Setelah berbincang-bincang , para warga warga yang antusias mengikuti latihan bela diri telah membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing dengan tubuh yang lelah namun hati yang bersemangat. Namun, di tengah lapangan yang mulai lengang, tampak dua sosok remaja yang masih enggan beranjak.Yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Aji. Tubuhnya tergolong kurus, namun tampak memiliki struktur tulang yang kokoh dan gerakan yang lincah saat tadi mencoba menirukan gerakan bela diri. Di samping Aji, berdiri Danu, seorang remaja dengan tubuh tambun dan pipi bulat kemerahan. Meskipun terlihat sedikit kesulitan mengikuti beberapa gerakan, semangatnya tampak tak kalah membara dari Aji. Mereka berdua seolah terpaku di tempat itu, betah berlama-lama di area yang baru saja menjadi saksi bisu semangat persatuan warga desa.Dengan ragu-ragu, Aji memberanikan diri menghampiri Rajendra yang sedang mengawasi beberapa prajurit merapikan peralatan latihan.“Kak Rajendra,” panggilnya dengan
Kedatangan kepala desa ini terasa sangat tepat waktu. Ia baru saja berhasil membuat roti yang tidak terlalu mengecewakan, jadi dia akan menyuguhkan roti itu kepada Arwan.Hal itu bisa menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemimpin desa..“Jati,” panggil Rajendra kepada pelayan yang sedang membereskan sisa-sisa bahan masakan. “apakah kamu memperhatikan bagaimana aku membuat roti tadi?”“Ya, Yang Mulia. Saya melihat semuanya dengan saksama,” jawab Jati dengan anggukan mantap. “saya pikir saya bisa melakukannya.”“Bagus sekali!” seru Rajendra dengan nada gembira. “tolong buatkan roti seperti ini dan bawa ke depan. Berikan satu untuk dicicipi oleh Kepala Desa Arwan, dan dua lagi untuk istriku, Kirana dan Ranjani. Sisanya, bagikan saja untuk kalian semua.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Jati dengan semangat, segera mengambil sisa adonan dan mulai membentuknya menjadi dua buah roti pipih.Setelah memberikan instruksi kepada Jati, Rajendra segera bergegas ke
Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu. Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu. “Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…” Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat. Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak. “Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra. Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buata
Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem
Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa
Pertanyaan Rajendra menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam di antara mereka.Ranjani dan Kirana saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keprihatinan. Mereka tahu, ingatan Pangeran mereka perlahan mulai kembali, membawa serta luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.“Apakah aku … punya empat istri?” tanya Rajendra sekali lagi, nadanya penuh harap namun juga tersirat ketakutan akan jawaban yang mungkin ia terima. “aku baru saja mengingat kilasan masa lalu di mana ada 4 wanita di sampingku.”Ranjani menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara lirih, “Iya, Yang Mulia memiliki empat orang istri.”“Di mana … di mana yang dua lagi?” tanya Rajendra dengan wajah yang kini dipenuhi kepanikan.Bayangan samar-samar tentang kejadian mengerikan di malam kudeta mulai berputar lagi di benaknya.Tiba-tiba, air mata Kirana mengalir deras membasahi pipinya. Ia terisak pelan, mengingat kedua sahabatnya yang kini tidak lagi bersama mereka. Kenangan akan ma
Suryakusuma yang mendengar nada bicara Kepala Desa Arwan yang penuh keramahan, mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Ia tidak ingin dianggap tidak menghargai pemimpin desanya.Namun, alasan sebenarnya di balik penolakannya untuk berkenalan dengan Rajendra adalah prasangka buruk yang sudah mengakar di benaknya.“Bukan begitu maksud saya, Kepala Desa,” kata Suryakusuma dengan nada dibuat-buat menyesal. “saya sangat menghormatimu. Hanya saja, saya sudah terlalu sering bertemu dengan orang-orang seperti dia, orang asing yang datang dengan wajah polos namun menyimpan niat tersembunyi.”Kepala Desa Arwan mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan ucapan Suryakusuma.“Memangnya apa yang salah dengan Rajendra, Juragan? Saya melihatnya sebagai orang yang sopan dan memiliki niat baik untuk membantu desa kita,” tanya Arwan.“Mereka itu penuh dengan kemunafikan, Kepala Desa,” balas Suryakusuma dengan nada sinis. “mereka berpura-pura baik dan peduli pada awalnya, tapi pada akhir
Arwan menghela napas panjang, raut wajahnya menggambarkan beban berat yang selama ini ia pikul bersama warganya. “Kami harus menyetor upeti sebesar lima belas Orun emas setiap empat bulan sekali, Yang Mulia. Itu artinya, tiga kali dalam setahun kami harus menyerahkan total empat puluh lima Orun emas kepada kerajaan.”Mendengar nominal tersebut, Rajendra yang tidak familiar dengan mata uang di zaman itu, dia hanya bisa menerka-nerka nilainya.Namun, dari nada bicara Arwan yang penuh keputusasaan dan ekspresi wajahnya yang menggambarkan penderitaan, ia tahu pasti bahwa jumlah itu sangatlah besar dan memberatkan bagi perekonomian desa.“Dengan jumlah penduduk yang sedikit dan sebagian besar warga hidup dalam kondisi pas-pasan, upeti sebesar itu benar-benar mencekik kami, Yang Mulia,” lanjut Arwan dengan nada lirih.Rajendra mengerutkan keningnya, merasa iba dengan nasib warga Desa Gunung Jaran.“Apakah kalian sudah pernah mencoba meminta keringanan kepada raja?” tanya Rajendra dengan nad
Untuk menjaga keamanan desa malam itu, Rajendra menunjuk enam orang pengikutnya untuk berjaga secara bergilir. Ia sendiri memilih untuk tidak ikut berjaga. Kekhawatiran akan kondisi kedua istrinya yang tampak ketakutan membuatnya ingin segera pulang dan memastikan mereka baik-baik saja.Rajendra kembali ke rumah bersama Banyu dan dua orang pengikut lainnya. Mereka akan berjaga besok pagi sampai sore hari.Sesampainya di rumah, Rajendra disambut oleh Ranjani dan Kirana dengan tatapan mata yang penuh tanda tanya dan kecemasan.“Yang Mulia, apa yang terjadi?” sapa Ranjani dengan nada sedikit tegang.Rajendra tidak langsung menjawab. Dia merasakan aura ketakutan yang menyelimuti rumahnya.“Aku takut, Yang Mulia,” lirih Kirana sambil memeluk lengan Rajendra erat-erat.Rajendra mengusap lembut kepala Kirana dan juga Ranjani secara bergantian. “Tidak ada apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir.”“Bagaimana bisa baik-baik saja, Yang Mulia? Bambu keramat itu telah di
Mendengar cerita mengerikan dari pria tua itu tentang orang yang menghilang setelah menebang bambu keramat, bulu kuduk para pengikut Rajendra langsung meremang. Mereka tanpa sadar mempercepat langkah untuk segera kembali ke desa, menjauhi hutan yang kini terasa angker.Namun, di benak mereka, terlintas kekhawatiran yang sama: bagaimana dengan Dipa yang masih terpaku di luar desa?“Cepat masuk ke rumah kalian semua! Jangan ada yang berani keluar malam ini!” seru pria tua itu dengan nada panik sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu dengan tergesa-gesa.Para pengikut Rajendra saling bertukar pandang dengan ekspresi kebingungan dan ketidakpastian. Mereka semua menunggu keputusan apa yang akan diambil oleh sang pangeran.“Jangan tinggalkan aku di sini, kumohon…” lirih Dipa dengan suara bergetar, air mata mulai membasahi pipinya.Ia kemudian menoleh ke arah Rajendra dengan tatapan memelas. “Yang Mulia … jangan tinggalkan saya. Sungguh, saya sangat takut.”Hati pa
Mendengar teriakan panik Dipa, langkah Rajendra yang sedang memeriksa bambu-bambu yang sudah ditebang terhenti. Ia segera menghampiri Dipa yang masih mematung dengan wajah pucat pasi. “Ada apa, Dipa? Tenanglah,” tanya Rajendra berusaha menenangkan. “Y-Yang Mulia … a-aku … aku baru saja menebang pohon keramat,” jawab Dipa dengan suara bergetar hebat, matanya memandang nanar ke arah bambu yang mengeluarkan cairan merah pekat. Rasa dingin langsung menjalar di tulang belakang para pengikut Rajendra yang lain. Mereka membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi setelah melanggar pantangan desa. Banyu yang merupakan sepupu Dipa langsung menyalahkan pemuda itu dengan nada panik. “Bodoh kamu, Dip! Kenapa tidak hati-hati! Sekarang bagaimana ini?!” Surapati mendekati bambu yang mengeluarkan cairan merah itu. Ia mengamatinya dengan seksama, namun raut wajahnya menunjukkan kebingungan. “Ini aneh. Aku tidak pernah melihat bambu yang mengeluarkan darah. Mungkin benar, bambu ini t
Arwan menghela napas panjang, raut wajahnya menggambarkan beban berat yang selama ini ia pikul bersama warganya. “Kami harus menyetor upeti sebesar lima belas Orun emas setiap empat bulan sekali, Yang Mulia. Itu artinya, tiga kali dalam setahun kami harus menyerahkan total empat puluh lima Orun emas kepada kerajaan.”Mendengar nominal tersebut, Rajendra yang tidak familiar dengan mata uang di zaman itu, dia hanya bisa menerka-nerka nilainya.Namun, dari nada bicara Arwan yang penuh keputusasaan dan ekspresi wajahnya yang menggambarkan penderitaan, ia tahu pasti bahwa jumlah itu sangatlah besar dan memberatkan bagi perekonomian desa.“Dengan jumlah penduduk yang sedikit dan sebagian besar warga hidup dalam kondisi pas-pasan, upeti sebesar itu benar-benar mencekik kami, Yang Mulia,” lanjut Arwan dengan nada lirih.Rajendra mengerutkan keningnya, merasa iba dengan nasib warga Desa Gunung Jaran.“Apakah kalian sudah pernah mencoba meminta keringanan kepada raja?” tanya Rajendra dengan nad
Suryakusuma yang mendengar nada bicara Kepala Desa Arwan yang penuh keramahan, mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Ia tidak ingin dianggap tidak menghargai pemimpin desanya.Namun, alasan sebenarnya di balik penolakannya untuk berkenalan dengan Rajendra adalah prasangka buruk yang sudah mengakar di benaknya.“Bukan begitu maksud saya, Kepala Desa,” kata Suryakusuma dengan nada dibuat-buat menyesal. “saya sangat menghormatimu. Hanya saja, saya sudah terlalu sering bertemu dengan orang-orang seperti dia, orang asing yang datang dengan wajah polos namun menyimpan niat tersembunyi.”Kepala Desa Arwan mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan ucapan Suryakusuma.“Memangnya apa yang salah dengan Rajendra, Juragan? Saya melihatnya sebagai orang yang sopan dan memiliki niat baik untuk membantu desa kita,” tanya Arwan.“Mereka itu penuh dengan kemunafikan, Kepala Desa,” balas Suryakusuma dengan nada sinis. “mereka berpura-pura baik dan peduli pada awalnya, tapi pada akhir
Pertanyaan Rajendra menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam di antara mereka.Ranjani dan Kirana saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keprihatinan. Mereka tahu, ingatan Pangeran mereka perlahan mulai kembali, membawa serta luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.“Apakah aku … punya empat istri?” tanya Rajendra sekali lagi, nadanya penuh harap namun juga tersirat ketakutan akan jawaban yang mungkin ia terima. “aku baru saja mengingat kilasan masa lalu di mana ada 4 wanita di sampingku.”Ranjani menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara lirih, “Iya, Yang Mulia memiliki empat orang istri.”“Di mana … di mana yang dua lagi?” tanya Rajendra dengan wajah yang kini dipenuhi kepanikan.Bayangan samar-samar tentang kejadian mengerikan di malam kudeta mulai berputar lagi di benaknya.Tiba-tiba, air mata Kirana mengalir deras membasahi pipinya. Ia terisak pelan, mengingat kedua sahabatnya yang kini tidak lagi bersama mereka. Kenangan akan ma
Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa
Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem
Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu. Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu. “Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…” Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat. Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak. “Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra. Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buata