Rajendra memanggil Tama dan Banyu. Ia memerintahkan mereka untuk membawa hadiah yang telah diberikan oleh Anindya ke rumah. Tanpa banyak bicara, keduanya langsung bergerak cepat melaksanakan perintah itu dengan penuh tanggung jawab.Namun sebelum Rajendra benar-benar meninggalkan rumah Anindya, Arwan menghampirinya. Wajah pria paruh baya itu tampak ramah namun serius saat ia mengutarakan sebuah tawaran.“Oh iya, Rajendra. Tolong pertimbangkan tentang tawaran dari saya tadi. Saya akan memberikan imbalan dua Solin per orang setiap bulannya. Dan untuk Anda, saya akan berikan imbalan lima Solin,”“Dulu, penjaga lama kami hanya menerima satu Solin sebulan. Tapi untuk kalian, saya ingin memberikan yang lebih,” ucap Arwan.Rajendra tersenyum tipis. Ia merasa dihargai, untuk pertama kalinya sejak kejatuhannya dari istana. Namun, di balik senyum itu, pikirannya berkecamuk. Ia sama sekali tak paham nilai uang di dunia ini.Satu Solin? Dua? Lima? Bisa dipakai beli apa saja? pikirnya.Namun Raje
Setelah semua keputusan diambil dan semangat kembali menyala dalam dada para pengikutnya, Rajendra menyuruh mereka untuk kembali tidur. Malam masih panjang. Langit belum berubah warna. Hanya nyala lampu minyak dan nyanyian jangkrik yang menemani."Kirana, Ranjani. Masuklah. Sudah larut malam," ucap Rajendra sebelum masuk ke kamar mereka.Kedua wanita itu mengangguk pelan. Suara sang pangeran lembut tapi mengandung wibawa. Sejak kembali dari rumah kepala desa, auranya seperti berubah. Lebih kuat. Dan terkesan tak tersentuh.Di dalam kamar, udara dingin menyusup perlahan dari celah jendela. Ranjani duduk bersila di atas ranjang, sementara Kirana sedang melipat selimut tipis.“Ranjani,” bisik Kirana pelan, “bagaimana Pangeran Rajendra bisa bertarung seperti itu tadi? Tama bilang, tekniknya seperti pendekar utama istana.”Ranjani mengangguk cepat. “Dia luar biasa. Bahkan gerakan tebasannya tidak seperti prajurit biasa. Aku pernah melihat pendekar utama Bharaloka berlatih di alun-alun. Ger
Dari balik jendela dapur, Kirana berdiri diam, tangan masih memegang mangkuk adonan. Tatapannya menusuk ke arah sekelompok gadis muda yang berseru pelan sambil menyembunyikan wajah di balik kain selendang. Seorang di antaranya bahkan menunjuk ke arah Rajendra dan menggigit bibirnya sambil terkikik pelan.“Iishh!” desis Kirana, kembali mengaduk adonan dengan tenaga berlebih. “Lihat suami orang sampai seperti itu…”Ranjani, yang sedang menumbuk rempah, melirik sekilas. “Sudahlah, Kirana. Mereka cuma anak-anak…”“Anak-anak yang matanya seperti mau menelan mentah-mentah suamiku,” geram Kirana, walau tetap tak keluar dari dapur. Ia tahu, sebagai istri pangeran, seharusnya ia tak cemburu karena hal sepele. Tapi darahnya mendidih melihat perempuan-perempuan itu menatap Rajendra seperti pahlawan dalam cerita rakyat.Sementara itu, Rajendra menuruni tangga dengan tenang. Surapati segera menghampirinya, wajahnya berseri-seri.“Paman, sejak kapan mereka berkumpul?” tanya Rajendra.“Mereka datan
Sebenarnya, aroma asam yang menguar dari mangkuk itu tidaklah terlalu menyengat. Hanya saja, hidung Kirana memang lebih sensitif terhadap bau-bau yang kurang sedap. Ia terbiasa dengan aroma rempah segar dan bunga-bunga yang selalu menghiasi kediaman mereka.Bau ragi itu, meskipun samar, cukup untuk membuatnya merasa tidak nyaman.“Yang Mulia bilang ini akan membuat roti menjadi nikmat?” tanya Kirana dengan nada skeptis, sedikit menjauh dari mangkuk. “saya akan percaya kalau sudah mencobanya nanti.”Ranjani, yang baru saja selesai memotong beberapa bahan masakan, menghampiri mereka karena penasaran dengan percakapan itu.Mata Ranjani meneliti isi mangkuk dengan seksama. Alih-alih merasa jijik, ekspresinya justru menunjukkan ketertarikan.Aroma asam itu seolah tidak mengganggunya sama sekali, mungkin karena ia lebih terbiasa dengan proses pembuatan makanan tradisional yang melibatkan fermentasi.“Oh, ini toh rahasianya,” gumam Ranjani sambil mengangguk-anggukkan kepala, seolah menemukan
Setelah berbincang-bincang , para warga warga yang antusias mengikuti latihan bela diri telah membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing dengan tubuh yang lelah namun hati yang bersemangat. Namun, di tengah lapangan yang mulai lengang, tampak dua sosok remaja yang masih enggan beranjak.Yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Aji. Tubuhnya tergolong kurus, namun tampak memiliki struktur tulang yang kokoh dan gerakan yang lincah saat tadi mencoba menirukan gerakan bela diri. Di samping Aji, berdiri Danu, seorang remaja dengan tubuh tambun dan pipi bulat kemerahan. Meskipun terlihat sedikit kesulitan mengikuti beberapa gerakan, semangatnya tampak tak kalah membara dari Aji. Mereka berdua seolah terpaku di tempat itu, betah berlama-lama di area yang baru saja menjadi saksi bisu semangat persatuan warga desa.Dengan ragu-ragu, Aji memberanikan diri menghampiri Rajendra yang sedang mengawasi beberapa prajurit merapikan peralatan latihan.“Kak Rajendra,” panggilnya dengan
Kedatangan kepala desa ini terasa sangat tepat waktu. Ia baru saja berhasil membuat roti yang tidak terlalu mengecewakan, jadi dia akan menyuguhkan roti itu kepada Arwan.Hal itu bisa menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemimpin desa..“Jati,” panggil Rajendra kepada pelayan yang sedang membereskan sisa-sisa bahan masakan. “apakah kamu memperhatikan bagaimana aku membuat roti tadi?”“Ya, Yang Mulia. Saya melihat semuanya dengan saksama,” jawab Jati dengan anggukan mantap. “saya pikir saya bisa melakukannya.”“Bagus sekali!” seru Rajendra dengan nada gembira. “tolong buatkan roti seperti ini dan bawa ke depan. Berikan satu untuk dicicipi oleh Kepala Desa Arwan, dan dua lagi untuk istriku, Kirana dan Ranjani. Sisanya, bagikan saja untuk kalian semua.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Jati dengan semangat, segera mengambil sisa adonan dan mulai membentuknya menjadi dua buah roti pipih.Setelah memberikan instruksi kepada Jati, Rajendra segera bergegas ke
Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu.Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu.“Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…”Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat.Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak.“Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra.Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buatanku. Namany
Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem
Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa
Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem
Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu.Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu.“Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…”Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat.Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak.“Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra.Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buatanku. Namany
Kedatangan kepala desa ini terasa sangat tepat waktu. Ia baru saja berhasil membuat roti yang tidak terlalu mengecewakan, jadi dia akan menyuguhkan roti itu kepada Arwan.Hal itu bisa menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemimpin desa..“Jati,” panggil Rajendra kepada pelayan yang sedang membereskan sisa-sisa bahan masakan. “apakah kamu memperhatikan bagaimana aku membuat roti tadi?”“Ya, Yang Mulia. Saya melihat semuanya dengan saksama,” jawab Jati dengan anggukan mantap. “saya pikir saya bisa melakukannya.”“Bagus sekali!” seru Rajendra dengan nada gembira. “tolong buatkan roti seperti ini dan bawa ke depan. Berikan satu untuk dicicipi oleh Kepala Desa Arwan, dan dua lagi untuk istriku, Kirana dan Ranjani. Sisanya, bagikan saja untuk kalian semua.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Jati dengan semangat, segera mengambil sisa adonan dan mulai membentuknya menjadi dua buah roti pipih.Setelah memberikan instruksi kepada Jati, Rajendra segera bergegas ke
Setelah berbincang-bincang , para warga warga yang antusias mengikuti latihan bela diri telah membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing dengan tubuh yang lelah namun hati yang bersemangat. Namun, di tengah lapangan yang mulai lengang, tampak dua sosok remaja yang masih enggan beranjak.Yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Aji. Tubuhnya tergolong kurus, namun tampak memiliki struktur tulang yang kokoh dan gerakan yang lincah saat tadi mencoba menirukan gerakan bela diri. Di samping Aji, berdiri Danu, seorang remaja dengan tubuh tambun dan pipi bulat kemerahan. Meskipun terlihat sedikit kesulitan mengikuti beberapa gerakan, semangatnya tampak tak kalah membara dari Aji. Mereka berdua seolah terpaku di tempat itu, betah berlama-lama di area yang baru saja menjadi saksi bisu semangat persatuan warga desa.Dengan ragu-ragu, Aji memberanikan diri menghampiri Rajendra yang sedang mengawasi beberapa prajurit merapikan peralatan latihan.“Kak Rajendra,” panggilnya dengan
Sebenarnya, aroma asam yang menguar dari mangkuk itu tidaklah terlalu menyengat. Hanya saja, hidung Kirana memang lebih sensitif terhadap bau-bau yang kurang sedap. Ia terbiasa dengan aroma rempah segar dan bunga-bunga yang selalu menghiasi kediaman mereka.Bau ragi itu, meskipun samar, cukup untuk membuatnya merasa tidak nyaman.“Yang Mulia bilang ini akan membuat roti menjadi nikmat?” tanya Kirana dengan nada skeptis, sedikit menjauh dari mangkuk. “saya akan percaya kalau sudah mencobanya nanti.”Ranjani, yang baru saja selesai memotong beberapa bahan masakan, menghampiri mereka karena penasaran dengan percakapan itu.Mata Ranjani meneliti isi mangkuk dengan seksama. Alih-alih merasa jijik, ekspresinya justru menunjukkan ketertarikan.Aroma asam itu seolah tidak mengganggunya sama sekali, mungkin karena ia lebih terbiasa dengan proses pembuatan makanan tradisional yang melibatkan fermentasi.“Oh, ini toh rahasianya,” gumam Ranjani sambil mengangguk-anggukkan kepala, seolah menemukan
Dari balik jendela dapur, Kirana berdiri diam, tangan masih memegang mangkuk adonan. Tatapannya menusuk ke arah sekelompok gadis muda yang berseru pelan sambil menyembunyikan wajah di balik kain selendang. Seorang di antaranya bahkan menunjuk ke arah Rajendra dan menggigit bibirnya sambil terkikik pelan.“Iishh!” desis Kirana, kembali mengaduk adonan dengan tenaga berlebih. “Lihat suami orang sampai seperti itu…”Ranjani, yang sedang menumbuk rempah, melirik sekilas. “Sudahlah, Kirana. Mereka cuma anak-anak…”“Anak-anak yang matanya seperti mau menelan mentah-mentah suamiku,” geram Kirana, walau tetap tak keluar dari dapur. Ia tahu, sebagai istri pangeran, seharusnya ia tak cemburu karena hal sepele. Tapi darahnya mendidih melihat perempuan-perempuan itu menatap Rajendra seperti pahlawan dalam cerita rakyat.Sementara itu, Rajendra menuruni tangga dengan tenang. Surapati segera menghampirinya, wajahnya berseri-seri.“Paman, sejak kapan mereka berkumpul?” tanya Rajendra.“Mereka datan
Setelah semua keputusan diambil dan semangat kembali menyala dalam dada para pengikutnya, Rajendra menyuruh mereka untuk kembali tidur. Malam masih panjang. Langit belum berubah warna. Hanya nyala lampu minyak dan nyanyian jangkrik yang menemani."Kirana, Ranjani. Masuklah. Sudah larut malam," ucap Rajendra sebelum masuk ke kamar mereka.Kedua wanita itu mengangguk pelan. Suara sang pangeran lembut tapi mengandung wibawa. Sejak kembali dari rumah kepala desa, auranya seperti berubah. Lebih kuat. Dan terkesan tak tersentuh.Di dalam kamar, udara dingin menyusup perlahan dari celah jendela. Ranjani duduk bersila di atas ranjang, sementara Kirana sedang melipat selimut tipis.“Ranjani,” bisik Kirana pelan, “bagaimana Pangeran Rajendra bisa bertarung seperti itu tadi? Tama bilang, tekniknya seperti pendekar utama istana.”Ranjani mengangguk cepat. “Dia luar biasa. Bahkan gerakan tebasannya tidak seperti prajurit biasa. Aku pernah melihat pendekar utama Bharaloka berlatih di alun-alun. Ger
Rajendra memanggil Tama dan Banyu. Ia memerintahkan mereka untuk membawa hadiah yang telah diberikan oleh Anindya ke rumah. Tanpa banyak bicara, keduanya langsung bergerak cepat melaksanakan perintah itu dengan penuh tanggung jawab.Namun sebelum Rajendra benar-benar meninggalkan rumah Anindya, Arwan menghampirinya. Wajah pria paruh baya itu tampak ramah namun serius saat ia mengutarakan sebuah tawaran.“Oh iya, Rajendra. Tolong pertimbangkan tentang tawaran dari saya tadi. Saya akan memberikan imbalan dua Solin per orang setiap bulannya. Dan untuk Anda, saya akan berikan imbalan lima Solin,”“Dulu, penjaga lama kami hanya menerima satu Solin sebulan. Tapi untuk kalian, saya ingin memberikan yang lebih,” ucap Arwan.Rajendra tersenyum tipis. Ia merasa dihargai, untuk pertama kalinya sejak kejatuhannya dari istana. Namun, di balik senyum itu, pikirannya berkecamuk. Ia sama sekali tak paham nilai uang di dunia ini.Satu Solin? Dua? Lima? Bisa dipakai beli apa saja? pikirnya.Namun Raje