Arwan, Kepala Desa yang terikat kuat di tiang, tidak menyerah untuk tetap hidup. Di tengah keputusasaannya, otaknya berputar cepat, mencari celah, secercah harapan. Ia harus bernegosiasi lagi, meskipun nyawanya berada di ujung tanduk."Sungguh, aku tidak punya uang sebanyak itu, Tuan!" kata Arwan, suaranya bergetar, namun ada sedikit ketegasan di dalamnya. "jika kamu mau dua Orun, aku akan berikan! Dua Orun adalah jumlah yang sangat besar bagiku dan itu setara dengan seluruh harta yang kupunya!"PLAAAK!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Arwan, meninggalkan jejak merah yang langsung membengkak. Kepala Desa itu tersentak, rasa perih menjalar di seluruh wajahnya."Jangan macam-macam denganku!" Dahana menggeram, matanya menyala dalam kegelapan.Dahana marah karena merasa diremehkan oleh tawaran Arwan yang jauh di bawah permintaannya. Bagi Dahana, angka dua Orun itu adalah sebuah penghinaan.“Nyawamu ada di tanganku sekarang ini! Jangan kau coba bermain-main dengan kesabaranku!" geram
Rajendra menatap lekat-lekat wajah pria yang cadarnya baru saja ia singkap. Dahi Rajendra berkerut dalam, ia berusaha keras mengingat. Para pasukannya, Surapati, Tama, Layung, dan Banyu, juga mendekat, mencoba mengamati wajah itu."Aku seperti tidak asing dengan pria ini..." gumam Rajendra lagi, suaranya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.Tiba-tiba, mata Tama melebar. Ia menunjuk ke arah pria itu dengan jari telunjuk. "Oh iya, dia! Dia adalah anak buahnya Suryakusuma, Yang Mulia!"Seketika itu juga, rahang Rajendra mengeras. Matanya memancarkan kemarahan yang membara. Ia mengepalkan tangannya dengan sangat keras, buku-buku jarinya memutih. Amarah yang selama ini ia pendam terhadap Suryakusuma, kini meledak."Dia memang benar-benar keterlaluan!" geram Layung, nada suaranya dipenuhi kebencian. "berani-beraninya menyerang kita!"Surapati, dengan pengalaman hidupnya yang panjang, menyadari implikasi dari penemuan ini. Ia menatap Rajendra dengan serius."Yang Mulia, apakah ini b
Guntur terbaring di tanah, bahunya robek, napasnya pendek-pendek, dan tubuhnya mulai dingin. Darah segar terus merembes, membasahi tanah hutan. Kekuatan fisiknya, yang selama ini menjadi andalan, kini tak berdaya menghadapi luka yang dalam.Rajendra segera berlutut di sampingnya. Tangannya memeriksa luka itu dengan tenang, tanpa ada sedikit pun rasa jijik atau gentar melihat darah. Sorot matanya tajam, fokus, tak goyah sedikit pun oleh darah yang menetes dari tubuh bawahannya itu."Aku butuh Daun Seribu, Getah Pohon Mur, dan Akar Kunir," ucap Rajendra, suaranya tenang namun jelas, mengarahkan pandangannya ke prajurit lain.Beberapa prajurit saling pandang, bingung. Nama-nama tanaman itu tidak asing, namun mereka tak tahu persis wujudnya atau di mana menemukannya."Maksudnya, daun, getah, dan akar, apa Yang Mulia? Yang seperti apa?" tanya Tama, mewakili kebingungan mereka.Rajendra menoleh, ekspresinya serius. "Aku melihat semuanya saat berjalan ke sini. Semuanya tumbuh liar di sepanja
Ketiga orang misterius itu, dengan penutup wajah yang menyembunyikan identitas mereka, langsung bersiap. Aura berbahaya terpancar kuat dari tubuh mereka. Mereka memasang kuda-kuda kokoh, sorot mata yang terlihat dari celah cadar begitu tajam, memancarkan niat membunuh yang tak terbantahkan. Mereka adalah prajurit terlatih, atau mungkin, lebih dari itu.Seorang pria, yang tampaknya menjadi pemimpin mereka dan mengenakan pedang panjang di punggungnya, melangkah maju.Suara pria itu serak dan dingin, "Jangan berpikir kamu akan menang. Kami bukanlah orang sembarangan. Sudah puluhan orang mati di tangan kami. Kau hanyalah penguasa desa yang lemah, tak lebih."Rajendra menyeringai. Senyum tipis yang penuh percaya diri, bahkan sedikit ejekan, muncul di bibirnya. Dia tidak butuh omong kosong seperti itu. Di dunia modern, hal seperti ini disebut "pep talk" untuk menakuti lawan, tapi bagi Rajendra, itu hanya buang-buang waktu."Aku berikan kesempatan terakhir untuk kalian menyerah," ucap Rajend
Pujian dari Tama yang menyebutnya sebagai "orang terpilih", bahkan dengan tambahan "Sang Hyang memberikan Yang Mulia kebesaran dan kemuliaan yang melampaui batas manusia biasa," adalah pujian tertinggi yang pernah diterima oleh jiwa Raka.Meskipun kini ia berada di dalam tubuh Rajendra, perasaan yang muncul dari dalam dirinya tetaplah sama: sebuah kehangatan yang menjalar, diikuti oleh gejolak energi spiritual yang tak kasat mata. Ini adalah bentuk pengakuan yang tulus, bukan sekadar sanjungan kosong.Namun, Rajendra dengan cepat menyadari. Ia tidak boleh terlena dengan pujian, betapapun tulusnya itu. Ia tidak ingin jatuh seperti seorang Fir'aun yang ia kenal ceritanya di zaman modern, seorang penguasa yang tenggelam dalam kesombongan hingga menganggap dirinya dewa."Ayo kita langsung bergerak!" seru Rajendra, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. "waktu kita terbatas. Setiap detik yang kita buang bisa berarti nyawa Kepala Desa."Setelah itu, mereka pun mengikuti ke mana batang
"Ada apa, Nyai?" tanya Rajendra, nadanya ramah, sedikit terkejut melihat kehadiran Anindya di tengah malam, apalagi dengan penampilan yang begitu menawan.Anindya tersenyum malu-malu, kemudian memperkenalkan pria tinggi besar di sampingnya. Pria itu berbadan besar bukan karena otot, melainkan karena lemak, namun pakaian sutra mewahnya menunjukkan statusnya yang tinggi."Ini adalah suami saya, Tuan Rajendra. Namanya Manadipa. Beliau baru saja pulang dari berdagang di pusat kerajaan,” ucap Anindya.Rajendra dengan sangat ramah menatap Manadipa, mengangguk hormat. Manadipa membalas dengan senyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Perkenalkan, nama saya Manadipa," ucap pria itu, suaranya berat namun lembut."Senang bisa bertemu denganmu, Tuan Manadipa," ucap Rajendra, menjabat tangan Manadipa dengan erat. "perkenalkan, namaku adalah Rajendra."“Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Tuan Rajendra, atas kebaikan Anda yang tak terhingga. Terima kasih sudah