Tamparan anak laki-laki yang diarahkan pada Flo itu berhasil dicegah oleh sang perawat. Weiss Karny yang baru saja mengobati Alisa menahan tangan sang anak dan menatapnya dengan tajam.
“I-Ibu Weiss?”
“Apa yang kau lakukan, Abraham? Menampar seorang gadis, apakah hal ini yang kami ajarkan padamu?”
Kedua anak laki-laki di belakangnya nampak panik setelah melihat raut wajah sang perawat yang hendak memarahi mereka. Namun berbeda dengan anak bernama Abraham itu. Ia malah memberontak dan menjawabnya.
“Tapi Ibu Weiss, gadis ini orang Vitania. Orang-orang yang telah menghabisi keluarga kita disini. Aku tidak akan pernah bisa berdamai dengannya.”
Abraham terlihat sangat marah pada Flo, benci pada latar belakangnya. Gadis itu hanya diam saja mendengar hal itu, tak mampu berkata apa-apa. Tapi perawat Weiss langsung menasihatinya.
“Dengarkan ini, Abraham. Meskipun dia orang Vitania dan kau orang Karelia, tapi kita masih sama-sama Hamu Kamina kan, sama-sama manusia Kamina?”
“Itu, aku...”
“Kita semua juga lahir di Kerajaan Archipelahia ini kan? Jadi buat apa kita saling membenci hanya karena beda suku?”
“...”
Abraham pun terdiam mendengarnya.
“Sudahlah, Abraham. Mungkin kau masih sakit hati atas apa yang menimpa keluargamu. Tapi itu bukan jadi alasan buatmu untuk membenci Hamu Kamina lainnya. Kita semua harus menghentikan lingkaran kebencian ini. Kita kan ingin saling berdamai, tidak mau ada hal buruk lagi.” Jelas Weiss.
Rupanya kata-kata yang dilontarkan oleh sang perawat berhasil membuat hatinya luluh. Weiss pun melepaskan genggamannya.
“Maafkan aku, Ibu Weiss, Floria.” Ucap Abraham sambil tertunduk dan menyesali perbuatannya.
Melihat hal itu, perawat Weiss langsung mengusap-usap kepalanya sebelum akhirnya membiarkan mereka bertiga pergi.
Tak lama kemudian, Alisa dengan kaki kiri yang diperban berjalan menghampiri mereka berdua.
“Flo”
Gadis Vitania itu hanya tersenyum tipis padanya, sebelum akhirnya mengajaknya ke taman depan panti asuhan.
Mereka pun duduk bersama di sebuah ayunan. Alisa masih tampak tertunduk lesu, sementara Flo hanya memandangnya di sampingnya.
“Flo”
“Iya, Alisa?”
“Kok kamu diam saja saat anak-anak itu bicara yang tidak-tidak padamu?” tanya Alisa.
Flo menghela napas.
“Tidak usah dipikirkan. Aku baik-baik saja kok.”
“Tapi aku masih tidak mengerti. Karelia, Vitania, kenapa mereka saling bermusuhan? Kenapa orang Vitania sepertimu dianggap monster oleh orang-orang Karelia sini?” Alisa kembali bertanya.
Flo menjawabnya dengan nada yang kebingungan.
“Aku... Aku juga tidak tahu. Aku tidak pernah berniat melukai siapapun disini, termasuk kau yang orang Karelia. Justru aku ingin selalu bersamamu, Alisa. Aku ingin melindungimu, karena kau adalah teman terbaikku.” Jawab Flo.
Alisa langsung menoleh ke arah gadis itu.
“Teman terbaik?”
“Iya, Alisa. Kau adalah teman terbaikku selama aku disini.” Kata Flo sambil tersenyum padanya.
“Tapi, aku selalu buat kau kesulitan, Flo. Aku selalu jadi beban bagimu.”
Mendengar hal itu, Flo langsung menepuk bahu Alisa dan menghiburnya.
“Tidak kok. Memang sudah tugasku untuk melindungi teman terbaikku. Justru aku harus berterima kasih padamu karena sudah menjadi temanku selama aku disini.”
Alisa pun tersenyum mendengar ucapan itu. Hatinya pun luluh karenanya.
“Terima kasih juga, Flo.”
Persahabatan antara Alisa Garbareva dan Floria Fresilca pun mulai terjalin sejak saat itu. Keduanya selalu menunjukkan kekompakkan mereka setiap saat, Alisa yang merupakan seorang gadis yang kikuk dan pemalu selalu dibantu Flo yang jauh lebih berani darinya. Alhasil kisah persahabatan mereka menjadi buah bibir banyak orang, termasuk para perawat panti asuhan.
Mereka nampak begitu gembira dengan adanya persahabatan lintas suku yang bertikai tersebut. Semuanya bahagia karena ini bisa jadi awal mula pendorong perdamaian bagi mereka semua. Untuk mengapresiasinya, perawat Weiss pun memberikan sebuah kotak besar berisi baju sepasang model bagi mereka, tepat di depan anak-anak dan para perawat lain.
“Eh, Ibu Weiss. Ini apa?” tanya Alisa.
“Itu adalah hadiah bagi kalian berdua, karena sudah menunjukkan kekompakan dan kebersamaan kalian selama disini.”
“Wah, indahnya.” Puji Alisa.
“Baiklah. Sekarang coba kalian pakai.”
Mereka berdua pun langsung memakainya bersama-sama. Ternyata model baju tersebut begitu serasi. Tepat saat mereka selesai memakainya, perawat Weiss langsung menyeru pada semua orang yang ada disana.
“Baiklah. Ini adalah hadiah bagi Alisa dan Floria karena telah menunjukkan kebersamaan dengan baik. Ibu harap ini jadi pemicu buat kalian agar saling bersatu. Kita ini satu Archipelahia, sesama Hamu Kamina. Kita tidak boleh memusuhi satu sama lainnya karena hanya beda suku saja. Semoga kerajaan kita akan damai sentosa di masa depan nanti.”
“Ayo berikan tepuk tangan yang meriah buat Alisa Garbareva dan Floria Fresilca.”
Para perawat dan anak-anak panti asuhan pun bertepuk tangan pada kedua gadis beda suku tersebut, termasuk juga Abraham yang tersenyum dengan mata tertutup.
Alisa pun menggenggam tangan Flo dan menundukkan kepala mereka bersama-sama, sebagai rasa hormat bagi apresiasi mereka kepada keduanya.
“Dengan ini kita akan selalu bersama, Alisa.” Gumam Flo dalam hati.
***
Ini adalah malam yang cerah untuk menyaksikan bintang-bintang di angkasa raya. Para perawat sedang berada di ruangannya masing-masing, dan ada pula yang menemani beberapa anak. Sementara itu, anak-anak panti asuhan lainnya tengah bermain di taman. Terlihat pula Abraham bersama dua temannya yang tengah membeli makanan di kedai yang tak terlalu jauh dari tempat itu.
“Damai sekali ya, Flo.” Ucap Alisa yang hanya menyaksikan pemandangan itu dari balik jendela kamar.
“Hmm...” Flo bergumam sambil menganggukkan kepalanya.
Suasana kota itu nampak damai dan tenteram seperti biasanya. Mereka menyaksikan indahnya langit malam berbintang, serta rumah-rumah warga yang diterangi gemerlap cahaya lampu. Namun di tengah suasana yang damai itu, Flo melihat sesuatu yang ganjil.
Tatapannya terfokus pada sebuah bukit di depannya. Terlihat sebuah cahaya merah aneh yang menghasilkan asap membumbung tinggi ke udara. Alisa juga penasaran dengan apa yang dilihat temannya itu.
“Apa yang kau lihat, Flo?” tanya Alisa menghampirinya.
“Aku tidak tahu. Apa itu?” Flo bertanya balik sambil menunjuk ke arah bukit.
Untungnya Alisa memiliki indera penglihatan yang sangat baik dan tajam. Objek dengan jarak sejauh itu bisa ia lihat dengan jelas. Dan itu ternyata sesuatu yang membuat mereka terkejut.
“Kebakaran.” Ucap Alisa.
“Apa, Kebakaran?”
Alisa memang bisa melihatnya dengan cukup jelas. Itu adalah sebuah api besar yang terlihat dari arah bukit, Namun setelah ia lihat kembali ternyata itu bukanlah sebuah kobaran api biasa, namun beberapa kobaran api kecil yang saling bergabung menjadi api yang besar.
Seperti dikendalikan oleh seseorang, bola api itu tiba-tiba melesat ke langit dengan sangat cepat, lalu pecah menjadi beberapa bagian kecil layaknya kembang api. Bola-bola api kecil itu menarik perhatian semua orang yang melihatnya. Sebagian dari mereka malah kagum melihatnya.
“Apa itu?”
“Kembang api?”
“Indah sekali.”
Banyak yang mengira bahwa itu merupakan sebuah kembang api raksasa seperti yang biasa diluncurkan setiap malam tahun baru. Namun sayangnya, perkiraan mereka salah. Itu adalah awal petaka bagi mereka.
***
BOOM Bola-bola api yang pecah di angkasa itu menghantam berbagai objek yang ada di permukaan tanah. Jalan, kebun, hingga rumah warga, semuanya terkena serangan itu dan terbakar hebat. Sirine kota pun berbunyi. Kedamaian dan ketenteraman itu seketika berubah menjadi ketakutan dan kepanikan. “Ada serangan! Ada serangan!” “Tolong! Rumahku terbakar” “Anakku, dimana anakku?” Orang-orang berteriak dan berhamburan di jalanan, berlari kesana kemari tak tentu arah. Termasuk para anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut. Mereka menjerit dan menangis melihat suasana yang tiba-tiba berubah bak perang itu. Semuanya kacau, para perawat kewalahan menangani mereka. Alisa dan Floria terpaku di tempat itu, hanya bisa melihat dan mendengar kepanikan yang ada di balik jendela. “Apa ini?” Abraham dan kedua temannya yang tengah membeli sesuatu di kedai makanan itu pun juga tak luput dari kepanikan. Sambil melemparkan makanan yang telah mereka beli, ketiganya langsung kembali ke panti asuhan sambi
“JANGAAANNNN!!!!” KRIINNNGGGGG Alarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama. “Oh, sudah pagi ya?” Ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan. “Sudah waktunya sekolah.” Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah. Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Disana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi. Kelas dimulai
Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya. “Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina” Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula. Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada enam orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan tiga diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang. “Cih, ngapain dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan. Tak lama berselang, sang pengirim
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Gadis itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi. “Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” Gadis Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah. “Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.” “Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?” Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan sepatah dua patah kata. “Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.” Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar. “Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu k
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia. Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu. “Oke, sudah selesai.” Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah. “Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia.” Ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan. Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulik
Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas disini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal disini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini. Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania, yang dimulai dari kota kecil ini. “Yosh. Ayo kita mulai.” Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak satu kilometer dari kediamannya. “Wah, ramai sekali.” Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan makanan, h
BRUMM BRUMM Sebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya tengah hutan itu. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania. “Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang. “Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apapun disana.” Jawab Flo. “Oh, begitu ya?” “Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” Lanjut gadis Vitania itu. Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu. Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu. “Nah, kita sudah sampai.” Mereka berhenti di sebuah rumah tua yang
Mentari naik ke atas langit menyinari daratan Vitania di planet Kamina ini. Gadis berambut pendek bernama Alisa Garbareva itu nampak tengah membantu teman lamanya Floria memetik bunga. Berbagai jenis bunga di kebun itu mereka petik untuk nantinya dijual pada masyarakat kota. “Segini sudah cukup, Flo?” tanya Alisa. “Sudah lebih dari cukup malah. Ayo kita pergi.” Dengan mengendarai Motosicca, mereka pun menuruni bukit Selenaberg untuk sampai ke kota. Hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari kediaman Flo, mereka sudah bisa melihat sebuah gapura besar yang melintang di atas jalan. “Kita sudah tiba. Willkommen in Matrotshaven” Ujar Flo yang artinya ‘Selamat Datang di Matrotshaven’ dalam bahasa Vitania. “Whoa... Besar sekali kota ini.” Ucap Alisa kagum. Matrotshaven, nama sebuah kota besar di selatan Selenaberg. Walaupun bukan ibukota Daerah Otonom Vitania, tapi kota ini cukup besar untuk menampung ratusan ribu orang. Pemandangan kota yang penuh dengan ruko dan bangunan bertingkat ti