BOOM
Bola-bola api yang pecah di angkasa itu menghantam berbagai objek yang ada di permukaan tanah. Jalan, kebun, hingga rumah warga, semuanya terkena serangan itu dan terbakar hebat. Sirine kota pun berbunyi. Kedamaian dan ketenteraman itu seketika berubah menjadi ketakutan dan kepanikan.
“Ada serangan! Ada serangan!”
“Tolong! Rumahku terbakar”
“Anakku, dimana anakku?”
Orang-orang berteriak dan berhamburan di jalanan, berlari kesana kemari tak tentu arah. Termasuk para anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut. Mereka menjerit dan menangis melihat suasana yang tiba-tiba berubah bak perang itu. Semuanya kacau, para perawat kewalahan menangani mereka.
Alisa dan Floria terpaku di tempat itu, hanya bisa melihat dan mendengar kepanikan yang ada di balik jendela.
“Apa ini?”
Abraham dan kedua temannya yang tengah membeli sesuatu di kedai makanan itu pun juga tak luput dari kepanikan. Sambil melemparkan makanan yang telah mereka beli, ketiganya langsung kembali ke panti asuhan sambil berlari untuk menyelamatkan diri. Tapi sayangnya, nasib buruk menghampiri mereka bertiga.
Tepat dari kegelapan di belakang mereka muncul sekelompok orang misterius yang mengenakan jubah hitam. Mereka berlari dengan sangat cepat ke arah Abraham dan kedua temannya. Dua orang dari mereka mengeluarkan sesuatu dari tangannya yang tak lain adalah sebuah belati.
“JANGAN!!!”
Flo yang menyaksikannya sontak berteriak. Tapi apa daya, jaraknya yang terlalu jauh tak bisa didengar oleh ketiganya.
Dua orang berjubah hitam itu langsung mengayunkan belatinya pada dua teman Abraham di belakangnya. Cipratan darah merah langsung keluar dari tubuh kedua anak itu. Mereka pun terjatuh dan tak bangkit lagi.
“...”
Flo terpaku disana dengan mulut menganga. Raut wajahnya terlihat sangat ketakutan. Ini baru pertama kalinya ia melihat peristiwa pembunuhan secara langsung tepat di depan mata kepalanya sendiri.
“Aghh,,,”
Melihat kedua temannya yang sudah tak bernyawa, Abraham mempercepat larinya hingga sampai di depan gerbang panti asuhan.
“AYO, ABRAHAM!!!”
Tak menghiraukan apa yang ada di belakangnya, anak laki-laki itu terus berlari demi menyelamatkan diri. Namun sayangnya, keberuntungan tak berpihak padanya.
Orang berjubah hitam di belakangnya langsung melompat cukup tinggi ke arah anak itu seraya mengayunkan belatinya. Tebasan senjata itu tepat mengenai leher Abraham, membuat kepalanya terpisah dari badannya.
Flo yang menyaksikan peristiwa mengerikan itu langsung menutupi mata Alisa agar tak melihatnya.
“JANGAN LIHAT, ALISA”
“Eh, Flo. Ada apa?”
“...”
Gadis itu tak bisa mengatakannya,
Masih belum cukup dengan hal itu, sebuah bola api lainnya menghantam dinding panti asuhan dan membakarnya. Api pun mulai menjalar di tempat itu, termasuk ke arah kamar tempat Alisa dan Flo berada.
Flo pun membuka mata Alisa kembali dan mengajaknya untuk pergi dari tempat itu.
“ALISA, AYO PERGI, CEPAT!!!”
Sorot mata Alisa benar-benar kosong. Ia tak merespon sedikitpun apa yang dikatakan oleh Flo, seolah-olah telinganya tersumbat oleh suara api yang menjalar dengan cepat.
“ALISA!!!”
Gadis itu benar-benar diam mematung disana. Namun untungnya perawat Weiss masuk ke kamar untuk mengevakuasi mereka.
“Alisa, Flo, kalian masih disini? Syukurlah. Ayo kemari.”
Flo yang sudah berlinang air mata karena ketakutan berusaha untuk menghampiri sang perawat. Tapi tanpa diduga, pintu kamar itu ditendang sampai hancur oleh salah satu orang berjubah hitam yang berhasil masuk ke panti asuhan. Langkah kakinya diikuti oleh api yang membakar hampir seluruh dinding kamar tersebut.
Mereka semua terjebak disana, tak ada jalan keluar. Perawat Weiss berusaha melindungi mereka.
“Tidak akan kubiarkan kau menyentuh mereka.”
Orang itu menggunakan jubah hitam yang menutupi kepalanya sehingga wajahnya tak terlihat. Namun ada sebuah kain berwarna biru muda yang diikat di lengan kirinya. Pada kain tersebut nampak sebuah simbol misterius berwujud segitiga berwarna putih dengan tiga bintang di setiap sudutnya.
Dia langsung mengarahkan tangan kanannya pada perawat Weiss. Telunjuk dan jari tengahnya mengarah ke depan, sementara ketiga jari lainnya ia tekukan. Ia lalu mengucapkan sebuah kata yang menyerupai mantra.
“SFYRD”
WUSHH... JLEBB...
Hal yang sangat mengerikan terjadi tepat di depan mata kepala mereka berdua. Sebuah tombak cahaya dengan ukuran yang cukup panjang tiba-tiba muncul dari tangannya dan menancap tepat pada perut Weiss. Darah pun mulai mengucur dari perutnya. Sang perawat nampak menahan rasa sakit yang luar biasa. Alisa dan Floria hanya bisa terpaku melihat tragedi itu.
"Ugh..."
Perlahan tombak cahaya itu pun pecah menjadi serpihan-serpihan cahaya kecil sebelum akhirnya menghilang. Tepat setelah serpihan terakhir menguap, darah pun menyembur hebat dari perut perawat itu. Percikannya menyebar ke seluruh ruangan dan mengenai tubuh mereka berdua. Sang perawat pun tumbang dan tak pernah bangun lagi.
“AAAAAAA”
Floria menjerit sekeras-kerasnya meyaksikan tragedi mengerikan itu. Sementara itu Alisa hanya bisa terpaku dengan tatapan kosong. Ketakutan menyelimuti mereka berdua.
“Apakah aku akan mati juga? Tapi, aku tidak mau mati.”
Itulah yang terbesit di benak Alisa setelah melihat perawat Weiss yang sangat baik hati itu terbunuh dengan sadis tepat di depan mata kepala mereka sendiri.
Tak lama kemudian, orang berjubah hitam itu mengarahkan tangan kirinya ke arah Flo dan kembali merapalkan sebuah mantra.
“MAHNIT”
WUSHH
Ajaib. Muncul sebuah cahaya dari telapak tangannya yang seolah-olah menarik Flo agar sampai pada genggamannya. Gadis itu meronta-ronta agar bisa lepas dari cengkeramannya, namun sayangnya hal itu nampak sia-sia.
“LEPASKAN AKU!!! LEPASKAN!!!”
Orang berjubah hitam itu lalu menyentuh dahi Flo dengan kedua jari tangan kanannya dan membuatnya tertidur secara ajaib.
Alisa bertanya-tanya, apakah ini yang dinamakan sihir? Tapi dirinya tak mampu berbuat apa-apa.. Anak itu benar-benar diliputi oleh ketakutan.
Orang berjubah hitam itu lalu mengarahkan kembali tangannya seperti tadi, namun kali ini tepat ke arah gadis itu. Alisa yang melihatnya nampak bergeming disana, tak mampu bergerak sedikit pun karena diliputi oleh ketakutan.
“K.. Kau siapa?” Ucap Alisa terbata-bata, namun orang berjubah hitam itu tak menjawabnya.
“K... Kumohon. Jangan.”
Alisa sangat ketakutan. Bagaimana tidak, di depannya ada orang misterius yang telah membunuh perawat Weiss dan membawa Flo dengan mudahnya. Dan kini nyawanya benar-benar terancam.
Orang berjubah misterius itu lalu merapalkan sebuah mantra, namun berbeda dengan mantra yang ia ucapkan sebelumnya.
“SYOM FLYNT”
WUSHH
Cahaya ajaib muncul dari tangan orang itu. Alisa yang melihatnya secara tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Tubuhnya mulai lemas tanpa sebab dan pandangannya mulai kabur.
“Flo...”
Dalam kondisi penglihatan yang buram, Alisa melihat Flo dibawa kabur oleh orang itu. Entah dibawa kemana, tetapi dia telah berhasil memisahkan Flo darinya. Hatinya diselimuti kesedihan, sahabatnya telah diculik oleh orang tak dikenal.
“Kumohon. Jangan bawa Flo...”
Pandangannya lalu menjadi gelap dan ia tak ingat apa-apa lagi saat itu.
***
“JANGAAANNNN!!!!” KRIINNNGGGGG Alarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama. “Oh, sudah pagi ya?” Ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan. “Sudah waktunya sekolah.” Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah. Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Disana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi. Kelas dimulai
Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya. “Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina” Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula. Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada enam orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan tiga diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang. “Cih, ngapain dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan. Tak lama berselang, sang pengirim
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Gadis itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi. “Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” Gadis Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah. “Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.” “Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?” Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan sepatah dua patah kata. “Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.” Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar. “Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu k
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia. Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu. “Oke, sudah selesai.” Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah. “Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia.” Ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan. Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulik
Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas disini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal disini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini. Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania, yang dimulai dari kota kecil ini. “Yosh. Ayo kita mulai.” Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak satu kilometer dari kediamannya. “Wah, ramai sekali.” Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan makanan, h
BRUMM BRUMM Sebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya tengah hutan itu. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania. “Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang. “Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apapun disana.” Jawab Flo. “Oh, begitu ya?” “Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” Lanjut gadis Vitania itu. Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu. Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu. “Nah, kita sudah sampai.” Mereka berhenti di sebuah rumah tua yang
Mentari naik ke atas langit menyinari daratan Vitania di planet Kamina ini. Gadis berambut pendek bernama Alisa Garbareva itu nampak tengah membantu teman lamanya Floria memetik bunga. Berbagai jenis bunga di kebun itu mereka petik untuk nantinya dijual pada masyarakat kota. “Segini sudah cukup, Flo?” tanya Alisa. “Sudah lebih dari cukup malah. Ayo kita pergi.” Dengan mengendarai Motosicca, mereka pun menuruni bukit Selenaberg untuk sampai ke kota. Hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari kediaman Flo, mereka sudah bisa melihat sebuah gapura besar yang melintang di atas jalan. “Kita sudah tiba. Willkommen in Matrotshaven” Ujar Flo yang artinya ‘Selamat Datang di Matrotshaven’ dalam bahasa Vitania. “Whoa... Besar sekali kota ini.” Ucap Alisa kagum. Matrotshaven, nama sebuah kota besar di selatan Selenaberg. Walaupun bukan ibukota Daerah Otonom Vitania, tapi kota ini cukup besar untuk menampung ratusan ribu orang. Pemandangan kota yang penuh dengan ruko dan bangunan bertingkat ti
“Huh... huh... huh...” “WOY BERHENTI KAU BOCAH SIALAN!!!” Seorang pria berusia 30 tahunan terlihat mengejar seseorang di sebuah gang sempit hingga masuk ke trotoar samping jalan besar. Pengejaran itu sempat membuat arus lalu lintas menjadi terhambat. “TAKKAN KUBIARKAN KAU LEPAS!!!” Pria itu nampak mengejar seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang mengenakan jaket lusuh berwarna abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya. Ia tengah berlari sambil membawa sebuah bungkusan berukuran sedang di pelukannya. Anak itu berlari untuk menghindari kejaran pria di belakangnya. Namun karena tak melihat jalan, dirinya tertabrak sebuah Motosicca yang tengah melaju di jalanan yang ia lewati. BRUKK “Ahh,,,” Dirinya terjatuh ke aspal beserta barang yang dibawanya. Itu adalah bungkusan berisi Clatenda, sejenis nasi yang dibungkus oleh dedaunan. “Gawat.” Flo yang tidak sengaja menabrak anak itu langsung menghentikan Motosicca-nya. Sementara itu, Alisa langsung menghampirinya. “Kau tidak a