Suara tawa menyeramkan itu membuat Bhaskara merinding. Ia menoleh, melihat Aditya tertawa terbahak-bahak dengan mata melotot. Tawanya seperti iblis yang siap mencabik-cabik."Diam kau!" bentak Bhaskara, lalu menampar wajah Aditya dengan keras. "Jaga bicaramu!"Aditya tidak berhenti. Tawanya malah semakin keras. "Kau akan mati, Bhaskara! Kau akan ditelan bumi hidup-hidup! Tubuhmu akan dikuliti! Kau akan mati!" teriaknya.Bhaskara yang tadinya sangar, kini mulai ciut. Ia mundur selangkah, menatap Aditya dengan mata penuh ketakutan. Ekspresi Aditya begitu mengerikan, seperti iblis yang telah bangkit dari neraka."Kau akan mati. Tubuhmu akan dikuliti!" bisik Aditya, lalu sedetik kemudian, ia tertawa lagi.Bhaskara tidak tahan. Ia menampar wajah Aditya sekali lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia tidak ingin mendengar lagi suara tawa itu. Ia tidak ingin mendengar lagi ancaman itu. Ia pun menjauh, membiarkan Aditya sendirian.Tiba-tiba, suara perempuan menangis sambil berlari terde
Arwan menghela napas. Ia menatap wajah-wajah bingung di hadapannya. Ia tahu, mereka tidak akan mengerti jika ia tidak menjelaskan semuanya. Ia harus meyakinkan mereka, ia harus membuat mereka percaya."Mereka datang ke sini," ucap Arwan, suaranya tenang dan tegas, "karena mereka ingin perubahan dalam hidup mereka. Selama ini, mereka tertindas di desa mereka sendiri. Kepala desa mereka serakah dan kejam, mengambil hak-hak mereka, membiarkan mereka kelaparan, dan hidup dalam ketakutan. Mereka datang ke sini karena mereka tahu, di sini, mereka akan menemukan kehidupan yang lebih baik."Seorang warga, seorang pria yang memegang parang, mengerutkan kening. "Tapi kenapa harus ke sini? Desa kita ini adalah desa terpencil, Kepala Desa. Seharusnya mereka pergi ke kota, di sana mereka bisa mendapatkan pekerjaan, di sana mereka bisa hidup lebih layak."Arwan tersenyum. Senyum penuh makna. "Kau salah, saudaraku. Justru di sini adalah permulaan dari kejayaan dan kesejahteraan. Di sini, kita akan m
Rajendra menatap Ranting dengan lembut. "Angkat kepalamu, Nak," ucapnya dengan nada menenangkan. "Aku ingin melihat wajahmu."Ranting perlahan mengangkat kepalanya. Matanya yang sembab bertemu dengan tatapan hangat Rajendra. Rasa malu masih terlihat jelas di wajahnya. "Maafkan saya, Tuan," lirih Ranting."Maaf untuk apa, Ranting?" tanya Rajendra, mengerutkan kening. "Kau sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Justru, ini adalah tugas kami untuk menyelamatkanmu. Jangan pernah merasa bersalah karena mencari pertolongan."Ranting menunduk lagi, memainkan jemarinya. "Tapi ... tapi seharusnya saya tidak kabur ke Desa Ranjagiri. Itu sama saja menyerahkan diri saya sendiri ke dalam bahaya. Seharusnya... seharusnya saya meminta bantuan pada Anda, Tuan."Rajendra menghela napas. Ia baru menyadari, ada sesuatu yang lebih dalam di balik kaburnya Ranting. Laporan dari ayahnya, Wiraga, hanyalah bahwa Ranting diculik oleh seorang pria tak dikenal."Ranting," kata Rajendra lembut, "sebelumnya aku
Rajendra melangkah maju, tatapannya menyapu seluruh wajah orang-orang yang dibawa Tama. Matanya tak lagi melihat keraguan atau ketakutan, melainkan sebuah percikan api harapan yang menyala terang.Mereka semua adalah orang-orang yang lelah berjuang, orang-orang yang mencari tempat untuk beristirahat, tempat untuk memulai hidup baru.Rajendra tersenyum. Senyum tulus yang memancar dari hatinya."Selamat datang, saudaraku sekalian," ucap Rajendra, suaranya lantang dan penuh wibawa. "Kalian telah membuat keputusan yang benar. Di sini, di tempat ini, kalian akan mendapatkan kehidupan yang layak, kehidupan yang makmur. Kalian akan menjadi bagian dari kami. Kami akan membangun sebuah kerajaan yang adil, yang makmur, dan yang akan melindungi kalian semua."Warga Desa Ranjagiri bersorak gembira. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih baik, di mana mereka tidak perlu lagi takut pada penindasan, di mana mereka bisa hidup dengan damai. Mereka menunduk hormat, mengucapkan terima kasih berulang k
Saat permainan semakin memanas, Rajendra menatap kedua istrinya, wajahnya dipenuhi gairah. Ia tahu, saatnya telah tiba.“Aku ... aku tidak tahan lagi,” bisik Rajendra, suaranya serak. “A-aku... aku akan keluar.”Ranjani dan Kirana mengangguk, mata mereka berbinar. Mereka tahu apa yang Rajendra maksudkan. Ini adalah momen yang paling mereka tunggu-tunggu.“Jangan tahan,” bisik Ranjani. “biarkan saja, Yang Mulia.”“Kami akan membantumu mencapai puncaknya,” sahut Kirana, tangannya membelai paha Rajendra.Mereka pun beraksi. Ranjani mencium leher Rajendra, sementara Kirana mengusap punggungnya. Keduanya bersinergi, seolah telah terbiasa memuaskan Rajendra bersama-sama.Tak butuh waktu lama, suara lenguhan dalam dan panjang lolos dari tenggorokan Rajendra. Seluruh tubuhnya menegang, ia merasakan sensasi yang luar biasa saat cairan cintanya menyembur, membanjiri tubuh kedua istrinya. Ia lemas, terjatuh, namun wajahnya dipenuhi senyum puas.“Terima kasih, istri-istriku,” bisik Rajendra, napa
"Yang Mulia..." Ranjani mengerang, suaranya tercekat. "Pelan-pelan..."Rajendra tidak menggubris. Ia telah tenggelam dalam lautan gairah, pikirannya hanya dipenuhi hasrat untuk mencapai puncaknya. Ia mencium leher Ranjani, gerakannya makin cepat, tak peduli pada permohonan istrinya.Ranjani memejamkan mata, memeluk leher suaminya erat. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan desahan yang mendesak keluar dari tenggorokannya. Ia tak mau Kirana, yang terbaring pulas di ranjang sebelah, terbangun."Yang Mulia... aahhh..." Ranjani tak lagi bisa menahan diri. Sebuah desahan panjang lolos dari bibirnya, bersamaan dengan tubuhnya yang menegang dan lemas tak berdaya.Cairan cinta mengalir, membanjiri dirinya dengan sensasi kenikmatan yang memabukkan. Ia jatuh terduduk, lututnya tak sanggup lagi menopang tubuhnya.Di tengah keheningan yang tersisa, mata Kirana terbuka perlahan. Ia duduk, mengerjapkan matanya, dan memandang bingung ke arah sepasang kekasih yang tengah bercinta. Wajahnya polos, t