Tama berbisik kepada Guntur, senyum mengembang di wajahnya. "Hei, Guntur! Kau tahu? Aku pernah melakukan ini bersama Pangeran! Rasanya sungguh luar biasa, surgawi!"Guntur mengangguk setuju, matanya berbinar mengingat kenikmatan itu. "Aku juga pernah, Kak! Sejak itu, aku jadi ketagihan! Kombinasi yang tak terkalahkan!"Sarta ikut tersenyum. "Aku juga. Tidak ada yang bisa menandingi roti Pangeran Rajendra!"Tama tertawa kecil, bangga. "Hahaha! Kalian semua payah! Hanya aku yang tahu cara terbaik makan roti dan daging ini!"Raja Wicaksana mengambil dagingnya. Ia hendak memakannya secara terpisah, mengira Rajendra hanya menyarankan untuk makan roti dan daging secara bergantian."Tunggu, Yang Mulia!" seru Rajendra, suaranya menghentikan gerakan tangan Raja Wicaksana.Semua mata langsung menoleh ke arah Rajendra, penasaran dengan apa yang akan ia lakukan.Rajendra melangkah maju, mengambil satu roti dari keranjang yang dipegang Sarta. Lalu dia membelahnya menjadi dua bagian, membentuk kant
Sebuah alasan yang dibuat-buat, namun ia harus mengatakannya. Dia tidak bisa membiarkan keraguan ini terlihat. "Jadi, berikan saja tanganmu padaku!"Sontak saja, perkataan Wasita itu bagai petir di siang bolong, menyambar dan membakar amarah para pengikut Rajendra."Apa?!" Tama berteriak, amarahnya meledak. Dia mencengkeram gagang pedangnya dengan erat, matanya merah menyala. "Bajingan! Kau berani bicara begitu pada pemimpin kami?! Jangan bermimpi!"Sarta langsung maju satu langkah, berdiri di depan Rajendra, tubuhnya menjadi perisai. "Senapati Wasita! Taruhan kita adalah roti! Bukan tangan Yang Mulia! Kau melanggar aturan!""Benar!" Guntur menggeram, kapak di tangannya bergetar. "kau pikir kami akan membiarkanmu melukai Rajendra? Langkahi dulu mayat kami!""Hanya seorang pengecut yang melanggar janji!" Dipa ikut berseru, menatap Wasita dengan jijik. "kau tidak punya kehormatan sama sekali!"Wasita menyeringai, pandangannya dingin dan menghina. Dia melambaikan tangannya seolah mengusi
Suara pedang Rajendra yang jatuh mengoyak keheningan, menciptakan resonansi mengerikan di antara pepohonan yang disinari rembulan. Bagi para pengikut Rajendra, bunyi itu tak ubahnya lonceng kematian yang berdentang di telinga mereka.Seketika, getaran dingin merayapi punggung, mencengkeram jantung, dan mengeringkan darah di setiap pembuluh. Mereka melihat pedang Rajendra tergeletak tak berdaya di tanah, memantulkan cahaya obor yang menari-nari, seolah mengejek kekalahan sang pemimpin.Tama adalah yang pertama kali memecah kesunyian yang menyakitkan. Matanya membelalak, wajahnya pucat pasi bagai mayat hidup."Kalah? Yang Mulia kalah? Ini tidak mungkin! Tidak mungkin!" Suaranya bergetar, lebih seperti bisikan putus asa yang tertahan di tenggorokan, daripada seruan kemarahan.Pikiran Tama menolak untuk menerima kenyataan pahit yang terhampar di depan mata. Bagaimana mungkin Pangeran Rajendra bisa kalah?Sarta, di sampingnya, hanya bisa menggelengkan kepala pelan. Ekspresinya campur aduk
Rajendra berdiri tegak di hadapan Raja Wicaksana, suaranya tenang namun penuh keyakinan. Matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan, seolah seluruh alam semesta tunduk pada kehendaknya."Saya tidak tahu bagaimana kalian semua bisa masuk ke dalam wilayah Kerajaan Angkara dan membuat keributan serta kemaksiatan seperti ini di tanah kami," kata Rajendra, pandangannya menyapu kerumunan pengawal dan wanita penghibur. "tapi satu yang pasti, aku tidak akan membiarkannya terjadi. Aku akan menegakkan kembali ketertiban di sini!"Tama dan yang lainnya, para pengikut setia Rajendra, merasa cemas. Mereka bisa merasakan aura kemarahan Raja Wicaksana, yang meski berusaha disembunyikan, tetap terasa menekan.Keberanian Rajendra dalam berbicara langsung kepada seorang raja, dan bahkan menantangnya, membuat jantung mereka berdebar kencang. Mereka sadar akan potensi bahaya besar. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain berdiri siaga, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.Raja Wicaksana
Setelah melahap habis roti lezat buatan Rajendra, mata Wasita berkilat penuh energi baru. Kelezatan yang tak terduga itu seolah menyuntikkan semangat baru ke dalam dirinya. Ia menepuk perutnya yang kenyang, senyum bangga terpahat di bibirnya."Baiklah, aku akui makananmu memang luar biasa, kepala keamanan desa!" kata Wasita, suaranya dipenuhi antusiasme. "aku tidak pernah menyangka ada makanan seenak ini di desa terpencil. Sekarang, ayo kita mulai pertarungannya! Aku sudah tidak sabar!"Wasita berdiri tegak, membusungkan dada. Aura seorang pendekar terpancar dari tubuhnya yang kekar. Dengan langkah mantap, ia melangkah maju, tangannya mencengkeram erat gagang pedangnya.Di belakangnya, para anak buahnya bersorak-sorai penuh semangat, mengelu-elukan nama Wasita, memberikan dukungan penuh kepada pemimpin mereka."Ayo, Senapati Wasita! Tunjukkan kekuatanmu! Hancurkan si sombong itu!""Jangan biarkan dia mempermalukan Kerajaan Widyaloka!"Sorakan mereka menggema di tengah hutan, memecah k
Tama dan yang lainnya, para pengikut setia Rajendra, merasa khawatir dengan keberanian sang pangeran. Mereka sadar akan posisi mereka saat ini.Di hadapannya adalah rombongan kecil, sementara di hadapan mereka ada pasukan pengawal Raja, ditambah Raja itu sendiri. Sebuah pertarungan terbuka pasti akan berakhir buruk."Yang Mulia," bisik Tama, suaranya dipenuhi urgensi, "di hadapan kita adalah rombongan raja. Apakah kita bisa mengatasinya? Mereka, pasti sangat kuat, dan tentu, tidak hanya segini saja penjagaan mereka. Pasti lebih banyak lagi, mungkin beberapa puluh meter dari sini ada pasukan lain yang tidak terlihat. Kita kurang pasukan, Yang Mulia."Tama melanjutkan, kekhawatirannya tergambar jelas di wajahnya. "Jangan sampai rencana besar kita ke depannya gagal hanya karena masalah kecil. Ini terlalu berisiko."Rajendra berpikir jika dikatakan oleh Tama memang benar. Ia percaya diri bisa mengatasi sepuluh atau dua puluh pasukan di depan mereka dengan kekuatannya sendiri, dibantu oleh