LOGINRael, pemuda lemah yang dianggap tak berguna, menyimpan rahasia yang bisa mengguncang kerajaan. Ia bukan sekadar anak buangan—ia adalah keturunan terakhir dari keluarga agung yang lenyap dari sejarah karena pengkhianatan. Dengan kecerdasan modern dari kehidupan lamanya sebagai jenius strategi, Rael mulai meniti jalan berbahaya. Mampuhkah ia bertahan?
View More"Apa ini... rumah sakit?"
Matanya… terasa aneh. Pandangannya lebih tajam, tapi tubuhnya sangat berat. Napasnya pendek. Jantungnya berdetak cepat seperti habis lari maraton, padahal ia hanya berbaring. Tapi suara yang keluar bukan suara Raka. Lebih ringan. Lebih muda. Lebih… asing. Ia mencoba duduk. Tubuhnya gemetar hebat. Sekujur tangan kurus. Terlalu kurus. Ia menatap ke bawah, dan yang ia lihat adalah tubuh seorang remaja laki-laki dalam pakaian robek, penuh lumpur dan darah kering. "Apa ini cosplay?" Tidak. Ini bukan dunia yang ia kenal. Beberapa menit kemudian, sebuah notifikasi muncul dalam kepalanya. Tapi bukan seperti yang biasa ada di novel-novel isekai. Bukan sistem, bukan panel level-up. Hanya satu kalimat sederhana—dan tidak membantu: [Transmigrasi Selesai.] [Nama: Rael Arven De Lantheim. Usia: 17 tahun. Status: Anak buangan. Nilai: Tidak berguna.] Satu jam kemudian, Raka—sekarang Rael—sudah duduk di tanah, bersandar pada batang pohon tua, meratapi nasibnya yang baru. Tidak ada pedang warisan. Tidak ada sihir tersegel. Tidak ada artefak kuno. Yang ada hanya tubuh lemah, ingatan samar tentang masa lalu Rael, dan ejekan keras dari beberapa penjaga desa yang lewat. "Eh, itu bocah sampah dari keluarga Lantheim." "Dia masih hidup?" "Sayang banget. Mati aja belum." Di dunia asalnya, Raka adalah legenda ruang rapat. Pria tanpa emosi yang bisa menganalisis 3 proyek besar sekaligus sambil mengatur strategi IPO. Tapi di dunia ini? Ia bahkan tidak bisa berdiri tanpa gemetar. "Aku transmigrasi," desahnya, menatap ke langit, "Tapi… jadi karakter sialan macam apa ini?" Tertawa kecil lolos dari bibirnya. Lalu perlahan menjadi tawa getir, tawa gila, tawa patah. Karena akhirnya, ia paham satu hal. Di dunia ini, ia tidak penting. Ia bukan sang penyelamat. Ia bukan pewaris naga. Ia bukan siapa-siapa. Dengan kondisi lusuh. Langkahnya pelan tak bersemangat, ia mengingat jalan pulang. Meski ingatanya tak lengkap. Ia mulai menyesuaikan diri. Rumah itu berdiri di tepi pekarangan yang nyaris ditelan hutan. Dindingnya retak, catnya mengelupas. Beberapa jendela ditambal dengan kain goni. Tak ada pelayan. Tak ada penjaga. Bahkan seekor ayam pun tak sudi tinggal di sana. Itulah kediaman resmi Rael Arven De Lantheim, anak ketiga dari Viscount Elbern Lantheim. Bangunan itu berbanding Terbalik dengan bangunan megah nan mewah di seberang. Kondisi yang kontras terlihat jelas. Padahal satu pekarangan. Anak buangan yang Rael sandang tak main-main. Perbeda perlakuan jelas terlihat. Tubuhnya yang kurus kusam, kulit kali yang mengelupas karena terus berjalan tanpa alas, tubuhnya yang kering kerontan, rambut acak-acakan. lebur terlihat seperti gembel yang sedang kelaparan. Jelas terasa perutnya kosong, perih menjalar di tubuh membuat Raka sadar jika tubuh yang ia rasuki tidak dalam kondisi yang baik. Dan sekarang, Raka, pria dewasa dari abad 21, tinggal dalam tubuh bocah malang itu. Langkahnya tertatih saat memasuki rumah. Tak ada pintu yang