Wasita menyilangkan tangannya di dada, senyum mengejek tersungging di bibirnya. "Omong kosong! Aku tidak percaya padamu! Kau pikir aku bodoh, Rajendra? Aku sudah tahu betapa liciknya dirimu. Kemarin kau menantangku bertarung, hari ini kau berani menyusup ke tenda Raja kami? Jangan coba-coba membohongiku!"Rajendra mengangkat alisnya, nada suaranya berubah menjadi sedikit menantang, namun tetap tenang."Jika Tuan Senapati tidak percaya padaku, itu hakmu. Tapi sebagai seorang prajurit dan pemimpin yang terhormat, bukankah Tuan Senapati harusnya mencari kebenaran dengan bertanya kepada saksi mata? Bukankah itu yang harusnya dilakukan? Jangan hanya berdasarkan asumsi dan amarah belaka sehingga bisa menuduh sembarangan,” kata Rajendra dengan suara yang mulai tegas.Wasita melirik ke samping, lalu memanggil salah satu prajuritnya yang berdiri di belakangnya. "Kau! Kemarilah! Katakan pada pangeran bodoh ini apa yang kau lihat semalam!"Seorang prajurit berbadan besar dan berjanggut lebat, ya
"Pasukan besar yang menyebut mereka adalah pasukan dari Raja Wicaksana..." Jaya berhasil mengeluarkan kata-kata itu di antara napasnya yang putus-putus, "mereka datang! Mereka ingin bertemu dengan Anda, Yang Mulia. Dan mereka … mereka tampak dipenuhi amarah."Wajah Rajendra menegang. Amarah Raja Wicaksana begitu cepat tiba. Ini jelas terkait dengan insiden Dipa dan Layung tadi malam. Ia harus bertindak cepat, menjaga ketenangan di tengah badai."Dipa! Layung!" seru Rajendra, suaranya tetap tenang namun penuh otoritas.Ia menatap kedua prajurit yang masih terengah-engah itu. "Kalian berdua, segera masuk ke dalam rumah. Bantu Jati, Kirana dan Ranjani menyiapkan roti, dan jangan lupa ganti pakaian kalian. Hilangkan semua jejak dari perjalanan semalam. Dan yang terpenting, jangan panik. Apapun yang terjadi, kalian harus bersikap normal. Seolah tidak terjadi apa-apa."Dipa dan Layung saling berpandangan sejenak, mengerti maksud Rajendra. Perintah itu bukan hanya untuk bersembunyi, tapi jug
Rajendra langsung menggelengkan kepala, sorot matanya tegas dan tidak bisa diganggu gugat."Tidak, Ranjani. Itu terlalu berbahaya. Ini bukan hanya masalah keberanian atau jumlah prajurit!” larang Rajendra dengan tegas.“Kamu mendengar apa yang Dipa katakan tentang Dekrit Darah itu? Jika kamu ikut bertarung, jika kamu terluka atau tertangkap, itu akan membahayakan dirimu dan keluargamu yang ada di kerajaan Bharaloka. Ini bukan medan perang biasa yang bisa diselesaikan dengan kekuatan fisik semata, atau dengan keberanian seorang prajurit. Taruhannya jauh lebih besar, Ranjani, jauh lebih besar dari sekadar nyawa individu,” lanjutnya, berharap dimengerti oleh sang istri.Ranjani menatapnya, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam, namun ia tidak gentar sedikit pun. Tekadnya tetap membaja.“Tapi, Yang Mulia," ia berucap, suaranya dipenuhi keyakinan, "aku adalah satu-satunya pemanah yang terampil di pasukan kita yang ada sekarang. Yang Mulia tahu sendiri kemampuan memanahku tidak
Raja Wicaksana bangun dan langsung bertanya kepada Ayana, “Ada apa, Istriku? Apakah kamu baik-baik saja?”“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Ayana. “t–tadi … tadi ada yang masuk. Dia menyentuh tanganku dan aku terbangun. Mereka langsung kabur.”Raja Wicaksana menggenggam tangannya. Amarahnya membumbung tinggi. “Sialan! Akan kubakar hidup-hidup orang itu! Berani-beraninya menyentuh istriku!”Kemudian Raja Wicaksana keluar tenda. Dia meminta para prajuritnya mencari orang itu.“Kalian semua! Cepat cari orang itu! Sekarang!” pekik Raja Wicaksana. Matanya melotot. Urat di lehernya menyembul keluar.Anak buahnya itu segera bergerak. Mereka pergi ke arah di mana mereka terakhir kali melihat Dipa dan Layung melarikan diri.Di dalam tenda, Ayana menggenggam erat gulungan perkamen di tangannya, bibirnya bergetar. Sebuah takdir yang rumit telah mengikatnya, dan ia tidak ingin keluarganya dan Rajendra beserta pengikutnya menanggung akibatnya. Ia memeluk perkamen itu erat, seolah itu adalah jaminan
"Cepat! Penjaga itu sudah mulai sadar!" bisik Layung, menarik Dipa yang masih terhenyak oleh kata-kata Ayana.Mereka bergerak secepat kilat, menyelinap di antara bayangan pepohonan, menjauh dari perkemahan Raja Wicaksana yang kini terasa seperti sarang lebah yang siap menyengat. Namun, keberuntungan tidak sepenuhnya berpihak pada mereka.Tiba-tiba, suara bentakan keras memecah keheningan malam. "Siapa di sana?! Jangan bergerak!"Dipa dan Layung membeku. Sebuah obor menyala di kejauhan, menyorot tajam ke arah mereka. Beberapa prajurit Widyaloka yang tadinya terlelap kini terbangun, mungkin karena suara Ayana yang meninggi atau karena insting mereka sebagai penjaga."Sial! Kita ketahuan!" desis Layung. "Lari, Dipa! Ke arah sungai!"Layung membuang obor yang dipegangnya agar tidak terdeteksi arah kabur mereka. Meskipun tahu akan kesulitan berlari di malam gelap tanpa penerangan, namun ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan.Mereka melesat, membelah semak-semak lebat, suara langkah kak
Waktu terus merangkak. Satu jam berlalu. Dua jam. Akhirnya, efek alkohol dan kelelahan mulai menjangkiti rombongan Raja Wicaksana. Suara tawa dan jeritan cabul mulai mereda, digantikan oleh dengkuran kasar dan keheningan yang perlahan merayap.Tubuh-tubuh tergeletak tak berdaya di tenda-tenda maupun di rerumputan terbuka. Hanya beberapa penjaga yang masih terjaga, namun mata mereka tampak berat, sesekali menguap lebar."Sekarang!" bisik Dipa, matanya menyala dalam kegelapan.Layung mengangguk sambil berkata, “Baik! Ayo kita bergerak!”Dipa dan Layung merayap perlahan, bagai bayangan yang tak terlihat. Setiap gerakan mereka diperhitungkan, setiap dahan kering dihindari. Jantung mereka berdebar kencang, namun tekad mereka lebih kuat.Mereka bergerak mengelilingi perkemahan, mengidentifikasi tenda-tenda prajurit dan, yang terpenting, tenda utama Raja Wicaksana."Tenda itu," Layung menunjuk dengan dagunya, matanya menunjuk pada tenda berwarna ungu gelap yang paling mewah, terletak agak te