Bagi Wiraga, apapun akan ia lakukan demi anaknya, Ranting, bisa kembali pulang dengan selamat. Seluruh harta bendanya terasa tak berarti di hadapan keselamatan putri ketiganya itu."Lalu apa, Tuan? Katakan saja! Apa pun itu, saya akan berusaha memenuhinya!" seru Wiraga, suaranya dipenuhi urgensi yang tak terbendung.Wiraga bahkan bersedia menjual semua harta yang dia miliki termasuk rumah dan bahkan tanahnya sekalipun, jika itu bisa membawa Ranting kembali.Rajendra menatap Wiraga dengan tatapan yang dalam, seolah menilai sesuatu yang jauh melampaui kerisauan seorang ayah. "Apakah Ranting sudah menikah? Atau punya calon suami yang sudah dijodohkan?" tanya Rajendra, suaranya tenang, namun ada nada perhitungan di dalamnya.Wiraga menggelengkan kepalanya dengan cepat sambil berkata, “Belum, Tuan. Ranting masih lajang. Kami sedang berusaha mencarikan pasangan yang tepat untuknya, begitu pula dia.”“Oleh sebab itu, dia memberanikan diri menerima perkenalan dengan pria asing itu di pasar.
Harapan untuk bisa membawa kembali sang anak pulang kini terbuka lebar bagi Wiraga. Hatinya yang gelisah kini sedikit lebih tenang setelah mendengar janji Tama."Tentu saja, saya akan bantu, Tuan Wiraga," ucap Tama, suaranya mantap. "namun, tetap saja harus atas perintah dan restu dari Tuan Rajendra. Beliau adalah pemimpin kami di sini."Wiraga menganggukkan kepalanya dengan penuh pengertian. "Baik, Tuan. Saya paham akan hal itu. Yang penting, ada harapan bagi putri saya."Tepat di saat ini, dua orang pria datang mendekat dari arah jalan desa. Sosok yang berjalan di depan adalah Kepala Desa Arwan, dengan langkah tegap dan wibawa seorang pemimpin. Di sampingnya, berjalan Karno, kaki tangannya yang setia, dengan ekspresi wajah yang biasa ia tunjukkan: tenang dan penuh perhitungan."Selamat sore!" sapa Arwan dengan ramah, suaranya menggema di halaman rumah Rajendra.Tama dan Wiraga langsung berdiri tegak ketika melihat yang datang adalah kepala desa mereka. Mereka segera membungkuk horma
Kirana baru sampai di depan rumah. Dan ketika akan masuk masuk ke dalam rumah, sebuah suara menginterupsinya."Nyai Kirana," sapa seorang pria paruh baya dengan suara lembut dan hormat.Pria itu, yang memiliki perawakan kurus dengan rambut sedikit memutih di pelipis, mengenakan pakaian sederhana namun bersih. Wajahnya tampak cemas, dan tangannya saling meremas di depan dada.Kirana menghentikan langkahnya dan menoleh. "Oh, Tuan Wiraga," sapa Kirana dengan sopan, ia mengenal pria itu sebagai salah satu pedagang kain di desa yang cukup rajin pergi ke pasar di desa tetangga. "Ada apa? Ada keperluan apa Anda datang ke sini sore-sore begini?"Wiraga membungkuk sedikit. "Maafkan saya mengganggu waktu Nyai. Saya ingin sekali bertemu dengan Tuan Rajendra. Saya Wiraga, warga Desa Gunung Jaran. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepadanya." Nada suaranya penuh kekhawatiran yang mendalam.Kirana melirik ke arah samping rumah, tempat Rajendra dan Ranjani masih sibuk dengan repeating crossb
Suasana di luar gerbang istana mendidih. Nama Rajendra yang dibisikkan Suryakusuma bagaikan bensin yang disiramkan ke kobaran api amarah Amukti Muda Giriprana.Wajah Giriprana berubah merah padam, urat-urat di lehernya menonjol, dan tinjunya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih."Sialan!" geram Giriprana, suaranya rendah namun penuh ancaman. "berani sekali dia bicara seperti itu padaku! Meremehkan Amukti Pener? Memfitnah namaku di hadapan rakyat? Dia pikir siapa dia?! Sampah dari desa terpencil!”Suryakusuma melihat reaksi yang persis dengan apa yang dia harapkan. Senyum licik tersungging di bibirnya. Ia mengambil kesempatan ini untuk semakin memprovokasi."Benar sekali, Yang Mulia! Rajendra itu memang anak kemarin sore yang tak tahu diri! Dia pikir karena memiliki sedikit harta dan dukungan orang rendahan, dia bisa seenaknya merendahkan martabat seorang Amukti Muda sepertimu!” geram Suryakusuma.“Dia harus dihukum secepatnya, Yang Mulia! Dihukum dengan berat! Agar dia tidak
Asmaran berdiri, napasnya masih terasa sesak mengingat masa lalu yang menyakitkan. Ia mendongak ke langit senja yang mulai dihiasi semburat jingga dan ungu, seolah mencari kekuatan di sana."Saya sangat ingin sekali kembali bertemu dengan orang-orang yang saya kenal di Desa Tanara, Yang Mulia," ucap Asmaran, suaranya bergetar menahan emosi.“Melihat mereka, mengingat masa-masa indah itu. Tapi ketika saya mengingat kejadian memilukan di mana saya dibuang, diusir seperti binatang, dan dianggap sebagai iblis oleh mereka … itu sangat menyakitkan. Luka itu masih terlalu dalam,” kata Rajendra.Rajendra menatapnya dengan pengertian. Ia tahu, meskipun Asmaran telah menemukan kedamaian, trauma masa lalu tidak bisa begitu saja hilang.“Jadi, kamu menolak bertemu dengan Brajadipa?" tanya Rajendra, mencoba mengonfirmasi.Asmaran terdiam, pandangannya kosong menatap langit. Dalam benaknya, pertarungan batin antara kerinduan dan kepahitan berkecamuk.Rajendra melangkah maju, ia kini berada di sampi
"Permainan serulingmu tadi sungguh indah. Melodinya mengalir seperti sungai di pegunungan, penuh dengan emosi, namun juga menenangkan." Rajendra memuji dengan tulus, ia memang terkesima dengan bakat Asmaran yang satu ini.Asmaran tersipu malu mendengar pujian itu. Ia sudah lama tidak menerima sanjungan."Yang Mulia bisa saja," kata Rajendra sambil mendudukkan diri kembali. "ini hanyalah permainan seruling biasa saja, untuk menenangkan pikiran yang terkadang masih kacau."Rajendra hanya tersenyum tipis. Ia menatap ke arah rimbunnya hutan bambu di depan mereka sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang, seolah menunggu Asmaran meresapi pujiannya. Kemudian, ia menoleh kembali kepada Asmaran, tatapannya kini lebih dalam dan serius."Bagaimana dengan perasaan hatimu, Asmaran?" tanya Rajendra, sebuah pertanyaan yang tiba-tiba dan menusuk langsung ke inti. "apakah sudah ada perubahan yang berarti?"Asmaran terkejut mendengar pertanyaan itu. Ini bukan pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh