merasakan kemarahan yang besar di dalam dirinya.
"Kenapa aku dilarang untuk menemui dan mencari ibuku sendiri? Kakek bilang kedua orang tuaku telah meninggal dunia, tapi sekarang kenyataannya masih hidup! Kenapa mereka tidak mengunjungiku?" bentaknya penuh emosi.
"Tahan emosimu, Rawindra! Jangan sampai kamu dikuasai kegelapan yang sudah ada di dalam dirimu sejak lahir!"
"Selama ini aku mengira kalau ayahku hanyalah penggembala domba yang miskin, tapi ternyata ayahku seorang pendekar terkenal! Apa ibuku juga seorang pendekar terkenal?" tanya Rawindra.
"Sudah cukup aku memberitahukanmu tentang masa lalumu ini, Rawindra! Lebih baik kamu batalkan saja keikutsertaan untuk masuk Perguruan Pedang Patah" seru Ki Bratajaya, “sepertinya, keanehan ini dimulai sejak kamu berniat ke sana.”
Rawindra menggeleng. "Aku tetap akan ikut,Kek! Jangan melarangku atau aku tidak mau mengenalmu lagi sebagai kakekku!" ancamnya.
"Baiklah! Aku akan mengizinkanmu mengikuti seleksi penerimaan murid Perguruan Pedang Patah, dengan satu syarat!" ujar Ki Bratajaya.
"Apa syaratnya?"
"Lupakan masa lalumu, termasuk orang tuamu! Kelak kamu bisa mencari tahu sendiri keberadaan mereka! Tapi, untuk sekarang jalani hidupmu seperti biasa dan wujudkan keinginanmu menjadi Pendekar Pedang Terhebat! Kakek akan mendukungmu!"
Rawindra terdiam.
Ia tahu keras kepalanya kakeknya ini.
Memaksa kakeknya ini memberitahukan masa lalunya juga orangtuanya, hanya akan membuat dirinya terkekang oleh aturan yang lebih ketat.
"Baiklah! Aku harap suatu saat nanti kakek akan menceritakan semuanya! Aku akan bekerja keras agar bisa masuk dan lolos seleksi Perguruan Pedang Patah!" seru Rawindra.
"Itu baru cucu kakek!" sahut Ki Bratajaya sambil tersenyum seolah-olah sudah melupakan pembicaraan mereka yang hampir saja memutuskan hubungan antara kakek dengan cucunya.
Rawindra juga mulai tersenyum.
"Hanya kakek yang peduli padaku. Aku tidak perlu mencari orang tua yang tidak pernah peduli padaku!" tegas Rawindra dalam hatinya.
Puk!
Ki Bratajaya juga menepuk pelan pundak Rawindra untuk menyatakan dukungannya terhadap Rawindra yang ingin mengikuti seleksi penerimaan murid Perguruan Pedang Patah.
"Kakek yakin kalau kamu akan berhasil masuk seleksi penerimaan bahkan menjadi Juara Sejati yang berkesempatan belajar ilmu Pedang Patah langsung dari pemimpin perguruan ini!"
"Terima kasih Kek atas dukungannya! Maafkan Windra kalau tadi bersikap tidak sopan terhadap kakek!" sahut Rawindra yang mulai tenang.
Ki Bratajaya mengangguk. "Kakek juga ikut senang kamu mendapat dua teman baru! Sepertinya, mereka teman yang baik. Bahkan, mereka mau mengajarimu ilmu bela diri! Kalau kamu mau, kakek juga bisa mengajarimu sedikit ilmu bela diri untuk bekal dirimu dalam penerimaan seleksi perguruan.”
"Paham, kek! Terima kasih atas kemurahan hati kakek!" sahut Rawindra.
“Bagus! Ingat satu hal, Nak. Nanti, kamu tidak boleh menggunakan ilmu bela diri ajaran kakek untuk membalas perbuatan orang yang telah menyakitimu! Ilmu bela diri bukan untuk menyakiti orang tapi untuk melindungi kaum yang lemah!" ujar Ki Bratajaya sangat amat serius.
Di sisi lain, Hirawan dan Iravan menjadi cacat akibat serangan Sagara dan Adista.Keduanya tidak mampu lagi meningkatkan tenaga dalam mereka serta berlatih ilmu bela diri.Namun, mereka tidak berani melampiaskan dendam mereka karena jabatan orang tua Sagara jauh melampaui jabatan orangtua mereka.Bahkan, ayah dan ibu mereka justru menyarankan Hirawan dan Iravan untuk minta maaf kepada Sagara.Orang tua mereka lebih takut diberhentikan oleh orangtua Sagara akibat kesalahan anaknya.Hal ini membuat dua bocah nakal itu marah.Sasaran balas dendam mereka adalah Rawindra yang dianggap sebagai sumber kemalangan mereka."Kita harus membalaskan sakit hati kita, Van!" seru Hirawan kepada Iravan yang masih kesulitan berjalan akibat hilangnya semua titik pengolahan tenaga dalam."Benar Wan! Kita harus melenyapkan pemuda cacat itu! Kalau bukan karena dia, tidak mungkin Tuan Muda Sagara membuat kita jadi seperti sekarang ini!" sahut Iravan."Kamu tahu rumah gembel itu?" tanya Hirawan yang juga kes
"Arrgh!" teriak Hirawan yang merasakan sakit yang luar biasa pada tangan kirinya, "Bangs*t kau, gembel! Hajar dia, Van! Belum sempat memproses, Iravan terpaksa langsung maju dan memukuli Rawindra bertubi-tubi! Anehnya, kekuatan tersembunyi Rawindra tidak keluar lagi untuk melindungi bocah penggembala itu. "Mampus kau, gembel! Kakekmu tidak akan bisa menolongmu kali ini! Hahaha!" seru Hirawan yang tertawa girang melihat Rawindra yang babak belur dipukul oleh Iravan. "Aku rasa sudah cukup Wan kita menghajar gembel ini!" sahut Iravan. "Apa katamu? Sudah cukup? Dia mematahkan tangan kananku, apa yang sudah cukup? Aku harus mematahkan tangan kanannya biar impas!" Hirawan yang sudah kesetanan, benar-benar kehilangan hati nuraninya. Hal ini membuat Iravan menggelengkan kepala. "Jangan Wan! Kasihan dia! Tangannya hanya satu! Lagian kan bukan dia yang membuat kita cacat tapi dua temannya itu!" "Aku tidak mau tahu! Pokoknya bagiku, gembel ini yang membuat kita cacat ... dia juga mematah
Rawindra bagaikan ketangkap basah melakukan perbuatan terlarang saat ditanya oleh Sagara.Dia tidak tahu harus menjawab apa terhadap sahabatnya ini."Aku tidak menggunakan ilmu bela diriku karena sudah janji sama kakek tidak akan digunakan untuk berkelahi, tapi hanya untuk membela diri saja!" ujar Rawindra akhirnya. "Hahaha ... kamu ini terlalu penurut dan jujur, Windra! Tadi kamu diserang, kalau kamu membalas artinya kamu membela diri! Jadi, ilmu bela dirimu bisa digunakan!" sahut Sagara sambil tertawa. "Jadi, kalau tadi aku melawan mereka ... itu tidak salah?" tanya Rawindra. "Tidak, Windra! Situasimu tadi adalah nyawamu terancam, jadi kamu berhak menyerang balik!" jelas Sagara. "Tapi bagus juga sih aku tidak menyerang mereka, jadi tidak ada dendam dari mereka terhadapku!" elak Rawindra. "Ya sudah! Lupakan saja orang tidak penting itu! Sekarang, apa kamu masih mau belajar teknik bela diri sama Adista? Biar dia yang mengajarimu!" Rawindra terdiam. Namun, ia teringat sesuatu. "A
TRANG! TRANG! Rawindra mati-matian menahan kekuatan serangan pedang yang dilakukan oleh gadis berpakaian merah yang sudah kalap ingin melukai Rawindra untuk membuatnya jera. "Nona! Ini hanya pertarungan biasa, jangan terlalu serius!" seru Sagara yang cemas melihat serangan tanpa henti yang dilakukan gadis ini dengan kekuatan penuh. "Tidak apa-apa, Kak Sagara! Aku masih bisa mengatasinya!" sahut Rawindra. Walaupun terlihat kalau Rawindra terdesak hebat oleh serangan pedang gadis berpakaian merah yang penuh kemarahan ini, pemuda ini tetap tenang dan masih bisa berbicara dengan Sagara. Kondisi ini semakin membuat gadis berpakaian merah ini marah besar dan meningkatkan serangannya. Saat mulai terdesak hebat, kekuatan tersembunyi Rawindra muncul dan mementalkan gadis berpakaian merah hingga beberapa langkah ke belakang dengan pedangnya yang terlepas dari tangannya. "Kekuatan apa itu? Kenapa kamu bisa tiba-tiba sekuat itu?" tanya gadis berpakaian merah ini keheranan. "Kamu sudah ka
"Rawindra!" panggil Sagara saat pemuda ini hendak menuju kapal yang akan membawa mereka ke Pulau Pedang. "Kak Sagara! Mana Adista?" tanya Rawindra. "Aku di sini, Windra!" sahut Adista yang kewalahan membawakan barang-barang Sagara. "Hahaha! Sini aku bantu!' ujar Rawindra sambil membantu mengangkat barang-barang yang tadi dibawa Adista. Kapal yang mengangkut peserta seleksi Perguruan Pedang Patah ini sangat besar karena mengangkut banyak peserta seleksi yang juga berasal dari daerah-daerah sekitar Desa Matahari. "Berapa lama perjalanan dengan kapal ini?" tanya Rawindra. "Hanya beberapa jam saja kalau tidak salah, tapi pemandangan lautnya sangat indah! Itu yang pernah kudengar dari peserta seleksi sebelumnya yang telah pulang ke Desa Matahari!" sahut Adista. "Wah! Ramai sekali!" seru Rawindra yang mulai merasa kecil di antara banyaknya pesrta seleksi yang cukup sempurna yang mungkin akan dihadapinya saat seleksi di Pulau Pedang. Untungnya, perjalanannya cepat dan terasa menyenan
Seleksi Perguruan Pedang Patah akhirnya resmi dimulai.Perguruan Pedang Patah sangat ramai dipadati seluruh peserta seleksi Perguruan Pedang Patah yang berasal dari berbagai negeri.Ketenaran Jurus Pedang Patah membuat seluruh kalangan ingin mempelajari jurus pedang sakti ini, yang uniknya hanya bisa dipelajari di perguruan ini.Apabila ada yang mencoba meniru Jurus Pedang Patah dan mempelajarinya, maka jurus yang terbentuk tidak akan sama.Keunikan Jurus Pedang Patah ini membuat ruang seleksi dipenuhi anak-anak muda yang berumur antara 15 tahun sampai 18 tahun yang merupakan batas usia pendaftaran seleksi Perguruan Pedang Patah ini."Lihat! Ada orang cacat mau ikut seleksi!" teriak seorang pemuda yang berpakaian rapi terhadap Rawindra yang sedang mengikuti seleksi."Kenapa kamu nekad mengikuti seleksi Perguruan Pedang Patah ini, pemuda tangan satu?" tanya salah satu peserta seleksi terhadap Rawindra dengan sinis."Apa ada aturannya kalau pemuda cacat tidak boleh mengikuti seleksi?" t
"Pertandingan berikutnya akan mempertemukan Pendekar Tangan Satu Rawindra melawan Pendekar Pulau Tengkorak Raditya!" seru petugas seleksi."Giliranmu, Windra! Jangan sampai kalah!" seru Sagara."Semangat, Windra!" teriak Adista.Rasa gugup mulai menghinggapi Rawindra begitu namanya dipanggil untuk mengikuti seleksi pertandingan.Apalagi saat dia melihat lawannya, Raditya.Ternyata Raditya ini adalah pemuda berpakaian rapi yang menghina Rawindra sebelumnya."Ketemu lagi Pendekar Cacat! Aku akan menghabisimu dalam satu pukulan saja! Kekasihmu tidak akan bisa melindungimu kali ini!" ancam Raditya."Jangan hiraukan dia, Rawindra! Ayo, kamu bisa!" seru Adista."Aku tidak takut padamu! Biasanya hanya pengecut yang berani menindas orang cacat!" seru Rawindra.HAHAHA ...Suara tertawa peserta seleksi semakin membuat kebencian Raditya bertambah terhadap Rawindra."Bertingkah sekali kamu, pemuda cacat! Dasar tangan buntung!" hina Raditya."Lebih baik diriku apa adanya, daripada Pendekar Pulau T
Sebuah bayangan berkelabat turun dari atas pepohonan.Raditya berhasil membawa Rawindra ke dalam Hutan Terlarang yang tidak boleh dimasuki oleh anggota Perguruaan Pedang Patah.Sosok perempuan berpakaian hijau dengan rambut panjang tergerai menambah anggunnya pendekar wanita ini. Hanya saja perempuan ini menggunakan cadar yang menutupi sebagian wajahnya selain topi caping yang menutupi kepalanya."Ternyata hanya pendekar wanita yang suka ikut campur urusan orang lain!" seru Raditya."Aku sudah muncul! Lepaskan pemuda itu! Dia haarus bertanding besok!" sahut perempuan misterius ini."Pergi saja, kau! Jangan ganggu kesenanganku untuk menyiksa pemuda cacat ini! Dia telaah mempermalukanku ... sudah sepantasnya aku membalas penghinaannya ini!" usir Raditya."Kau melanggar janjimu, Raditya! Aku tidak suka orang yang melanggar janji!" seru perempuan misterius ini.Rawindra yang masih terikat dan tertutup kepalanya oleh kantong kain ini berharap perempuan misterius ini bisa melepaskan dirinya