Share

Bab 4 : Gadis Penyihir

“JANGAAANNNN!!!!”

KRIINNNGGGGG

Alarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama.

“Oh, sudah pagi ya?” Ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan.

“Sudah waktunya sekolah.”

Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah.

Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Disana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi.

Kelas dimulai pukul delapan pagi. Para siswi bergegas menuju gedung sekolah mereka yang berjarak sekitar 100 meter dari asrama. Dan seperti biasanya, Alisa yang masih trauma akibat peristiwa di masa lalu itu berjalan sambil tertunduk lesu.

Saat sedang berjalan menuju kelas, seorang gadis lain menyahutnya dari belakang.

ALISA!!! SELAMAT PAGI!!!”

Alisa menengok ke arah suara itu. Terlihat seorang gadis berambut pirang panjang yang sedikit lebih tua darinya. Ia berlari ke arah Alisa itu sambil melambaikan tangan kanannya.

“Oh, Frenska? Selamat pagi juga.” Jawabnya dengan suara pelan.

“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya gadis berambut pirang panjang itu. Dirinya selalu bertanya seperti itu hampir setiap pagi.

“Seperti biasa.” Jawab Alisa sambil menunduk.

“Lah kau ini. Setiap aku tanya kabarmu pasti biasa biasa biasa terus. Gak ada jawaban lain apa?” kata Frenska.

“Memang kau ingin aku jawab apa?” tanya Alisa balik.

“Ya... Gimana gitu.” Ujar temannya itu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Rupanya ia juga masih bingung.

“hehe...” Alisa sedikit tertawa dengan senyuman tipis.

Gadis enerjik bernama Frenska Albertovia itu lalu memberitahukan suatu informasi menarik padanya.

“Oh iya, Alisa. Mulai hari ini aku akan pindah satu kamar denganmu ya.”

“Loh, kenapa?”

“Aku udah gak tahan sama Gisella. Dia selalu bawa rivalnya Griselia ke kamarku dan ribut terus sambil main perang bantal. Akhirnya aku ngajuin buat pindah dari kamarnya. Eh Kak Novi malah memasukanku di kamarmu. Boleh kan?”

“Oh, tidak masalah kok. Malah aku senang kau pindah ke kamarku. Aku jadi ada teman, hehe...” cakap Alisa sambil tersenyum.

KRIINNGGGG

Bel sekolah berbunyi pertanda kegiatan belajar mengajar dimulai. Sebuah ruangan kelas menyerupai ruang media yang cukup besar menjadi tempat bagi para siswi untuk belajar. Alisa sendiri duduk di barisan ketiga dari belakang sebelah kanan, tepatnya diantara kedua teman di sampingnya, di meja yang panjang ini.

Kelas pagi pun dimulai. Seorang pengajar wanita yang terlihat cukup tua memimpin jalannya kegiatan belajar mengajar di kelas ini.

“Baiklah anak-anak. Kita kembali membahas materi yang kemarin.” Ujar sang guru.

Para siswi menyimak dan mencatat apa yang disampaikan oleh wanita itu, termasuk juga Alisa yang menggunakan sebuah pulpen biru. Ia pun mulai menulis sejumlah materi yang disampaikan oleh sang guru.

Sambil mencatat poin-poin penting yang diucapkan oleh wanita itu, Alisa memandangi sebuah benda yang ada di jari tengah tangan kanannya. Benda itu menyerupai cincin batu akik berwarna merah, namun takkan pernah bisa dilepaskan seumur hidupnya.

Itu bukan sembarang cincin, melainkan benda ajaib yang memberikan kekuatan baginya untuk menggunakan ilmu sihir. Orang-orang di planet ini menyebutnya sebagai permata Angke.

“Jadi, sudah lebih dari setahun aku dirapalkan jadi gadis penyihir ya?” gumam Alisa dalam hati.

Tak terasa waktu istirahat pun tiba. Namun hari ini ia tak mengajak temannya yang berambut pirang itu. Berbagai menu masakan lezat disediakan di tempat ini, namun Alisa hanya ingin menikmati semangkuk sup saja dengan air mineral biasa seharga 7 Dim atau koin perak.

Tak lama berselang, ia pun bergegas kembali ke kelas tanpa bersenda gurau terlebih dahulu dengan siswi lainnya disana. Namun sayangnya tepat di taman sekolah dirinya menabrak siswi lainnya karena tak melihat ke depan. Alisa pun terjatuh.

“Hei, kalau jalan pakai mata ya!!!” bentak gadis yang ditabraknya itu. Ia adalah siswi berambut panjang berwarna emas.

“Maaf”

“Eh tunggu, Kau Alisa dari kelas 2-F kan?” tanya gadis itu setelah menyadari sesuatu.

“Eh, anu... kak...” Alisa terbata-bata menjawabnya.

Melihat hal tersebut, siswi yang ditabraknya itu memanfaatkan kesempatan.

“Berani sekali kau menabrakku seperti itu. Oh iya, kenapa kau kesini? Ini kan daerah terlarang bagi junior sepertimu.”

Teman-teman siswi senior tersebut menertawakan peristiwa itu di belakangnya.

“Eh, tunggu. Maaf kak, aku lupa.”

“Halah, cari alasan saja kau. Kemari! Sebagai hukuman karena kau sudah masuk wilayah kami tanpa izin, sekarang serahkan 1 Din padaku, cepat!”

Alisa pun mengeluarkan sebuah koin perak dari sakunya. Hal itu ternyata membuat sang siswi senior marah.

“AKU BILANG SATU DIN, BUKAN DIM!!!”

Siswi arogan itu pun merogoh paksa saku rok Alisa. Ia mengambil sekitar 1 Din atau koin emas dan 4 Dim dari saku gadis itu.

“Nah begini dong. Makanya dek jangan suka melawan aturan dari seniormu ini, haha,,,”

Siswi berambut panjang itu tertawa sambil melemparkan koin emas itu ke atas. Tetapi tiba-tiba terdengar ada seorang siswi lainnya yang merapalkan mantra.

TRODEN

WUSHH

Koin itu tertarik oleh sebuah tali bercahaya biru muda sampai jatuh ke tangan seorang siswi lainnya.

“Sudah cukup.” Ujar siswi berambut pendek itu.

“Hah? Lancang sekali anak kelas 1 sepertimu memerintahku. Apa kau tak pernah diajari sopan santun?” Kata siswi arogan itu setelah melihat penampilannya.

Tapi dengan berani siswi kelas 1 itu malah melawan balik seniornya tersebut.

“Sopan santun katamu? Apakah seseorang yang senang memalak barang milik orang lain perlu disambut dengan sopan santun? Kau bercanda ya? Jangan harap. Itu tidak adil.”

Mendengar perkataan berani dari anak kelas 1 tersebut membuat sang siswi arogan menjadi murka.

“Oh, adil katamu? Jadi maksudmu kami berbuat tidak adil disini, begitu? Baiklah, akan kutunjukkan apa itu ‘keadilan’ untukmu.”

Siswi senior itu memancarkan aura yang sangat kuat pertanda bahwa ia akan berubah ke dalam wujud gadis penyihir tingkat menengah ke atas. Sementara itu, anak kelas 1 yang menantangnya juga nampak siap menghadapinya. Tapi rupanya hal itu dihentikan oleh salah seorang temannya yang ada di belakang.

“Sudahlah, Sophie. Disini bukan tempat untuk bertarung. Kita bisa dihukum guru kalau bertarung disini.” Bisik seorang temannya di belakang.

Mendengar hal tersebut, siswi arogan itu menghentikan tranformasinya.

“Cih, baiklah. Saat ini aku biarkan kalian bebas, tapi tidak untuk ke depannya. Ayo pergi.” Ujarya sambil berpaling lalu meninggalkan mereka berdua.

Alisa memunguti beberapa koin perak yang berhamburan di tanah, sementara siswi kelas 1 itu menghampirinya untuk mengembalikan koin emas itu padanya.

“Kakak tidak apa-apa?” tanya gadis itu.

“Aku tidak apa-apa. Terima kasih.”

“Sama-sama, kak. Hadeh, mereka itu memang menyebalkan ya.”

Alisa pun kembali ke kelas bersama dengan siswi junior itu. Kebetulan mereka berjalan melewati jalan yang sama.

“Aku heran kak, disini kok masih ada orang yang berpikiran kuno seperti itu ya? Mentang-mentang senior bisa berbuat seenaknya pada kita para junior. Padahal di daerahku sendiri bisa dibilang sudah tak ada lagi yang seperti itu. Bahkan Departemen Pendidikan kotaku mengancam akan mencabut seluruh bantuan pendidikan pada murid seperti tadi.” Ujar gadis berambut pendek itu.

“Entahlah, aku juga tidak mengerti.” Jawab Alisa sambil tertunduk.

“Hadeh, dasar. Sepertinya mental mereka harus di renovasi ya, hahaha...” Guraunya.

Anak kelas 1 itu tertawa terbahak-bahak, sementara Alisa hanya tersenyum kecil.

“Oh iya, kita belum berkenalan.” Ujar Alisa sambil menoleh padanya.

“Eh iya juga kak, aku lupa hehe...”

Siswi kelas 1 itu memperkenalkan dirinya sambil menaruh tangannya di dada.

“Perkenalkan, namaku Linne, Linne Helenawicz dari Sullinheimr. Aku murid kelas 1-A.” Jelas anak itu. Dilihat dari penampilan dan gaya bicaranya menandakan dirinya merupakan seorang gadis tomboy.

“Salam kenal, Linne. Namaku Alisa Garbareva dari kelas 2-F. Aku berasal dari Telhi.”

Mendengar hal tersebut sontak membuat Linne terkejut bukan kepalang,

“Apa, Telhi?”

“Iya, Telhi.” Tegas Alisa.

Linne semakin penasaran dengan apa yang ia dengar tentang asal kota Alisa.

“Tunggu Kak Alisa. Itu kan kota yang pernah diserang sama Brigade Penyihir Garis Depan Vitania pada delapan tahun yang lalu kan?”

Pertanyaan yang dilontarkan Linne tersebut nampaknya malah mengingatkan Alisa akan peristiwa mengerikan yang terjadi di kotanya dulu.

“Eh... anu,,, iya.” Jawabnya terbata-bata.

“Wah, keren sekali. Bagaimana cara kakak bertahan dari serangan para pemberontak itu?”

Linne kembali bertanya sambil mendekatkan wajahnya pada Alisa. Hal itu malah makin membangkitkan memori kelamnya di masa lalu. Alisa pun hanya terdiam sambil memalingkan wajahnya dari Linne. Matanya juga terlihat berkaca-kaca. Linne yang menyadari hal itu pun langsung menarik diri.

“Eh... maafkan aku, Kak. Nampaknya aku terlalu sembrono dengan bertanya seperti itu.”

Linne memalingkan wajahnya. Namun Alisa terlihat tak mempermasalahkan hal itu. Ia pun tersenyum pada gadis itu sambil mengusap air matanya.

“Eh, tidak kok. Tenang saja, aku ini santai orangnya. Nanti akan kuceritakan.”

“Oke kak, terima kasih.”

Linne pun tersenyum padanya sebelum akhirnya mereka berpisah. Alisa pun kembali ke kelasnya.

Tak terasa hari pun sudah petang dan para siswi kembali ke kediaman mereka, baik di rumah sendiri maupun di asrama sekolah ini. Alisa yang baru selesai mandi dengan handuk di atas rambutnya yang basah itu masuk ke kamarnya. Di sana Frenska ternyata sudah pindah kamar. Ia terlihat sedang membereskan ruangan itu.

“Ah, Alisa. Selamat datang.” Sambut Frenska.

“Frenska? Kau sudah pindah?”

“Iya. Aku baru saja pindah hari ini.”

Frenska pun langsung membereskan kasur Alisa yang nampak sedikit kusut itu. Ia pun berusaha mencegahnya.

“Eh tunggu, Frenska. Bagian itu tak perlu dibereskan dulu.”

“Sudahlah, tidak apa-apa. Biar aku saja yang bereskan.” Frenska bersikeras.

“Oh, yasudah. Terima kasih. Maaf merepotkan.”

“Tak masalah. Lagipula kita kan teman sekamar, hehe...”

Menjelang malam, mereka berdua berbincang di kamar mereka sebelum tidur, hal yang biasa dilakukan oleh para penghuni asrama.

“Hei, Frenska.”

“Iya, Alisa?”

“Saat ini aku bingung. Sebenarnya aku senang tinggal disini. Hampir semua hal tersedia dan terjamin. Tapi aku rindu kampung halamanku di Telhi.” Ucap Alisa sambil memandangi langit-langit kamar asramanya.

“Ah, wajar sih.” Jawab Frenska santai.

“Tapi ada satu hal lain yang membuatku rindu selain dari kota itu.” Lanjut gadis Telhi itu.

“Apa itu?” Tanya Frenska sambil menoleh padanya.

“Aku juga rindu pada seseorang. Seorang teman yang selalu menemaniku sejak kecil saat masih di Telhi. Tapi sekarang aku tidak tahu dia dimana, dibawa oleh siapa dia, dan apa yang dia lakukan sekarang.”

Mendengar hal itu, Frenska pun berusaha menghiburnya.

“Oh, kalau begitu berharap saja kita dapat misi ke Telhi nanti, hehe...”

“Haha... Frenska bisa saja.” Mereka tertawa kecil.

“Oh iya. Hari sudah malam. Ayo kita tidur. Jangan sampai kita kesiangan meskipun besok kelas siang.” Ujar Frenska sambil berbalik.

Baru saja Alisa dan Frenska akan memejamkan mata, cincin yang mereka pakai tiba-tiba mengeluarkan cahaya, menandakan sebuah pesan masuk. Biasanya hal ini terkait dengan sebuah misi yang harus dijalankan. Alhasil mereka pun terbangun kembali.

“Duh, kok bisa-bisanya sih ada misi disaat kita mau tidur begini?” keluh Frenska.

“Apa boleh buat.” Jawab Alisa dengan santainya. Nampak dirinya masih belum mengantuk.

“Kau saja yang membukanya, Alisa.”

Alisa berdiri tegap menghadap jendela kamar asrama yang berbentuk persegi panjang itu. Ia membuat sebuah lingkaran dengan kedua jari tangan kanannya sampai muncul sebuah cahaya, lalu dirinya menekan pusat lingkaran cahaya tersebut sambil merapalkan mantra.

OPUN

Lingkaran itu kemudian melontarkan dua buah cahaya ke arah kiri dan kanan membentuk sebuah persegi panjang. Tepat di tengah-tengah persegi panjang itu muncul sebuah tulisan yang beraksara Archipelrunska, alfabet yang digunakan di Kerajaan Archipelahia. Alisa pun membaca pesan yang tertulis itu.

“Ini...”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status