layak. Lantai berderit. Debu tebal menyelimuti meja kayu satu-satunya. Di pojok ruangan, tempat tidur jerami sudah berlubang dan berbau busuk. Tempat ini bahkan tidak layak disebut sebagai rumah bangsawan. “Jadi ini rumahku sekarang,” gumam Raka pelan, duduk di lantai karena tak ada kursi yang layak. Ia menyentuh kepalanya. Masih terasa ringan. Dunia terasa asing tapi otaknya mulai beradaptasi. Potongan-potongan ingatan Rael muncul, bagaimana ia dibuang ke rumah ini setelah upacara pengukuhan anggota keluarga, saat umur sepuluh tahun. Bagaimana kakak tirinya, Allen, tertawa sambil mengatakan: “Kau cuma beban. Bahkan pelayan pun lebih berguna darimu.” Dan sejak itu, ia tinggal di sini sendirian. Malam pun turun. Tanpa lentera. Tanpa makanan. Perutnya kosong sejak pagi. Raka atau Rael memaksa diri untuk tetap berpikir jernih. "Oke. Tidak ada cheat. Tidak ada sistem. Tidak ada kekuatan. Tapi aku masih punya satu senjata." “Otak.” Ia memeriksa isi rumah. Menemukan sepotong roti kering yang mungkin sudah seminggu. Air hujan tertampung di kendi retak. Kalau bukan karena lapar ia juga enggan memakan makan yang bahkan tak bisa di sebut layak. Satu suap membuatnya hampir muntah, tapi ia harus bertahan. Otaknya tahu, tanpa makan tubuhnya akan mati. Selesai makan, kini perutnya sudah lebih baik. rasa perih pun hilang. Rael ingin membuat daftar tentang dirinya, namun ia tak menemukan apapun di sana. Bagaimana aku bisa membuat strategi. Kakinya berkeliling menemukan arang yang setidaknya bisa digunakan untuk menulis. Ia mulai membuat daftar di tembok retak rumahnya. Evaluasi hari pertama : Kondisi tubuh: Lemah, anemia parah, kemungkinan infeksi. Lingkungan: Terlantar, tidak aman, tidak higienis. Status sosial: Bangsawan kelas rendah, reputasi buruk, dianggap beban. Aset: Pengetahuan modern, pengalaman organisasi, ingatan Rael, kepekaan strategi. Ancaman: Keluarga sendiri, kelaparan, bandit desa, penyakit. Rael terdiam menatap sendiri catatanya banyak kelemahan yang harus ia selesaikan. Terutama kondisi tubuh yang jadi penghalang langkahnya. “Aku butuh rencana. Rencana bertahan hidup.” Malam yang dingin memperparah kondisinya, rasa kesal menjalar. Dalam sekejap, kondisinya sulit diprediksi. Rael mengumpat. “Brengsek…” Tapi itu bukan suara Rael yang bicara. Itu suara Raka, pria dari dunia lama yang kini terjebak dalam tubuh lemah seorang anak buangan. Tubuh Rael begitu rapuh. Otot-ototnya nyaris tak ada. Tulangnya terasa seperti ranting kering. Setiap gerakan terasa menyiksa. Napasnya pendek, dadanya nyeri, bahkan untuk berdiri butuh perjuangan. “Ini bukan tubuh manusia, ini bangkai yang belum sempat dikubur…” Raka mencengkeram sisi ranjang jerami yang busuk. Tangan itu—tangannya sekarang—penuh luka kecil, kasar, dan gemetaran tanpa sebab. Ia pernah begadang tiga hari tanpa tidur untuk menyelesaikan krisis perusahaan dan masih bisa berdiri di depan dewan direksi. Tapi kini? Naik tangga satu tingkat pun bisa membuatnya pingsan. Ia menatap langit-langit rumah yang retak-retak dan berbisik kasar, “Kenapa aku masuk ke tubuh seperti ini? Apa ini lelucon reinkarnasi? Atau kutukan? Jika tujuannya memberiku kesempatan kedua, kenapa tidak dengan kondisi layak?” Ia menggertakkan gigi. Keheningan malam tak memberikan jawaban. Namun dari dalam dirinya, suara lain—suara Raka yang lebih dalam dan tenang—berbisik: “Kalau kau marah karena tubuh ini lemah, buktikan bahwa kekuatan bukan satu-satunya cara untuk bertahan.” “Kalau kau jijik pada tubuh ini, maka buktikan bahwa otak bisa berdiri saat tubuh tidak mampu.” Raka terdiam. Lalu perlahan, napasnya mulai tenang. Tangannya menggenggam erat. Tidak lagi karena marah, tapi karena tekad. “Baik. Kalau dunia mau bermain kotor, aku juga bisa bermain kotor. Tapi kali ini… dengan otak.” Keesokan paginya, ia bangun dengan tubuh menggigil dan suara seseorang yang menendang pintu rumahnya. "Hei, Rael! Bangun, dasar sampah! Ada perintah dari keluarga!"Halim menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. Ia tahu Rael bukan tipe yang diam dan patuh begitu saja.Mak Risa yang memperhatikan interaksi mereka hanya tersenyum samar. Sebelum ahirnya mereka berdua berangkat Bersama ke istana, jarak yang di tempuh tidak jauh dengan menggunakan kuda, di rumah mereka juga hanya ada satu pelayan yang kadang datang kadang pula tidak, mereka tak mau memiliki banyak pekerja karena hal itu merepotkan. “Kau sebaiknya berhati-hati, Halim,” ucapnya lembut, kemudian berhenti sejenak, sebelum akhirnya dilanjukan, “Anak itu… pikirannya jauh lebih cepat dari usia tubuhnya.” “Justru itu yang membuatku khawatir,” jawabnya yang tidak terlalu khawatir.Rael mengamati pintu yang tertutup. Kesempatan kini berada di tangannya. Dengan semangat yang kembali menyala, ia mulai mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.Baiklah, saatnya mencari tahu siapa sebenarnya keluarga yang menampungku… dan seberapa dalam kekuatan mereka bisa membawaku ke Kerajaan itu.Rael
“Aku ingin ke Kerajaan.”Halim sontak menoleh, seolah baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. Ia mengira Rael tidak akan tertarik dengan Raja yang terkenal kejam, namun ternyata dugaan itu jauh meleset.“Kau ingin ke Kerajaan?” ulang Halim, memastikan. “Lalu apa yang akan kau lakukan di sana?”“Mengacau,” jawab Rael serius tanpa berkedip. Namun beberapa detik kemudian ia tergelak kecil, seakan ia sendiri tahu betapa gila kedengarannya. “Ayolah, Paman. Kau tahu aku disiksa. Tentu saja aku akan mengadu.”“Tapi apa kau yakin Raja akan percaya?” Halim mengerutkan alis, ragu.“Jelas Raja tidak akan percaya padaku,” balas Rael lugas. “Tapi aku akan urus itu nanti.”“Sepertinya kau tidak yakin,” Halim menimpali, mencoba membaca wajah Rael.“Tentu saja,” Rael mengangguk pelan, jujur pada ketidakpastiannya sendiri. “Karena aku belum pernah melihat Raja dan belum memahami sistem kerajaan. Jika diibaratkan berperang tanpa tahu medan… itu hanya akan membunuhku.”Halim tertegun, lalu tertawa pu
Pagi hari itu, Rael terbangun. Tubuhnya terasa lebih ringan dibanding sebelumnya, meski masih ada sedikit nyeri di beberapa bagian. Ia menatap langit-langit ruangan yang asing, lalu menggerakkan kepala perlahan untuk melihat sekeliling.Ruang itu sederhana—hanya sebuah dipan kayu, meja kecil dengan beberapa ramuan, dan jendela yang membiarkan sinar matahari masuk lembut. Dari aroma kayu dan suara ayam berkokok di luar, Rael tahu ia berada di rumah salah satu penduduk desa.“Syukurlah kau sadar…”Mak Risa muncul di ambang pintu sambil membawa mangkuk berisi air hangat. Senyum lega terpancar di wajahnya. “Bagaimana perasaanmu, Nak?”Rael mencoba duduk, meski sedikit goyah. “Lebih baik… dari semalam.”“Jangan memaksakan diri dulu,” ujar Mak Risa menahan bahunya pelan. “Kau masih perlu banyak istirahat.”Tak lama kemudian, Halim menyusul masuk. Wajahnya yang semalam penuh kecemasan kini tampak tenang. “Kau membuat kami khawatir, Rael. Kami menemukanku di hutan dalam keadaan pingsan.”“Apa
Mak Risa berjalan pelan mendekati suaminya yang masih duduk di sisi ranjang. Ia bisa melihat jelas kegelisahan di wajah Halim—alis yang berkerut dan tangan yang tak henti mengepal.“Kenapa kau terlihat begitu resah?” tanya Mak Risa perlahan, duduk di sebelahnya. “Apakah ada informasi penting yang kau dapat hari ini?”Halim menghela napas panjang, seolah menimbang apakah ia harus mengatakannya atau tidak. Namun pada akhirnya ia menatap istrinya dengan sungguh-sungguh.“Iya… aku mendapati keluarga itu benar-benar mencurigakan,” ucapnya lirih namun tegas. “Banyak hal yang mereka sembunyikan. Mulai dari ladang yang sengaja dibakar hingga bau kimia yang menguar di bekas gudang.”Mak Risa terpana. Jemarinya yang tadi ia letakkan di pangkuan kini saling menggenggam lebih erat.“Tapi…” Halim memalingkan wajahnya, suara berat menahan kekesalan, “raja sudah percaya sepenuhnya pada keluarga Devan. Mereka sudah lama menyumbang hasil panen dan membantu kerajaan. Sulit bagiku mengungkapkan kecurigaa
Cukup lama Halim berada di sana sehingga ia mulai menyadari sesuatu. Ada bau bahan kimia yang menusuk hidungnya, meninggalkan kecurigaan bahwa ada hal yang sengaja ditutupi. Namun, ia memilih mundur untuk sementara.“Baiklah, aku tidak akan ke sana,” ujarnya, pura-pura menurut sebelum melangkah menuju bagian lain dari area yang terbakar.Ia memeriksa ladang yang juga hangus dilalap api. Kali ini, aromanya berbeda—jelas, bau minyak tanah tercium kuat di setiap sudut. Halim mengernyit, tubuhnya menegang oleh dugaan yang semakin mendekati kebenaran.Apakah ladang ini sengaja dibakar? pikirnya. Kenapa bau minyak tanah ada di mana-mana?Ia melirik pekerja-pekerja yang sibuk merapikan puing. Tatapan mereka kosong, menyiratkan tekanan besar yang tak terlihat. Bertanya pada mereka hanya akan memancing jawaban yang sama: pura-pura tidak tahu.Halim menarik napas panjang.“Kalau aku bertanya pada mereka, tak akan ada yang berani bicara,” gumamnya pelan. “Sebaiknya aku tunggu Rael siuman. Mungki
Halim mengabaikan Yubi dan segera berangkat tanpa menoleh lagi. Dadanya dipenuhi rasa penasaran yang semakin menjadi-jadi. Apa yang benar-benar terjadi pada keluarga Devan? Dan di mana Rael… anak yang sempat kabur dari tempat ini? Ia tidak hanya pergi sendirian. Pasukan kerajaan diperintahkan untuk menyertai, membawa bantuan sesuai titah Raja. Namun, dalam hati Halim, yang ada bukan niat untuk menolong—melainkan mencari kebenaran yang sudah terlalu lama mengambang. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Matahari hampir tergelincir ketika mereka akhirnya sampai di daerah timur. Begitu tiba, Halim terdiam. Pemandangan yang tersaji di hadapannya sangat memilukan. Lahan luas yang dulu dipenuhi tanaman hijau kini berubah menjadi hamparan hitam gosong. Asap tipis masih mengepul dari sudut-sudut tanah, menyisakan bau hangus yang menusuk hidung. Beberapa warga terlihat masih berusaha memindahkan puing-puing, sementara sebagian lain hanya duduk lemas—kehilangan segalanya. Pasukan kerajaa






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments