Ketika dendam bertemu cinta, siapa yang akan lebih dulu menusuk jantung? Bai Xiang, pendekar cantik dari Sekte Gunung Yang, masuk ke istana hanya untuk satu tujuan, membunuh Jenderal Han Feng, pria bertopeng hitam yang menumpahkan darah keluarganya. Namun takdir berbalik kejam, Kaisar justru menjodohkan mereka. Kini, musuhnya tidur di ranjang yang sama, menatapnya dengan mata yang menyimpan rahasia terlalu dalam. Saat cinta tumbuh di antara bilah pedang dan kebohongan, Bai Xiang perlahan sadar, musuh sejatinya bukan pria di sisinya, melainkan orang yang selama ini ia panggil “Guru”. Dan ketika semua topeng terlepas, hanya satu pilihan tersisa: membunuh atau mencintai.
View MoreBai Xiang kecil duduk di meja kayu reyot di ruang tengah. Jemarinya yang mungil sibuk memetik kelopak bunga liar, menatanya dengan hati-hati hingga membentuk lingkaran kecil yang mirip mahkota. Senyum polos menghiasi wajahnya yang belum mengerti apa itu duka.
Namun suasana tenang itu seketika pecah. Suara langkah tergesa, berat, bahkan seperti tersandung, bergema dari luar rumah. Pintu berderak keras terbuka. Ibunya masuk dengan nafas terengah. Bocah itu tertegun. “Ibu?” tanyanya pelan, kepala mungilnya menoleh ke arah pintu. Wanita yang sudah kehilangan kemampuan bicaranya itu masuk dengan wajah pucat, matanya merah basah. Tangan kurusnya segera menggenggam jemari mungil Bai Xiang erat. “Ibu, kenapa—” Ia tidak menjawab namun genggamannya makin mengerat. Ia menyeret putrinya ke kamar, lalu mengangkat tubuh mungil itu ke dalam keranjang rotan besar tempat menyimpan kain. “Ibu, Xiang’er takut ... ada apa ibu?” Mata bocah itu berkaca-kaca. Wanita itu meraih wajah anaknya dengan kedua tangan, menatap dalam-dalam. Dengan bahasa isyarat, ia seolah mengatakan kepada anaknya, “Dengarkan Ibu. Jangan keluar apa pun yang terjadi. Jangan bersuara. Xiang’er … ayah dan ibu selalu mencintaimu, Nak.” Air mata jatuh membasahi pipi kecil Bai Xiang. Ia mengecup dahi anaknya lembut, mengambil satu tusuk kondenya, digenggamkan di telapak tangan putrinya. Lalu ia menutup rapat keranjang itu. Pandangan pun terputus. “Ibu …,” tangis bocah itu, tersedu. Namun dari celah anyaman, Bai Xiang kecil masih bisa melihat bayangan ibunya berjongkok di lantai, menahan tangis, sambil menggenggam sesuatu dari balik bajunya. Tiba-tiba, BRAK! Pintu kamar terlempar terbuka. Sosok tinggi berbalut baju militer hitam masuk dengan langkah berat. Topeng logam menutupi wajahnya, hanya mata yang tampak. Tajam, dingin, tak berperasaan. Di tangan kirinya … ada penggalan kepala ayah Bai Xiang. Darah menetes, mengenai papan lantai. “Tunjukkan di mana senjata terbaik yang ditempa suamimu disembunyikan!” Suaranya seperti baja bergesek, menusuk. Ibu Bai Xiang terisak, namun matanya menyala penuh amarah. Dengan gerakan cepat, ia menghunus pisau kecil dan menerjang. Namun pedang musuh bergerak lebih cepat, menembus dadanya. “Suami istri sama bodohnya!” dengus prajurit itu. Ia mencabut pedangnya, menjatuhkan kepala ayah Bai Xiang ke lantai, darah muncrat membasahi papan. Tubuh sang ibu terhuyung, napasnya megap-megap, namun tatapannya tak goyah. Dengan sisa tenaga, ia menyambar pisau yang jatuh, menusuk ke arah pinggang musuh. Darah memercik. “Wanita jalang!” pekik si prajurit, lalu pedangnya kembali berayun. Tubuh wanita itu roboh, tak lagi bergerak. Bai Xiang kecil menggigit bibir sekuat tenaga, kedua telapak tangan mungilnya membekap mulut, menahan jeritan. Namun ketika ibunya, --dengan sisa nyawa--- menoleh, tersenyum