Ayam berkokok di pagi hari terdengar jelas disini, hal yang tak mungkin bisa ditemukan di Kartovik maupun kota besar lainnya. Ini karena Vestaria sendiri hanyalah sebuah kota kecil yang kumuh. Jalanan aspal disini banyak yang berlubang, sebagiannya lagi malah masih berupa tanah. Trotoar tempat pejalan kaki pun banyak dipenuhi sampah, serta hewan ternak yang lalu lalang di jalanan menambah kesan kumuh kota ini. Namun hal itu tak menyurutkan Alisa untuk memulai penelitiannya tentang masyarakat Vitania, yang dimulai dari kota kecil ini. “Yosh. Ayo kita mulai.” Awalnya Alisa hendak mewawancarai nenek pemilik rumah yang ia tinggali sekarang. Namun karena dirinya sedang sakit-sakitan dan tengah tertidur, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk mencari narasumber lain di Pasar Vestarlut, tempat jual beli yang terletak satu kilometer dari kediamannya. “Wah, ramai sekali.” Layaknya pasar pada umumnya, banyak sekali orang yang berjual beli di tempat ini. Dari berbagai bahan makanan, h
BRUMM BRUMM Sebuah kendaraan bermotor dengan dua roda terlihat melesat di jalan raya tengah hutan itu. Kendaraan yang disebut sebagai Motosicca itu dikendarai oleh dua orang gadis. Mereka berangkat dari Vestaria menuju sebuah kota yang lebih besar yang terletak di tengah-tengah daratan Vitania. “Jadi, aku harus meninggalkan Vestaria, Flo?” tanya Alisa yang dibonceng di belakang. “Sayang sekali kau harus melakukannya. Kau tidak akan mendapatkan apapun disana.” Jawab Flo. “Oh, begitu ya?” “Kalau kau mau mendapatkan informasi yang lebih baik, kau harus pergi ke kota yang lebih besar.” Lanjut gadis Vitania itu. Alisa pun terpaksa menuruti saran dari temannya itu. Setelah melesat menembus kabut malam, akhirnya mereka sampai di sebuah distrik kecil di lereng perbukitan. Distrik itu langsung terhubung dengan kota besar yang ada di depannya. Namanya Selenaberg, dinamai sesuai dengan nama bukit di belakang distrik itu. “Nah, kita sudah sampai.” Mereka berhenti di sebuah rumah tua yang
Mentari naik ke atas langit menyinari daratan Vitania di planet Kamina ini. Gadis berambut pendek bernama Alisa Garbareva itu nampak tengah membantu teman lamanya Floria memetik bunga. Berbagai jenis bunga di kebun itu mereka petik untuk nantinya dijual pada masyarakat kota. “Segini sudah cukup, Flo?” tanya Alisa. “Sudah lebih dari cukup malah. Ayo kita pergi.” Dengan mengendarai Motosicca, mereka pun menuruni bukit Selenaberg untuk sampai ke kota. Hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari kediaman Flo, mereka sudah bisa melihat sebuah gapura besar yang melintang di atas jalan. “Kita sudah tiba. Willkommen in Matrotshaven” Ujar Flo yang artinya ‘Selamat Datang di Matrotshaven’ dalam bahasa Vitania. “Whoa... Besar sekali kota ini.” Ucap Alisa kagum. Matrotshaven, nama sebuah kota besar di selatan Selenaberg. Walaupun bukan ibukota Daerah Otonom Vitania, tapi kota ini cukup besar untuk menampung ratusan ribu orang. Pemandangan kota yang penuh dengan ruko dan bangunan bertingkat ti
“Huh... huh... huh...” “WOY BERHENTI KAU BOCAH SIALAN!!!” Seorang pria berusia 30 tahunan terlihat mengejar seseorang di sebuah gang sempit hingga masuk ke trotoar samping jalan besar. Pengejaran itu sempat membuat arus lalu lintas menjadi terhambat. “TAKKAN KUBIARKAN KAU LEPAS!!!” Pria itu nampak mengejar seorang anak perempuan berusia 13 tahun yang mengenakan jaket lusuh berwarna abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya. Ia tengah berlari sambil membawa sebuah bungkusan berukuran sedang di pelukannya. Anak itu berlari untuk menghindari kejaran pria di belakangnya. Namun karena tak melihat jalan, dirinya tertabrak sebuah Motosicca yang tengah melaju di jalanan yang ia lewati. BRUKK “Ahh,,,” Dirinya terjatuh ke aspal beserta barang yang dibawanya. Itu adalah bungkusan berisi Clatenda, sejenis nasi yang dibungkus oleh dedaunan. “Gawat.” Flo yang tidak sengaja menabrak anak itu langsung menghentikan Motosicca-nya. Sementara itu, Alisa langsung menghampirinya. “Kau tidak a
Rembulan perlahan naik ke atas. Tak seperti biasanya di mana Alisa merangkum informasi yang ia dapatkan, kali ini dirinya hanya melamun sambil berbaring di tempat tidur dan memeluk sebuah bantal. Flo pun menghampirinya. “Alisa, kau tidak merangkum lagi?” “Tidak. Nanti saja.” “Kau tidak apa-apa? Apa kau sakit?” “Tidak kok, aku baik-baik saja.” Ekspresinya tidak bisa membohongi Flo. Karena tidak mau membicarakan apa yang ia pikirkan, Flo pun berusaha menghiburnya. “Hadeh, A-LI-SA!!!” BRUKK Gadis itu melompat ke kasur hingga membuat Alisa hampir terjungkal karenanya. “Ah, Flo. Kenapa sih?” Sambil menahan dagunya dengan kedua tangan, Flo yang telungkup di kasur itu memandangi wajah Alisa. “Aku lihat kau melamun terus. Kau masih memikirkan Akiha dan keluarganya kan?” tanya gadis berambut panjang itu. “Anu, aku...” “Sudah tidak apa-apa. Nanti kita kesana lagi kalau ada waktu.” “Bukan itu yang kupikirkan.” Alisa sedikit mengalihkan pandangannya. “Lantas apa?” “Aku takut terja
Fajar telah tiba. Beberapa orang di kota masih tertidur lelap, namun sebagian sudah ada yang keluar rumah. Mereka ada yang bergegas untuk bekerja, dan ada pula yang hanya sekedar membersihkan halamannya. Pintu sebuah apartemen kecil dibuka perlahan oleh seorang wanita agar tidak menimbulkan kegaduhan di sekitarnya. Ia pun masuk ruangan itu dan menutup pintunya kembali dengan pelan. “Sepertinya semuanya masih tertidur lelap.” Pikir wanita itu. Tapi perkiraannya salah. Tepat saat dirinya menutup pintu, lampu ruangan itu tiba-tiba menyala dan membuatnya terkejut. Terlihat dua orang gadis muda tengah berdiri di depannya. “Kak Katie.” “Eh, Alisa, Flo, kalian sudah bangun ya?” “Kau kemana saja?” tanya Flo dengan tatapan tajam. “Itu- aku tadi keluar sebentar mau beli-“ Katie berusaha mengelak, tapi Flo sudah terlanjur mengetahui semuanya. “Tidak. Kau sudah keluar sejak tengah malam. Aku tahu itu.” “Eh, apa maksudmu Flo?” “Kenapa kau berbohong pada kami? Kenapa kau melakukan hal yan
BRUM BRUMM Gadis bernama Floria itu mengemudikan Motosicca-nya dengan cepat. Raut wajahnya masih menunjukkan amarah pada saat itu hingga dirinya hampir tidak fokus memperhatikan jalan yang ia lalui untuk pergi ke Trossbourgh. “Cih, kenapa?” Flo bergumam. WUSHH Motosicca yang dikendarainya melewati genangan air hingga membuatnya terciprat ke trotoar. Flo mengemudikan kendaraan itu sambil melamun. “Flo.” Alisa yang diboncengnya berusaha untuk menenangkan gadis itu, namun dirinya bingung apa yang harus ia katakan. “Kenapa masih ada orang yang seperti itu, memanfaatkan orang lain untuk kejahatannya?” Flo masih bergumam sambil melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Saking cepatnya, Alisa hampir terjatuh saat Motosicca itu menukik cukup tajam di sebuah pertigaan. “Ah, Flo...” Namun gadis berambut panjang itu masih bergumam dan tak mempedulikan apa-apa di sekitarnya. “Kenapa?” Tak terasa mereka sudah berada di Distrik Utara Salzyburg. Hanya kurang dari dua kilometer lagi untuk kelu
Sebuah gerbang yang cukup besar berada tepat di depan mata mereka. Gerbang mewah itu dilapisi oleh marmer putih dengan hiasan berwarna emas pada sisi dindingnya. Itu bukanlah besi yang dicat oleh warna emas, melainkan benar-benar emas murni sungguhan. Tepat setelah mereka masuk, terlihat sebuah taman hijau yang sedikit berbukit memanjakan mata ketiganya. Terlihat beberapa bunga yang tumbuh disana, dan yang paling banyak adalah bunga tulip biru utara khas Vitania. “Indah sekali.” Gumam Alisa. Sebelum masuk lebih jauh, gadis berambut cerah yang kini mengenakan sebuah gaun putih dengan penutup mata medis di mata kirinya mengantarkan mereka pada para penjaga di pintu itu. Terlihat ada tiga orang pria dengan kemeja putih dan celana hitam yang tengah mengobrol di depan pos bercat putih tersebut. Mereka yang melihat sang gadis langsung menyapanya. “Ah, Nyonya Muda. Willkommen zurück. Selamat datang kembali.” “Hai kalian. Oh iya Roger, ngomong-ngomong kau ahli mekanik kan? Bisakah kau mem