Tama menatap Surapati dengan mata penuh tekad. Ia tahu, sebagai seorang prajurit, ia harus tunduk pada perintah atasan, dan Surapati adalah pemimpin pasukan. Namun, ia tidak bisa mengabaikan janji yang telah ia buat. Ia tahu, di bawah perintah Rajendra, ia memiliki hak untuk berbicara."Paman Surapati, saya mengerti kekhawatiranmu," ucap Tama, suaranya mantap. "perintah Paman memang berada di bawah perintah Pangeran, dan saya tidak bisa membantah. Tapi, saya harus menjelaskan ini. Saya bukan hanya ingin menyelamatkan Ranting. Ini juga untuk membantu kerajaan kita nantinya."Tama menunjuk ke arah hutan yang mulai gelap. "Dengan saya pergi sekarang ke sana, kemungkinan untuk menang lebih besar dibandingkan besok. Desa Ranjagiri tidak akan siap. Mereka akan terlena. Saya bisa menyusup, mencari Ranting, dan membawa Kepala Desa Ranjagiri ke sini tanpa menimbulkan masalah besar."Surapati menggelengkan kepalanya. "Tetap saja berbahaya, Tama. Kita belum tahu kekuatan mereka, dan juga medan d
Setelah Asmaran setuju untuk membuat plat cetak, Rajendra pun mengangguk puas. Ia tahu, dengan plat cetak ini, ekonomi desa akan semakin kuat. Namun, ada satu hal lagi yang mengganjal pikirannya. Ia menoleh ke sekeliling, melihat bengkel yang terbuka dan dikelilingi hutan."Asmaran," ucap Rajendra, "apakah tempat ini masih aman? Apakah tidak ada orang yang masuk ke sini, selama ini?"Asmaran tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. "Ya, tentu saja, Yang Mulia. Orang-orang masih terbawa pikiran tentang hutan ini yang angker. Jadi, masih tidak ada yang berani ke sini. Yang Mulia tidak perlu khawatir. Saya akan memberitahu Yang Mulia jika ada orang yang berani mendekat.""Syukurlah kalau begitu," ucap Rajendra. "tapi, aku akan tetap mengambil tindakan pencegahan. Nanti, daerah ini akan aku beri pagar agar tidak ada orang yang bisa masuk. Kandungan besi dan logam di sini sangat berharga. Aku tidak ingin ada orang yang mencuri atau merusaknya. Aku ingin tempat ini menjadi pusat produksi se
Rajendra keluar dari rumah. Saat di halaman, ia berpapasan dengan Tama dan Surapati yang sedang mengawasi para prajurit berlatih. Tama, yang melihat Rajendra berjalan sendiri, segera mendekat."Yang Mulia, Anda mau ke mana?" tanya Tama, raut wajahnya penuh rasa hormat dan sedikit penasaran. "apakah ada hal penting yang harus diakukan?"Rajendra tersenyum. "Aku akan pergi ke tempat Asmaran. Aku ada keperluan dengannya. Kalian lanjutkan saja latihan.""Baik, Yang Mulia," jawab Tama.Namun, Rajendra mengangkat tangannya, seolah teringat sesuatu. "Eh, Tama, tunggu sebentar. Bawa beberapa roti untuk diberikan kepada Asmaran dan anak buahnya. Mereka bekerja keras, aku ingin memberikan sedikit apresiasi kepada mereka."Tama mengangguk sigap. "Baik, Yang Mulia. Saya akan mengambilnya sekarang."Ia pun bergegas masuk ke dalam dapur, mengambil beberapa roti yang sudah jadi. Setelah itu, ia kembali dengan membawa keranjang berisi roti hangat."Apakah saya bisa ikut denganmu, Yang Mulia," kata Ta
Ranjani, yang mendengar ide suaminya untuk membuat logo, mengangguk dengan senyum. "Baik, Yang Mulia. Aku akan membuatnya." LSetelah itu, ia pun bergegas masuk ke dalam kamar, diikuti oleh Kirana.Di dalam kamar, Ranjani duduk di atas tikar, di depannya terhampar beberapa lembar kulit daluang yang sudah dipotong-potong rapi. Tinta hijau terang dari Aji diletakkan di sampingnya, bersama dengan pena bambu berujung runcing.Ranjani memejamkan mata, membiarkan pikirannya berkelana. Apa yang bisa melambangkan keadilan, kemakmuran, dan harapan? Apa yang bisa menjadi simbol dari Kerajaan Angkara yang baru lahir?Setelah beberapa saat, matanya terbuka. Ia mengambil pena bambu itu, mencelupkannya ke dalam tinta, lalu mulai menggambar.Tangannya bergerak dengan lincah dan penuh kelembutan, menciptakan sebuah logo sederhana namun penuh makna: tangan terbuka yang melambangkan kemakmuran dan keterbukaan, dengan biji gandum di tengahnya yang melambangkan harapan dan kehidupan.Ini adalah logo yang
Semua orang di ruangan itu menahan napas, menunggu keputusan yang akan dibuat oleh Rajendra. Setelah hening yang terasa abadi, Rajendra membuka matanya, menatap semua orang dengan mata yang penuh tekad, namun di sana juga ada kesedihan yang mendalam."Aku mempertimbangkannya, Paman Surapati. Aku telah menimbang semua rencana, semua risiko, dan semua kemungkinan," ucap Rajendra. “Namun, aku tidak bisa mengambil risiko sebesar ini. Rencana Asmaran memang sangat cerdas, tapi kita tidak bisa menyerang mereka sekarang. Itu sama saja membuka kuburan untuk diri kita sendiri,” lanjutnya.Wajah-wajah para prajurit muda yang penuh semangat seketika berubah. Dipa dan Guntur yang tadi berapi-api kini tampak kecewa.Kepala Desa Arwan dan Surapati justru menghela napas lega, meskipun mereka tahu keputusan ini juga tidak mudah. Mereka semua tahu betul bahwa menolak saran Asmaran berarti menunda penyelamatan Ayana, namun tidak ada yang bisa melawan. Keputusan seorang pemimpin adalah mutlak."Kita ti
Semua prajurit yang hadir, termasuk Tama dan Guntur, menatap Asmaran dengan mata berbinar. Rencana itu terdengar berani, cerdik, dan memberikan harapan di tengah keputusasaan."Aku setuju dengan Asmaran!" seru Tama, suaranya dipenuhi semangat. "ini adalah rencana yang paling masuk akal! Kita tidak akan menghadapi mereka satu per satu, tapi kita akan menyerang mereka saat mereka tidak siap. Kita bisa menggunakan ranjau besi Asmaran untuk melumpuhkan mereka, lalu kita serang dari jarak jauh dengan repeating crossbow dan juga tombak!""Benar!" Guntur mengangguk setuju. "daripada menunggu mereka menyerang kita lagi, lebih baik kita yang menyerang duluan! Kita tunjukkan pada Raja Wicaksana bahwa kita bukan domba yang siap disembelih!"Namun, Surapati tidak setuju. Wajahnya tetap serius, matanya memancarkan keraguan. Ia telah menjalani hidup yang panjang, melihat banyak pertempuran, dan ia tahu betul risiko dari setiap tindakan."Itu sangat berbahaya," kata Surapati, suaranya tenang namun m