Mengira dirinya meregang nyawa di tangan pesaing bisnis, Cakra terbangun di jaman kolonial Belanda. Menjadi pria miskin polos yang menikah dengan seorang putri pria Belanda, Cakra berniat memperbaiki kesalahan kepada istrinya di masa depan. Tanpa ia sadari yang Cakra sedang merangkai masa depannya. Menjadi Raja Properti—penguasa properti tersukses di jamannya.
View More“Bangun! Kalau bukan karena terpaksa, aku tidak akan menikahi pria tidak berguna sepertimu.”
Cakra memiringkan tubuh, mencari posisi ternyaman ketika merasakan kakinya ditendang. Sudah hampir dua minggu ia dibangunkan dengan kasar. Ia mulai terbiasa menerima perlakuan gadis yang mengaku sebagai istrinya. Cakra pikir ia akan meregang nyawa ketika Hendi menarik pelatuk pistolnya. Namun, entah bagaimana atau karena kekuatan apa, ia hidup kembali dan berpindah dimensi waktu! Zayden—nama Cakra di tahun 2024—terbangun di sebuah rumah bergaya klasik perpaduan Jawa dan kolonial. Orang-orang yang ia temui berpakaian aneh. Bahkan bangsawan dan orang Belanda tampak begitu ‘kuno’. Zayden, yang kini bernama Cakra, beristrikan seorang gadis blasteran Belanda-Jawa. Gadis kasar dan ketus yang sama sekali tidak menghormatinya sebagai suami. Kehidupannya berubah 180 derajat setelah ia pindah dimensi waktu. Tidak ada lagi Zayden yang kaya dan berpengaruh, hanya ada Cakra—seorang menantu payah dan miskin. “Bangun! Apa kau tuli, hah?!” Suara wanita yang membangunkan Cakra terdengar semakin kesal. Ia menarik kasar kain batik yang Cakra gunakan sebagai selimut. “Sebentar lagi, Nona,” sahut Cakra sambil mengintip lewat celah matanya. “Ini masih terlalu pagi untuk bangun. Bahkan matahari saja belum muncul.” “Itu sebabnya kau harus bangun! Petik daun singkong di kebunmu, lalu jual ke pasar. Aku malu punya suami yang tidak berpenghasilan sepertimu,” gerutu Anne sambil membuka gorden dengan kasar. Suara roda gorden yang digeser terdengar kencang. Dinginnya angin pagi menyapu wajah Cakra ketika Anne membuka pintu. Suara celoteh ayam terdengar membangunkan seisi rumah. Aroma pagi menggantikan harum kopi Arabika yang biasanya istrinya di masa depan buatkan untuknya. “Buatkan aku kopi, Nona. Aku tiba-tiba rindu rumah.” Anne mengernyit mendengar permintaan yang tidak biasa dari Cakra. Ia menatap pria itu sejenak, seolah mencari sesuatu di wajah suaminya. “Buat sendiri! Kau punya dua tangan dan kaki yang sehat, bukan? Aku sibuk!” balas Anne ketus. Setelah mandi, Cakra menuju meja makan mengenakan kaos oblong dan celana tiga perempat—seragamnya untuk meladang. Di meja makan, Tuan Van der Meer, seorang pria berambut kecokelatan, dan istrinya, Nyonya Asih, menatap Cakra dengan sinis. Mereka tampak seolah ingin mengatakan, “Apa yang si miskin ini lakukan di sini?” Cakra menarik kursi di sebelah Anne, mengabaikan tatapan mereka. “Anne, beritahu suamimu untuk memakai pakaian yang pantas. Dia memalukan!” kata Pieter tanpa mengalihkan pandangannya dari sarapan. Anne menjawab dengan santai, “Dia ada di sini, Papa. Papa bisa bicara langsung. Lagipula, dia bisa mendengar.” Cakra menahan senyum mendengar ucapan Anne yang membela dirinya. “Anne, schat, tolong jangan buat keributan di meja makan. Turuti saja papamu,” ujar Asih sambil menghela napas panjang. Anne mendengus kesal dan, dengan terpaksa, berkata kepada Cakra, “Kau dengar apa yang Papa katakan, kan?” “Iya, Nona. Lain kali saya akan mengenakan pakaian yang pantas,” jawab Cakra singkat, berusaha menghindari perdebatan panjang. Namun, Pieter kembali menyindir, “Memangnya kau mau beli baju dengan apa? Daun singkong? Sepertinya suamimu mulai kehilangan akal, Anne. Kesempatan bagus! Tendang dia keluar.” Pieter meninggalkan meja makan, diikuti Asih yang tampak kehilangan selera. Setelah menyelesaikan sarapannya, Cakra menuju ladang singkong kecilnya yang hanya berukuran lima kali lima meter, dikelilingi pagar dari batang pohon. “Ini sih gak bakal menghasilkan apa-apa,” gumam Cakra sambil mengamati tanahnya yang kering. Ia memutuskan pulang dan mencari cara lain agar tanah warisan orang tuanya bisa menghasilkan. Ketika tiba di rumah, perhatian keluarga Van der Meer beralih padanya. Anne duduk bersama seorang pria pribumi dengan jas rapi dan topi baker boy di atas meja. “Ini menantumu?” tanya pria itu dengan suara berat. “Betul. Pria tidak berguna pilihan Anne,” jawab Pieter. Pria itu berdiri, menghampiri Cakra sambil mengulurkan tangan. “Bimo Tjandra. Calon suami Nona Van der Meer.” Mata Cakra membelalak. Walaupun pria itu memperkenalkan diri dengan sopan, tetap saja ia terkejut. Bagaimana mungkin pria ini memperkenalkan diri sebagai calon suami Anne? Bukankah Anne adalah istrinya?Lepaskan dia.”Suara Raden Panji terdengar tegas, penuh wibawa. Ia mengibaskan tangan, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mundur. Seketika, para pengawal yang tadi menahan Cakra melepaskan cengkeraman mereka, membiarkan lelaki itu jatuh tersungkur ke lantai dengan napas terengah.Aiden menatap Raden Panji dengan sorot mata tajam, nyaris menembus ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa begini kelakuan seorang Bupati?” tanyanya dengan nada dingin, penuh sindiran yang menusuk.Raden Panji tetap berdiri tegak, tetapi ada ketegangan tipis yang melintas di wajahnya. “Aku hanya menjalankan tugas,” balasnya, suaranya sedikit bergetar, entah karena amarah atau sesuatu yang lain.Cakra yang masih tersungkur, mencoba bangkit dengan sisa tenaganya. Tangannya terangkat, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Napasnya berat, tubuhnya sedikit bergetar karena perlakuan kasar yang baru saja ia terima. Namun, tatapanny
“Siapa Anda? Jangan ikut campur dalam urusan ini!” Raden Panji melayangkan tatapan tajam penuh kuasa kepada pria asing yang baru saja datang. Tanpa membuang waktu, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka—memukuli Cakra hingga pria itu jera.Cakra yang sudah terhuyung nyaris tersungkur kembali merasakan hantaman keras di perutnya. Ia meringis, darah merembes dari sudut bibirnya, tetapi matanya tetap menyala penuh perlawanan. Anne menjerit histeris, berusaha meronta dari cengkeraman yang menahannya.Saat itulah langkah kaki terdengar di ambang pintu. Tuan Edgar memasuki ruangan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi kehadirannya langsung menarik perhatian.Melihat pria Belanda itu, Bimo segera melangkah mendekat. Dengan senyum penuh hormat, ia menjabat tangan Tuan Edgar. “Tuan ada di Soerabaja?” tanyanya heran, suaranya berusaha terdengar akrab.Raden Panji menoleh, matanya menyipit, mencoba menilai siapa tamu baru ini. Bimo,
Raden Panji menyeringai tipis, matanya tetap tertuju pada Anne. "Tentu saja aku ingat siapa kau, Nona Anne," ujarnya, suaranya penuh misteri. "Tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku masih punya urusan yang lebih mendesak."Anne terdiam. Harapan yang sempat menyala di matanya meredup seketika. Ia melangkah mundur dengan ragu sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya. Bahunya sedikit merosot, tetapi ia berusaha tetap tenang.Cakra yang sejak tadi memperhatikannya semakin dibuat bingung. Hubungan seperti apa yang dimiliki Anne dengan Raden Panji? Mengapa sikapnya begitu kaku di hadapan pria itu? Keningnya berkerut, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, suara Raden Panji kembali mengisi ruangan.Seorang anak buahnya melangkah masuk, wajahnya menunjukkan ekspresi enggan. Ia membungkuk hormat sebelum melaporkan hasil pencarian mereka. "Kami sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini, Raden," lapornya. "Tap
Cakra hendak melangkah mendatangi Bimo, tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya, menahannya di tempat."Kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh," suara berat anak buah Tuan Tong berbisik di telinganya. Cakra menoleh, menatap pria itu tajam, tetapi genggaman di lengannya semakin kuat, seolah memperingatkan."Pria itu dekat dengan Bupati," lanjut pria itu dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Dan kau tahu, di sini, Bupati seperti raja. Dia bisa melakukan apa saja."Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia tahu situasinya tidak menguntungkan. Mau tidak mau, ia harus bermain cerdik, bukan gegabah.Namun, rupanya kehadirannya tak luput dari perhatian. Dari kejauhan, Bimo melirik ke arahnya dengan senyum miring penuh kemenangan. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Cakra, seolah menikmati momen ini."Kukira kau sudah pulang dengan tangan kosong," sindir Bimo. "Atau kau masih berharap bisa menyaingiku?"“A
"Semalam, pasar terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa," ujar orang kepercayaan Tuan Tong dengan nada serius. "Bahkan, tiga nyawa melayang akibat peristiwa itu."Cakra mengerutkan kening, hatinya terusik oleh kabar tersebut. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak terlewat satu kata pun."Apa pendapat Tuan mengenai kejadian ini?" lanjut orang kepercayaan itu.Terdengar suara Tuan Tong menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang meskipun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Aku sudah bisa menebak siapa dalang di balik kebakaran tersebut."Orang kepercayaannya tampak terkejut. "Siapa yang Tuan maksud?"Tuan Tong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Aku dengar Bupati baru saja menerima tamu dari jauh. Ada banyak hal penting yang kami bahas malam itu."Cakra menyipitkan mata. Pernyataan itu seolah mengarah pada sesuatu yang lebih besar."Menariknya," lanjut Tuan Ton
Senja mulai turun ketika Bimo duduk santai di pendopo rumah seorang bupati, ditemani oleh Raden Panji dan seorang pelayan yang setia berdiri di belakangnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma teh melati yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir porselen.Bimo menyesap tehnya dengan perlahan, menikmati rasa hangat yang menyentuh lidahnya sebelum akhirnya membuka pembicaraan. “Aku sedang mencari tanah yang cukup luas,” ujarnya santai, seolah-olah itu bukan urusan besar.Raden Panji mengangkat alis, matanya berbinar penuh antusias. “Hmm... pekerjaan besar, ya?” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu jati. “Kau memang selalu punya ambisi tinggi, Bimo.”Bimo tersenyum tipis, tapi ia menggeleng pelan. “Belum pasti,” sahutnya, suaranya tetap tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh tanah dengan lokasi strategis, tapi harga tetap rendah. Semakin murah kita mendapatkannya, semakin besar keuntungan yang bisa kita kantongi.”Raden Panji terkekeh kecil. Ia me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments