Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya.
“Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina”
Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula.
Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada enam orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan tiga diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia.
Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang.
“Cih, ngapain dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan.
Tak lama berselang, sang pengirim pesan yang juga merupakan guru mereka, Rumia Firlidina muncul di depan panggung layaknya angin. Kedelapan siswi tersebut langsung teralihkan perhatiannya pada sang guru.
“Selamat malam, anak-anakku.”
“Nyonya Rumia.” Ucap seorang siswi
“Sebelumnya saya ingin meminta maaf karena memanggil kalian pada malam yang sejuk ini, namun ada satu misi yang harus kalian laksanakan.” Ujar sang guru.
“Misi?”
Rumia kembali melanjutkan penjelasannya.
“Sebagaimana dari hasil pengawasan radar kami, ada sejumlah pergerakan mencurigakan di sekitar hutan Tovnik, 15 kilometer arah tenggara dari sini. Karena merupakan hal yang tak terlalu mendesak, saya hanya memerintahkan kalian saja untuk memeriksa daerah itu. Namun jika menemukan hal yang mencurigakan, segera laporkan kemari, dan kami akan mengirimkan bantuan. Mengerti?”
“Siap, Nyonya Rumia.”
“Oke. Kalau begitu bergegaslah. Saya harap kalian bisa pulang dengan baik-baik saja.”
Para gadis penyihir pun berangkat menuju tempat yang dituju.
Tiga puluh menit berlalu. Tak terasa Alisa dan Frenska sudah sampai di wilayah hutan Tovnik. Mereka berjalan di sebuah jalan tanah kecil yang memiliki dua persimpangan, satu jalan menuju perkampungan penduduk dan satu jalan lagi menuju reruntuhan bangunan kuno.
“Sejauh ini masih aman, tapi kita harus tetap waspada.” Ucap Alisa kepada Frenska.
“Yes.” Jawabnya sambil mengeluarkan senjata miliknya yang berupa sebuah tongkat hijau yang ia beri nama ‘Green Elder’.
Semuanya nampak biasa saja, tidak ada yang aneh. Suara jangkrik di malam hari dan angin dingin berhembus mewarnai misi mereka. Tapi hal itu tak bertahan lama sampai sebuah pergerakan terlihat di depan mereka, atau lebih tepatnya dari balik semak-semak persimpangan itu.
Keduanya lalu mempersiapkan senjata untuk bertarung, namun ternyata orang yang tak asing bagi mereka keluar dari semak-semak itu.
“Huh. Bagaimana kalau kita selesaikan disini saja? Alisa Garbareva.”
Tiga orang gadis keluar dari semak-semak itu yang tak lain adalah senior mereka, Sophie Alkatiri, Rinka Sukhova, dan Jouiria Valderlia. Ketiganya menatap Alisa dan Frenska dengan tatapan sinis.
“Kak Sophie?”
“Aku masih belum bisa memaafkanmu soal yang tadi siang. Dan sekaranglah saatnya bagi kami untuk memberimu pelajaran.”
Sophie mengarahkan pedang miliknya pada Alisa dan Frenska. Sementara itu Rinka mengeluarkan sebuah tombak abu-abu dan Jouiria memanggil sepucuk senjata api berjenis shotgun.
“Tunggu kak. Sekarang bukan saatnya kita bertarung.” Alisa berusaha menahan mereka.
“Dia benar. Tujuan kita disini kan hanya untuk memeriksa daerah ini saja.” Tambah Frenska.
“Diam kalian! Akan kuberi kalian pelajaran karena telah mencari masalah dengan kami.”
Tak mengindahkan perkataan mereka berdua, Sophie langsung berlari ke arah keduanya untuk menyerang. Mereka pun terpaksa mengambil posisi bertahan. Namun tanpa diduga, langkah kaki Sophie terhenti oleh hembusan angin yang aneh. Angin itu terasa lebih dingin dari biasanya.
“Cih, apa lagi ini?” Sophie terkejut.
“Angin yang aneh. Apa jangan-jangan...”
Belum sepenuhnya mereka sadar, angin dari arah selatan itu tiba-tiba bertiup kencang disertai kemunculan kabut asap yang sangat pekat. Ternyata kabut itu dihasilkan oleh sihir air. Jarak pandang pun terhalang olehnya.
Dalam suasana yang mengejutkan tersebut, Alisa langsung melompat ke atas dahan pohon yang tinggi di belakangnya dan menutup kepalanya untuk menghindari kabut itu, khawatir kabut sihir tersebut mengandung racun berbahaya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Alisa dalam hati.
Pandangannya terfokus pada kabut tebal itu sebelum akhirnya dia menyadari sesuatu.
“Oh iya. Frenska?”
Kabut sihir itu perlahan menghilang dari permukaan tanah, namun Frenska beserta tiga seniornya itu menghilang entah kemana.
“Hah? Hilang? Kemana mereka?”
Alisa nampak kebingungan mencari rekannya. Dalam kondisi tersebut, kemampuan sensor sihirnya mendeteksi aura musuh yang siap menyerangnya. Ia pun menengok ke berbagai arah.
“Dimana dia? Depan, kiri, kanan, belakang, bawah...”
Alisa mencari keberadaan musuh sebelum akhirnya menyadarinya.
“Atas!!!”
Tepat saat dirinya menengadah ke langit, terlihat sesosok bayangan manusia yang menutupi sebagian purnama.
“Musuh!!!”
Alisa sontak melompat dengan cepat dari dahan pohon itu sebelum sosok misterius tersebut menghantamnya hingga patah. Alisa bersiap melawan dengan belatinya. Diterangi cahaya bulan Folmane, wujud nyata dari sosok tersebut akhirnya terlihat.
Dia adalah seorang gadis dengan wajah tertutup jubah yang hampir sama seperti yang dipakai Alisa. Tangannya memegang sebuah pedang berukuran cukup besar menyerupai pisau daging dengan dua lubang kotak di bagian matanya. Kilatannya terlihat dari sinar rembulan. Dari penampilannya sudah dapat dipastikan bahwa dia merupakan seorang gadis penyihir Vitania.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Alisa dengan kondisi wajah yang tertutup jubah.
Gadis misterius itu sempat terkejut karena mendengar suara Alisa, seakan mendengar suara yang tak asing baginya. Tetapi dia tak terlalu menghiraukannya dan malah menyerang Alisa dengan pedang yang ia genggam. Adu senjata pun tak terhindarkan.
TRING TRING
Disaat ada peluang bagi Alisa untuk menyerang kakinya, dengan reflek gadis misterius itu melompat salto ke belakang. Posisi kedua tangannya terlihat seperti burung yang sedang terbang. Tidak salah lagi, itu adalah ‘Teknik Angsa Langit Timur’, salah satu gaya ‘Dancing Art’ paling dikenal di Vitania.
"Apa?"
Gadis misterius itu bertumpu pada batang pohon sebelum melesat untuk menyerang balik Alisa. Untungnya ia dengan cepat menyadari hal itu dan langsung menggunakan teknik bertarung tangan kosong istimewanya, ‘Tarian Angin Puyuh Musim Dingin’.
WUSHH
‘Dancing Art’ ini memanfaatkan angin yang dihasilkan dari serangan lawan untuk membuatnya berputar dan melancarkan serangan balik.
BRUKK
Alisa pun berhasil menghindari serangannya dan menendang bagian punggung atas gadis itu hingga membuatnya terpental cukup jauh. Namun gaya bela dirinya tersebut belum sempurna sehingga Alisa sempat kehilangan keseimbangan.
“Huff...”
Seakan tak menyerah, gadis misterius itu pun bersiap untuk melancarkan serangan kembali. Namun kali ini dia menundukkan tubuhnya, mengambil ancang-ancang dengan kedua tangan memegang pedang di sebelah kirinya.
Tubuhnya terlihat berada di atas genangan air. Dirinya lalu merapalkan sebuah mantra sebelum terdengar suara tetesan air. Sepertinya dia akan menggunakan teknik sihir.
“RYST SILKA”
Benar saja perkiraannya. Gadis misterius itu langsung melesat dengan cepat ke arah Alisa dengan memanfaatkan genangan air tersebut sebagai pegas.
Alisa yang terkejut melihatnya langsung memutar belatinya dan mengarahkannya ke depan dengan telapak tangan kiri yang terbuka, sebelum dirinya merapalkan mantra penahan serangan.
“VAIA”
Sebuah tameng sihir yang terbuat dari pusaran angin sempat terbentuk sebelum gadis misterius itu menghantamnya. Karena serangannya cukup kuat, keduanya terpental jauh sampai penutup jubah mereka terlepas.
“Aghh...”
Alisa terhempas ke belakang dan menghantam pohon di belakangnya. Untungnya hantaman tersebut tak terlalu berarti baginya. Ia masih bisa berdiri meskipun dengan sedikit terpapah-papah, mendekati gadis misterius tersebut yang terhalang oleh debu akibat serangan tadi.
Gadis misterius itu tertunduk lelah akibat serangan itu. Terlihat sedikit luka di pipinya. Debu pun perlahan menghilang tertiup angin dan membuat kepala sang gadis itu semakin terlihat jelas.
“Kau?”
Alisa terkejut setelah ia melihat wujud aslinya. Gadis itu lalu menoleh ke arah Alisa. Wajahnya yang cantik nan dingin itu pun akhirnya terlihat dengan jelas. Mereka pun saling bertatap muka. Alisa terpaku melihat wajahnya. Mulutnya terbuka lebar dan hampir tak bisa berkata apa-apa.
“Flo?”
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Gadis itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi. “Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” Gadis Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah. “Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.” “Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?” Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan sepatah dua patah kata. “Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.” Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar. “Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu k
Pagi telah tiba. Sang bintang biru Formalha kembali menyinari Kartovik. Di hari yang cerah ini saatnya bagi Alisa untuk pergi dari sekolahnya demi melaksanakan Program Akselerasi ke wilayah yang dikenal tertutup dan misterius, Daerah Otonom Vitania di timur Kerajaan Archipelahia. Hari ini Frenska masih tertidur karena sekarang kelas sore. Sementara Alisa sudah membereskan semua barang-barangnya tanpa mengganggu tidur lelap teman sekamarnya itu. “Oke, sudah selesai.” Ia pun bersiap untuk berangkat. Namun sebelum meninggalkan kamarnya, terlebih dahulu ia mengenakan sepasang sarung tangan khusus yang diberikan padanya dari pihak sekolah. “Pakailah sarung tangan ini selama menjalani program. Itu akan melindungi identitasmu sebagai gadis penyihir Karelia.” Ujar kepala sekolah saat memberikannya sebelum keberangkatan. Alisa berjalan menuju gerbang kompleks sekolah. Terlihat Sophie yang kini bersama lima temannya kembali memandangi gadis itu dengan sinis, namun ia kali ini tak mempedulik
Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas disini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal disini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini. Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania, yang dimulai dari kota kecil ini. “Yosh. Ayo kita mulai.” Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak satu kilometer dari kediamannya. “Wah, ramai sekali.” Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan makanan, h
BRUMM BRUMM Sebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya tengah hutan itu. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania. “Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang. “Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apapun disana.” Jawab Flo. “Oh, begitu ya?” “Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” Lanjut gadis Vitania itu. Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu. Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu. “Nah, kita sudah sampai.” Mereka berhenti di sebuah rumah tua yang
Mentari naik ke atas langit menyinari daratan Vitania di planet Kamina ini. Gadis berambut pendek bernama Alisa Garbareva itu nampak tengah membantu teman lamanya Floria memetik bunga. Berbagai jenis bunga di kebun itu mereka petik untuk nantinya dijual pada masyarakat kota. “Segini sudah cukup, Flo?” tanya Alisa. “Sudah lebih dari cukup malah. Ayo kita pergi.” Dengan mengendarai Motosicca, mereka pun menuruni bukit Selenaberg untuk sampai ke kota. Hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari kediaman Flo, mereka sudah bisa melihat sebuah gapura besar yang melintang di atas jalan. “Kita sudah tiba. Willkommen in Matrotshaven” Ujar Flo yang artinya ‘Selamat Datang di Matrotshaven’ dalam bahasa Vitania. “Whoa... Besar sekali kota ini.” Ucap Alisa kagum. Matrotshaven, nama sebuah kota besar di selatan Selenaberg. Walaupun bukan ibukota Daerah Otonom Vitania, tapi kota ini cukup besar untuk menampung ratusan ribu orang. Pemandangan kota yang penuh dengan ruko dan bangunan bertingkat ti
“Huh... huh... huh...” “WOY BERHENTI KAU BOCAH SIALAN!!!” Seorang pria berusia 30 tahunan terlihat mengejar seseorang di sebuah gang sempit hingga masuk ke trotoar samping jalan besar. Pengejaran itu sempat membuat arus lalu lintas menjadi terhambat. “TAKKAN KUBIARKAN KAU LEPAS!!!” Pria itu nampak mengejar seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang mengenakan jaket lusuh berwarna abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya. Ia tengah berlari sambil membawa sebuah bungkusan berukuran sedang di pelukannya. Anak itu berlari untuk menghindari kejaran pria di belakangnya. Namun karena tak melihat jalan, dirinya tertabrak sebuah Motosicca yang tengah melaju di jalanan yang ia lewati. BRUKK “Ahh,,,” Dirinya terjatuh ke aspal beserta barang yang dibawanya. Itu adalah bungkusan berisi Clatenda, sejenis nasi yang dibungkus oleh dedaunan. “Gawat.” Flo yang tidak sengaja menabrak anak itu langsung menghentikan Motosicca-nya. Sementara itu, Alisa langsung menghampirinya. “Kau tidak a
Rembulan perlahan naik ke atas. Tak seperti biasanya di mana Alisa merangkum informasi yang ia dapatkan, kali ini dirinya hanya melamun sambil berbaring di tempat tidur dan memeluk sebuah bantal. Flo pun menghampirinya. “Alisa, kau tidak merangkum lagi?” “Tidak. Nanti saja.” “Kau tidak apa-apa? Apa kau sakit?” “Tidak kok, aku baik-baik saja.” Ekspresinya tidak bisa membohongi Flo. Karena tidak mau membicarakan apa yang ia pikirkan, Flo pun berusaha menghiburnya. “Hadeh, A-LI-SA!!!” BRUKK Gadis itu melompat ke kasur hingga membuat Alisa hampir terjungkal karenanya. “Ah, Flo. Kenapa sih?” Sambil menahan dagunya dengan kedua tangan, Flo yang telungkup di kasur itu memandangi wajah Alisa. “Aku lihat kau melamun terus. Kau masih memikirkan Akiha dan keluarganya kan?” tanya gadis berambut panjang itu. “Anu, aku...” “Sudah tidak apa-apa. Nanti kita kesana lagi kalau ada waktu.” “Bukan itu yang kupikirkan.” Alisa sedikit mengalihkan pandangannya. “Lantas apa?” “Aku takut terja
Fajar telah tiba. Beberapa orang di kota masih tertidur lelap, namun sebagian sudah ada yang keluar rumah. Mereka ada yang bergegas untuk bekerja, dan ada pula yang hanya sekedar membersihkan halamannya. Pintu sebuah apartemen kecil dibuka perlahan oleh seorang wanita agar tidak menimbulkan kegaduhan di sekitarnya. Ia pun masuk ruangan itu dan menutup pintunya kembali dengan pelan. “Sepertinya semuanya masih tertidur lelap.” Pikir wanita itu. Tapi perkiraannya salah. Tepat saat dirinya menutup pintu, lampu ruangan itu tiba-tiba menyala dan membuatnya terkejut. Terlihat dua orang gadis muda tengah berdiri di depannya. “Kak Katie.” “Eh, Alisa, Flo, kalian sudah bangun ya?” “Kau kemana saja?” tanya Flo dengan tatapan tajam. “Itu- aku tadi keluar sebentar mau beli-“ Katie berusaha mengelak, tapi Flo sudah terlanjur mengetahui semuanya. “Tidak. Kau sudah keluar sejak tengah malam. Aku tahu itu.” “Eh, apa maksudmu Flo?” “Kenapa kau berbohong pada kami? Kenapa kau melakukan hal yan