Hawa panas begitu terasa di depan wajah mereka. Keduabelas perawat bergaun hitam dengan corak putih di lehernya itu berusaha mencari orang-orang yang masih bisa diselamatkan. Sayangnya hampir semua rumah disini sudah musnah dilalap api.
“Apa masih ada orang disini?” teriak seorang perawat.
Nyaris tidak ada suara lain yang bisa didengar selain suara api yang perlahan melalap bangunan yang terbuat dari kayu. Walaupun termasuk ke dalam Distrik Wallenstein Kota Telhi, desa ini masih terlalu jauh jaraknya dari pusat kota. Bantuan pun juga tak kunjung datang karena harus melewati hutan belantara yang cukup lebat.
“Ada seseorang disini?” perawat lainnya kembali berteriak.
Meskipun bertaruh nyawa, para perawat ini rela melakukannya hanya untuk menyelamatkan orang-orang yang tersisa dari peristiwa mengerikan itu. Bau material yang terbakar bercampur dengan bau darah dan mayat, semuanya ada di tempat ini.
“Ini sungguh mengerikan.” Gumam seorang perawat berambut perak.
Hanya berbekal peralatan seadanya tanpa senjata, para perawat ini berusaha menolong siapa saja yang masih hidup. Mereka seakan tak peduli seandainya masih ada penyihir musuh yang siap menyerang mereka kapan saja,
Di tengah ketidakpastian itu, terdengar suara seorang bayi yang tengah menangis dari arah jam dua. Sang perawat berambut perak itu sontak menghampiri suara itu, diikuti oleh dua perawat di belakangnya.
“Ini...”
Benar saja. Terlihat sesosok bayi yang berusia satu sampai dua tahun tergeletak di depan mereka. Sedangkan di belakangnya ada seorang wanita dewasa yang tertindih material bangunan. Nampak pula kobaran api yang mulai melahap semua benda yang ada di sekitarnya.
Dengan sigap ketiga perawat itu langsung berusaha menolong mereka berdua. Sang perawat berambut perak itu langsung menggenggam sang bayi, sementara dua perawat lainnya berusaha mengeluarkan wanita itu dari tindihan material berupa tumpukan kayu tersebut.
“A-Anakku masih hidup ya? S-syukurlah” ucap wanita itu terbata-bata.
“Bertahanlah disana, nyonya. Kami akan segera menyelamatkan anda.” Kata perawat berambut perak itu.
Seakan sudah pasrah, wanita itu hanya menggelengkan kepalanya lalu menjawab dengan suara pelan.
“Tidak. S-Selamatkan saja anakku. W-waktuku akan segera tiba.”
“Anda bicara apa, nyonya? Kami akan segera...”
Salah seorang perawat berusaha menyemangatinya sambil berusaha mengeluarkannya dari tumpukan kayu itu. Namun perkataannya terhenti setelah melihat sesuatu yang menyedihkan ada di depannya.
Tubuh wanita dewasa itu sudah dalam kondisi yang sangat kritis. Kaki kirinya patah, bahkan nyaris berputar 180 derajat dari posisi awalnya. Tidak hanya itu, perutnya juga terluka sangat parah. Darah segar sudah membasahi hampir seluruh tubuhnya.
“Nyonya...”
Dengan kondisi yang seperti itu, nampaknya wajar saja kalau wanita dewasa itu sudah pasrah akan nasibnya yang tinggal menunggu ajalnya tiba. Tapi lain halnya yang dipikirkan para perawat. Mereka terus menyemangati sang wanita dan mencoba mengeluarkannya dari tempat itu, walaupun kobaran api siap melahap mereka kapan saja.
Hampir satu menit berlalu dan tidak ada yang berubah dari kondisi genting itu. Sang ibu masih belum bisa dikeluarkan, sementara bayinya terus meronta dan menangis. Wanita dewasa itu lalu berucap kembali pada perawat berambut perak itu.
“K-kumohon. T-tolong jaga anakku. R-rawat dia.”
Sang perawat berambut perak itu hanya menganggukkan kepalanya tanpa berucap sepatah katapun, karena memang itulah tujuan dari mereka datang kemari, untuk menyelamatkan dan merawat orang-orang yang masih bisa diselamatkan. Sang ibu pun melanjutkan kata-katanya.
“N-namanya adalah, A-Alisa Garbareva.”
Sang ibu menyebutkan nama dari anak tersebut. Namun saat mendengar namanya, sang perawat berambut perak itu langsung terkejut. Sebuah nama yang nampak tak asing baginya.
“Alisa Garbareva? Tunggu, Garbareva? Jadi anda ini adalah...”
Belum selesai perawat itu berujar, sebuah pohon besar di samping wanita itu tumbang ke arah mereka.
“AWAS!!!”
BRUKK
Kedua perawat yang berusaha menyelamatkan sang ibu langsung melompat mundur. Namun sayangnya batang pohon besar tersebut tepat menghantam wanita dewasa itu. Kobaran api pun semakin membesar.
“NYONYA GARBAREVA!!!” teriak sang perawat berambut perak.
Tidak ada jawaban lagi darinya. Suara wanita itu sudah tak terdengar lagi.
“Nyonya Garbareva...”
“Huaaaa!!!!”
Sang bayi menangis semakin keras, entah karena mendengar suara yang mengagetkan dirinya, hawa panas yang semakin menyengat, atau karena ibunya yang sudah tiada. Tidak ada yang tahu pasti.
Melihat hal itu, sang perawat pun langsung memeluknya dengan erat dan meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat yang lebih aman. Pelukan hangat sang perawat ternyata berhasil menenangkan bayi itu. Ia pun berhenti menangis.
“Nyonya Garbareva, aku akan melakukan apa yang kau inginkan. Aku akan merawat bayi ini untukmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Sang perawat berambut perak itu memperhatikan wajah sang bayi, lalu menciumnya dengan kasih sayang.
“Tenang saja, ya. Alisa Garbareva. Weiss Karny ini akan senantiasa merawatmu sampai kau beranjak dewasa. Aku berjanji padamu dan pada ibumu.”
***
GUK GUK GUK
Seekor anjing berwarna abu-abu terlihat mengejar seorang anak perempuan berusia enam tahun. Nampak ia sangat ketakutan.
“IBU WEISS, TOLONG AKU!!!”
Gadis itu berlari sambil berteriak memanggil nama perawat itu. Saking paniknya ia pun sampai terjatuh. Anjing itu pun melompat dan berusaha menggigitnya.
“AAAAAA!!!!”
Tinggal setengah meter lagi sebelum berhasil menggapai anak itu, tiba-tiba sebatang kayu mendarat di kepalanya dengan keras. Hewan itu pun akhirnya lari terbirit-birit karenanya. Sang gadis pun selamat.
Ia menoleh ke arah orang yang berhasil mengusir anjing itu. Ternyata ia adalah anak perempuan lain yang hampir seusia dengannya, mungkin satu tahun lebih tua darinya. Gadis dengan rambut lebih panjang itu menatapnya dengan tatapan dingin.
“Kau tidak apa-apa?” tanya anak itu.
Dengan wajah yang masih nampak ketakutan, gadis itu tak bisa menjawab kata-katanya. Tak lama kemudian, seorang perawat berambut perak datang menghampiri mereka berdua.
“Alisa, Flo, kalian tidak apa-apa?”
Melihat sang perawat yang sudah tiba, Alisa langsung memeluknya dengan erat sambil menangis. Sepertinya ia masih ketakutan dengan peristiwa itu.
“HUWAAA!!! IBU WEISS!!!”
“Sudahlah, Alisa. Tidak apa-apa. Ibu ada disini.”
Perawat Weiss pun mengajak mereka berdua kembali ke panti asuhan.
Alisa Garbareva, seorang gadis yang diselamatkan oleh perawat Weiss kini tinggal di panti asuhan di tengah kota bersama anak-anak korban selamat lainnya. Begitu pula dengan Flo, atau nama aslinya Floria Fresilca. Bedanya ia bersama tiga anak lainnya diselamatkan lewat peristiwa yang berbeda di pantai timur.
Tak terasa mereka pun sudah sampai di panti asuhan. Perawat Weiss mengobati luka di lutut Alisa akibat terjatuh, sedangkan Flo menunggunya di luar ruangan. Alisa nampak meringis kesakitan saat perawat berambut perak itu mengoleskan obat dengan tisu di lututnya.
“Ah... Sakit”
“Sudah, sudah, Alisa. Kau kan anak yang kuat. Nanti juga lukanya sembuh kok.” Hibur Perawat Weiss sambil mengobati lukanya.
Flo hanya bersandar di dinding sambil menunggu mereka keluar dari tempat itu.
Tak berapa lama kemudian datang tiga orang anak laki-laki yang menghampirinya. Usianya nampak dua sampai tiga tahun lebih tua darinya. Mereka menatap Flo dengan tatapan sinis.
“Eh, Kau gadis Vitania yang bernama Floria itu kan?” tanya seseorang dari mereka.
Flo yang mendengarnya hanya mengangguk saja tanpa menjawab sepatah kata pun. Ternyata hal itu membuat salah satu dari mereka naik pitam.
“Heh, jawab dong!”
“Iya. Aku memang Flo. Floria Fresilca.” Jawabnya dengan nada yang dingin.
“Nah, begitu dong. Kalau ada yang nanya jawab.” Ujar salah satu anak laki-laki itu.
Gadis itu beranjak dari posisinya dan berdiri di depannya.
“Ngomong-ngomong ada apa kalian mencariku?” tanya Flo balik.
Dengan angkuhnya, salah satu anak laki-laki langsung menjawabnya dengan nada yang keras.
“Hah, kau sedang menunggu Alisa kan? Orang Vitania sepertimu buat apa sok simpatik seperti itu? Lebih baik kau pergi dari kota ini. Kembali saja ke Vitania sana.”
“Apa maksudmu? Aku juga tinggal disini kok. Kenapa aku harus pergi?” jawab Flo dengan polos.
Mendengar jawaban itu, seorang anak laki-laki lainnya langsung emosi dan melontarkan kata-kata padanya.
“Heh, kau masih belum sadar juga ya, Floria? Orang Vitania sepertimu-lah yang telah menghabisi keluarga kami. Kalau kau sudah jadi gadis penyihir nanti, kau juga pasti akan memburu kami kan?”
Flo hanya tertunduk diam mendengarnya. Entah apa yang dipikirkan orang-orang ini. Mereka menganggap dirinya adalah monster yang akan menghabisi mereka di masa depan.
Gadis itu pun menjawabnya kembali dengan nada yang sama.
“Tidak. Aku tidak akan pergi dari tempat ini. Aku bukanlah penjahat seperti yang kalian kira. Lagipula...”
Flo menoleh ke arah pintu yang terbuka itu, di mana Alisa sedang dirawat oleh Weiss Karny.
“... Aku ingin bersama Alisa. Selalu bersamanya.”
Ucapan gadis itu ternyata membuat salah satu dari mereka semakin marah. Ia pun langsung menghampiri Flo dan berniat menamparnya.
“HALAH, OMONG KOSONG KAU. DASAR ORANG VITANIA!!!”
Hampir saja tangan itu menyentuh pipi sang gadis, tangan anak itu tiba-tiba langsung terhenti.
“Apa?”
***
Tamparan anak laki-laki yang diarahkan pada Flo itu berhasil dicegah oleh sang perawat. Weiss Karny yang baru saja mengobati Alisa menahan tangan sang anak dan menatapnya dengan tajam. “I-Ibu Weiss?” “Apa yang kau lakukan, Abraham? Menampar seorang gadis, apakah hal ini yang kami ajarkan padamu?” Kedua anak laki-laki di belakangnya nampak panik setelah melihat raut wajah sang perawat yang hendak memarahi mereka. Namun berbeda dengan anak bernama Abraham itu. Ia malah memberontak dan menjawabnya. “Tapi Ibu Weiss, gadis ini orang Vitania. Orang-orang yang telah menghabisi keluarga kita disini. Aku tidak akan pernah bisa berdamai dengannya.” Abraham terlihat sangat marah pada Flo, benci pada latar belakangnya. Gadis itu hanya diam saja mendengar hal itu, tak mampu berkata apa-apa. Tapi perawat Weiss langsung menasihatinya. “Dengarkan ini, Abraham. Meskipun dia orang Vitania dan kau orang Karelia, tapi kita masih sama-sama Hamu Kamina kan, sama-sama manusia Kamina?” “Itu, aku...” “
BOOM Bola-bola api yang pecah di angkasa itu menghantam berbagai objek yang ada di permukaan tanah. Jalan, kebun, hingga rumah warga, semuanya terkena serangan itu dan terbakar hebat. Sirine kota pun berbunyi. Kedamaian dan ketenteraman itu seketika berubah menjadi ketakutan dan kepanikan. “Ada serangan! Ada serangan!” “Tolong! Rumahku terbakar” “Anakku, dimana anakku?” Orang-orang berteriak dan berhamburan di jalanan, berlari kesana kemari tak tentu arah. Termasuk para anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut. Mereka menjerit dan menangis melihat suasana yang tiba-tiba berubah bak perang itu. Semuanya kacau, para perawat kewalahan menangani mereka. Alisa dan Floria terpaku di tempat itu, hanya bisa melihat dan mendengar kepanikan yang ada di balik jendela. “Apa ini?” Abraham dan kedua temannya yang tengah membeli sesuatu di kedai makanan itu pun juga tak luput dari kepanikan. Sambil melemparkan makanan yang telah mereka beli, ketiganya langsung kembali ke panti asuhan sambi
“JANGAAANNNN!!!!” KRIINNNGGGGG Alarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama. “Oh, sudah pagi ya?” Ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan. “Sudah waktunya sekolah.” Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah. Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Disana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi. Kelas dimulai
Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya. “Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina” Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula. Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada enam orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan tiga diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang. “Cih, ngapain dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan. Tak lama berselang, sang pengirim
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Gadis itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi. “Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” Gadis Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah. “Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.” “Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?” Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan sepatah dua patah kata. “Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.” Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar. “Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu k
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia. Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu. “Oke, sudah selesai.” Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah. “Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia.” Ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan. Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulik
Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas disini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal disini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini. Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania, yang dimulai dari kota kecil ini. “Yosh. Ayo kita mulai.” Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak satu kilometer dari kediamannya. “Wah, ramai sekali.” Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan makanan, h
BRUMM BRUMM Sebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya tengah hutan itu. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania. “Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang. “Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apapun disana.” Jawab Flo. “Oh, begitu ya?” “Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” Lanjut gadis Vitania itu. Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu. Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu. “Nah, kita sudah sampai.” Mereka berhenti di sebuah rumah tua yang