lembut, dan menunjukkan benda di genggamannya. “Ibuuu!!!” Teriakan itu memecah keheningan. Bai Xiang terlonjak, bangun dari tidurnya. Napasnya memburu, keringat dingin menetes di pelipis. Dadanya naik turun. Pandangannya berkeliling, hanya ada pepohonan rindang, dedaunan bergoyang diterpa angin pagi dan semak yang bergesekan. Ia bersandar pada batang pohon tua, kulit kasar pohon menempel di punggungnya. “Mimpi itu lagi …,” gumamnya. Sudah hampir tiga tahun ia bebas dari bayangan itu. Mengapa mimpi buruk kembali hadir, tepat di hari pertama ia pulang dari pengembaraan? Tangannya merogoh ke balik baju. Sebuah plakat giok ia genggam erat. Itulah benda yang ditemukan digenggaman ibunya setelah tewas. Cahaya lembut mentari pagi memantul di permukaannya. Nama yang terukir membuat darahnya mendidih. “Han Feng …,” desisnya, penuh api dendam. Ia menarik napas panjang. “Mimpi buruk itu tak akan pernah hilang, sebelum aku sendiri yang mencabut nyawamu.” Ia mengepalkan tangan, menekan plakat giok ke dadanya. Tak ada lagi keraguan. Ia harus kembali ke Perguruan Gunung Yang. Tempat yang disebut rumah. Di sana ada seseorang yang diam-diam selalu ia rindukan. Bai Xiang bersiul panjang. Dari balik pepohonan, muncul seekor kuda hitam legam berlari cepat. “Bagus, Hei Yun,” ucapnya lembut sambil menepuk leher kuda. Dengan lompatan lincah, ia naik ke punggung kuda, lalu memacu kencang. Namun, baru berlari beberapa li, suara teriakan memecah hutan. “Tolong! Tolong!” Bai Xiang menarik kekang, telinganya awas. Ia membelokkan Hei Yun, hingga mendapati pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Sebuah kereta kuda dan tiga gerobak penuh karung dikepung bandit gunung. Lebih dari dua puluh orang, bersenjata golok dan tombak. Di dekat kereta, berdiri dua sosok berpakaian sederhana, sekilas tampak lelaki sedang disandera. Namun mata Bai Xiang yang tajam tahu, mereka perempuan yang menyamar. Sebilah pedang di arahkan ke leher masing-masing. Salah satu berteriak, “Jangan rampas barang itu! Semua ini untuk pengungsi Desa Nanjue! Jika kalian berani, pasukan istana akan menghabisi kalian!” Bandit hanya tertawa terbahak. “Pasukan istana? Hahaha! Perempuan tolol! Desa itu jauh, siapa peduli? Kami tak takut siapa pun!” Bai Xiang mengepalkan tangan. Mereka merampok barang bantuan untuk rakyat yang menderita. Tanpa pikir panjang, ia menghunus pedang, memacu Hei Yun menembus kerumunan. “Berhenti, kalian sampah!” Pedangnya berkelebat. Bandit roboh satu per satu. Namun jumlah mereka yang banyak membuat Bai Xiang terdesak. Lingkaran semakin rapat. Nafasnya memburu. Saat itu, sebuah suara akrab terdengar. “Bai Xiang! Sejak kapan kau begitu egois, menikmati pesta seorang diri?” Sesosok bayangan melompat dari batu besar. Pedangnya menebas dua bandit sekaligus. Bai Xiang menoleh, matanya berbinar. Orang Itu Liu Wei, kakak seperguruannya. “Kakak Kedua!” serunya gembira. Pendekar muda berwajah tegas berdiri di sisinya. Senyum tipis tersungging. “Kau selalu suka bikin masalah.” Bai Xiang terkekeh, hatinya hangat. Mereka lalu bertarung berdampingan. Pedang Liu Wei bergerak bagaikan badai. Pedang Bai Xiang luwes, indah namun mematikan. Tak lama, para bandit roboh dan sisanya kabur. Rombongan pun selamat. Dua perempuan itu menunduk hormat. “Kami Xue Ying dan Lan Fang. Kami berhutang nyawa. Terima kasih, Tuan dan Nona Pendekar." “Tak perlu berterima kasih,” ujar Bai Xiang. “Yang penting bantuan ini sampai.” Liu Wei menambahkan, “Kami bantu antar hingga Desa Nanjue." Perjalanan setengah hari terasa panjang. Bai Xiang memberanikan diri bertanya pada Liu Wei, “Bagaimana perguruan selama aku pergi?” Liu Wei melirik sekilas. “Masih berdiri. Guru sering menyebut namamu … meski dengan nada kesal. Aku tahu beliau merindukanmu.” Bai Xiang tersenyum tipis. “Aku tak bermaksud pergi lama. Tapi dunia terlalu luas." “Asal kau kembali, itu cukup,” ujar Liu Wei tenang," jangan seperti Kakak Pertama yang sampai sekarang tidak ada kabarnya lagi," lanjutnya. Kata-kata itu membuat hati Bai Xiang bergetar. Namun ia menunduk, menyembunyikan wajah. Hatinya tak pernah berhenti merindukan lelaki ini selama tiga tahun pengembaraannya. Sesampainya di Desa Nanjue, warga menangis haru menerima bantuan. Rombongan Xue Ying menginap di Desa Nanjue. Sementara Bai Xiang dan Liu Wei kembali ke Perguruan Gunung Yang. Bulan pucat menggantung saat keduanya tiba di gerbang perguruan. Bai Xiang menatap, dadanya menghangat. Inilah rumahnya. Namun tiba-tiba, suara lembut terdengar dari pinggir gerbang. “Suamiku …!”Suasana di dalam kamar Putri Wen Mei riuh rendah oleh celoteh para dayang yang sibuk mendandani Bai Xiang. Wangian bunga peony dan mawar memenuhi udara, bercampur dengan aroma halus bedak dan pewangi tubuh."Tidak, aku tidak bisa seperti ini," gerutu Bai Xiang, mencoba menarik kembali rambutnya yang sedang ditata seorang dayang. "Rambut ini terlalu rumit, dan gaun ini ... terlalu sempit!"Wen Mei yang duduk di sampingnya tersenyum geli. "Diamlah, Xiang. Kau terlihat cantik. Lihatlah dirimu di cermin."Bai Xiang melirik ke arah cermin perunggu di seberangnya. Bayangan yang terpantul memang membuatnya terkesiap. Dengan riasan yang halus dan gaun sutra berwarna biru muda, ia tampak seperti putri bangsawan sejati. Yang paling mengejutkan, wajahnya sekarang seperti cerminan Wen Mei sendiri."Kau sengaja, Tuan Putri? Membuatku mirip denganmu?" tanya Bai Xiang curiga.Wen Mei mengangkat bahu, senyumnya masih mengembang. "Kebetulan belaka. Tapi kau harus berjanji, malam ini kau adalah Guru Ba
Di paviliun Giok, Bai Xiang duduk membelakangi meja cermin, tubuhnya dibalut kain putih sederhana. Luka di lengannya masih segar, tapi ia menekan kain herbal ke sana tanpa mengeluarkan suara. Dari pengembaraannya dan ilmu pengobatan yang dipelajari dari Liu Wei, kakak kedua seperguruannya, membuat ia bisa mengobati sendiri saat terluka. Uap teh di atas meja perlahan mendingin, sementara lilin bergetar tertiup angin malam.Ular Perak … gumamnya dalam hati. Nama Kelompok yang terkenal sebagai pembunuh bayaran yang bergerak di bawah tanah.Jadi bukan hanya aku yang menginginkan nyawa Han Feng.Ia meremas perban di lengannya, menahan desis perih. Dendam di dadanya terasa kian rumit; di antara mereka yang mengincar Han Feng, mungkin ada seseorang yang juga terkait dengan pembantaian keluarganya dulu. Tapi siapa? Kerumitan ini membuatnya semakin waspada. Misi utamanya adalah Han Feng, tapi jika ada benang merah dengan masa lalunya yang kelam, ia harus menariknya perlahan agar tidak semua re
Angin malam berembus lembut, membawa aroma tanah lembap dan suara jangkrik dari kejauhan. Bulan sabit menggantung redup di langit, separuh wajahnya tersembunyi di balik kabut tipis.Di atas atap gedung barak militer Longyan, sosok berpakaian serba hitam berjongkok diam. Hanya matanya yang berkilat menembus kegelapan. Bai Xiang menahan napas, tubuhnya nyaris menyatu dengan bayangan. Ia memandangi halaman markas, tempat para prajurit berbaris melakukan pergantian jaga.“Jenderal Han Feng…,” bisiknya, hampir tak terdengar.Matanya memantul cahaya obor yang berjejer di sepanjang pagar kayu. Di bawah sana, Han Feng berjalan di antara prajurit, mengenakan zirah ringan dan jubah hitam. Wajahnya tampak dingin, tak tersentuh cahaya hangat obor. Sementara Li Rui, pengawal pribadinya berada tak jauh dari sang Jenderal.Selama hidupku, pikir Bai Xiang, aku mencari jejak pria ini.Dan kini, hanya selempar pisau jarak aku dan dia.Namun, langkah Han Feng berhenti di depan barisan. Ia memberi aba-a
Langkah-langkah Bai Xiang terdengar mantap menuju kudanya. Di tangannya tergenggam kantung kain berisi pakaian dan perlengkapan seperlunya, sementara pedang kesayangannya terselip rapi di punggung. Hei Yun, kudanya yang berwarna hitam legam, meringkik pelan seolah tahu majikannya akan pergi jauh.Di tepi halaman, Liu Wei berdiri diam. Saat Bai Xiang hendak menaiki kudanya, Liu Wei melangkah maju dan menahan.“Xiang’er …,” suaranya lirih namun tegas, “hati-hati di sana. Istana bukan tempat sederhana. Intrik di sana lebih tajam dari pedang.”Bai Xiang menoleh, sorot matanya dingin “Aku tahu, Kakak. Tapi mungkin di sanalah jalanku menanti. Jika aku menolak, sama saja aku menolak titah Kaisar.”Liu Wei ingin berkata lagi, tapi hanya mampu menggenggam pundak adik seperguruannya erat-erat. “Jaga dirimu baik-baik.”Bai Xiang tersenyum tipis, lalu melompat ke punggung Hei Yun. Dengan hentakan kecil, ia memacu kudanya, meninggalkan Gunung Yang menuju ibukota.Perjalanan panjang ditempuh hing
Di paviliun utama yang dikelilingi pepohonan pinus tua, suasana terasa begitu hening. Bai Xiang duduk bersila di hadapan meja rendah, sementara di seberangnya, Jin Peng, Ketua Sekte Gunung Yang, menatapnya dengan sorot mata yang tenang dan dalam.“Xiang’er,” ucap Jin Peng perlahan, suara pria paruh baya itu berat seakan membawa beban, “ada hal yang harus kau ketahui tentang kakak keduamu, Liu Wei.”Bai Xiang menegakkan duduknya. Sejenak ia menebak kalau gurunya akan memberikan penjelasan mengenai Kakak Keduanya dan perempuan di gerbang kemarin malam.“Liu Wei sudah menikah. Aku perlu memberikan penjelasan padamu karena itu menjadi tugasku. Kau dan Liu Wei sudah bersama sejak kecil. Aku tak mau kau merasa menjadi orang terakhir yang mengetahui pernikahan kakakmu itu.”Tebakannya benar. Bai Xiang terdiam. Ada sesuatu di dadanya yang mencelos, meski wajahnya berusaha tetap datar.Jin Peng melanjutkan ceritanya dengan nada tenang. Enam bulan setelah kepergian Bai Xiang meninggalkan pergur
Bai Xiang kecil duduk di meja kayu reyot di ruang tengah. Jemarinya yang mungil sibuk memetik kelopak bunga liar, menatanya dengan hati-hati hingga membentuk lingkaran kecil yang mirip mahkota. Senyum polos menghiasi wajahnya yang belum mengerti apa itu duka.Namun suasana tenang itu seketika pecah. Suara langkah tergesa, berat, bahkan seperti tersandung, bergema dari luar rumah. Pintu berderak keras terbuka.Ibunya masuk dengan nafas terengah.Bocah itu tertegun. “Ibu?” tanyanya pelan, kepala mungilnya menoleh ke arah pintu.Wanita yang sudah kehilangan kemampuan bicaranya itu masuk dengan wajah pucat, matanya merah basah. Tangan kurusnya segera menggenggam jemari mungil Bai Xiang erat.“Ibu, kenapa—”Ia tidak menjawab namun genggamannya makin mengerat. Ia menyeret putrinya ke kamar, lalu mengangkat tubuh mungil itu ke dalam keranjang rotan besar tempat menyimpan kain.“Ibu, Xiang’er takut ... ada apa ibu?” Mata bocah itu berkaca-kaca.Wanita itu meraih wajah anaknya dengan kedua ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments