Suara lirih Rajendra itu rupanya terdengar oleh Jati yang tidur bersandar di lorong menuju dapur. Mata Jati terbuka, refleks berdiri dan mendekat.“Yang Mulia? Apa yang sedang dilakukan?” tanya Jati, penasaran.Rajendra menoleh, masih memegang mangkuk di tangannya. “Sini, lihat ini.”Jati melangkah mendekat. Ia menatap isi mangkuk, lalu mengernyitkan alis. “Ini seperti bubur gandum yang sudah basi.”Rajendra tertawa pelan. Lalu dia berkata, “Memang. Tapi di dalamnya sedang terjadi sesuatu yang luar biasa. Ini fermentasi alami dari gandum yang direndam dan akan menjadi ragi. Bahan untuk membuat roti mengembang dan empuk.”“Ragi?” Jati mengulang dengan nada bingung. “apa itu?”“Nanti kamu akan lihat. Roti berikutnya akan lebih lembut. Tapi butuh waktu ini masih butuh waktu. Kira-kira satu pekan lagi baru bisa digunakan.”Jati mengangguk perlahan, walau wajahnya tetap menunjukkan tanda tanya besar. “Baiklah, Yang Mulia.”Tiba-tiba suara langkah terburu-buru terdengar dari arah dalam ruma
Pria bertubuh besar itu tertawa terbahak-bahak, suaranya menggema di antara pepohonan. “Namaku Sura,” katanya dengan bangga. “Aku tidak pernah kalah dalam pertarungan selama ini. Dan sepanjang jalur Utara menuju pusat kerajaan Angkara, namaku ditakuti.”“Kamu yakin mau melawanku?” tanya Sura.Rajendra menyeringai. Dia menatap Sura tanpa gentar. “Aku tak peduli siapa kamu atau seberapa ditakutinya namamu,” ucap Rajendra dengan penuh percaya diri. “untuk masalah pertarungan, aku juga tidak pernah kalah.”Ranjani yang berdiri di belakang Rajendra terkejut mendengar pernyataan itu. Bayangan tentang Rajendra yang dulu, yang bahkan takut pada ayam jago, terlintas di benaknya.“Yang Mulia, biar aku saja yang menghadapinya,” kata Ranjani dengan cemas. “aku pinjam pedangnya.”Rajendra menatap Ranjani dengan serius. Dia tahu kalau istrinya itu mengkhawatirkannya.“Biarkan aku yang mengurusnya. Kamu menjauh ke belakang sedikit, ya. Jaga jaraknya,” ucap Rajendra dengan lembut.“Hahaha!” Sura te
Pria itu berdiri tegak di depan rumahnya dengan tangan bersedekap, matanya menyala menatap Rajendra.“Kamu telah melecehkan Anindya, ‘kan?” Ucapannya seperti bom yang meledak di tengah kerumunan warga.Bisik-bisik sebelumnya dari para warga, kini berubah menjadi gumaman jelas. Tatapan-tatapan yang tadi sekadar curiga, kini beralih menjadi penghakiman.“Itu tidak benar,” kata Rajendra, tenang namun tegas. “kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Oh, aku tahu lebih dari cukup,” balas Wira cepat.Pria itu menunjuk Anindya yang berada di samping Ranjani, tubuhnya gemetar dan pakaiannya berantakan. “Lihat sendiri pakaiannya yang robek dan keadaannya seperti itu! Kamu masih berani bilang ini salah paham?”Beberapa warga mulai mengangguk, lirih. Sebagian mulai bicara pelan, mendukung dugaan Wira. Sedangkan Anindya sendiri menunduk, masih dalam keadaan trauma. Suaranya belum mampu keluar meski bibirnya ingin membantah.“Dia hanya memanfaatkan situasi!” Suara lain muncul dari kerumuna
Saat Arwan selesai berbicara, dua sosok dengan langkah cepat menghampiri kerumunan. Mereka adalah Tama dan Banyu.Mereka keluar rumah saat mendengar keributan terjadi. Kebetulan saat ini, mereka berdua bertiga menjaga rumah.“Tuan Rajendra, ada apa ini?” tanya Tama dengan nada khawatir, matanya menelisik wajah-wajah tegang di sekitarnya. Banyu berdiri di sampingnya, siap siaga.Kepala Desa Arwan menoleh ke arah Tama. Lalu dia berkata untuk menjelaskan, “Anindya baru saja mengalami kejadian yang mengerikan. Dia hendak dilecehkan oleh seseorang dan Rajendra di sini, sempat menjadi orang yang dicurigai sebagai pelaku.”Mendengar penjelasan itu, ingatan Tama melintas mengenai sosok Rajendra yang dulu, di mana Rajendra adalah seorang pangeran yang gemar bermain-main dengan wanita, bahkan tak segan memaksa siapapun yang menarik perhatiannya meskipun wanita itu telah memiliki suami.Namun setelah menyaksikan perubahan sikap Rajendra beberapa hari belakangan setelah terjadinya kudeta, Tama me
“Sebagai hukuman atas tindakanmu menyebarkan fitnah dan menghakimi tanpa bukti, Wira,” lanjut Arwan, “kau harus membersihkan seluruh jalanan desa selama satu minggu penuh. Ini agar menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak terburu-buru dalam menilai seseorang.”Bukan hanya dipaksa untuk meminta maaf dsn mengakui kesalahan, Wira juga diberikan hukuman sosial. Itu membuatnya tambah malu.Kepala Desa Arwan kemudian meminta warga untuk membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing.Setelah kerumunan menipis, ia berbicara dengan Anindya, menanyakan kondisi putranya.“Obat di rumahku dan balai desa habis,” kata Kepala Desa Arwan dengan nada prihatin. “Besok pagi aku akan mengirimkan pegawaiku untuk mengambilkannya dari desa sebelah.”Mendengar itu, air mata kembali membanjiri wajah Anindya. Ia menggelengkan kepalanya dengan panik. “Tidak bisa menunggu sampai besok, Kepala Desa! Anak saya demamnya sangat tinggi. Saya takut… saya takut dia tidak selamat.”Rajendra, yang sedari tadi
Mendengar kata ‘imbalan’, mata Rajendra sedikit berbinar. Uang! Pikirannya langsung tertuju pada rencana membangun pabrik roti. Uang akan sangat membantu mewujudkan impian itu. Namun, ia tidak ingin terburu-buru memberikan jawaban.“Terima kasih atas tawaran Anda, Kepala Desa Arwan,” jawab Rajendra dengan nada sopan namun tidak langsung menerima. “ini adalah tawaran yang sangat menarik dan akan saya pertimbangkan dengan saksama.”Tepat saat Arwan hendak mengatakan sesuatu lagi, Anindya keluar dari kamar dengan wajah lega dan mata berkaca-kaca.“Kepala Desa, Rajendra. Arya demamnya sudah turun. Tubuhnya tidak sepanas tadi. Dia juga sudah berhenti menangis dan tertidur pulas.” Anindya mengusap air matanya dengan punggung tangan, senyum haru terukir di wajahnya. “Terima kasih banyak.”Kepala Desa Arwan tersenyum lebar. “Syukurlah kalau begitu. Anda benar-benar memiliki pengetahuan yang luar biasa.”Rajendra mengangguk kecil. “Saya hanya berusaha membantu sebisa saya.”Ranjani menatap Raj
Rajendra memanggil Tama dan Banyu. Ia memerintahkan mereka untuk membawa hadiah yang telah diberikan oleh Anindya ke rumah. Tanpa banyak bicara, keduanya langsung bergerak cepat melaksanakan perintah itu dengan penuh tanggung jawab.Namun sebelum Rajendra benar-benar meninggalkan rumah Anindya, Arwan menghampirinya. Wajah pria paruh baya itu tampak ramah namun serius saat ia mengutarakan sebuah tawaran.“Oh iya, Rajendra. Tolong pertimbangkan tentang tawaran dari saya tadi. Saya akan memberikan imbalan dua Solin per orang setiap bulannya. Dan untuk Anda, saya akan berikan imbalan lima Solin,”“Dulu, penjaga lama kami hanya menerima satu Solin sebulan. Tapi untuk kalian, saya ingin memberikan yang lebih,” ucap Arwan.Rajendra tersenyum tipis. Ia merasa dihargai, untuk pertama kalinya sejak kejatuhannya dari istana. Namun, di balik senyum itu, pikirannya berkecamuk. Ia sama sekali tak paham nilai uang di dunia ini.Satu Solin? Dua? Lima? Bisa dipakai beli apa saja? pikirnya.Namun Raje
Setelah semua keputusan diambil dan semangat kembali menyala dalam dada para pengikutnya, Rajendra menyuruh mereka untuk kembali tidur. Malam masih panjang. Langit belum berubah warna. Hanya nyala lampu minyak dan nyanyian jangkrik yang menemani."Kirana, Ranjani. Masuklah. Sudah larut malam," ucap Rajendra sebelum masuk ke kamar mereka.Kedua wanita itu mengangguk pelan. Suara sang pangeran lembut tapi mengandung wibawa. Sejak kembali dari rumah kepala desa, auranya seperti berubah. Lebih kuat. Dan terkesan tak tersentuh.Di dalam kamar, udara dingin menyusup perlahan dari celah jendela. Ranjani duduk bersila di atas ranjang, sementara Kirana sedang melipat selimut tipis.“Ranjani,” bisik Kirana pelan, “bagaimana Pangeran Rajendra bisa bertarung seperti itu tadi? Tama bilang, tekniknya seperti pendekar utama istana.”Ranjani mengangguk cepat. “Dia luar biasa. Bahkan gerakan tebasannya tidak seperti prajurit biasa. Aku pernah melihat pendekar utama Bharaloka berlatih di alun-alun. Ger
Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa
Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem
Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu.Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu.“Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…”Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat.Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak.“Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra.Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buatanku. Namany
Kedatangan kepala desa ini terasa sangat tepat waktu. Ia baru saja berhasil membuat roti yang tidak terlalu mengecewakan, jadi dia akan menyuguhkan roti itu kepada Arwan.Hal itu bisa menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemimpin desa..“Jati,” panggil Rajendra kepada pelayan yang sedang membereskan sisa-sisa bahan masakan. “apakah kamu memperhatikan bagaimana aku membuat roti tadi?”“Ya, Yang Mulia. Saya melihat semuanya dengan saksama,” jawab Jati dengan anggukan mantap. “saya pikir saya bisa melakukannya.”“Bagus sekali!” seru Rajendra dengan nada gembira. “tolong buatkan roti seperti ini dan bawa ke depan. Berikan satu untuk dicicipi oleh Kepala Desa Arwan, dan dua lagi untuk istriku, Kirana dan Ranjani. Sisanya, bagikan saja untuk kalian semua.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Jati dengan semangat, segera mengambil sisa adonan dan mulai membentuknya menjadi dua buah roti pipih.Setelah memberikan instruksi kepada Jati, Rajendra segera bergegas ke
Setelah berbincang-bincang , para warga warga yang antusias mengikuti latihan bela diri telah membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing dengan tubuh yang lelah namun hati yang bersemangat. Namun, di tengah lapangan yang mulai lengang, tampak dua sosok remaja yang masih enggan beranjak.Yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Aji. Tubuhnya tergolong kurus, namun tampak memiliki struktur tulang yang kokoh dan gerakan yang lincah saat tadi mencoba menirukan gerakan bela diri. Di samping Aji, berdiri Danu, seorang remaja dengan tubuh tambun dan pipi bulat kemerahan. Meskipun terlihat sedikit kesulitan mengikuti beberapa gerakan, semangatnya tampak tak kalah membara dari Aji. Mereka berdua seolah terpaku di tempat itu, betah berlama-lama di area yang baru saja menjadi saksi bisu semangat persatuan warga desa.Dengan ragu-ragu, Aji memberanikan diri menghampiri Rajendra yang sedang mengawasi beberapa prajurit merapikan peralatan latihan.“Kak Rajendra,” panggilnya dengan
Sebenarnya, aroma asam yang menguar dari mangkuk itu tidaklah terlalu menyengat. Hanya saja, hidung Kirana memang lebih sensitif terhadap bau-bau yang kurang sedap. Ia terbiasa dengan aroma rempah segar dan bunga-bunga yang selalu menghiasi kediaman mereka.Bau ragi itu, meskipun samar, cukup untuk membuatnya merasa tidak nyaman.“Yang Mulia bilang ini akan membuat roti menjadi nikmat?” tanya Kirana dengan nada skeptis, sedikit menjauh dari mangkuk. “saya akan percaya kalau sudah mencobanya nanti.”Ranjani, yang baru saja selesai memotong beberapa bahan masakan, menghampiri mereka karena penasaran dengan percakapan itu.Mata Ranjani meneliti isi mangkuk dengan seksama. Alih-alih merasa jijik, ekspresinya justru menunjukkan ketertarikan.Aroma asam itu seolah tidak mengganggunya sama sekali, mungkin karena ia lebih terbiasa dengan proses pembuatan makanan tradisional yang melibatkan fermentasi.“Oh, ini toh rahasianya,” gumam Ranjani sambil mengangguk-anggukkan kepala, seolah menemukan
Dari balik jendela dapur, Kirana berdiri diam, tangan masih memegang mangkuk adonan. Tatapannya menusuk ke arah sekelompok gadis muda yang berseru pelan sambil menyembunyikan wajah di balik kain selendang. Seorang di antaranya bahkan menunjuk ke arah Rajendra dan menggigit bibirnya sambil terkikik pelan.“Iishh!” desis Kirana, kembali mengaduk adonan dengan tenaga berlebih. “Lihat suami orang sampai seperti itu…”Ranjani, yang sedang menumbuk rempah, melirik sekilas. “Sudahlah, Kirana. Mereka cuma anak-anak…”“Anak-anak yang matanya seperti mau menelan mentah-mentah suamiku,” geram Kirana, walau tetap tak keluar dari dapur. Ia tahu, sebagai istri pangeran, seharusnya ia tak cemburu karena hal sepele. Tapi darahnya mendidih melihat perempuan-perempuan itu menatap Rajendra seperti pahlawan dalam cerita rakyat.Sementara itu, Rajendra menuruni tangga dengan tenang. Surapati segera menghampirinya, wajahnya berseri-seri.“Paman, sejak kapan mereka berkumpul?” tanya Rajendra.“Mereka datan
Setelah semua keputusan diambil dan semangat kembali menyala dalam dada para pengikutnya, Rajendra menyuruh mereka untuk kembali tidur. Malam masih panjang. Langit belum berubah warna. Hanya nyala lampu minyak dan nyanyian jangkrik yang menemani."Kirana, Ranjani. Masuklah. Sudah larut malam," ucap Rajendra sebelum masuk ke kamar mereka.Kedua wanita itu mengangguk pelan. Suara sang pangeran lembut tapi mengandung wibawa. Sejak kembali dari rumah kepala desa, auranya seperti berubah. Lebih kuat. Dan terkesan tak tersentuh.Di dalam kamar, udara dingin menyusup perlahan dari celah jendela. Ranjani duduk bersila di atas ranjang, sementara Kirana sedang melipat selimut tipis.“Ranjani,” bisik Kirana pelan, “bagaimana Pangeran Rajendra bisa bertarung seperti itu tadi? Tama bilang, tekniknya seperti pendekar utama istana.”Ranjani mengangguk cepat. “Dia luar biasa. Bahkan gerakan tebasannya tidak seperti prajurit biasa. Aku pernah melihat pendekar utama Bharaloka berlatih di alun-alun. Ger
Rajendra memanggil Tama dan Banyu. Ia memerintahkan mereka untuk membawa hadiah yang telah diberikan oleh Anindya ke rumah. Tanpa banyak bicara, keduanya langsung bergerak cepat melaksanakan perintah itu dengan penuh tanggung jawab.Namun sebelum Rajendra benar-benar meninggalkan rumah Anindya, Arwan menghampirinya. Wajah pria paruh baya itu tampak ramah namun serius saat ia mengutarakan sebuah tawaran.“Oh iya, Rajendra. Tolong pertimbangkan tentang tawaran dari saya tadi. Saya akan memberikan imbalan dua Solin per orang setiap bulannya. Dan untuk Anda, saya akan berikan imbalan lima Solin,”“Dulu, penjaga lama kami hanya menerima satu Solin sebulan. Tapi untuk kalian, saya ingin memberikan yang lebih,” ucap Arwan.Rajendra tersenyum tipis. Ia merasa dihargai, untuk pertama kalinya sejak kejatuhannya dari istana. Namun, di balik senyum itu, pikirannya berkecamuk. Ia sama sekali tak paham nilai uang di dunia ini.Satu Solin? Dua? Lima? Bisa dipakai beli apa saja? pikirnya.Namun Raje