“Bersiap-siap karena apa, Yang Mulia? Apakah akan ada penyerangan kepada kita atau seperti apa?” tanya Surapati, wajahnya serius dan ada guratan kecemasan dari wajahnya yang sudah dipenuhi oleh kerutan.Rajendra tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke arah Sarta. “Sarta,” panggilnya, suaranya tenang. “Kumpulkan beberapa pasukan lagi di pintu masuk. Kita butuh lebih banyak orang."Sarta mengerutkan dahi. "Berapa orang, Yang Mulia?" tanyanya."Sepuluh orang lagi," jawab Rajendra. "Campur dengan warga Gunung Jaran yang memiliki kemampuan ilmu beladiri bagus. Pastikan mereka bersenjata dan siap."Sarta mengangguk. Ia tahu, Rajendra tidak akan memerintahkannya melakukan ini tanpa alasan. Ia segera menjalankan perintah, berlari untuk mengumpulkan pasukan.Surapati menatap Rajendra. "Sebenarnya ada apa, Yang Mulia?" tanyanya lagi. "Anda membuatku cemas. Apa yang Anda rasakan? Apakah Anda yakin ini bukan hanya firasat biasa?"Rajendra menatap Surapati. Matanya dalam. "Apakah paman tidak merasa
Amarah Giriprana yang membara menggerakkan rombongannya bagai badai. Mereka melaju kencang, menembus hutan, meninggalkan desa yang sunyi. Di antara derap kaki kuda, bisikan-bisikan mulai terdengar."Bersiaplah, sesampainya di sana, mungkin kita akan langsung bertarung," kata seorang pria berpostur tinggi namun sedikit kurus, suaranya parau."Ya. Kita harus siap," timpal pria berbadan kekar. "Meskipun kita tidak tahu siapa lawan kita dan berapa banyak mereka, tapi kita harus mengeluarkan seluruh kemampuan kita.""Jangan takut," ucap pria lain. "Kemampuan kita jauh lebih baik dari mereka. Kita dilatih oleh beberapa pendekar hebat secara langsung. Ilmu kita jauh lebih besar."Mereka semua tahu. Pertarungan sudah di depan mata. Mereka tidak sabar. Mereka ingin menghancurkan Rajendra, pemimpin yang berani menantang mereka. Amukti Muda Giriprana, yang berada di depan, tidak sabar melihat ekspresi ketakutan Rajendra. Ia ingin melihat Rajendra berlutut, memohon ampun. Ia ingin melihat Rajendr
Rombongan Amukti Muda Giriprana, yang awalnya dipenuhi aura kesombongan, kini diliputi ketegangan yang pekat. Suasana sepi di desa itu bukan lagi tanda yang aneh, melainkan pertanda buruk. Wira menunjuk ke tanah, membuat semua orang terdiam."Ada apa, Wira?" tanya Giriprana, nadanya dipenuhi ketidaksabaran."Coba lihat ini, Yang Mulia," jawab Wira, suaranya bergetar. Ia menunjuk ke tanah yang berwarna lebih gelap. Tanah itu lembap, dan di sana-sini, ada tetesan merah yang kering. "Ini... darah."Semua mata terbelalak, termasuk Giriprana. Ia ternganga. Ia tidak bisa percaya. Ia langsung menyimpulkan bahwa telah terjadi pembantaian. Pikirannya tidak bisa memproses hal lain. Desa ini, yang dikuasai preman-preman kejam, telah dibantai. Siapa yang bisa melakukan ini?"Cari! Cari jejak darahnya! Cari mayatnya!" teriak Giriprana, suaranya nyaris pecah. "Aku ingin tahu siapa yang berani berbuat sejauh ini!"Semua anak buah Giriprana, yang berjumlah 15 orang, yang merupakan gabungan dari anak
Tama menggeram marah. Ia menatap mata Aditya, yang dipenuhi kegilaan, dan ia merasa seolah-olah ia sedang menatap sebuah jurang. L"Kamu sungguh tidak tahu diri!" geram Tama. "Kamu berani sekali mengatakan hal seperti itu!"Aditya hanya tersenyum. Senyumnya dipenuhi dengan provokasi. "Silakan saja bunuh aku," tantang Aditya, suaranya serak namun penuh keyakinan. "Bunuh aku sekarang juga. Karena sebentar lagi, sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada kalian. Kalian akan mati! Aku tidak akan rugi. Aku akan mati, tapi kalian semua juga akan mati! Hahaha!"Tama tidak tahan. Darah panasnya mendidih. Ia menjambak rambut Aditya hingga membuatnya berdiri, lalu ia memukul wajah Aditya dengan tinju kanannya. Sial!Pukulan itu sangat keras. Bibir Aditya mengucurkan darah segar. Posisi Aditya yang diikat di tiang, membuat pukulan itu tidak membuatnya terpental, tetapi justru lebih menyakitkan. Rasanya seolah seluruh kekuatan pukulan Tama diserap oleh tiang itu dan memantul langsung ke tubuh Adit
Pemandangan pembangunan yang terus berpacu di depan mata Rajendra membuatnya merasa puas. Namun, ia tidak lupa bahwa setiap langkah maju harus diperhitungkan dengan matang.Surapati, yang memiliki pengalaman lebih banyak dalam urusan pemerintahan dan strategi, berjalan di sampingnya, mengamati setiap detail."Yang Mulia," ucap Surapati, nadanya serius. "Saya rasa, Anda tidak seharusnya memberikan wilayah terlalu luas kepada Manadipa. Wilayah kita ini masih sangat kecil, dan kita perlu benteng yang tebal dan kokoh, yang tentunya akan memakan banyak lahan. Jika kita terlalu bermurah hati, kita bisa menyesalinya di kemudian hari."Rajendra mengangguk, ia mengerti kekhawatiran itu. "Aku sedang menimbang dan menghitungnya, Paman. Aku akan memberikan yang terbaik untuk kedua belah pihak."Surapati menghela napas, ia menghargai jawaban Rajendra. "Sebenarnya, wilayah kita ini sangat kecil. Jadi, saya hanya mengingatkan saja, Yang Mulia. Jangan diambil hati. Saya hanya khawatir.""Tenang saja,
Bhaskara menatap Rajendra dengan mata penuh tanya, tubuhnya masih sedikit gemetar. Ia telah melihat banyak hal aneh, tapi kegilaan yang disertai ancaman kehancuran dari Aditya ini terasa berbeda."Yang Mulia," ucapnya, suaranya parau. "Apa yang harus kita lakukan? Jika memang diperintahkan untuk membunuh... saya akan melakukannya."Rajendra menggelengkan kepalanya dengan tegas. Tatapannya lurus, menunjukkan tidak ada keraguan sedikit pun. "Tidak perlu, Bhaskara. Jangan lakukan itu. Kita bukan pembunuh. Jangan kotori tanganmu. Apalagi saat ini desa kita baru akan bangkit, tidak perlu ada darah kotor yang mengalir dari diri orang jahat seperti Aditya.""Tapi, dia akan menjadi masalah, Yang Mulia," balas Bhaskara, kekhawatirannya terlihat jelas. "Kata-katanya... saya tidak bisa mengabaikannya.""Aku tahu," jawab Rajendra. "Aku merasakan hal yang sama. Aku percaya firasatmu."Rajendra menatap Bhaskara, lalu melanjutkan. "Untuk saat ini, amati saja perilakunya. Jika dia mulai berteriak lag